“Wah, gila sih,” ujar Hakim tak percaya.
Pandangannya masih menatap nanar barang-barang tak terduga hasil bersih-bersih apartemen milik Reynold. Di antara semua kerapian apartemen itu, ada tempat rahasia bagi Reynold untuk menyembunyikan barang-barang haramnya secara rapi. Bahkan, masih ada sisa serbuk narkotika yang dibungkus rapi dan disimpan di dalam kotak mainan catur.“Kita harus buang ini secepatnya,” ucap Jordie. “Barang-barang seperti berbahaya dan akan menimbulkan kerusuhan kalau sampai ketahuan pihak berwajib.”Jujur saja Jordie cemas dengan kondisi apartemen ini. Dia saat ini sedang berperan menggantikan Reynold yang sudah mati. Sayangnya, track record Reynold memang lebih buruk dari yang Jordie kira.“Mau kita buang ke tempat sampah?” usul Hakim. “Buangnya pas malam hari aja.”“Jangan dibuang,” larang Jordie. “Sekarang kan canggih. Kalau ada yang nemu terus dibawa ke kantor polisi gimana? Sidik jari kita pasti bakal kena.”Jordie memandangi sisa koleksi barang haram Reynold yang berhasil dia temukan. Dia mengambil semuanya dan membawa ke kamar mandi.“Mau kamu apain, Die?” Hakim mengekori Jordie dari belakang. Pandangannya terus memperhatikan gerak-gerik Jordie.Tampak Jordie mengambil masker. Dia membagikan masker itu pada Hakim.“Pakai. Takutnya nanti kehirup,” suruh Jordie. Dia juga membagi sarung tangan plastik.Hakim mengangguk patuh. Dia mengikuti perintah Jordie karena merasa ucapan Jordie memang logis.Setelah itu, Jordie memulai aksinya. Dia mengambil plastik berisi bubuk narkotika itu. Dia membuang bubuk itu ke dalam toilet dan mencampurkannya dengan karbol pembersih toilet. Baru kemudian, dia menekan tombol flush.Ada beberapa cairan yang Jordie rasa untuk disuntikkan ke tubuh. Dia juga membuangnya di toilet dengan campuran karbol pembersih toilet.“Sekarang yang tersisa yang modelan dedaunan buat rokok ini, Die,” Hakim menunjukkan sisa koleksi Reynold. “Masa’ mau dibakar?”“Kalau dibakar, nanti kehirup sama kita. Malah kita jadi pecandu nanti,” balas Jordie.“Iya sih. Terus mau dibuang ke toilet juga?” timpal Hakim. “Emang sih buang di toilet paling aman. Soalnya bakal kecampur sama kotoran di septitank.”Jordie mengangguk. “Kita remas-remas dulu sampai bentuk terkecil biar nggak bikin saluran pipa menuju septitank-nya mampet,” terang Jordie.Mereka berdua pun bekerja sama untuk memusnahkan semuanya. Kini sisanya hanyalah plastik-plastik yang menjadi wadahnya.“Kita cuci semua ini. Nanti tengah malam aku buang,” ucap Jordie.“Kamu sendirian?” Hakim menatap cemas Jordie.“Ah, nggak masalah. Kan cuma bungkus. Kita cuci pakai karbol,” Jordie menyenggol lengan Hakim. “Sekalian aku jalan-jalan cari makanan habis itu.”“Aku ikutan deh, Die. Nggak enak kalau kamu doang yang pergi,” balas Hakim.“Kamu di sini aja. Jaga-jaga kalau ada Pak Michael. Siapa tahu kan sidak malam,” terang Jordie.Hakim menggelengkan kepala. “Gimanapun aku ini manajermu. Kita lakukan semuanya bersama-sama,” ucap Hakim penuh keyakinan. Bagaimanapun, dirinya bukanlah siapa-siapa jika tanpa Jordie.Kepala Jordie mengangguk. Dia menyetujui ucapan Hakim dan membiarkan Hakim menemaninya untuk membuang sampah pembungkus barang haram itu.Sekitaran pukul 10 malam, Jordie dan Hakim pergi keluar. Mereka menggunakan sweater ber-hoodie dan melangkah santai masuk ke dalam lift.Mereka tak banyak bicara. Paling sesekali Hakim berceloteh tentang makanan pinggiran yang ingin dia beli.