KEMBANG DESA YANG TERNODA
PART 5
Saat sudah menginjakkan kaki di bagian dalam gua, tiba-tiba beterbanganlah segerombolan kelelawar menabrak muka mereka. Mungkin hewan itu kaget karena sarang mereka tiba-tiba diterpa cahaya obor. Siyon dan teman-temannya lari kocar kacir mencari jalan ke luar.
Bagai ditalu-talu jantung Nek Kamsiah mendengar teriakan mereka, seperti sudah di balik telinganya. Apalagi cucunya sempat kaget dan menggeliat.
Menyadari Siyon dan teman-temannya berteriak karena ketakutan, sedikit tenang hati Nek Kamsiah. Hal itulah yang membuatnya merasa yakin gua itu aman dijadikan tempat persembunyian. Karena butuh nyali besar untuk masuk ke dalam sana.
Dalam ketenangan itu, tiba-tiba Nek Kamsiah tertegun. Ia merasakan ada sesuatu yang bergerak menjalar dan mendesis di kaki telanjangnya. Bercucuran keringat dinginnya menahan takut. Saat itu ia yakin, bergerak sedikit saja bisa membahayakan nyawa mereka.
Lama ia rasakan makhluk itu melintas di kakinya. Selama itu pula ia menahan napas dan memejamkan mata. Cukup besar makhluk itu, bisa ia rasakan dari berat dan lebar yang menghimpit kakinya.
Tiba-tiba makhluk itu berputar melilit kedua tungkai kaki Nek Kamsiah. Lilitannya semakin kuat saat seluruh tubuh ringkih Nek Kamsiah bergetar hebat menahan takut. “Ya Tuhan, jika Engkau masih mengizinkanku dan bayi ini selamat, jauhkanlah kami dari makhlukmu ini. Tapi jika memang ini adalah akhir kehidupan kami, berilah kami kematian yang baik, batin Nek Kamsiah sembari berusaha menghilangkan rasa takutnya.
Ternyata Allah belum berkehendak mengambil nyawanya. Tiba-tiba lilitan makhluk itu melemah, hingga akhirnya benar-benar luruh di bawah kedua kaki Nek Kamsiah. Makhluk itu lalu terdengar mendesis menuju mulut gua.
Dalam ketakutan, ada hal yang masih disyukuri Nek Kamsiah, bahwa cucunya tidak merengek sedikit pun. seandainya bayi itu merengek sedikit saja, habislah mereka di dalam sana. Mungkin karena ia merasa seperti dalam ayunan karena terus dalam gendongan. Selain itu, bayi usia satu minggu memang lebih banyak waktu tidurnya.
“Ayo awak pergi dari sini, awak cari ke tempat lain! Lagipula, indak mungkin inyiak tu berani masuk ke dalam,” usul salah seorang di antara mereka yang sudah merasa tidak nyaman lagi berada di sekitar gua. Mereka kemudian meninggalkan tempat itu, lalu berpencar mencari ke bagian hutan lain.
Nek Kamsiah luruh dalam tangis sambil menenggelamkan wajah di tubuh kecil cucunya. Terpikir olehnya bagaimana nasib bayi itu ke depan. Sedangkan usianya sudah senja, tidak mungkin bisa terus melindungi sang cucu. Tuhan, berikanlah aku usia panjang agar bisa terus menjaga bayi ini, doanya dalam hati.
Tiba-tiba, Mata Nek Kamsiah tertuju pada sebuah benda yang tampak berkilau di dekat kakinya. Ia ambil dan raba benda pipih dan panjang itu. Ujungnya yang terasa cukup tajam seperti pisau membuat Nek Kamsiah menyimpan benda itu di balik bajunya, satu-satunya senjata yang akan ia gunakan saat nanti dalam posisi sedang terpojok.
