Part 2
Entah jam berapa ini, Hani merasa sangat haus. Tadi ia kebanyakan menangis, hingga jatuh tertidur, dan terjaga dalam kondisi haus.
Ia membuka pintu, bermaksud ke ruang makan mengambil air minum. Alangkah kagetnya saat pintu terbuka Aiman nampak bangkit dari sofa ruang tengah yang langsung menghadap pintu kamar Hani.
Tanpa mempedulikan Aiman yang memanggilnya, ia langsung ke belakang.
"Han, akhirnya kamu keluar juga. Mas, nungguin dari tadi," katanya sambil mengekori Hani. Sepertinya laki-laki itu memang belum tidur.
Hani diam saja. Rasanya malas untuk sekedar menjawab pertanyaan laki-laki itu. Biar dia tahu bagaimana rasanya diabaikan.
"Han, Mas sampai tidak tidur di kamar lho, nungguin kamu keluar."
Idih. Siapa suruh! Hani gegas kembali ke kamar saat hausnya sudah terbayarkan.
"Han, ngomong dong, jangan diam aja. Kamu tidak lagi sariawan, kan?" tanya Aiman lagi dengan wajah memohon.
"Han, Mas ikut tidur di dalam, ya!" Aiman buru-buru menghadang di pintu saat Hani hendak masuk ke kamarnya.
"Apa-apaan sih, Mas. Biasanya juga kita tidur masing-masing," hardik Hani kesal dengan tingkah lelaki itu.
"Tapi, biasanya kita tidur satu ranjang kan?"
Hani mendelik. Ya, biasanya memang mereka satu ranjang, tapi tetap tidur saling memunggungi.
"Sudah, balik ke kamar sana. Aku ngantuk." Hani mencoba menyingkirkan Aiman dari jalannya.
"Han, Mas mohon biarkan ikut masuk, ya."
"Nggak."
"Ikut dong...."
"Nggak!"
"Sekarang Mas nggak bisa tidur kalau nggak sama kamu."
Hani mendelik. Kesal tiada tara. Apa sih, maunya laki-laki ini. Kemarin-kemarin dia bersikap dingin, cuek, seolah tidak butuh dirinya. Namun sekarang mohon-mohon minta tidur sekamar lagi. Lalu untuk apa dia pindah?
"Mas, menyingkir! Atau ... aku teriak!" ancam Hani dengan bertolak pinggang. Aiman menciut. Rumahnya memang berada di komplek yang rapat, rumah satu dengan yang lainnya berdempetan. Kalau Hani teriak, akan mudah mengundang warga berdatangan. Apalagi di malam yang sudah larut seperti ini.
Akhirnya Aiman terpaksa mengalah. Dia menyingkir dengan wajah kecewa.
Hani buru-buru masuk dengan menutup pintu lumayan keras. Rasa kesalnya pada Aiman membuat kepalanya terasa berdenyut.
Tak habis pikir dengan lelaki batu itu. Kemarin-kemarin ia yang mengabaikannya. Sekarang kelimpungan sendiri saat Hani mengabaikan. Dasar aneh.
***
Hani mencoba membuka matanya yang terasa berat. Jam tidur yang singkat membuatnya malas bangun. Gara-gara tingkah absurd Aiman ia sulit tidur. Namun, suara berisik dan aroma bumbu yang menguar dari dapur terpaksa membangunkannya.
Apa sih, yang dilakukan laki-laki itu pagi buta begini? Ganggu orang tidur saja.
Rumah Aiman memang hanya rumah tipe 36 yang jarak ruangan saling berdekatan. Apalagi kamar yang Hani tempati sekarang lebih dekat ke dapur.
Gadis tomboy itu membuka pintu, bermaksud ke kamar mandi. Saat melewati dapur terlihat Aiman sedang sibuk di depan kompor. Aroma bumbu menguar memenuhi ruangan. Baunya yang mencolok membuat hidung Hani sensitif lalu bersin beberapa kali.
Aiman menoleh, lalu tersenyum riang. Membuat Hani mengernyit beberapa saat. Beneaan dia senyum? Apa uratnya keseleo, ya? Seumur berumah tangga belum pernah lelaki itu tersenyum padanya, saat mereka sedang berduaan seperti ini.
"Sudah bangun, Han?" tanyanya sambil tangannya sibuk mengaduk isi penggorengan.
"Mas masak nasi goreng nih, nanti sarapan bareng, ya!" ajaknya bersemangat. Aiman memang biasa masak. Karena sejak bujang sudah hidup mandiri.
Hani tidak menjawab, ia langsung masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri. Lalu bersiap lari pagi, seperti yang biasa dilakukannya.
Gadis tomboy itu sangat gila olahraga sejak kecil. Dulu ia malah sering ikutan bermain bola bersama teman laki-lakinya. Sang ayah sering murka dibuatnya, bahkan tak jarang datang dan menyeretnya pulang, saat ia tengah seru bermain bola.
