---
Aku, Naila Rahma, siswi kelas XI IPA 2, sedang merasa seolah dunia berkonspirasi melawan aku. Semua dimulai pada pagi yang cerah ini, ketika aku duduk di kantin, memegang kotak makan siang yang rasanya lebih hambar dari biasanya. Sepertinya aku bisa merasakan awan gelap mengikutiku kemanapun aku pergi—atau mungkin itu cuma akibat kurang tidur. Hari itu, kantin sekolah penuh dengan obrolan dan tawa. Namun, tiba-tiba, suara Alif, cowok yang sudah kusukai sejak kelas X, memecah keramaian. Suaranya yang biasa terdengar rendah dan santai, kini terasa seperti guntur yang mengguncang hati. “Iya, aku resmi jadian sama dia,” kata Alif, sambil menggenggam tangan Rani, si ketua ekskul tari yang terkenal cantik dan ramah itu. Mereka berdiri di tengah kantin, seolah dunia milik mereka berdua. Aku menelan ludah dan mencoba tetap terlihat santai. Padahal, hatiku rasanya seperti dihantam truk sampah. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menatap mereka berdua dari kejauhan dengan ekspresi datar, padahal di dalam hati aku sedang merenung seperti orang yang baru saja disia-siakan. Hana, sahabatku yang selalu tahu apa yang aku rasakan, sepertinya juga tahu apa yang sedang terjadi. Dia tiba-tiba muncul di sampingku, dengan wajah yang lebih dramatis dari biasanya. “Jadian mereka, Nail!” bisiknya sambil menepuk bahuku dengan keras. “Dengar itu! kamu masih suka dia, kan?” Aku hanya mengangguk lemah. Kecewa, ya. Tapi aku tidak mau terlihat terlalu cengeng. Jadi, aku coba membuat wajah seolah tidak terpengaruh. Padahal, dalam hatiku, ada konser rock yang keras banget, bahkan lebih keras dari lagu-lagu metal yang pernah aku dengar. Hana menyelidikiku dengan tatapan prihatin yang lebih mirip tatapan seorang ibu yang sedang mengawasi anaknya yang baru saja gagal ujian matematika. “Ya ampun, kamu harus move on, sih,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Udah deh, jangan jadi drama queen lagi. Ini bukan film India!” Aku menatapnya dengan bingung. “Emangnya aku siapa, Cinta Laura?” balasku. Hana menghela napas panjang dan menatapku dengan tatapan yang, sejujurnya, lebih membuatku merasa kesal daripada kasihan. “Nail, serius deh. Kamu harus move on. Cinta itu enggak selalu harus menang. Kadang, ya, kamu cuma butuh waktu untuk menerima kenyataan.” Aku tertawa pahit. “Oh, jadi aku harus nunggu sampai waktu mengubah kenyataan, gitu?” tanyaku sambil menggigit sendok, seolah sendok itu bisa menyembuhkan hatiku yang patah. Dia menatapku dengan serius, meski matanya masih ada senyum geli. “Kamu tahu, Nail, kalau hidup ini enggak akan berhenti cuma karena kamu gagal move on dari cowok. Jangan-jangan Alif itu cuma main-main. Lihat aja, dia aja baru ngakuin kalau dia suka sama Rani sekarang. Siapa tahu besok dia bosen, kan?” Aku mengerutkan dahi. “Kalau dia bosen, berarti aku masih bisa jadi pilihan, dong?” tanyaku penuh harapan. Hana hampir terjatuh dari kursinya mendengar jawabanku yang polos itu. “Serius deh, Nail! Kamu tuh enggak bisa nungguin cowok yang kayak gitu. Itu namanya menunggu nasi dingin. Masih panas aja udah enggak enak, apalagi dingin.” Aku merengut. “Gak lucu, Hana. Itu terlalu dalam buat aku.” Hana menepuk bahuku dengan penuh kasih sayang, lalu tertawa. “Yaudah, deh. Tapi aku nggak mau denger cerita kamu tentang Alif lagi, ya. Move on, dan temukan hal-hal seru lainnya. Lagian, aku tahu ada yang lebih baik dari Alif. Banyak, kok!” Aku memutar mataku, merasa seperti ada yang