“Anda Pak Reynold. Benar begitu?” sapa salah satu polisi intel.
“Iya, benar,” jawab Jordie.Ekor mata Jordie melirik ke arah saku celana pria di depannya. Dia melihat ada pistol listrik menyembul dari sana.“Ada perlu apa ya, Pak?” tanya Jordie kemudian.Dia menunjukkan wajah polos dengan senyuman ringan. Meski tahu bahwa dirinya dicurigai, Jordie mencoba tetap tenang. Apalagi, dia tak melakukan hal buruk apapun.“Tidak. Kami hanya ingin melakukan patroli keamanan,” terang si polisi intel itu. “Ada kabar santer bahwa daerah ini sering terjadi pembobolan pintu.”“Oh, saya malah baru tahu,” ujar Jordie. Dia melangkah mendekati pintu apartemennya dan membukanya. “Mari, Pak. Silakan masuk.”Jordie sengaja bersikap ramah pada intel itu. Semuanya dia lakukan dengan tujuan agar dirinya tak dicurigai lebih dalam.Si intel akhirnya ikut masuk ke dalam. Mereka duduk di sofa ruang tamu sesuai dengan ucapan Jordie.“Mau minum apa, Pak?” tanya Jordie. “Biar asisten manajer saya yang menyiapkan.”Dua intel itu menatap ke arah Hakim. Mereka memang memiliki data soal Reynold dan orang-orang di sekitar Reynold. Namun, data tentang Hakim sama sekali tidak ada.“Saya yang siapkan. Mau kopi atau teh anget?” tanya Hakim lebih detail. “Bilang saja. Saya di sini bertugas mendampingi Reynold sesuai instruksi perusahaan.”“Ah, karyawan baru ya,” celetuk salah seorang intel itu.“Benar,” jawab Hakim.“Kami hanya ingin memeriksa pintu dan jendela saja. Jika sudah aman, kami akan langsung berpamitan,” balas intel itu.“Boleh. Silakan. Silakan,” Jordie memberikan kesempatan bagi dua orang intel itu untuk berkeliling.Hakim menarik lengan Jordie dan mengajaknya menjauh. Dia menatap Jordie gelisah.“Die, ini gila,” desis Hakim setengah panik. “Kenapa kamu kasih izin mereka buat periksa apartemen kita?”“Biar mereka percaya sama kita. Jadi, mereka nggak perlu ke sini lagi,” terang Jordie. “Percaya aja sama aku. Aku tahu apa yang aku lakukan.”Jordie menepuk-nepuk kedua bahu Hakim. Lantas, dia membalikkan badan dan melangkah menghampiri dua polisi intel itu.Mau tak mau, Hakim harus tetap mengekor. Mereka pun berakhir keliling apartemen luas dan mewah itu bersama dua orang intel itu.“Bagaimana, Pak? Aman, kan?” tanya Jordie. Dia menyunggingkan senyuman penuh percaya dirinya.“Ya, benar. Aman,” jawab si intel.“Syukurlah,” ujar Jordie lega. “Setidaknya kami bisa tidur dengan nyenyak.”Jordie mengantarkan dua intel itu keluar dari apartemen. Dia tersenyum sopan. “Pak, nanti kalau misal mau ada pemeriksaan, Bapak bisa langsung kabari kontak asisten manajer saya,” terang Jordie. Dia mendorong Hakim ke depan. “Kim, kasih kontakmu.”“Iya,” Hakim membagikan nomornya pada dua intel itu.Usai berbasa-basi sejenak, intel tersebut pergi. Jordie langsung mengajak Hakim ke dalam dan mengunci pintu dengan rapat.“Wah, gila!” seru Hakim seraya membanting diri di sofa. Dia menengadahkan kepala ke atap sambil memijat-mijat kepalanya yang pening.Jordie mengambilkan minum untuk dirinya dan Hakim. Dia membagi air dingin itu dan menenangkan diri sambil minum sejenak.“Untung ya siang tadi kita udah beneran beres-beres rumah,” ucap Hakim usai menenggak setengah isi botol mineral bermerek itu. “Kalau nggak, kita udah masuk penjara kali ya.”Kepala Jordie mengangguk. Dia pun masih terkejut tapi berusaha tetap tenang.