Share

PART DUA

Author: Lavender
last update Last Updated: 2022-03-15 18:26:34

KEMBANG DESA YANG TERNODA

PART 2

 “Hmm, tak ada malu kau menampakkan muka di sini! Gund*k Penjajah!” bentak Nasir menunjuk Nurlaila dengan tangan kirinya. Antara rasa ragu dan keinginan ingin terlihat benar di hadapan warga.

“Ambo ingin meluruskan semuanya.  Ambo ndak pernah bersekutu dengan Belanda. Semua tuduhan Tuan-tuan adalah fitnah.” Bergetar suara Nurlaila berbicara di antara kerumunan warga yang kebanyakan adalah laki-laki.

“Jangan munafik, Nur! Semua orang tau kalau Belanda tu sering keluar masuk rumah kau. Kalau kau ndak bersekutu dengan mereka, lalu anak yang kau lahirkan tu anak siapo? Anak setan?” sahut Nasir sembari mengangkat dagunya. Kali ini ia merasa percaya diri karena meyakini sudah mendapatkan hampir seluruh kepercayaan warga.

“Astaqfirullah. Berhentilah kau mengaji di surau tu! Percuma tiap hari suara kau sampai ke langit sana mengaji di sana, tapi suka menuduh orang. Apakah kau ingin menuduh orang lain melakukan kesalahan yang sebenarnya kau lakukan sendiri?” Tak gentar Nurlaila menatap tajam mata Nasir. Ia tilik laki-laki itu dari ujung kaki sampai kepala dengan satu sudut bibirnya menyunggingkan senyum. Ia tau, laki-laki kurus berkulit hitam itulah yang selama ini memanas-manasi warga.

“LANCANG KAU BERKATA SEMBARANGAN, GUN*IK BELANDA!” menggelegar suara Nasir di tengah kerumunan warga yang hanya bergeming. Ia merasa dipermalukan oleh  Nurlaila. Seumur hidupnya, belum pernah ada masyarakat di Nagari itu yang berani meninggikan suara saat berhadapan dengannya. Ia merasa terhina oleh sikap dan ucapan Nurlaila.

“Kenapa kau marah? Adakah yang salah dengan ucapanku?” Nurlaila tak henti-hentinya menantang Nasir. Sorot matanya seakan menelanjangi laki-laki itu. Entah keberanian dari mana yang membuatnya mampu berlaku demikian.

Secepat kilat Nasir melempar obor di tangannya ke arah Nurlaila sebelum wanita itu sempat membongkar semua yang terjadi. Tumpahlah minyak tanah dari bagian dalam ruas bambu ke tubuh wanita malang itu. Sebagian warga merasa ngeri, tak menyangka Nasir bisa semarah dan senekad itu.

Berteriak Nurlaila memanggil-manggil Nek Kamsiah─ibunya─sambil mengibas api yang mulai menjilat kain sarung yang menutupi bagian bawahnya.

“Sekarang, tetuah kampung awak yang dihabisinya. Bukan indak mungkin selanjutnya nyawa awak yang mereka incar. Dan perempuan ni bersama anaknya harus dihabisi agar ndak ada lagi mata-mata penjajah di kampung awak ni.” Wajah Nasir memerah menyulut emosi warga.

Warga yang masih menyimpan dendam atas kematian kerabatnya tempo hari ikut meradang mendengar hasutan Nasir. Beramai-ramai mereka melemparkan obor berisi minyak tanah di tangan mereka ke tubuh Nurlaila, hingga bertambah besarlah api itu. Warga yang tadinya menaruh sedikit iba pada Nurlaila, kini tak lagi berani membela. Mereka takut membantah titah Nasir, orang terpandang di kampung itu.

“Amaaakk, Amaaak ….” raung Nurlaila sambil terus berusaha memadamkan api yang sudah memakan separuh rambut panjangnya. Namun, minyak tanah sudah rata membasahi seluruh tubuhnya, saat ia berusaha mengibas-ngibaskan rambut, dengan cepat bagian tubuh lainnya dijilat si jago merah, hingga akhirnya seluruh tubuh Nurlaila sudah menyala bak kayu kering di dalam tunggu perapian.