Dalam hening, tiba-tiba terdengar suara seperti dengkuran teramat keras yang berasal dari ujung gua. Terkesiap wanita itu. Secepat kilat, Nek Kamsiah berlari ke mulut gua. Ia akan melanjutkan perjalanan, mencari perlindungan ke nagari sebelah. Hutan ini terlalu berbahaya bagi mereka. Dirabanya pipi cucunya yang terlihat pucat di remang-remangnya malam. Ternyata suhu badan bayi itu lebih tinggi dari biasanya. Bayi ini harus segera menyusu, batinnya.
Ia tepis segala ketakutan di hati terhadap Nasir dan teman-temannya. Lagipula, ini sudah dini hari. Kemungkinan mereka sudah kembali ke kampung. Suara-suara teriakan memanggil namanya juga tidak lagi terdengar. Saat ini, keinginannya adalah bagaimana bisa segera sampai ke nagari sebelah. Ia yakin, pastilah ada orang baik hati yang bersedia menyusukan cucunya di sana.
Dengan tertatih, Nek Kamsiah melanjutkan perjalanan, hanya dengan berbekal rasa kasih terhadap cucunya. Nagari sebelah─Nagari Koto─tidak jauh lagi. ia yakin, menjelang subuh, sudah bisa menginjakkan kaki di sana, nagari yang terkenal dengan masyarakatnya yang ramah dan baik hati. Ia berharap, masyarakat di sana bisa menerimanya dengan tangan terbuka, terlebih, di sana ada adik laki-lakinya yang bisa menjadi tempat mengadunya.
Setelah lama berjalan, akhirnya berbahagialah ia saat melihat gonjong-gonjong (puncak-puncak) rumah gadang dari kejauhan, pertanda perjalanan sudah semakin dekat dengan perbatasan hutan Nagari Koto. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, beberapa meter dari perbatasan nagari, Nasir dan empat orang temannya mondar-mandir menunggu kedatangan Nek Kamsiah. walau dalam suasana remang-remang, tetapi terlihat jelas dari perawakannya bahwa itu adalah Nasir. Laki-laki kurus tinggi dan sedikit bungkuk. Sepertinya mereka tau tujuan perjalanan Nek Kamsiah, hingga ia menempatkan orang-orang suruhannya di setiap sudut jalan yang kemungkinan akan dilalui Nek Kamsiah.
Tak mau gegabah, Nek Kamsiah bergerak pelan ke balik rumput-rumput di pinggir jalan setapak. Ia mengintip dari balik rumput, menunggu orang-orang itu lengah.
“Dimanalah wanita tua itu bersembunyi. Apa mungkin dia sudah mati dimakan harimau?” ucap Nasir sembari mondar-mandir di perbatasan antara hutan dan Nagari Koto.
“Sepertinya begitu, Da. Indak mungkin seorang wanita tua yang sudah lemah dan membawa seorang bayi pula bisa selamat di hutan tu malam-malam begini. Apalagi jalannya licin. Kalau ndak dimakan binatang buas, mungkin inyiak tu sudah jatuh kejurang, Da. Hoaammm,” balas seorang teman Nasir yang sudah diserang rasa mengantuk. Tidak sedetik pun mereka memejamkan mata malam ini demi mencari Nek Kamsiah. .
Mereka terus mondar-mandir di perbatasan itu. Saat Nasir dan teman-temannya berdiri dengan posisi memunggungi Nek Kamsiah, Wanita tua itu berlari, masuk lagi ke dalam hutan.
Jalanan berbatu membuat kakinya tersandung. Nek Kamsiah jatuh dengan posisi berlutut, tidak jauh dari tempat berdiri Nasir dan keempat temannya. Untungnya, bayi dalam gendongannya tidak kenapa-napa. Lutut yang cidera dan telapak kaki penuh luka membuat Nek Kamsiah kesusahan untuk bangkit. Ia benar-benar telah kehilangan tenaganya setelah perjalanan panjang semalaman.
Di sebelah kiri jalan, di balik pepohonan rimbun, samar-samar ia melihat sebuah gubuk kecil. Tampaknya gubuk itu telah lama tak didatangi pemiliknya. Terlihat dari tingginya rumput liar yang mengelilinginya. Tampaknya tempat itu rancak untuk bersembunyi, batin Nek Kamsiah.
