Share

PUTRI BUNIAN YANG TERNODA
PUTRI BUNIAN YANG TERNODA
Penulis: Lavender

PART SATU

KEMBANG DESA YANG TERNODA

Suatu malam di tahun 1900

Awan hitam mulai menutupi semburat kemerahan di langit Lereng Gunung Marapi. Suasana kampung gelap gulita, kecuali di halaman rumah Nasir, sebagian warga berkumpul dengan amarah yang membuat gelap hati mereka. Mereka  sedang merencanakan pembunuhan terhadap Nurlaila, seorang wanita yang katanya adalah gundik Belanda.

“Sudah jelaslah bagi Tuan-Tuan semua. Perempuan tu ada hubungan khusus dengan Belanda. Lihatlah anak yang dilahirkannya. Bermata biru khas Belanda.” Nasir, seorang laki-laki yang belakangan getol memprovokasi warga angkat bicara dengan gaya pongahnya.

Warga yang sudah melihat sendiri bagaimana rupa Bayi Nurlaila, mengangguk-angguk di bawah penerangan obor dalam genggaman mereka. Di kampung itu, siapa saja yang keluar rumah pastilah membawa sebuah obor yang terbuat dari bambu sebagai penerang jalan.

Nurlaila belakangan memang jarang keluar rumah. Terakhir keluar, Kamsiah─ibunya Nurlaila─membawa kabar bahwa Nurlaila telah melahirkan. Padahal, seluruh warga tahu ia tak bersuami. Kabar tentang Nurlaila melahirkan anak bermata biru itu cepat menyebar di kampung, hingga banyak warga yang datang ke sana untuk membuktikannya langsung.

“Saya yakin, ndak ada orang yang mau di kampung ni hidup  gundik dan keturunan penjajah. Habislah nanti kita dibunuhnya. Sudah cukup penderitaan dijajah selama ratusan tahun. Sudah saatnya untuk merdeka. Dua bulan yang lalu, dua puluh orang tetua kampung habis dibantai Belanda. Sudah lupakah Tuan-Tuan kejadian tu? Sekarang, janganlah memberi kesempatan gundik dan anak keturunannya hidup di kampung ni. Sama saja dengan memberi makan anak harimau.” Tangan Nasir menunjuk-nunjuk rumah panggung Nurlaila yang terletak di ujung jalan.

“Iyooo, saya setuju,” jawab beberapa warga yang termakan provokasi Nasir.

Warga yang hadir memang kebanyakan kerabat tetua kampung yang dibantai Belanda dua bulan yang lalu. Tetua-tetua kampung itu merencanakan penyerangan terhadap Belanda yang selalu memalak hasil pertanian mereka. Beberapa kali mereka mengadakan pertemuan untuk membahas strategi-strategi yang akan dilakukan demi keluar dari jerat penjajahan. Naasnya,  Pimpinan Belanda akhirnya tahu rencana mereka, hingga mereka membantai semua warga yang terlibat dalam rencana penyerangan itu. Pembantaian itu dibawah komando  Edrik, salah seorang Pimpinan Belanda.

“Tapi, Uda, sebaiknya awak tanya dulu perempuan tu, benar atau tidaknya dia bersekutu dengan Belanda.  Ambo takut ada hal yang indak awak ketahui, dan awak berlaku zalim terhadap uni tu.” Seorang pemuda belasan tahun menimpali ucapan Nasir. Ia terlihat ketakutan sekali jika  ikut terlibat dalam pembunuhan perempuan yang baru melahirkan itu.

“Mana ada maling yang mau mengaku. Ambo sendiri sering melihat orang Belanda keluar masuk gubuk Inyiak Kamsiah tu. Apalagi yang harus ditanyakan?” sembur Nasir berapi-api sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh warga yang hadir. “Membunuh Nurlaila, sama saja dengan berbuat kebaikan, karena dia antek penjajah yang boleh darahnya ditumpahkan. Apalagi yang Tuan-Tuan takutkan?”  Ucapan Nasir menghilangkan segala keraguan warga yang awalnya takut akan dosa.

Kebencian yang sudah memenuhi rongga dada mereka karena kezaliman Belanda, membuat mereka hilang waras, hingga sangat sensitif terhadap hal-hal yang bersinggungan dengan penjajah. Terbayang di mata mereka jika Nurlaila dan anaknya hidup, akan bertambah sulit menumpas penjajahan di nagari mereka, karena orang dalam sendirilah yang berkhianat. Pemikiran-pemikiran semacam itu memudahkan Nasir untuk mengobar amarah warga.

Sedangkan di rumah panggung Nek Kamsiah, Nurlaila duduk berselonjor di tengah rumah panggung, bersandar pada salah satu tiang penyanggah rumah. Ia menangis sesegukan sambil memeluk bayinya yang terbungkus kain bedong lusuh. Rambut hitamnya yang panjang tergerai, tampak tak terurus, menutupi hampir sebagian wajah pucatnya. Padahal, rambut itulah yang dulu membuat banyak laki-laki tergila-gila padanya.