Sedangkan Nek Kamsiah, saat sedang mengemas pakaian, sayup-sayup terdengar di telinganya suara Nurlaila. Ia berlari ke kamar anak semata wayangnya itu, memastikan keberadaan Nurlaila. Betapa kagetnya perempuan tua itu mendapati Nurlaila tidak lagi di tempatnya. Ia tak menyangka perempuan itu nekat keluar menghadapi warga, apalagi dalam keadaan yang belum sepenuhnya pulih.

Dengan langkah tergopoh, Nek Kamsiah membuka pintu ke luar yang tidak tetutup rapat. Ia takut terjadi sesuatu dengan Nurlaila. Saat mendorong pintu, wajah Nek Kamsiah bersirobok dengan wajah Rosidah yang sedang mengatur napas sehabis berlari. Rosidah memegangi dadanya yang masih berdegup kencang sambil beberapa kali menghembuskan napas kasar. Ia memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada Nek Kamsiah. Namun, ia sadar ini adalah saat yang genting, seburuk apa pun itu, ia harus berterus terang. Secepat mungkin.

“Amaak, cepat lari dari sini! Warga akan membakar rumah ni. Cepat bawa pergi bayi tu, Mak!” Rosidah mendorong pelan tubuh ringkih Nek Kamsiah masuk lagi ke dalam rumah sembari terus melihat ke kiri dan kanan. Takut ada warga yang melihat aksinya itu. Rosidah  menyuruhnya mengambil bayi Nurlaila dan secepatnya meninggalkan tempat itu.

“Ada apa dengan Nurlaila? Tadi Amak mendengar dia memanggil-manggil Amak,” Nek Kamsiah menepis tangan Rosidah yang masih memaksanya berkemas. Ia berlari lagi ke pintu keluar yang telah terbuka sempurna. Perasaannya mulai tak enak, apalagi Rosidah datang dengan cara yang tak biasa. Nek Kamsiah terus saja menyipitkan mata, mengedarkan pandangannya sejauh yang sanggup dijangkau oleh matanya yang sudah agak rabun.

“N-Nurlaila sudah meninggal d-dibakar warga, Mak!” Terbata Rosidah berucap. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan apa yang terjadi. Semuanya harus dikatakan secara jelas agar nyawa Nek Kamsiah dan cucunya bisa selamat.

Terjatuhlah tubuh ringkih itu di lantai papan rumah panggung. Ia tak dapat merasakan dirinya sendiri. Seluruh tubuhnya kebas seketika. Air matanya bercucuran menangisi nasib putrinya. Ia menyesali tadi abai terhadap ucapan Nurlaila yang akan mendatangi kerumunan warga. Nek Kamsiah mengira itu hanya sekedar keinginan saja. Ternyata anaknya itu benar-benar melakukannya.

“Seharusnya tadi Amak indak meninggalkannya sendirian. Maafkan Amak, Nur. Ndak bisa menjagamu,” ratap Nek Kamsiah sambil memukul-mukul dadanya yang berkelindan  rasa perih.

“Mak, Nurlaila ndak bisa lagi diselamatkan. Sekarang Amak hanya bisa menyelamatkan diri Amak dan bayi tu. Segera pergi, Mak! Sebelum warga datang. Biar nanti awak yang mengurus jenazah Nurlaila,” bujuk Rosidah saat melihat Nek Kamsiah yang memaksa bangkit hendak menyusul Nurlaila.

Rosidah berlari ke kamar Nurlaila, lalu mengambil bayi yang tertidur pulas di atas kasur. Segera ia letakkan bayi itu ke tangan Nek Kamsiah. Ia berharap Nek Kamsiah mau mendengar ucapannya.

