Share

PART DUA

KEMBANG DESA YANG TERNODA

PART 2

 “Hmm, tak ada malu kau menampakkan muka di sini! Gund*k Penjajah!” bentak Nasir menunjuk Nurlaila dengan tangan kirinya. Antara rasa ragu dan keinginan ingin terlihat benar di hadapan warga.

“Ambo ingin meluruskan semuanya.  Ambo ndak pernah bersekutu dengan Belanda. Semua tuduhan Tuan-tuan adalah fitnah.” Bergetar suara Nurlaila berbicara di antara kerumunan warga yang kebanyakan adalah laki-laki.

“Jangan munafik, Nur! Semua orang tau kalau Belanda tu sering keluar masuk rumah kau. Kalau kau ndak bersekutu dengan mereka, lalu anak yang kau lahirkan tu anak siapo? Anak setan?” sahut Nasir sembari mengangkat dagunya. Kali ini ia merasa percaya diri karena meyakini sudah mendapatkan hampir seluruh kepercayaan warga.

“Astaqfirullah. Berhentilah kau mengaji di surau tu! Percuma tiap hari suara kau sampai ke langit sana mengaji di sana, tapi suka menuduh orang. Apakah kau ingin menuduh orang lain melakukan kesalahan yang sebenarnya kau lakukan sendiri?” Tak gentar Nurlaila menatap tajam mata Nasir. Ia tilik laki-laki itu dari ujung kaki sampai kepala dengan satu sudut bibirnya menyunggingkan senyum. Ia tau, laki-laki kurus berkulit hitam itulah yang selama ini memanas-manasi warga.

“LANCANG KAU BERKATA SEMBARANGAN, GUN*IK BELANDA!” menggelegar suara Nasir di tengah kerumunan warga yang hanya bergeming. Ia merasa dipermalukan oleh  Nurlaila. Seumur hidupnya, belum pernah ada masyarakat di Nagari itu yang berani meninggikan suara saat berhadapan dengannya. Ia merasa terhina oleh sikap dan ucapan Nurlaila.

“Kenapa kau marah? Adakah yang salah dengan ucapanku?” Nurlaila tak henti-hentinya menantang Nasir. Sorot matanya seakan menelanjangi laki-laki itu. Entah keberanian dari mana yang membuatnya mampu berlaku demikian.

Secepat kilat Nasir melempar obor di tangannya ke arah Nurlaila sebelum wanita itu sempat membongkar semua yang terjadi. Tumpahlah minyak tanah dari bagian dalam ruas bambu ke tubuh wanita malang itu. Sebagian warga merasa ngeri, tak menyangka Nasir bisa semarah dan senekad itu.

Berteriak Nurlaila memanggil-manggil Nek Kamsiah─ibunya─sambil mengibas api yang mulai menjilat kain sarung yang menutupi bagian bawahnya.

“Sekarang, tetuah kampung awak yang dihabisinya. Bukan indak mungkin selanjutnya nyawa awak yang mereka incar. Dan perempuan ni bersama anaknya harus dihabisi agar ndak ada lagi mata-mata penjajah di kampung awak ni.” Wajah Nasir memerah menyulut emosi warga.

Warga yang masih menyimpan dendam atas kematian kerabatnya tempo hari ikut meradang mendengar hasutan Nasir. Beramai-ramai mereka melemparkan obor berisi minyak tanah di tangan mereka ke tubuh Nurlaila, hingga bertambah besarlah api itu. Warga yang tadinya menaruh sedikit iba pada Nurlaila, kini tak lagi berani membela. Mereka takut membantah titah Nasir, orang terpandang di kampung itu.

“Amaaakk, Amaaak ….” raung Nurlaila sambil terus berusaha memadamkan api yang sudah memakan separuh rambut panjangnya. Namun, minyak tanah sudah rata membasahi seluruh tubuhnya, saat ia berusaha mengibas-ngibaskan rambut, dengan cepat bagian tubuh lainnya dijilat si jago merah, hingga akhirnya seluruh tubuh Nurlaila sudah menyala bak kayu kering di dalam tunggu perapian.

Sedangkan Nek Kamsiah, saat sedang mengemas pakaian, sayup-sayup terdengar di telinganya suara Nurlaila. Ia berlari ke kamar anak semata wayangnya itu, memastikan keberadaan Nurlaila. Betapa kagetnya perempuan tua itu mendapati Nurlaila tidak lagi di tempatnya. Ia tak menyangka perempuan itu nekat keluar menghadapi warga, apalagi dalam keadaan yang belum sepenuhnya pulih.

