Home / Fantasi / PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA / BAB 5 : TERSERET KEGELAPAN

Share

BAB 5 : TERSERET KEGELAPAN

Author: TenMaRuu
last update Huling Na-update: 2025-01-19 12:40:34

"LEPASIN AKU, SIALAN!"

Aku berteriak sekuat tenaga. Namun, suaraku yang tercekat dan parau nyaris tenggelam oleh gemuruh pertempuran yang terdengar sayup-sayup di kejauhan.

Gema dari dunia lain.

Dunia di mana masih ada harapan.

Aku meronta, menendang—mengerahkan sisa tenaga yang entah tinggal berapa. Percuma. Cengkeraman makhluk Umbra di pergelangan tanganku tak bergeming. Dingin dan sekeras baja.

Ia menyeretku tanpa ampun, menyusuri koridor-koridor istana yang kini terasa seperti labirin menuju neraka. Setiap sentakan kasarnya mengirimkan ngilu yang menyengat hingga ke bahu.

Memar-memar kebiruan yang jelek pasti sudah mulai membayang di kulitku yang malang ini.

Setiap langkah paksa ini adalah siksaan baru, menyeretku semakin jauh dari riuh pertempuran di halaman istana—semakin jauh dari secercah harapan terakhirku untuk selamat.

Semakin dalam ke kegelapan.

Makhluk Umbra itu—jangkung, dengan kulit kelabu gelap yang mengerikan dan mata merah menyala yang seolah bisa membakar jiwa—hanya menyeringai lebar melihatku meronta. Deretan giginya yang runcing dan tidak rata, setajam taring serigala, terpampang jelas di bawah tudung jubahnya.

Itu bukan senyuman.

Itu seringai predator yang tengah menikmati ketakutan mangsanya. Napasnya yang berbau tanah basah dan sesuatu yang busuk menerpa wajahku.

Menjijikkan.

"Kamu pikir bisa kabur, Manusia Kecil?" desisnya. Suara serak itu merayap di tulang belakangku seperti kaki laba-laba beracun, mengirimkan gelombang dingin yang menusuk hingga ulu hati. Bukan sekadar serak, suara itu bergetar dengan aura kekuatan gelap yang pekat, seolah berasal dari jurang paling kelam.

Mati-matian, aku mencoba memanggil kembali sihirku. Naluri terakhirku memerintahkan untuk menarik air, elemen yang tadi sempat menjadi senjata dan harapanku. Namun, otakku kacau balau. Panik dan takut melumpuhkan segalanya. Konsentrasiku buyar seperti pecahan kaca.

Pusaran air dahsyat yang sempat kubanggakan tadi kini lenyap tak berbekas, hanya menyisakan getaran samar kekecewaan di udara dan di hatiku.

"***Percuma saja usahamu, Nak,***" ejek Umbra itu, seolah bisa membaca setiap gejolak di benakku. Suaranya dingin, meremehkan, dan penuh kemenangan. "***Sihir mainanmu itu tak ada apa-apanya di hadapan kekuatan Sang Bayangan. Kekuatan kami jauh melampaui pemahaman manusia fana sepertimu.***"

Setiap katanya adalah hinaan, cambukan tak terlihat yang menusuk sisa harga diriku yang terkoyak.

Umbra itu terus menyeretku tanpa henti, membawaku semakin dalam ke jantung istana Asteria. Koridor-koridor gelap dan sunyi seolah menelan kami. Suara pertempuran di luar sana benar-benar lenyap, ditelan keheningan yang mencekam.

Riel dan para penjaga elf… di mana mereka sekarang? Apakah mereka baik-baik saja?

Gelombang keputusasaan yang dingin menghantamku, membuatnya nyaris tak bisa bernapas. Terisolasi. Jauh dari harapan. Aku terperangkap.

Sendirian. Benar-benar sendirian.

Namun, tepat ketika aku nyaris menyerah pada gelap—

Sebuah pintu kayu berukir di ujung koridor yang temaram tiba-tiba berderit pelan, terbuka sedikit. Di ambangnya, berdiri sesosok wanita elf. Cahaya lembut dari obor di dinding memantul di rambut pirang panjangnya yang tergerai indah, berkilauan seperti jalinan benang emas. Matanya yang biru safir menatap kami dengan raut khawatir yang begitu jelas.

Secercah cahaya di tengah kegelapan pekat.

"Apa yang terjadi di sini?" Suara lembut namun tegas wanita itu memecah kesunyian, nadanya penuh kecemasan tulus.

Umbra di depanku menggeram rendah, rahangnya mengeras. "Jangan ikut campur urusanku, Arista. Ini bukan urusanmu," ancamnya kasar.

Wanita elf itu menggeleng tegas, dagunya terangkat menantang. "Ini istanaku juga, makhluk kegelapan," jawabnya, suaranya tenang namun penuh wibawa. "Dan aku tidak akan membiarkanmu membawa tamu kami dengan cara biadab seperti ini. Kau telah melanggar hukum kuno Istana Asteria!"

Tanpa ragu, Arista mengangkat sebelah tangannya. Seketika, cahaya putih murni yang begitu terang—menyilaukan dan terasa sangat panas—memancar dari telapak tangannya, menghantam Umbra itu.

Makhluk itu terhuyung mundur, meraung kesakitan dan kaget. Cengkeramannya di pergelangan tanganku akhirnya mengendur!

“LARI, LIORA! SEKARANG!” pekik Arista, suaranya menggema.