Terhuyung-huyung wanita tua itu berjalan menuju gubuk tersebut. Ia s***k rumput-rumput liar yang menghalangi jalannya. Rumput yang ters***k di belakangnya, ia rapikan kembali untuk menghilangkan jejak.
Bak melihat istana Nek Kamsiah mendapati gubuk tersebut. Tempat yang tertutup rapi dari mata orang-orang yang tidak teliti. Untuk sementara, ia bisa bersembunyi di sana. Dari kejaran Nasir dan teman-temannya.
Ia selonjorkan kaki, melepas rasa penat. Bayi dalam gendongannya ia letakkan di lantai, untuk menghilangkan kelu tangan yang semalaman menggendong tubuhnya yang lumayan berat.
“Oaaaak … Oaaak … Oaaak …” Membahana tangis sang bayi saat berpindah dari tangan neneknya ke lantai gubuk.
Secepat kilat Nek Kamsiah membawa lagi bayi itu ke gendongannya. Ia tangkupkan bayi itu ke dadanya, lalu ditepuk-tepuknya bokong sang bayi. Bukannya diam, tangisannya malah semakin keras. Mengerti cucunya kehausan, Nek Kamsiah memasukkan ibu jari bayi itu ke mulutnya. Sejenak ia diam, menghisap ibu jari sendiri. Namun, tidak lama kemudian, tangisnya pecah lagi. Mungkin karena jari yang ia kira bisa melepas dahaganya tak juga kunjung mengeluarkan ASI.Bersiap Nek Kamsiah keluar dari pondok untuk mencari air, sebelum keberadaan mereka tercium oleh Nasir. Ia kuatkan lagi ikatan tingkuluaknya yang sudah mulai longgar di tubuh sang bayi. Ia takut cucunya akan masuk angin.Saat membuka pintu pondok, terkesiap Nek Kamsiah mendapati di depan sana berdiri Nasir dan teman-temannya, menatap dengan seringai miring. Rupanya tangisan sang bayi menjadi petunjuk keberadaan Nek Kamsiah.“Serahkan sajalah bayi tu, Nyiak. Jang
“Apakah sudah kau bunuh Nurlaila dan keluarganya?” tanya Edrik pada Nasir saat Nasir berkunjung ke benteng pertahanan Belanda di Batusangkar yang terletak di pusat kota. Pagi-pagi sekali, Nasir sudah berpakaian rapi demi mengunjungi Edrik.“Eeee Nurlaila dan Kamsiah sudah mati, Tuan. Anaknya untuk sementara dalam pengasuhan istri ambo. Mirip betul anak itu dengan Tuan, terlebih warna mata dan rambutnya. Sayang betul Istri ambo pada anak Tuan tu, benar-benar dirawatnya dengan baik,” jawab Nasir dengan mata berbinar-binar. Ia bermaksud menyenangkan hati tuannya. Kembang kempis hidungnya karena merasa bangga dengan pekerjaannya.“Kurang ajar,” hardik Edrik dalam Bahasa Belanda sambil menggebrak meja, hingga jatuh berserakanlah gelas yang ada di meja itu. Wajahnya merah padam menatap Nasir penuh amarah. Nasir yang duduk di depan orang Belanda itu terlonjak kaget melihat amukan Edrik. “Kenapa tak kau bunuh sekalian bayi itu?&r
Keesokan harinya, dua orang suruhan Nasir menjemput bayi Nurlaila.“Kalian bunuh dengan ini, atau kubur saja hidup-hidup!” Nasir menyodorkan sebilah pisau yang sebelumnya sudah ia asah. Pastilah mampu memutus leher sang bayi dalam satu tebatas saja, saking berkilaunya mata pisau itu.Siyon dan Munir saling berpandangan. Siyon bergegas meraih pisau yang disodorkan Nasir. Ia mengangguk takzim terhadap tuannya itu. Baginya, melaksanakan perintah Nasir adalah sesuatu yang membanggakan. Layaknya prajurit menjalankan perintah panglimanya. Segala hajatnya akan ia tunda. Bahkan, tubuhnya yang masih penuh luka karena diseruduk induk babi tempo hari ia abaikan demi menerima amanah Nasir. Nasir pun tau kesetiaan Siyon. Itu sebabnya Siyonlah orang pertama yang ia panggil untuk melancarkan misinya.Sedangkan Munir tak yakin bisa tega membunuh bayi tak berdosa itu. Sungguh pun ia anak Belanda yang telah membunuh keluarga m