“Maafkan Ros, Mak. Ros indak bisa menolong Amak. Ros indak bisa melawan warga yang banyak tu,” terguguh Rosidah di hadapan Nek Kamsiah. berkali-kali ia peluk Nek Kamsiah untuk menguatkannya. Ia sungguh merasa tak berguna dan tak bisa membalas budi baik wanita tua itu. Padahal waktu kecil, Rosidah pernah diasuh Nek Kamsiah saat ibunya meninggal.

Dengan hati hancur dan rasa bersalah kepada anaknya, Nek Kamsiah meninggalkan rumah itu lewat pintu belakang.  Jika ia tetap di sana, maka ia juga akan membiarkan cucunya mati sia-sia. Akan bertambahlah nanti dosa dan penyesalannya. begitu pikirnya.

Nek Kamsiah menuju ke arah hutan. Ia berjalan mengendap-ngendap melewati beberapa rumah warga. Langit tanpa bulan membuat kaki telanjangnya kerap kali meraba-raba jalan yang banyak lubang dan bebatuan.

Dari balik pepohonan, tidak jauh dari kerumunan warga, Nek Kamsiah mengarahkan pandangannya ke arah perkampungan, ia melihat kobaran api  melahap tubuh Nurlaila. Semakin hancur hatinya saat mencium bau daging dibakar menguar menusuk indra penciumannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA EMPAT

    “Itu adalah Surah yang sering Inyiak lafazkan dulu.” Zahara terguguh, ikut bersimpuh di belakang Nurlian. Ia sengaja mengikuti Nurlian karena melihat gelagat aneh cucunya itu dari kemarin. Tadinya ia berniat menghukum Nurlian karena telah berani menemui Aswir secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi keindahan suara Aswir membacakan Surah At-tin beserta terjemahan malah membuat jiwanya bergetar. Zahara ingat, Surah itu adalah surah yang ia baca saat menghatamkan Al-quran pertama kali. Angannya berputar ke masa lalu. Puluhan tahun silam, derap langkah sejumlah anak-anak terlihat mantap melangkah menuju surau untuk mengikuti Khatam Al-quran. Satu di antaranya adalah Kamsiah kecil. Bagi masyarakat sana, prosesi khatam Alquran dihelat dengan cukup meriah. Anak-anak yang telah tamat mengaji 30 juz akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana, sebagai wujud dari rasa syukur. Laki-laki mengenakkan pakaian kebesaran berupa gamis ditambah sorban. Sedangkan perempuan memakai gaun dipa

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA TIGA

    “Apa tujuanmu datang ke sini?” tanya Zahara dengan tatapan sinis. Dilihatnya Aswir sedang duduk di pojok ruang penjara yang sempit. Seketika laki-laki itu berdiri melihat Zahara datang.“U-uni …,” lirih Aswir. Ia terkesiap mendapati Nurlian ada di belakang wanita dengan tumit menghadap ke depan itu.Kemarin, Ia melihat Nurlian masuk ke dalam gua, lalu diam-diam mengikutinya. Sementara Basri memilih untuk lebih dulu meninggalkan hutan. Ia tak berani mengikuti Aswir masuk ke dalam gua yang nyata-nyata banyak menyimpan cerita misteri.Sesampainya di dalam gua, Aswir tak menemukan lagi gadis itu. Padahal tak ada jalan lain masuk ke sana selain mulut gua bagian depan. Dari situ, mengertilah Aswir ada sesuatu yang aneh dengan orang yang sedang diikutinya.Rumor masyarakat tentang orang bunian penghuni gua langsung terlintas di benaknya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Nurlian bukanlah orang bunian. Nurlian manu

