Share

PART LIMA

Author: Lavender
last update Huling Na-update: 2022-03-15 18:30:41

KEMBANG DESA YANG TERNODA

PART 5

Saat sudah menginjakkan kaki di bagian dalam gua, tiba-tiba beterbanganlah segerombolan kelelawar menabrak muka mereka. Mungkin hewan itu kaget karena sarang mereka tiba-tiba diterpa cahaya obor. Siyon dan teman-temannya lari kocar kacir mencari jalan ke luar.

Bagai ditalu-talu jantung Nek Kamsiah mendengar teriakan mereka, seperti sudah di balik telinganya. Apalagi cucunya sempat kaget dan menggeliat.

 Menyadari Siyon dan teman-temannya berteriak karena ketakutan, sedikit tenang hati Nek Kamsiah. Hal itulah yang membuatnya merasa yakin gua itu aman dijadikan tempat persembunyian. Karena butuh nyali besar untuk masuk ke dalam sana.

Dalam ketenangan itu, tiba-tiba Nek Kamsiah tertegun. Ia merasakan ada sesuatu yang bergerak menjalar dan mendesis di kaki telanjangnya. Bercucuran keringat dinginnya menahan takut. Saat itu ia yakin,  bergerak sedikit saja bisa membahayakan nyawa mereka.

Lama ia rasakan makhluk itu melintas di kakinya. Selama itu pula ia menahan napas  dan memejamkan mata. Cukup besar makhluk itu, bisa ia rasakan dari berat dan lebar yang menghimpit kakinya.

Tiba-tiba makhluk itu berputar melilit kedua tungkai kaki Nek Kamsiah.  Lilitannya semakin kuat saat seluruh tubuh ringkih Nek Kamsiah bergetar hebat menahan takut. “Ya Tuhan, jika Engkau masih mengizinkanku dan bayi ini selamat, jauhkanlah kami dari makhlukmu ini. Tapi jika memang ini adalah akhir kehidupan kami, berilah kami kematian yang baik, batin Nek Kamsiah sembari berusaha menghilangkan rasa takutnya.

Ternyata Allah belum berkehendak mengambil nyawanya. Tiba-tiba lilitan makhluk itu melemah, hingga akhirnya benar-benar luruh di bawah kedua kaki Nek Kamsiah. Makhluk itu lalu terdengar mendesis menuju mulut gua.

Dalam ketakutan, ada hal yang masih disyukuri Nek Kamsiah, bahwa cucunya tidak merengek sedikit pun. seandainya bayi itu merengek sedikit saja, habislah mereka di dalam sana. Mungkin karena ia merasa seperti dalam ayunan karena terus dalam gendongan. Selain itu, bayi usia satu minggu memang lebih banyak waktu tidurnya.  

 “Ayo awak pergi dari sini, awak cari ke tempat lain! Lagipula, indak mungkin inyiak tu berani masuk ke dalam,” usul salah seorang di antara mereka yang sudah merasa tidak nyaman lagi berada di sekitar gua. Mereka kemudian meninggalkan tempat itu, lalu berpencar mencari ke bagian hutan lain.

Nek Kamsiah luruh dalam tangis sambil menenggelamkan wajah di tubuh kecil cucunya. Terpikir olehnya bagaimana nasib bayi itu ke depan. Sedangkan usianya sudah senja, tidak mungkin bisa terus melindungi sang cucu. Tuhan, berikanlah aku usia panjang agar bisa terus menjaga bayi ini, doanya dalam hati.

Tiba-tiba, Mata Nek Kamsiah tertuju pada sebuah benda yang tampak berkilau di dekat kakinya. Ia  ambil dan raba benda pipih dan panjang itu. Ujungnya yang terasa cukup tajam seperti pisau membuat Nek Kamsiah menyimpan benda itu di balik bajunya, satu-satunya senjata yang akan ia gunakan saat nanti dalam posisi sedang terpojok.