Pelan Nek Kamsiah membuka kedua kelopak matanyanya yang terasa berat. Tidak ada sedikit pun cahaya yang tertangkap oleh korneanya, hingga membuat wanita tua itu memutuskan menutup netra kembali. Badannya terasa remuk redam, bagai diinjak berton-ton beban berat.Namun, Ia masih mengingat dengan pasti insiden yang terakhir kali dialaminya. Bagaimana Nasir menyiksanya dengan arogan hingga ia tak sadarkan diri. Lebih getir dari itu, masih lekat di ingatannya bagaimana putri Nurlaila diregang paksa dari dekapannya. Lalu dibawa pergi entah ke mana.Apakah ini alam kubur? Ia membatin. Perlahan ia menggerakkan jemarinya yang lemah. Jari-jari yang sudah tersumbur urat-urat kasar. Ia lalu menggoyang-goyang pelan kedua kakinya, masih dalam kondisi mata terpejam. Beratnya penyiksaan Nasir, membuatnya sangsi bahwa ia masih hidup.“Dewi … pencuri itu sudah bangun,” teriak seorang
“Apa syaratnya?” tanya Nek Kamsiah penasaran. Sepasang matanya berpendar, seperti mendapat angin segar.“Jika inyiak memutuskan untuk tinggal selamanya di sini, maka Inyiak indak bisa lagi berinteraksi dengan manusia. Fisik inyiak akan berubah seperti kami. Inyiak akan menjadi kasat mata dan hanya bisa dilihat oleh sesama bangsa bunian. Namun, seandainya Inyiak memilih kembali ke bangsa manusia, maka ambo akan menghilangkan ingatan tentang istana bangsa bunian dari kepala inyiak. Inyiak bisa melanjutkan kembali hidup sebagai manusia biasa.”Lama Nek Kamsiah tercenung. Pilihan itu membuatnya seperti makan buah simalakama. Jika memilih untuk tinggal di istana yang menjanjikan segala kenikmatan, ia tidak bisa membalaskan dendamnya kepada Nasir dan semua orang yang telah menyakitinya. Namun, jika kembali ke kehidupan manusia, ia pun tak yakin bisa melawan Nasir dengan kondisi tubuh yang kian rentah.
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
Delapan jam sebelumnya.Suara burung hantu dan jangkrik saling bersahut-sahutan menyambut datangnya malam. Langit sudah semakin gelap. Dinginnya udara pegunungan bagai menusuk-nusuk kulit Edrik dan dua pengawalnya. Mereka kebingungan mencari jalan pulang. Memang, jalan-jalan di hutan itu belum mereka kuasai, apalagi terlalu banyak persimpangan.“Tidak becus kalian bekerja. Pastilah kalian lupa membuat tanda-tanda itu,” hardik Edrik sembari menendang bokong dua pengawal yang menyertainya.“Ampun, Tuann,” ucapnya meminta maaf, ketakutan. Mereka tidak berani beralasan. Mereka tahu betul, Edrik tidak akan menerima alasan apa pun. Semakin keras hukuman yang akan diterima seandainya berani beralasan. Mereka pun heran, bagaimana bisa tanda-tanda yang sudah dibuat di pohon setiap persimpangan jalan bisa hilang begitu saja. Padahal, tak setetes pun hujan yang turun, jikalau tanda itu terhapus hujan.Dari tadi, setiap jalan persi