“Masalah kita masih menumpuk banyak ke depan sepertinya,” terang Jordie. “Reynold benar-benar tukang bikin onar. Hidupnya dia bergelimang harta sekaligus masalah.”“Benar juga. Soal orang di tempat pembuangan sampah tadi gimana?” tanya Hakim.“Entahlah. Kita sepertinya tidak bisa bergerak sendiri. Kita harus memberitahu Pak Michael agar dia nanti yang menanganinya,” tutur Jordie. “Untungnya kita tadi beneran cuma bawa uang buat makan dan membatasi interaksi dengan mereka.”“Tetap saja ini hal yang gawat, Die,” decak Hakim. Dia mengerang nelangsa. “Nggak seharusnya aku dukung kamu buat jadi Reynold kalau tahu kayak gini masalahnya.”“Kita juga nggak mungkin mundur lagi,” ucap Jordie. “Aku sudah terlanjur tanda tangan dan akan semakin runyam kalau aku mundur. Aku nggak mau bikin masalah karena Aster pasti akan semakin sedih kalau tahu hidupku hancur seperti ini.”Hakim menatap kasihan Jordie. Dia pikir dia sudah mendukung Jordie memasuki lautan harta dan kebahagiaan. Nyatanya, di dalam lautan itu tersembunyi banyak bangkai busuk dan makhluk mengerikan sebagai bagian cobaan.“Besok mau coba meeting sama Pak Michael?” tanya Hakim. “Akan kutelepon dia kalau kamu setuju.”Kepala Jordie mengangguk. “Iya, telpon saja,” ujar Jordie. “Sebentar lagi aku bakal ke Bandung. Aku nggak mau terlibat masalah aneh saat berada di Bandung.”“Oke,” sahut Hakim.Jordie mempercayakan urusan komunikasi dengan Pak Michael pada Hakim. Sementara itu, dia memilih memasak pasta di dapur sambil memikirkan cara agar dirinya bisa terlepas dari jejaring narkoba itu.Pastinya pengedar narkoba yang tadi menemui Jordie karena Reynold sudah berlangganan sebelumnya. Menghindar terus bukanlah sebuah cara yang efektif. Satu-satunya cara memang bekerja sama dengan polisi untuk menangkap pengedar itu.“Benar, aku nggak bisa terus menghindari masalah. Aku harus membicarakan ini pada Pak Michael besok,” tekad Jordie usai membuat keputusan.Keesokan harinya, saat jam makan siang, Pak Michael datang ke apartemen sesuai dengan undangan Hakim. Pria itu membawakan makan siang untuk dinikmati bersama sambil rapat santai di balkon apartemen yang berukuran luas.“Berarti pengedar narkoba itu akan menemuimu lagi?” timpal Pak Michael usai mendengarkan semua kronologis kejadian cerita yang dialami oleh Jordie.Kepala Jordie bergerak mengangguk. “Aku tidak mungkin terus-menerus menghindar,” ujar Jordie. “Satu-satunya cara adalah melaporkannya pada pihak polisi tepat ketika mereka menghampiriku sesuai dengan jadwal perjanjian. Jika tidak, mereka akan terus ke sini dan mencariku. Kamu pasti tahu kan bagaimana pergerakan bandar dan pengedar narkoba jika sudah memiliki target sasaran?”“Tapi, akan sangat berisiko jika melibatkan pihak kepolisian. Mereka akan tahu kalau Reynold pernah bertransaksi beberapa kali dengan para pengedar itu. Kamu akan mendapatkan keburukan dari dosa-dosa Reynold di masa lalu. Hal terburuknya adalah kamu akan dipenjara,” jelas Pak Michael. Pria itu menatap cemas Jordie. “Jujur saja, aku tidak mau kehilanganmu, Jordie. Kamu memang masih belum memiliki bakat entertain tapi perilakumu bagus dan pekerja keras. Aku yakin kamu bisa lebih sukses dibanding Reynold.”Jordie terdiam. Ucapan Michael memang benar. Dia tahu Michael pasti memiliki pertimbangan besar dan akurat karena Michael sudah profesional sebagai seorang manajer artis. Meski begitu, dia tetap merasa tak nyaman jika harus berurusan dengan pengedar narkoba.