Dalam hening, tiba-tiba terdengar suara seperti dengkuran teramat keras yang berasal dari ujung gua.  Terkesiap wanita itu. Secepat kilat, Nek Kamsiah berlari ke mulut gua. Ia akan melanjutkan perjalanan, mencari perlindungan ke nagari sebelah. Hutan ini terlalu berbahaya bagi mereka. Dirabanya pipi cucunya yang terlihat pucat di remang-remangnya malam. Ternyata suhu badan bayi itu lebih tinggi dari biasanya. Bayi ini harus segera menyusu, batinnya.

Ia tepis segala ketakutan di hati terhadap Nasir dan teman-temannya. Lagipula, ini sudah dini hari. Kemungkinan mereka sudah kembali ke kampung. Suara-suara teriakan memanggil namanya juga tidak lagi terdengar. Saat ini, keinginannya adalah bagaimana bisa  segera sampai ke nagari sebelah. Ia yakin, pastilah ada orang baik hati yang bersedia menyusukan cucunya di sana.

Dengan tertatih, Nek Kamsiah melanjutkan perjalanan, hanya dengan berbekal rasa kasih terhadap cucunya. Nagari sebelah─Nagari Koto─tidak jauh lagi.  ia yakin, menjelang subuh, sudah bisa menginjakkan kaki di sana, nagari yang terkenal dengan masyarakatnya yang ramah dan baik hati. Ia berharap, masyarakat di sana bisa menerimanya dengan tangan terbuka, terlebih, di sana ada adik laki-lakinya yang bisa menjadi tempat mengadunya.

Setelah lama berjalan, akhirnya berbahagialah  ia saat melihat gonjong-gonjong (puncak-puncak) rumah gadang dari kejauhan, pertanda perjalanan sudah semakin dekat dengan perbatasan hutan Nagari Koto. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, beberapa meter dari perbatasan nagari, Nasir dan empat orang temannya mondar-mandir menunggu kedatangan Nek Kamsiah. walau dalam suasana remang-remang, tetapi terlihat jelas dari perawakannya bahwa itu adalah Nasir. Laki-laki kurus tinggi dan sedikit bungkuk.  Sepertinya mereka tau tujuan perjalanan Nek Kamsiah, hingga ia  menempatkan orang-orang suruhannya di setiap sudut jalan yang kemungkinan akan dilalui Nek Kamsiah.

Tak mau gegabah, Nek Kamsiah bergerak pelan ke balik rumput-rumput di pinggir jalan setapak. Ia mengintip dari balik rumput, menunggu orang-orang itu lengah.

“Dimanalah wanita tua itu bersembunyi. Apa mungkin dia sudah mati dimakan harimau?” ucap Nasir sembari mondar-mandir di perbatasan antara hutan dan Nagari Koto.

“Sepertinya begitu, Da. Indak mungkin seorang wanita tua yang sudah lemah dan membawa seorang bayi pula bisa selamat di hutan tu malam-malam begini. Apalagi jalannya  licin. Kalau ndak dimakan binatang buas, mungkin inyiak tu sudah jatuh kejurang, Da. Hoaammm,” balas seorang teman Nasir yang sudah diserang rasa mengantuk. Tidak sedetik pun mereka memejamkan mata malam ini demi mencari Nek Kamsiah.  .

 Mereka terus mondar-mandir di perbatasan itu. Saat Nasir dan teman-temannya berdiri dengan posisi memunggungi  Nek Kamsiah, Wanita tua itu berlari, masuk lagi ke dalam hutan.

Jalanan berbatu membuat kakinya tersandung. Nek Kamsiah jatuh dengan posisi berlutut, tidak jauh dari tempat berdiri Nasir dan keempat temannya. Untungnya, bayi dalam gendongannya tidak kenapa-napa. Lutut yang cidera dan telapak kaki penuh luka membuat Nek Kamsiah kesusahan untuk bangkit. Ia benar-benar telah kehilangan tenaganya setelah perjalanan panjang semalaman.