Itu pula yang membedakan ia dengan kakaknya. Tania yang feminin, lugu, penurut dan lembut. Sedang Hani gadis tomboy dan sedikit urakan. Bagai bumi dan langit. Mungkin itu juga yang membuat Aiman sulit menggantikan Tania dengan Hani.
"Mau joging, Han?" tanya Aiman heran, Hani sudah siap dengan stelan olahraganya, padahal hari masih gelap.
Hani hanya menjawab dengan gumaman. Lalu berjalan ke arah pintu depan. Namun, sambaran tangan Aiman di tangannya, menghentikan langkah gadis itu. Keningnya mengernyit. Ia menatap tangan dan wajah lelaki itu bergantian.
"Maaf." Aiman melepaskan tangannya. "Bisa gak, sehari saja tidak joging. Temani Mas sarapan pagi ini sebelum ke kantor," ucapnya setengah memohon.
Hani semakin mengernyitkan alis. Apa laki-laki di depannya ini kesambet, ya? Minta ditemani sarapan? Biasanya juga sarapan di kantor. Bahkan jika Hani sudah bercapek-capek masak pun lelaki itu tak pernah mau menyentuh masakannya.
Dulu awal-awal menikah, Hani selalu menyiapkan sarapan dan makan malam untuk laki-laki itu. Namun, Aiman tidak pernah mau menyentuhnya. Dengan alasan akan sarapan di kantor atau sudah makan malam bareng teman. Hingga Hani lelah dan sakit hati, karena semua masakannya akan berakhir di tempat sampah.
"Sarapan sendiri aja, Mas. Aku biasa makan bubur di kaki lima sendiri," jawabnya cuek, sambil melangkah lagi.
Aiman menghadangnya lagi. "Tapi mulai sekarang, kita harus makan bareng, sarapan dan makan malam harus bareng!" ujar Aiman tegas.
Hani semakin tidak mengerti dengan tingkah lelaki itu. Ia memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket olah raganya, sebelum berujar.
"Oh, ada aturan baru, ya, di rumah ini," sindirnya dengan senyum sinis. "Tapi maaf, sebentar lagi aku bukan anggota keluarga ini lagi. Jadi tidak bisa mengikuti aturan!"
Hani berjalan lagi, tapi lagi-lagi Aiman menghadang.
"Kamu akan tetap menjadi anggota keluarga ini Han, karena aku tidak akan pernah menceraikan kamu!" tukas Aiman tegas dengan wajah arogannya.
Wajah mereka kini hanya berjarak satu jengkal saja. Hani menatap tajam wajah arogan itu dengan emosi seakan mau meledak. Dadanya turun naik dengan cepat. Aiman malah menantang dengan lebih mendekatkan wajahnya.
Hani semakin panas. Wanita itu juga memajukan sedikit wajahnya, dan saat tinggal beberapa inci saja, ia mengangkat tinggi-tinggi kakinya. Kemudian menginjak kaki Aiman dengan keras, hingga lelaki itu memekik keras lalu mengangkat kakinya yang sakit dengan berjingkat-jingkat.
Tentu saja sakit, karena Hani memakai sepatu ketsnya, sedang Aiman bertelanjang kaki.
"Dasar egois!" omelnya sebelum berlari keluar.
***
Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga …."Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil."Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.Hening. Tak
Mengertilah Aiman sekarang, kenapa sejak pagi sang istri mendiamkannya. Membuat kepalanya serasa mau pecah. Memikirkan apa gerangan salahnya.Aiman masih menatap benda kecil pipih bergaris dua merah di telapak tangannya, sebelum melempar bunga di tangan ke atas sofa ruang tamu. Kemudian berlari menyusul sang istri yang sudah masuk meninggalkannya.Ditangkapnya tubuh sang istri, kemudian dibopong dan dibawa berputar-putar, untuk meluapkan rasa bahagia."Sayang ...kamu hamil lagi?" tanyanya sambil membawa tubuh Hani dalam bopongan berputar-putar.Hani memekik, seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mas, apaan sih kamu?
Sebulan berlalu ….Keluarga kecil itu, baru saja keluar dari RSJ tempat Sri dirawat. Mereka memang mengagendakan kunjungan rutin ke sana, untuk mengetahui perkembangan ibu dari sang kakak itu.Aiman sudah bersumpah akan mengobati wanita itu sampai sembuh. Bila nanti sudah benar-benar sembuh, ia juga akan menampung wanita itu. Akan menganggap Sri sebagai ibunya sendiri, sebagai pengganti Yuli. Itu dia lakukan sebagai bentuk penebusan dosa orang tuanya di masa lalu. Semoga dengan begitu, ayah, ibu, dan kakaknya tenang di alam sana.Tangan Aiman terjulur ingin membuka pintu mobil, saat seseorang memanggilnya. Semua menoleh ke asal suara. Tampak seorang lelaki berkacamata dan seorang gadis kecil di sana.