“Aku juga bisa masuk penjara jika ketahuan bertemu dengan pengedar itu oleh polisi,” terang Jordie. “Lebih baik jika kita bekerja sama dengan polisi. Katakan saja kalau ada pengedar narkoba yang mengejar-ngejarku dan memaksaku membeli narkoba. Bukankah semua artis pasti mengalami hal seperti itu?”“Sebagian,” ujar Pak Michael. Dia tak mengelak perihal fakta tersebut. “Ada juga yang memang mencari tahu karena iseng dan ingin mencoba karena narkoba memang dianggap sebagai sarana cepat untuk mencapai tahap tertinggi kreativitas bagi para seniman.”“Katakanlah aku sedang dikejar-kejar. Kamu harus meyakinkan polisi melakukan itu,” tutur Jordie. “Aku akan membuat janji dengan pengedar itu malam ini. Kamu datanglah bersama polisi untuk menangkap mereka. Jika termuat media, nama Reynold pasti akan melejit karena sudah membantu polisi menangkap pengedar narkoba. Benar, kan?”Michael menoleh ke arah Hakim. Dia menepuk tangan Hakim yang malah sibuk menikmati makanan.Hakim tergeragap kaget. “Gimana, Pak?” tanya Hakim spontan.“Bujuk temanmu agar tidak melakukan hal aneh,” ujar Michael. Dia masih tak bisa menerima ide gila Jordie yang terlalu riskan itu.Hakim mengambil gelas minumnya dan meneguknya. Dia menatap Michael dengan pandangan pasrah. “Percayalah padaku, Pak. Semalam aku sudah membujuk Jordie,” tutur Hakim. “Dia sama sekali tidak peduli dengan ucapanku. Makanya, aku memanggilmu ke sini.”Michael menghela napas resah. Ternyata Jordie memang tak bisa dia kendalikan sepenuhnya meskipun kepribadian Jordie dia akui bagus.“Jordie, meski aku menyetujui ide gilamu, aku tidak bisa memberikanmu izin sekarang,” terang Michael. “Aku harus berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan itu butuh waktu satu minggu paling cepat. Ya, kamu tahu kan kalau aku harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan negatif dari masalah ini. Tapi, aku benar-benar berterima kasih padamu
“A-Aster?!” Jordie terperanjat kaget. Dia langsung bangun dari posisi rebahannya.Jordie mengucek-ucek matanya. Dia masih menatap kaget Aster yang ada di hadapannya itu.“Ka-kamu kenapa bisa masuk kamarku?” tanya Jordie gugup. Dia menoleh ke arah pintu dan sedikit bersyukur karena pintu kamar tertutup rapat.“Kenapa? Kan biasanya aku ke sini juga,” ujar Aster. Wajahnya sedikit cemberut. Dia merasa kesal karena Jordie tak tampak senang melihat kehadirannya. Padahal, dia senang sampai bangun sepagi mungkin agar bisa menemui Jordie.“Nanti kalau orang tuamu tahu gimana?” timpal Jordie dengan nada bicara sedikit tinggi.“Ya bagus dong,” ucap Aster santai. “Kamu kan udah kerja. Kalaupun ketahuan, kita tinggal nikah aja, Jordie. Gimana sih kamu? Kayak remaja aja deh. Gampang gugup.”Aster beringsut mendekati Jordie. Kedua tangannya membentang dan langsung memeluk erat tubuh Jordie.“Sayang, aku kangen kamu. Kangen banget!” Aster memejamkan mata dan menikmati momen berpelukan dengan Jordie.