menendang perutku. “Jangan ngarep deh, Hana. Aku ini bukan cewek yang langsung bisa nyari pengganti, kayak kamu yang gampang banget jatuh cinta sama cowok baru.” Hana hanya mengangkat bahu dan mengunyah camilan. “Gak masalah, kok. Aku cuma mau kamu sadar kalau hidup enggak cuma tentang dia. Percayalah, kamu lebih dari sekedar 'penonton' dalam kisah cinta mereka.” Aku menghela napas, mencoba menerima kata-katanya. Meskipun memang benar, rasanya sulit untuk mengabaikan kenyataan bahwa orang yang aku suka sekarang sedang menggenggam tangan orang lain di depanku, seperti menunjukkan kepada dunia betapa bahagianya mereka. Tapi, aku juga tahu satu hal: untuk move on, aku harus memulai langkah pertama. Hanya saja, langkah pertama itu kadang terasa berat, seperti melangkah di atas pasir yang basah. Dan pada akhirnya, aku hanya bisa berharap waktu akan membantu aku menemukan cara untuk melepaskan perasaan ini. ------Setelah pensi yang spektakuler, hubungan kami semakin solid. Meskipun Reyhan tetap saja dengan segala kekonyolannya, aku mulai belajar untuk lebih percaya padanya. Aku tahu bahwa dia selalu berusaha menunjukkan bahwa aku adalah prioritas utamanya, meski kadang caranya agak… unik.Salah satu contohnya adalah ketika dia memutuskan untuk memasak makan malam romantis di rumahku. "Nail, kamu tinggal duduk manis aja. Malam ini aku yang masak!" katanya dengan penuh semangat.Aku mengangkat alis, agak skeptis. "Kamu? Masak? Yang benar aja, Rey."Dia menepuk dadanya dengan percaya diri. "Tenang, Chef Reyhan di sini siap melayani."Aku memutuskan untuk membiarkannya mencoba, meski aku sudah menyiapkan nomor darurat tukang makanan favorit, just in case. Tak lama kemudian, aroma masakan mulai memenuhi rumah, dan aku harus mengakui, baunya cukup menggoda.Tapi, begitu aku masuk ke dapur, aku langsung tahu bahwa ekspektasi harus diturunkan. Dapur berantakan seperti habis dihantam tornado. Tepun
---Hari H pensi akhirnya tiba, dan suasana sekolah berubah menjadi lebih hidup dari biasanya. Setiap sudut dihiasi dengan lampu-lampu berwarna dan poster-poster kreatif. Aku, sebagai panitia, sudah sibuk sejak pagi, memastikan semua berjalan sesuai rencana."Mana Reyhan? Dia udah siap belum?" tanyaku pada Hana, yang juga sibuk membantu di belakang panggung."Tenang aja, Nail. Dia udah di sana, lagi cek sound," jawab Hana sambil tersenyum menggoda. "Gimana, nervous ya lihat pacar sendiri tampil?"Aku mengangkat bahu, meski sebenarnya aku merasa deg-degan. "Bukan nervous, lebih ke penasaran. Dia janji mau nyanyiin lagu spesial buat aku."Hana tertawa kecil. "Ya ampun, romantis banget sih. Jangan sampai kamu nangis di depan panggung, ya."Aku menepis leluconnya dengan senyum kecil, lalu melanjutkan pekerjaanku. Setelah beberapa saat, terdengar suara panggilan untuk Reyhan dan band-nya untuk naik ke panggung. Aku segera bergegas ke depan, mencari tempat terbaik untuk menonton.Reyhan mun
---Malam itu, aku memutuskan untuk memeriksa sendiri apa yang sebenarnya terjadi di studio tempat Reyhan dan band-nya berlatih. Gosip yang beredar membuat hatiku tidak tenang, dan meskipun Reyhan sudah meyakinkan, aku butuh bukti nyata.Saat aku tiba di studio, aku melihat mereka sedang berlatih. Suara gitar, drum, dan vokal Reyhan mengisi ruangan, menciptakan suasana yang penuh semangat. Tapi perhatianku langsung tertuju pada Reyhan yang sedang bercanda dengan seorang cewek di dekatnya. Mereka tampak akrab, dan hatiku langsung terasa berat."Reyhan," panggilku, mencoba menahan nada suaraku agar tetap tenang.Dia menoleh, terkejut melihatku. "Nail? Kamu kok di sini?""Aku cuma mau lihat latihanmu," jawabku sambil melangkah mendekat, lalu melirik cewek itu. "Siapa dia?"Cewek itu langsung menjawab dengan ramah. "Oh, aku Dinda. Gitaris band ini."Reyhan segera menjelaskan. "Dinda cuma teman latihan, Nail. Nggak ada apa-apa, aku janji."Aku mengangguk pelan, meskipun perasaan cemas masi