Di sebelah kiri jalan, di balik pepohonan rimbun, samar-samar ia melihat sebuah gubuk kecil. Tampaknya gubuk itu telah lama tak didatangi pemiliknya. Terlihat dari tingginya rumput liar yang mengelilinginya. Tampaknya tempat itu rancak untuk bersembunyi, batin Nek Kamsiah.

Terhuyung-huyung wanita tua itu berjalan menuju gubuk tersebut. Ia s***k rumput-rumput liar yang menghalangi jalannya. Rumput yang ters***k di belakangnya, ia rapikan kembali untuk menghilangkan jejak.

Bak melihat istana Nek Kamsiah mendapati gubuk tersebut. Tempat yang tertutup rapi dari mata orang-orang yang tidak teliti. Untuk sementara, ia bisa bersembunyi di sana. Dari kejaran Nasir dan teman-temannya.

Ia selonjorkan kaki, melepas rasa penat. Bayi dalam gendongannya ia letakkan di lantai, untuk menghilangkan kelu tangan yang semalaman menggendong tubuhnya yang lumayan berat.

“Oaaaak … Oaaak … Oaaak …” Membahana tangis sang bayi saat berpindah dari tangan neneknya ke lantai gubuk.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA EMPAT

    “Itu adalah Surah yang sering Inyiak lafazkan dulu.” Zahara terguguh, ikut bersimpuh di belakang Nurlian. Ia sengaja mengikuti Nurlian karena melihat gelagat aneh cucunya itu dari kemarin. Tadinya ia berniat menghukum Nurlian karena telah berani menemui Aswir secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi keindahan suara Aswir membacakan Surah At-tin beserta terjemahan malah membuat jiwanya bergetar. Zahara ingat, Surah itu adalah surah yang ia baca saat menghatamkan Al-quran pertama kali. Angannya berputar ke masa lalu. Puluhan tahun silam, derap langkah sejumlah anak-anak terlihat mantap melangkah menuju surau untuk mengikuti Khatam Al-quran. Satu di antaranya adalah Kamsiah kecil. Bagi masyarakat sana, prosesi khatam Alquran dihelat dengan cukup meriah. Anak-anak yang telah tamat mengaji 30 juz akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana, sebagai wujud dari rasa syukur. Laki-laki mengenakkan pakaian kebesaran berupa gamis ditambah sorban. Sedangkan perempuan memakai gaun dipa

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA TIGA

    “Apa tujuanmu datang ke sini?” tanya Zahara dengan tatapan sinis. Dilihatnya Aswir sedang duduk di pojok ruang penjara yang sempit. Seketika laki-laki itu berdiri melihat Zahara datang.“U-uni …,” lirih Aswir. Ia terkesiap mendapati Nurlian ada di belakang wanita dengan tumit menghadap ke depan itu.Kemarin, Ia melihat Nurlian masuk ke dalam gua, lalu diam-diam mengikutinya. Sementara Basri memilih untuk lebih dulu meninggalkan hutan. Ia tak berani mengikuti Aswir masuk ke dalam gua yang nyata-nyata banyak menyimpan cerita misteri.Sesampainya di dalam gua, Aswir tak menemukan lagi gadis itu. Padahal tak ada jalan lain masuk ke sana selain mulut gua bagian depan. Dari situ, mengertilah Aswir ada sesuatu yang aneh dengan orang yang sedang diikutinya.Rumor masyarakat tentang orang bunian penghuni gua langsung terlintas di benaknya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Nurlian bukanlah orang bunian. Nurlian manu