Jordie langsung tersedak oleh minumnya. Dia terbatuk-batuk karena ucapan Aster yang terlalu blak-blakan.Galen pun berhenti makan. Dia menatap serius ke arah Jordie dan Aster. “Apa tadi? Kalian mau menikah? Memangnya kalian pacaran?” cerocos Galen dengan berondongan pertanyaan.Pandangan tajam Galen langsung mengarah ke Jordie. Tentu saja Jordie menyadari hal itu. Seiring dengan menegangnya suasana, dada Jordie berdegup kencang. Dia tak terbiasa dengan tatapan tajam dan galak Galen.“Jordie, jelaskan maksud ucapan Aster!” perintah Galen tegas.Jordie menghentikan batuknya. Memang tenggorokan dan hidungnya terasa tak nyaman sekarang karena tersedak. Namun, Galen sepertinya tak mau menolerir kondisi Jordie saat ini.“Ayah, jangan marahin Jordie dong,” pinta Aster. Dia takut jika Galen marah besar dan malah tidak merestui hubungannya dengan Jordie.“Aster, kamu diam saja. Ini urusan Ayah dengan Jordie,” timpal Galen dingin.“Tapi aku ikut melakukannya juga,” cicit Aster.Lirikan mata Gal
“Jordie, gimana?” tanya Aster saat melihat Jordie keluar dari ruang kerja Galen.Belum sempat Jordie menjawab, Galen dan Lisa sudah keluar dari kamar. Mereka menatap tegas ke arah Aster.“Aster, masuk kamar!” perintah Galen.“Ayah, aku kan mau ngobrol bentar sama Jordie. Masa’ nggak boleh sih?” protes Aster. Dia menatap sedih ke arah Galen dan Lisa. “Bunda, apa salahnya sih hubunganku sama Jordie? Kami kan sudah dewasa. Nggak ada salahnya, kan?”Aster merengek pada Galen dan Lisa. Bahkan, dia nyaris duduk bersimpuh di depan kedua orang tuanya.“Aster, jangan begini,” Jordie membantu Aster bangun dari duduknya. Dia tak tega melihat Aster merengek sedih seperti itu.“Ada apa, Ayah? Kok ribut dari dapur?” tegur Gala, kakak sulung Aster.Pria itu melangkah keluar bersama sang istri yang bernama Nana. Mereka sudah siap sarapan pagi bersama yang lainnya.“Aster sama Jordie kenapa lagi?” tanya Nana. “Ributnya kedengeran sampai dapur.”“Mereka pengen nikah!” celetuk Sakura. Dia memang diam-di
Galen menghela napas panjang. Dia memandangi Jordie yang tampak memohon padanya itu.“Ikut Ayah setelah kita sarapan,” ucap Galen. “Gala, kamu ikut juga. Kita pergi bertiga.”“Iya, Yah,” jawab Gala.Jordie ternganga. Dia tak tahu dan tak bisa meraba tentang rencana Galen nantinya.Meski begitu, Galen tampak tenang. Pria itu tak menunjukkan tanda-tanda ingin mengomentari perilaku Jordie dan langsung melanjutkan makan malamnya.Ekor mata Jordie mengedar ke sekitaran. Dia melihat satu per satu ekspresi semua orang di ruang makan.Sebagian besar tampak penasaran. Ekspresi mereka nyaris sama seperti ekspresi Jordie. Penasaran tapi dipendam dalam hati. Bahkan, ketika pandangan Jordie bertemu dengan pandangan Aster, Jordie bisa langsung menangkap kecemasan Aster.Tak pelak, selesai sarapan, Aster langsung mengejar Galen yang melangkah menuju kamar. Sudah sangat jelas bahwa Aster ingin menanyakan seperti apa rencana Galen itu.Jordie ingin ikut mengejar. Namun, Gala sudah menghalangi langkah