---Beberapa hari menjelang pensi, suasana sekolah semakin ramai. Tapi, bukan cuma karena persiapan acara yang kian mendekati puncaknya, melainkan juga karena gosip baru yang beredar. Kali ini, desas-desus yang beredar bukan main hebohnya—tentang Reyhan."Eh, lo tahu nggak?" kata salah satu teman panitia dengan nada berbisik tapi jelas terdengar. "Reyhan katanya sering jalan bareng sama Dinda, anak XII IPS 1. Mereka keliatan mesra banget pas latihan."Aku yang sedang sibuk mengatur daftar pengisi acara langsung menghentikan pekerjaanku. Mendengar nama Reyhan dan Dinda disebut dalam satu kalimat membuat jantungku berdegup lebih cepat. "Apa? Siapa Dinda?" tanyaku, mencoba terdengar santai meski dalam hati sudah bergolak."Ya, itu. Anak band juga. Katanya mereka sering latihan bareng, dan... ya gitu deh, keliatan dekat banget," lanjutnya sambil memberikan tatapan penuh arti.Aku mencoba menelan rasa kesal yang mulai merayap. Siapa Dinda? Kenapa Reyhan nggak pernah cerita soal dia? Apa in
---Hubungan kami yang akhirnya stabil mulai diuji lagi, kali ini bukan oleh orang ketiga, tapi oleh situasi yang benar-benar baru: persiapan pentas seni (pensi) sekolah. Aku terlibat sebagai anggota panitia, dan tanggung jawabku bukan main banyaknya. Mulai dari dekorasi panggung yang harus megah, daftar pengisi acara, hingga memastikan semuanya berjalan lancar pada hari H.Di sisi lain, Reyhan tergabung dalam band sekolah yang akan tampil di acara puncak. Jadwal latihannya yang padat membuat waktu kami bersama menjadi semakin terbatas. Ini jelas menjadi tantangan baru bagi kami berdua.Suatu sore, setelah rapat panitia yang melelahkan, Reyhan menghampiriku di kantin. "Nail, aku nggak bisa nemenin kamu pulang hari ini. Ada latihan band," katanya sambil menatapku dengan sedikit rasa bersalah.Aku mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa kecewaku. "Nggak apa-apa, Rey. Semangat latihannya, ya."Dia tersenyum, lalu mengacak rambutku dengan lembut. "Thanks, Sayang. Aku janji, pas hari
---Sejak perbincangan terakhir dengan Reyhan, aku berusaha untuk benar-benar mempercayainya. Aku tahu, rasa cemas dan ragu tidak akan membawa kami ke mana-mana. Jadi, aku mulai belajar untuk melepaskan kekhawatiran itu dan fokus pada apa yang benar-benar penting: kebahagiaan kami berdua.Hari-hari berlalu dengan lebih ringan. Reyhan tetap seperti biasa, selalu ada dengan senyumnya yang menenangkan, dan aku mulai merasakan perubahan dalam diriku. Tidak ada lagi malam-malam penuh kecemasan atau telepon mendadak karena rasa curiga yang tidak perlu. Aku merasa lebih bebas, seperti beban besar telah terangkat dari dadaku.Namun, bukan berarti aku sepenuhnya berubah menjadi malaikat sabar. Ada saat-saat di mana kekesalanku masih muncul, terutama ketika Reyhan melakukan hal-hal kecil yang, meskipun tidak signifikan, tetap saja mengganggu. Seperti ketika dia lupa membawa payung saat hujan deras, dan aku harus menjemputnya di sekolah dengan basah kuyup."Rey, serius deh. Kamu itu kan tahu bak