Jam tiga dini hari, Hani terbangun dengan kepala pusing. Wanita itu juga belum lama memejamkan mata. Ia menemani dulu sang suami mengisi perut dan mendengarkan semua ceritanya.Suara gumaman pelan terdengar dari sampingnya berbaring. Dipaksanya bola mata untuk terbuka karena penasaran dengan suara yang didengarnya.Suara itu ternyata keluar dari mulut Aiman yang tubuhnya menggigil, tetapi matanya terpejam. Hani segera bangkit, duduk di sebelah tubuh suaminya yang masih terbaring. Wanita itu menempelkan punggung tangannya di kening sang suami.Hani terperanjat, karena suhu tubuh itu begitu tinggi. Tubuh Aiman sangat panas. Pantaslah lelaki itu begitu menggigil.Hani segera beranjak ke dapur me
Aiman melangkah gontai mendekati tubuh yang meringkuk dan bersimbah darah, diiringi tatapan semua orang yang menyaksikan. Tubuh lelaki itu langsung meluruh dengan lemah tepat di sisi tubuh yang merintih itu.Tatapan nanar ia tujukan pada wajah pucat yang terus merintih, dan memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Ada dua luka di tubuh Arum. Satu di kaki, mungkin polisi menembaknya untuk melumpuhkannya, agar tidak kabur. Satu lagi di perut, karena wanita itu melawan, dan malah menyandera warga. Anak kecil pula. Mengancam dengan senjata tajam. Hingga akhirnya polisi harus menyarangkan lagi timah panas di perutnya.Semua warga yang menyaksikan tak ada yang bersuara. Mereka diam bahkan menahan napas. Semua penasaran drama apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua bersaudara itu.
Hani dijemput orang tuanya, mereka pulang setelah Hanan membaik. Sementara Aiman kembali ke tempat semula. Mungkin jasad sang ibu sudah dibawa ke rumah sakit. Namun, ia ingin mengurus Sri, dan mengetahui sejauh mana pencarian Arum.Aiman tak menyangka, keluarganya akan hancur seperti ini. Arum yang berubah kalap setelah mengetahui kisah hidupnya. Lalu ada wanita bernama Sri, yang menderita sekian lama, karena keputusan sang ayah di masa lalu. Hanan yang menjadi korban balas dendam Arum, dan terakhir sang ibu yang harus meninggal dengan tragis, di tangan anak yang sudah dibesarkan sejak bayi.Sungguh semua terjadi begitu cepat, di saat ia seharusnya tengah menikmati bulan madu setelah berhasil membawa wanita yang dicintainya dalam pernikahan kedua kalinya.S
Dengan tangan gemetar, Aiman mengemudikan mobil keluar dari perkampungan itu mencari klinik terdekat. Di sampingnya, Hani terus menangis mendekap sang anak yang kondisinya mengkhawatirkan.Hanan demam tinggi, tubuhnya kejang-kejang, matanya berputar ke atas sejak tadi. Entah apa yang terjadi, mungkin ia ketakutan dan trauma dengan semua yang terjadi."Hanan, bertahanlah sayang. Ada mama di sini. Kita ke dokter, ya. Anak mama pasti kuat. Nanti kita pulang sayang. Kita berkumpul lagi." Hani terus menceracau di antara tangisnya yang terus berderai.Aiman membelokkan mobil ke arah klinik kecil terdekat. Keadaan lelaki itu sudah tak dapat digambarkan seperti apa. Sangat kacau. Dengan wajah pucat, rambut acak-acakan, tubuh basah akibat memeluk jasad sang ibu yang
Hani memaksakan diri bangun walaupun tubuhnya masih terasa lemas tak bertulang. Tak dapat dipercaya, semua kejadian barusan terasa seperti mimpi. Ibu mertua yang nekat mendekati Arum. Mereka rebutan Hanan, sampai Arum mendorong Yuli hingga jatuh ke sungai dan terbawa arus.Hani berdiri lalu berjalan dengan hati yang kacau balau menghampiri Aiman yang masih bersimpuh di tengah jembatan dengan tubuh beku.Disentuhnya bahu lelaki tercinta yang hatinya pasti lebih kacau."Mas," panggil Hani serak seraya ikut bersimpuh memeluk Aiman dan Hanan. Mereka berpelukan di tengah jembatan kayu yang bergoyang-goyang. Jembatan kayu yang dijadikan jembatan penyeberangan darurat oleh warga untuk mencapai kampung di seberang sungai.
Yuli semakin mendekati Arum, hingga akhirnya kursi roda akan menabrak tubuh yang berdiri kaku itu.Sepersekian detik Arum tersadar dari keterpakuannya. Refleks ia menghindar agar tidak tertabrak. Namun, tangan Yuli berhasil meraih tubuh mungil Hanan.Arum semakin tersentak, ia pertahankan tubuh mungil yang kembali menjerit itu dengan sekuat tenaga. Sementara Yuli juga melakukan hal yang sama. Adegan saling rebut tak dapat terelakkan. Keduanya sama-sama mempertahankan tubuh mungil itu."Lepaskan, cucuku! Dia tidak bersalah, dia berhak hidup bahagia!" pekik Yuli dengan suara tertahan."Tidak akan! Aku tidak rela melihat kalian bahagia sementara aku dan ibuku menderita. Aku akan lenyapkan anak i