“Biasanya deket supermarket situ ada orang jualan nasgor enak banget,” celoteh Hakim.Jordie mengangguk saja. Dia hanya menimpali sesekali saja karena dia masih membalas chat dari Aster. Tentu saja dia sedang berusaha menenangkan Aster yang masih agak marah karena Jordie menolak menginap di vila bersama.Pintu lift terbuka. Jordie dan Hakim melangkah keluar lift dan bergerak menuju tempat pembuangan sampah. Di sanalah, mereka memutuskan membuang semua barang-barang Reynold yang bisa menimbulkan citra negatif untuk Jordie.“Ah, akhirnya selesai juga bersih-bersihnya,” Hakim merentangkan kedua tangannya ke langit-langit.“Ayo cari nasgor. Habis itu kita makan di apartemen saja,” ajak Jordie cepat-cepat.Dia sudah melangkah menuju pintu keluar tempat pembuangan sampah. Namun, langkahnya terhalangi oleh dua orang pria bertubuh besar dan menggunakan masker mulut berwarna biru.“Maaf, saya mau lewat,” ujar Jordie.“Kita harus bicara,” balas salah satu dari pria itu.Jordie bingung. Dia mendongak menatap ke arah pria itu. “Maaf, apa kita saling mengenal?” tanya Jordie.“Hei, ada apa? Memangnya temanku ada masalah dengan kalian?” imbuh Hakim. Dia ikut bersuara karena sepertinya dua orang pria di hadapan mereka saat ini sangatlah berbahaya.“Kamu tidak ingat seharusnya seminggu lalu, kamu membayarku,” ucap pria itu.“Bayar? Buat apa?” balas Jordie dengan polosnya. Jordie masih berpikir bahwa dirinya adalah seorang Jordie, bukan seorang Reynold.“Rey, tiap bulan biasanya lancar transaksi kita. Kamu tidak ingat itu?” timpal pria satunya yang berkepala gundul.Seketika itu, Jordie menyadari bahwa dua pria menyeramkan itu adalah kenalan Reynold. Namun, siapa? Pak Michael tidak pernah menceritakan perihal dua orang pria itu pada Jordie.“Ah, jangan-jangan kartu ATM-mu disita manajermu lagi ya?” tebak pria berkepala gundul itu. “Pantas saja kamu nggak ada kabar. Padahal, barang pesananmu sudah siap.”“Pesanan yang mana?” tanya Jordie. Dia ingin tahu pesanan apa yang dimaksud oleh dua orang pria itu.“LSD,” jawab pria gundul itu.Jordie terdiam. Dia memiliki firasat bahwa itu adalah jenis narkotika yang baru saja dia bersihkan dari seluruh sudut ruangan apartemen Reynold.“Gimana? Ambil nggak?” balas pria gundul itu. Dia mulai menyalakan rokoknya dan mengepulkan asap ke arah Jordie. “Katamu kamu butuh buat inspirasi album terbarumu setelah cuti, kan?”Pria gundul itu melirik ke arah Hakim. “Siapa dia? Aman, kan?” tanya pria gundul itu penuh curiga. “Nggak biasanya kamu bawa cecunguk beginian kalau ketemuan denganku.”“Aman. Dia wakilnya Michael. Orangku,” jawab Jordie. Dia melangkah maju ke depan Hakim. Dia bisa merasakan tubuh Hakim sedikit gemetar. Pastilah bertemu dengan penyalur narkoba seperti ini menjadi hal menakutkan untuk Hakim.“Jadi, bagaimana? Ambil?” tanya pria gundul itu lagi. “Waktuku tidak banyak.”