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA DUA

    “Sudah berapa lama kau mengenal manusia?” Zahara menekan suaranya. Takut masalah itu di dengar Dewi atau pelayan istana.Tentulah pimpinan Orang Bunian itu akan murka jika mengetahui warganya berhubungan dengan manusia di luar sana.” Oh, pantaslah kau sering ke hutan tu belakangan ni, ya. Ada sesuatu rupanya di sana,” tuduhnya tak memberi kesempatan Nurlian bicara. Sementara gadis itu hanya menunduk, takut membela diri. Ia mendengar saja ocehan neneknya.“Kau mau dicelakai? Kau mau diperkosa? Atau dibakar seperti ibumu?” Wanita itu terus melontarkan pertanyaan, tapi tak memberi kesempatan Nurlian untuk menjawab.“Indak Nyiak, orang tu ndak berbuat jahat pada Nur. Bahkan mereka telah menyelamatkan nyawa Nur,” balas Nurlian gemetaran saat punya celah untuk menjawab.“Belum taukah kau manusia punya banyak muka? Mereka banyak menyimpan kebusukan di balik topeng kebaikannya. Hari ini mereka baik, esok atau lusa mer

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA SATU

    “Jangan keluar dulu, Nur. Kau belum benar-benar pulih.” Zahara mencegat saat Nurlian hendak keluar dari kamarnya. Ia ingin gadis itu istirahat hingga benar-benar segar.“Nur sudah mulai pulih, Nyiak. Di kamar terus malah akan membuat semakin sakit. Nur butuh udara bebas,” jawabnya.“Dengarkanlah inyiak! Minumlah obat ni. Inyiak merasa indak enak dengan Dewi jika ritualmu terus diundur!” Wanita bermata bulat itu menarik lengan Nurlian, dan menuntunnya ke bibir ranjang. Segelas ramuan herbal diulurkannya ke mulut Nurlian. Aromanya yang menyengat membuat Mual gadis belia itu. Tetapi Zahara terus memaksa menghabiskannya.“Nyiak, bolehkah Nur bermain di hutan lagi?” tanyanya setelah menyesap hingga tandas segelas ramuan pahit itu.“Kau indak boleh ke mana-mana lagi hingga ritual dilaksanakan!” Cepat Zahara menjawab. “Inyiak taku

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA PULUH

    “Nyiak, apakah ndak ada seorang pun manusia yang baik?” selidik Nurlian tiba-tiba saat Kamsiah hendak beranjak meninggalkannya. Bayangan Aswir selalu membuntuti ke mana ia pergi. Terlebih aroma khas laki-laki itu masih melekat di tubuhnya. Membuatnya menjadi semakin penasaran dengan manusia.“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Kamsiah balik bertanya, mengerti ke mana arah pertanyaan Nurlian. Berkerut kening wanita itu menunggu jawaban dari cucunya. Ia tampak tak senang. Kamsiah memang tak pernah bercerita tentang kebaikan manusia.“Apakah kau meragukan ceritaku selama ini?” lanjutnya, balik menodong Nurlian dengan pertanyaan.“B-bukan begitu, Nyiak. Nur hanya ingin meyakinkan diri, bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Hingga di kemudian hari ndak ada lagi penyesalan terkait asal usul Nur. Bagaimanapun ini adalah keputusan yang besar.” Nurlian memegang kedua tangan

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   SEMBILAN BELAS

    Dalam posisi demikian genting, Aswir menatap wajah Nurlian yang saat ini tepat berada di bawah wajahnya. Jantungnya berdegup tak karuan. Ini adalah kali pertamanya ia berada dalam posisi yang begitu dekat dengan wanita, hingga menimbulkan debaran-debaran aneh di hatinya. Walaupun perempuan dengan hidung mancung dan bibir merah muda itu terus saja memejamkan mata.Ia lalu memalingkan wajahnya dan berulang kali beristigfar, memohon ampunan Allah karena harus bersentuhan seperti itu dengan wanita yang tak seharusnya ia sentuh.Aswir terus berusaha naik dan mengerahkan segenap tenaga, bulir-bulir keringat yang membasahi wajahnya jatuh di pelupuk mata Nurlian, memberikan dorongan pada Nurlian untuk membuka kelopak matanya yang terbingkai bulu mata panjang nan lentik. Merona pipinya menyadari saat ini wajahnya saling bersitatap dengan wajah Aswir. Laki-laki yang ia takuti, pun tak ia pungkiri ketampanannya.Kali ini Aswir fokus kepada tebin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status