Aku tak membuang sedetik pun. Naluri bertahan hidup mengambil alih. Dengan sisa tenaga, aku berlari secepat mungkin, menjauh dari Umbra yang masih terhuyung marah. Koridor-koridor berliku di depanku terasa tak berujung. Aku berlari tanpa arah, hanya ingin sejauh mungkin dari makhluk itu.

Napasku memburu, paru-paruku serasa mau meledak.

Akhirnya, aku berhenti di depan sebuah pintu kayu ek besar yang sedikit terbuka. Jantungku masih berdebar kencang. Dengan hati-hati, aku mengintip ke dalam.

Sebuah ruangan luas—perpustakaan, sepertinya. Penuh dengan rak-rak buku kayu tinggi yang menjulang hingga ke langit-langit. Tanpa pikir panjang, aku menyelinap masuk, lalu menutup pintu berat itu pelan-pelan di belakangku. Aku bersandar sejenak, berusaha mengatur napasku yang tersengal.

Rak-rak buku yang tak terhitung jumlahnya membentuk labirin lorong yang senyap. Aroma khas kertas kuno dan tinta kering menguar di udara, anehnya terasa menenangkan. Sebuah kontras yang luar biasa dari teror yang baru saja kualami.

Aku berjalan perlahan di antara rak-rak itu, jemariku yang gemetar menyusuri punggung buku-buku bersampul kulit yang berdebu.

"***Tenang… Liora… tenang…***" bisikku pada diri sendiri, berulang kali seperti mantra. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan gejolak emosi ini.

"Kau aman di sini, untuk saat ini," sebuah suara lembut menyapaku dari belakang.

Aku tersentak kaget, refleks berbalik, siap kabur lagi. Tapi itu Arista. Ia berdiri di sana, di antara dua rak buku raksasa, tersenyum menenangkan. Entah bagaimana ia bisa menyusulku secepat ini.

"Terima kasih… terima kasih banyak sudah menolongku," ucapku tulus. Rasa syukur membanjiri hatiku hingga mataku terasa panas. Dia malaikat penyelamatku.

"Sama-sama, Liora." Arista balas tersenyum ramah. "Namaku Arista, seperti yang mungkin kau dengar dari makhluk jelek itu."

"Aku Liora," jawabku, sedikit lebih tenang.

"Aku tahu," ujarnya, senyum tipis terukir di bibirnya. "Riel sudah bercerita banyak tentangmu sebelum semua kekacauan ini terjadi."

"Riel…" Seketika, cemas kembali menyergapku. "Apa dia baik-baik saja? Pertempuran tadi…"

"Dia petarung yang hebat, Liora," sahut Arista meyakinkan. "Dia pasti baik-baik saja." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius, "Sekarang, kita harus mencari tempat yang lebih aman. Aku tidak yakin tempat ini bisa menahan mereka jika kita sampai ditemukan."

"Kenapa… kenapa para Umbra itu repot-repot menyerang istana semegah ini?" tanyaku, berusaha mengalihkan pikiranku. Ketakutanku masih ada, tentu saja, tapi rasa penasaran memang sudah jadi tabiat burukku sejak dulu.

"Mereka mencari sebuah artefak kuno yang sangat kuat, yang tersimpan aman di istana ini," jawab Arista serius. "Sebuah artefak yang bisa memberi mereka kekuatan tak terbayangkan. Kekuatan yang, jika jatuh ke tangan yang salah, mampu mengancam keseimbangan seluruh dunia."

"Artefak apa itu?"

"Itu adalah rahasia yang dijaga bangsa elf selama berabad-abad," ujar Arista, suaranya merendah penuh misteri. "Yang jelas, Umbra tidak boleh, dan tidak akan pernah, mendapatkannya. Jika mereka sampai berhasil…"

Arista tidak melanjutkan kalimatnya, tapi sorot matanya yang menggelap sudah cukup menjelaskan segalanya.

"...konsekuensinya akan sangat, sangat mengerikan."

Tiba-tiba!

Suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa terdengar dari luar.

Sstt! Arista cepat-cepat menempelkan telunjuk ke bibirnya, menyuruhku diam.

Pintu perpustakaan yang tadi kututup rapat tiba-tiba didobrak dengan kasar. Riel menyerbu masuk dengan wajah tegang, diikuti beberapa penjaga elf bersenjata lengkap. Wajahnya terlihat lega bercampur cemas saat melihatku aman bersama Arista.

"Liora! Syukurlah kau baik-baik saja!" serunya, langsung menghampiriku.

"Ya, aku baik-baik saja, Riel." Aku tersenyum tipis. "Berkat Arista."

Riel mengangguk, lalu menatap Arista dengan sorot mata penuh terima kasih. "Terima kasih sudah melindunginya, Arista. Aku berutang nyawa padamu."

"Sudah menjadi tugasku sebagai penjaga istana, Pangeran. Dan sebagai teman," balas Arista tulus. Ia lalu menatap Riel dengan serius. "Sekarang, kita harus segera membahas langkah berikutnya. Situasi di luar sana… semakin memburuk dengan cepat."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (3) : PENGAKUAN SAAT KAU TERTIDUR

    Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (2): CERITA DUA DUNIA

    Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (1) : KENAPA DIA TAK TIDUR?

    (Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 60: DUA DUNIA, SATU TAKDIR

    Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 59: MENYUCIKAN JANTUNG HUTAN

    Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 58: UNICORN

    Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status