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA DUA

    “Sudah berapa lama kau mengenal manusia?” Zahara menekan suaranya. Takut masalah itu di dengar Dewi atau pelayan istana.Tentulah pimpinan Orang Bunian itu akan murka jika mengetahui warganya berhubungan dengan manusia di luar sana.” Oh, pantaslah kau sering ke hutan tu belakangan ni, ya. Ada sesuatu rupanya di sana,” tuduhnya tak memberi kesempatan Nurlian bicara. Sementara gadis itu hanya menunduk, takut membela diri. Ia mendengar saja ocehan neneknya.“Kau mau dicelakai? Kau mau diperkosa? Atau dibakar seperti ibumu?” Wanita itu terus melontarkan pertanyaan, tapi tak memberi kesempatan Nurlian untuk menjawab.“Indak Nyiak, orang tu ndak berbuat jahat pada Nur. Bahkan mereka telah menyelamatkan nyawa Nur,” balas Nurlian gemetaran saat punya celah untuk menjawab.“Belum taukah kau manusia punya banyak muka? Mereka banyak menyimpan kebusukan di balik topeng kebaikannya. Hari ini mereka baik, esok atau lusa mer

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA SATU

    “Jangan keluar dulu, Nur. Kau belum benar-benar pulih.” Zahara mencegat saat Nurlian hendak keluar dari kamarnya. Ia ingin gadis itu istirahat hingga benar-benar segar.“Nur sudah mulai pulih, Nyiak. Di kamar terus malah akan membuat semakin sakit. Nur butuh udara bebas,” jawabnya.“Dengarkanlah inyiak! Minumlah obat ni. Inyiak merasa indak enak dengan Dewi jika ritualmu terus diundur!” Wanita bermata bulat itu menarik lengan Nurlian, dan menuntunnya ke bibir ranjang. Segelas ramuan herbal diulurkannya ke mulut Nurlian. Aromanya yang menyengat membuat Mual gadis belia itu. Tetapi Zahara terus memaksa menghabiskannya.“Nyiak, bolehkah Nur bermain di hutan lagi?” tanyanya setelah menyesap hingga tandas segelas ramuan pahit itu.“Kau indak boleh ke mana-mana lagi hingga ritual dilaksanakan!” Cepat Zahara menjawab. “Inyiak taku

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   PART DUA PULUH

    “Nyiak, apakah ndak ada seorang pun manusia yang baik?” selidik Nurlian tiba-tiba saat Kamsiah hendak beranjak meninggalkannya. Bayangan Aswir selalu membuntuti ke mana ia pergi. Terlebih aroma khas laki-laki itu masih melekat di tubuhnya. Membuatnya menjadi semakin penasaran dengan manusia.“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Kamsiah balik bertanya, mengerti ke mana arah pertanyaan Nurlian. Berkerut kening wanita itu menunggu jawaban dari cucunya. Ia tampak tak senang. Kamsiah memang tak pernah bercerita tentang kebaikan manusia.“Apakah kau meragukan ceritaku selama ini?” lanjutnya, balik menodong Nurlian dengan pertanyaan.“B-bukan begitu, Nyiak. Nur hanya ingin meyakinkan diri, bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Hingga di kemudian hari ndak ada lagi penyesalan terkait asal usul Nur. Bagaimanapun ini adalah keputusan yang besar.” Nurlian memegang kedua tangan

  • PUTRI BUNIAN YANG TERNODA   SEMBILAN BELAS

    Dalam posisi demikian genting, Aswir menatap wajah Nurlian yang saat ini tepat berada di bawah wajahnya. Jantungnya berdegup tak karuan. Ini adalah kali pertamanya ia berada dalam posisi yang begitu dekat dengan wanita, hingga menimbulkan debaran-debaran aneh di hatinya. Walaupun perempuan dengan hidung mancung dan bibir merah muda itu terus saja memejamkan mata.Ia lalu memalingkan wajahnya dan berulang kali beristigfar, memohon ampunan Allah karena harus bersentuhan seperti itu dengan wanita yang tak seharusnya ia sentuh.Aswir terus berusaha naik dan mengerahkan segenap tenaga, bulir-bulir keringat yang membasahi wajahnya jatuh di pelupuk mata Nurlian, memberikan dorongan pada Nurlian untuk membuka kelopak matanya yang terbingkai bulu mata panjang nan lentik. Merona pipinya menyadari saat ini wajahnya saling bersitatap dengan wajah Aswir. Laki-laki yang ia takuti, pun tak ia pungkiri ketampanannya.Kali ini Aswir fokus kepada tebin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status