“Next time,” balas Jordie. Dia mencoba mengulur waktu dengan sempurna. “Uangku dan kartuku disita Michael.”Jordie mencoba santai dan bersikap seperti Reynold. Dia memang belum pernah bertemu dengan Reynold. Namun, dia bisa membayangkan seperti apa sosok Reynold saat slengekan dan berhadapan dengan orang-orang berbahaya seperti ini.Pria gundul itu meludah tepat di depan Jordie. “Argh! Tiga kali lipat harga berikutnya,” pungkas pria gundul itu. “Kalau mangkir lagi, aku nggak bakal kasih barang ke kamu lagi.”Rokok yang masih sisa setengah itu dibuang. Dia mengepulkan asap rokok tepat di wajah Jordie.Jordie langsung mundur dan menahan napas. Dia takut jika asap itu mengandung sesuatu berbahan narkotika.“Hubungi aku saja untuk pertemuan berikutnya,” balas Jordie. “Ada Michael di tempatku sekarang.”Jordie menarik Hakim. Dia melangkah duluan membelah blokade dari dua pria menyeramkan itu.Pikiran Jordie kosong sekarang. Dia hanya berjalan cepat dan membawa Hakim masuk kembali ke lift apartemen. Lantas, dia buru-buru menekan tombol lift menuju lantai di mana apartemennya berada.“Hah! Gila!” Jordie langsung lunglai lemas saat lift sudah bergerak naik ke atas.“Beneran ya artis ini,” decak Hakim. Dia sama lemasnya seperti Jordie. Bahkan, saking lemasnya, dia tak bisa bicara apapun.“Mau gimana lagi. Memang gitu kelakuannya,” balas Jordie. “Argh, aku mulai menyesali keputusanku. Ini jauh lebih berat dibanding menerbangkan sebuah pesawat.”Jordie dan Hakim sama-sama terdiam. Pikiran mereka sama-sama kalut sekarang.Pintu lift terbuka. Jordie melangkah duluan keluar dan Hakim mengekor dari belakang. Nafsu makan mereka sudah hilang dan mereka hanya ingin segera masuk ke dalam kamar agar bisa berbaring santai.Nyatanya, permasalahan sepertinya belum bisa terselesaikan. Jordie melihat ada dua orang polisi intel tengah menanti di depan pintu apartemennya.“Anda Pak Reynold. Benar begitu?” sapa salah satu polisi intel.“Iya, benar,” jawab Jordie.Ekor mata Jordie melirik ke arah saku celana pria di depannya. Dia melihat ada pistol listrik menyembul dari sana.“Ada perlu apa ya, Pak?” tanya Jordie kemudian.Dia menunjukkan wajah polos dengan senyuman ringan. Meski tahu bahwa dirinya dicurigai, Jordie mencoba tetap tenang. Apalagi, dia tak melakukan hal buruk apapun.“Tidak. Kami hanya ingin melakukan patroli keamanan,” terang si polisi intel itu. “Ada kabar santer bahwa daerah ini sering terjadi pembobolan pintu.”“Oh, saya malah baru tahu,” ujar Jordie. Dia melangkah mendekati pintu apartemennya dan membukanya. “Mari, Pak. Silakan masuk.”Jordie sengaja bersikap ramah pada intel itu. Semuanya dia lakukan dengan tujuan agar dirinya tak dicurigai lebih dalam.Si intel akhirnya ikut masuk ke dalam. Mereka duduk di sofa ruang tamu sesuai dengan ucapan Jordie.“Mau minum apa, Pak?” tanya Jordie. “Biar asisten manajer saya yang menyiapkan.”D
Michael menoleh ke arah Hakim. Dia menepuk tangan Hakim yang malah sibuk menikmati makanan.Hakim tergeragap kaget. “Gimana, Pak?” tanya Hakim spontan.“Bujuk temanmu agar tidak melakukan hal aneh,” ujar Michael. Dia masih tak bisa menerima ide gila Jordie yang terlalu riskan itu.Hakim mengambil gelas minumnya dan meneguknya. Dia menatap Michael dengan pandangan pasrah. “Percayalah padaku, Pak. Semalam aku sudah membujuk Jordie,” tutur Hakim. “Dia sama sekali tidak peduli dengan ucapanku. Makanya, aku memanggilmu ke sini.”Michael menghela napas resah. Ternyata Jordie memang tak bisa dia kendalikan sepenuhnya meskipun kepribadian Jordie dia akui bagus.“Jordie, meski aku menyetujui ide gilamu, aku tidak bisa memberikanmu izin sekarang,” terang Michael. “Aku harus berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan itu butuh waktu satu minggu paling cepat. Ya, kamu tahu kan kalau aku harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan negatif dari masalah ini. Tapi, aku benar-benar berterima kasih padamu