Jordie memejamkan mata sesaat. Dia membuka matanya perlahan dan memantapkan pilihannya. Dia tahu dia masih belum memiliki modal cukup untuk membahagiakan Aster. Namun, dia tak bisa membohongi perasaannya bahwa saat ini dia ingin mendapatkan restu dari Galen sebagai menantu.“Baik, Ayah,” jawab Jordie.Galen menghela napas panjang. Pria itu tahu akan ada saatnya bagi dirinya untuk melepaskan Jordie karena dari awal Jordie memang tak memiliki hubungan darah sama sekali dengan dirinya.“Aku terima keputusanmu,” ucap Galen. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan cincin yang tadi diberikan Jordie pada dirinya.“A-ayah menolakku?” Jordie bingung karena cincinnya malah dikembalikan oleh Galen.“Berikan sendiri pada Aster,” tutur Galen. “Dia pasti sangat senang karena mendapatkan cincin itu darimu. Aku bisa melihat binar cerah di kedua bola mata indahnya setiap kali menatapmu.”Hati Jordie lega usai mendengar ucapan Galen. Setidaknya kini dia sudah mengantongi izin dari Galen untuk bertunangan
Jordie mengajak Aster duduk dulu. Dia mengusap-usap punggung Aster dalam dekapannya sambil memikirkan alasan tepat untuk mengundur tanggal pernikahan.“Jordie, kata orang, kalau udah tunangan, tiga bulan kemudian harus segera menikah,” terang Aster. Dia berusaha merayu Jordie. “Kamu mau ya nikahin aku tiga bulan setelah menikah? Aku bisa kok jaga privacy kamu kalau misalnya kamu masih belum siap diketahui media sebagai suamiku. Aku juga nggak minta pesta besar. Yang penting hubungan kita sah acara secara hukum dan agama.”Hati Jordie teriris usai mendengarkan ucapan Aster. Awalnya dia mengira Aster hanya ingin tergesa-gesa karena ingin segera memamerkan hubungan mereka pada publik. Nyatanya, Aster masih mau menyimpan rahasia pernikahan mereka jika Jordie tak menyukai hal itu.Sayangnya, Jordie memang tak ada keberanian untuk menikah secepatnya. Dia dalam keadaan yang serba kesulitan dan penuh kebohongan. Dia tidak mau melibatkan Aster terlalu dalam di kehidupannya.“Jordie?” rengek As
“A-Aster, nggak dulu ya, Sayang,” ucap Jordie. Dia mencoba mencegah Aster dan membujuknya mengantar hingga Jakarta. “Kamu tahu kan kalau ayah galak banget?”Aster cemberut menatap Jordie. “Kan kita udah tunangan. Sebenarnya kalau kita sedikit nakal kan nggak masalah. Nanti biar kita bisa nikah secepatnya gitu,” Aster mendesak Jordie. Dia berusaha menggoda pria yang terkenal lurus hidupnya sejak kecil itu.Jordie menelan ludah. Sungguh dia sangat tahu bahwa Aster begitu cantik seperti bunga yang baru bermekaran. Digoda oleh Aster levelnya seperti digoda oleh bidadari dari kahyangan. Membuat lidah Jordie kelu dan kepalanya ingin sekali bergerak mengangguk menyetujui ucapan Aster.Tangan Jordie bergerak secepatnya memukul pipinya sendiri. Dia harus menyadarkan dirinya untuk tetap hidup lurus. Setidaknya dia harus bisa menjaga harga diri Aster. Jika tidak, dia adalah manusia sampah yang hanya bisa berbohong dan menipu saja.“Jordie!” Aster membeliakkan matanya hingga membulat. “Ngapain ka