Setiap malam sejak mengetahui dirinya hamil, tak henti-hentinya Nurlaila menangis. Pertanyaan-pertanyaan miring warga tentang asal usul sang bayi selalu mengganggu pikirannya, membuatnya tak bisa tidur, hingga kantung di bawah mata Nurlaila menjadi hitam. Ia memikirkan bagaimana masa depan anaknya kelak, apalagi bayi itu perempuan, pastilah suatu saat membutuhkan sosok ayahnya.

Dalam hening, sayup-sayup terdengar di telinganya teriakan warga dari arah rumah Nasir  berulang kali menyebut namanya. Nurlaila hanya tau malam ini ia akan diusir. Kabar itu ia dapat dari Rosidah, kerabatnya yang berdekatan rumah dengan Nasir.

“Jika saja dulu Nur mendengar ucapan Amak untuk jujur dari awal bahwa Nur telah diperkosa, mungkin indak akan jadi begini. Sekarang, apa pun yang Nur katakan, mereka indak akan percaya,” keluh Nurlaila menatap nanar ke depan. Kilatan-kilatan kesedihan tergambar dari wajah kuyunya.

Memang, akhir-akhir ini Nurlaila sudah menceritakan kejadian yang menimpanya kepada warga yang bertanya sinis perihal anak yang dilahirkannya. Nyatanya, apa pun jawaban wanita berparas ayu itu tidak memuaskan warga. Mereka menuding Nurlaila telah bersekutu dengan penjajah, dengan merelakan diri menjadi pemuas nafsu Belanda. Terlebih, Edrik si Pemerkosa  memang sering datang ke rumah mereka, untuk mengancam dan membungkam mulut Nurlaila.

“Sudahlah, Nak! Nasi sudah menjadi bubur. Amak paham bagaimana beratnya harus mengaku sebagai korban pemerkosaan. Sekarang biar Amak kemas semua pakaian awak. Awak pergi lewat pintu belakang tu. Berhentilah menangis, semuanya akan menjadi lebih susah jika kau terus menangis,” bujuk Nek Kamsiah. Ia pijit lembut kaki putri kesayangannya itu. Nek Kamsiah tau bagaimana lelah pikiran dan fisik Nurlaila.

“Indak, Mak! Kalau awak pergi, artinya Nur membenarkan telah bersekutu dengan Belanda. Nur akan meluruskan kekeliruan itu di hadapan semua orang, bahwa Nur korban dari Edrik dan juga Nasir. Mereka percaya atau indak, itu urusan mereka. Nur indak seburuk yang mereka tuduhkan, berkhianat pada negri ini lalu bersekutu dengan mereka─penjajah.” Nurlaila mengangkat dagunya, menatap serius kepada Nek Kamsiah. Beberapa kali ia menggeleng-gelengkan kepala, tidak setuju dengan ide Nek Kamsiah untuk pergi dari sana.

“Jangan, Nur! Sekarang bukan waktu yang tepat. Warga sedang bergejolak. Apalagi sejak Edrik dan teman-temannya membantai tetua-tetua kampung yang ingin memberontak. Warga menuduh kita terlibat di dalamnya. Sekarang kau pakaikanlah putri kau tu baju yang tebal, susukan dia puas-puas agar nyenyak tidurnya. Kita cari tempat yang aman malam ni,” lirih Nek Kamsiah. Wanita tua itu beranjak ke kamarnya mengemas pakaian-pakaian penting sebagai persiapan di perjalanan.

Nurlaila pun masuk ke kamarnya, lalu meletakkan bayi yang baru berusia satu minggu itu di atas ranjang. Tanpa sepengetahuan Nek Kamsiah, ia keluar menuruni tangga rumah panggung dengan meringis. Luka di bagian bawahnya karena persalinan belumlah kering, hingga menyebabkan perih teramat sangat  saat di paksa menuruni anak tangga. Ditambah lagi perlakuan bejat yang dilakukan Nasir padanya dua hari lalu yang membuatnya hampir mati karena pendarahan.

Wanita berperawakan tinggi itu berjalan tertati tanpa alas kaki, menembus kegelapan malam. Ia berjalan menuju rumah Nasir, tempat di mana orang-orang menggaungkan namanya dari tadi.

Dari kejauhan, bergidiklah warga melihat seseorang berjalan dengan rambut panjang tergerai dan mengenakkan kain sarung, menuju ke arah mereka. Sejenak mereka terhenti dari pembicaraan tentang Nurlaila, lalu menerka-nerka siapa gerangan orang yang menyeramkan itu. Namun, saat langkah kaki perempuan itu menginjak pekarangan rumah Nasir, jelaslah bahwa itu adalah Nurlaila, wanita yang sedang mereka bicarakan. Semua warga saling bertatapan.

#cerbung

#kembangdesayangternoda

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status