“A-Aster?!” Jordie terperanjat kaget. Dia langsung bangun dari posisi rebahannya.Jordie mengucek-ucek matanya. Dia masih menatap kaget Aster yang ada di hadapannya itu.“Ka-kamu kenapa bisa masuk kamarku?” tanya Jordie gugup. Dia menoleh ke arah pintu dan sedikit bersyukur karena pintu kamar tertutup rapat.“Kenapa? Kan biasanya aku ke sini juga,” ujar Aster. Wajahnya sedikit cemberut. Dia merasa kesal karena Jordie tak tampak senang melihat kehadirannya. Padahal, dia senang sampai bangun sepagi mungkin agar bisa menemui Jordie.“Nanti kalau orang tuamu tahu gimana?” timpal Jordie dengan nada bicara sedikit tinggi.“Ya bagus dong,” ucap Aster santai. “Kamu kan udah kerja. Kalaupun ketahuan, kita tinggal nikah aja, Jordie. Gimana sih kamu? Kayak remaja aja deh. Gampang gugup.”Aster beringsut mendekati Jordie. Kedua tangannya membentang dan langsung memeluk erat tubuh Jordie.“Sayang, aku kangen kamu. Kangen banget!” Aster memejamkan mata dan menikmati momen berpelukan dengan Jordie.
Jordie langsung tersedak oleh minumnya. Dia terbatuk-batuk karena ucapan Aster yang terlalu blak-blakan.Galen pun berhenti makan. Dia menatap serius ke arah Jordie dan Aster. “Apa tadi? Kalian mau menikah? Memangnya kalian pacaran?” cerocos Galen dengan berondongan pertanyaan.Pandangan tajam Galen langsung mengarah ke Jordie. Tentu saja Jordie menyadari hal itu. Seiring dengan menegangnya suasana, dada Jordie berdegup kencang. Dia tak terbiasa dengan tatapan tajam dan galak Galen.“Jordie, jelaskan maksud ucapan Aster!” perintah Galen tegas.Jordie menghentikan batuknya. Memang tenggorokan dan hidungnya terasa tak nyaman sekarang karena tersedak. Namun, Galen sepertinya tak mau menolerir kondisi Jordie saat ini.“Ayah, jangan marahin Jordie dong,” pinta Aster. Dia takut jika Galen marah besar dan malah tidak merestui hubungannya dengan Jordie.“Aster, kamu diam saja. Ini urusan Ayah dengan Jordie,” timpal Galen dingin.“Tapi aku ikut melakukannya juga,” cicit Aster.Lirikan mata Gal
“Jordie, gimana?” tanya Aster saat melihat Jordie keluar dari ruang kerja Galen.Belum sempat Jordie menjawab, Galen dan Lisa sudah keluar dari kamar. Mereka menatap tegas ke arah Aster.“Aster, masuk kamar!” perintah Galen.“Ayah, aku kan mau ngobrol bentar sama Jordie. Masa’ nggak boleh sih?” protes Aster. Dia menatap sedih ke arah Galen dan Lisa. “Bunda, apa salahnya sih hubunganku sama Jordie? Kami kan sudah dewasa. Nggak ada salahnya, kan?”Aster merengek pada Galen dan Lisa. Bahkan, dia nyaris duduk bersimpuh di depan kedua orang tuanya.“Aster, jangan begini,” Jordie membantu Aster bangun dari duduknya. Dia tak tega melihat Aster merengek sedih seperti itu.“Ada apa, Ayah? Kok ribut dari dapur?” tegur Gala, kakak sulung Aster.Pria itu melangkah keluar bersama sang istri yang bernama Nana. Mereka sudah siap sarapan pagi bersama yang lainnya.“Aster sama Jordie kenapa lagi?” tanya Nana. “Ributnya kedengeran sampai dapur.”“Mereka pengen nikah!” celetuk Sakura. Dia memang diam-di