Dengan langkah tergopoh, Nek Kamsiah membuka pintu ke luar yang tidak tetutup rapat. Ia takut terjadi sesuatu dengan Nurlaila. Saat mendorong pintu, wajah Nek Kamsiah bersirobok dengan wajah Rosidah yang sedang mengatur napas sehabis berlari. Rosidah memegangi dadanya yang masih berdegup kencang sambil beberapa kali menghembuskan napas kasar. Ia memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada Nek Kamsiah. Namun, ia sadar ini adalah saat yang genting, seburuk apa pun itu, ia harus berterus terang. Secepat mungkin.

“Amaak, cepat lari dari sini! Warga akan membakar rumah ni. Cepat bawa pergi bayi tu, Mak!” Rosidah mendorong pelan tubuh ringkih Nek Kamsiah masuk lagi ke dalam rumah sembari terus melihat ke kiri dan kanan. Takut ada warga yang melihat aksinya itu. Rosidah  menyuruhnya mengambil bayi Nurlaila dan secepatnya meninggalkan tempat itu.

“Ada apa dengan Nurlaila? Tadi Amak mendengar dia memanggil-manggil Amak,” Nek Kamsiah menepis tangan Rosidah yang masih memaksanya berkemas. Ia berlari lagi ke pintu keluar yang telah terbuka sempurna. Perasaannya mulai tak enak, apalagi Rosidah datang dengan cara yang tak biasa. Nek Kamsiah terus saja menyipitkan mata, mengedarkan pandangannya sejauh yang sanggup dijangkau oleh matanya yang sudah agak rabun.

“N-Nurlaila sudah meninggal d-dibakar warga, Mak!” Terbata Rosidah berucap. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan apa yang terjadi. Semuanya harus dikatakan secara jelas agar nyawa Nek Kamsiah dan cucunya bisa selamat.

Terjatuhlah tubuh ringkih itu di lantai papan rumah panggung. Ia tak dapat merasakan dirinya sendiri. Seluruh tubuhnya kebas seketika. Air matanya bercucuran menangisi nasib putrinya. Ia menyesali tadi abai terhadap ucapan Nurlaila yang akan mendatangi kerumunan warga. Nek Kamsiah mengira itu hanya sekedar keinginan saja. Ternyata anaknya itu benar-benar melakukannya.

“Seharusnya tadi Amak indak meninggalkannya sendirian. Maafkan Amak, Nur. Ndak bisa menjagamu,” ratap Nek Kamsiah sambil memukul-mukul dadanya yang berkelindan  rasa perih.

“Mak, Nurlaila ndak bisa lagi diselamatkan. Sekarang Amak hanya bisa menyelamatkan diri Amak dan bayi tu. Segera pergi, Mak! Sebelum warga datang. Biar nanti awak yang mengurus jenazah Nurlaila,” bujuk Rosidah saat melihat Nek Kamsiah yang memaksa bangkit hendak menyusul Nurlaila.

Rosidah berlari ke kamar Nurlaila, lalu mengambil bayi yang tertidur pulas di atas kasur. Segera ia letakkan bayi itu ke tangan Nek Kamsiah. Ia berharap Nek Kamsiah mau mendengar ucapannya.

“Maafkan Ros, Mak. Ros indak bisa menolong Amak. Ros indak bisa melawan warga yang banyak tu,” terguguh Rosidah di hadapan Nek Kamsiah. berkali-kali ia peluk Nek Kamsiah untuk menguatkannya. Ia sungguh merasa tak berguna dan tak bisa membalas budi baik wanita tua itu. Padahal waktu kecil, Rosidah pernah diasuh Nek Kamsiah saat ibunya meninggal.

Dengan hati hancur dan rasa bersalah kepada anaknya, Nek Kamsiah meninggalkan rumah itu lewat pintu belakang.  Jika ia tetap di sana, maka ia juga akan membiarkan cucunya mati sia-sia. Akan bertambahlah nanti dosa dan penyesalannya. begitu pikirnya.

Nek Kamsiah menuju ke arah hutan. Ia berjalan mengendap-ngendap melewati beberapa rumah warga. Langit tanpa bulan membuat kaki telanjangnya kerap kali meraba-raba jalan yang banyak lubang dan bebatuan.

Dari balik pepohonan, tidak jauh dari kerumunan warga, Nek Kamsiah mengarahkan pandangannya ke arah perkampungan, ia melihat kobaran api  melahap tubuh Nurlaila. Semakin hancur hatinya saat mencium bau daging dibakar menguar menusuk indra penciumannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status