Galen menghela napas panjang. Dia memandangi Jordie yang tampak memohon padanya itu.“Ikut Ayah setelah kita sarapan,” ucap Galen. “Gala, kamu ikut juga. Kita pergi bertiga.”“Iya, Yah,” jawab Gala.Jordie ternganga. Dia tak tahu dan tak bisa meraba tentang rencana Galen nantinya.Meski begitu, Galen tampak tenang. Pria itu tak menunjukkan tanda-tanda ingin mengomentari perilaku Jordie dan langsung melanjutkan makan malamnya.Ekor mata Jordie mengedar ke sekitaran. Dia melihat satu per satu ekspresi semua orang di ruang makan.Sebagian besar tampak penasaran. Ekspresi mereka nyaris sama seperti ekspresi Jordie. Penasaran tapi dipendam dalam hati. Bahkan, ketika pandangan Jordie bertemu dengan pandangan Aster, Jordie bisa langsung menangkap kecemasan Aster.Tak pelak, selesai sarapan, Aster langsung mengejar Galen yang melangkah menuju kamar. Sudah sangat jelas bahwa Aster ingin menanyakan seperti apa rencana Galen itu.Jordie ingin ikut mengejar. Namun, Gala sudah menghalangi langkah
Jordie memejamkan mata sesaat. Dia membuka matanya perlahan dan memantapkan pilihannya. Dia tahu dia masih belum memiliki modal cukup untuk membahagiakan Aster. Namun, dia tak bisa membohongi perasaannya bahwa saat ini dia ingin mendapatkan restu dari Galen sebagai menantu.“Baik, Ayah,” jawab Jordie.Galen menghela napas panjang. Pria itu tahu akan ada saatnya bagi dirinya untuk melepaskan Jordie karena dari awal Jordie memang tak memiliki hubungan darah sama sekali dengan dirinya.“Aku terima keputusanmu,” ucap Galen. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan cincin yang tadi diberikan Jordie pada dirinya.“A-ayah menolakku?” Jordie bingung karena cincinnya malah dikembalikan oleh Galen.“Berikan sendiri pada Aster,” tutur Galen. “Dia pasti sangat senang karena mendapatkan cincin itu darimu. Aku bisa melihat binar cerah di kedua bola mata indahnya setiap kali menatapmu.”Hati Jordie lega usai mendengar ucapan Galen. Setidaknya kini dia sudah mengantongi izin dari Galen untuk bertunangan
Jordie mengajak Aster duduk dulu. Dia mengusap-usap punggung Aster dalam dekapannya sambil memikirkan alasan tepat untuk mengundur tanggal pernikahan.“Jordie, kata orang, kalau udah tunangan, tiga bulan kemudian harus segera menikah,” terang Aster. Dia berusaha merayu Jordie. “Kamu mau ya nikahin aku tiga bulan setelah menikah? Aku bisa kok jaga privacy kamu kalau misalnya kamu masih belum siap diketahui media sebagai suamiku. Aku juga nggak minta pesta besar. Yang penting hubungan kita sah acara secara hukum dan agama.”Hati Jordie teriris usai mendengarkan ucapan Aster. Awalnya dia mengira Aster hanya ingin tergesa-gesa karena ingin segera memamerkan hubungan mereka pada publik. Nyatanya, Aster masih mau menyimpan rahasia pernikahan mereka jika Jordie tak menyukai hal itu.Sayangnya, Jordie memang tak ada keberanian untuk menikah secepatnya. Dia dalam keadaan yang serba kesulitan dan penuh kebohongan. Dia tidak mau melibatkan Aster terlalu dalam di kehidupannya.“Jordie?” rengek As