Mata itu.
Dua buah kolam cahaya keemasan yang begitu dalam, begitu kuno, memancarkan kebijaksanaan dari awal waktu. Seluruh ruangan seolah ikut menahan napas. Udara di sekitar kami terasa memadat, bergetar dengan energi purba yang baru saja terbangun.
Dan tatapan mata itu… tertuju lurus padaku.
Untuk beberapa detik yang terasa seperti keabadian, dunia berhenti berputar. Kami hanya saling menatap—sang raksasa penjaga dan sang gadis tersesat. Jantungku kembali berdebar, bukan karena takut, tapi karena rasa takjub yang begitu besar hingga membuatku nyaris tak bisa bernapas.
Lalu, makhluk raksasa itu bergerak perlahan. Ia mengangkat kepalanya yang tertutup lumut sutra, dan sebuah suara menggema di seluruh ruangan.
Suara itu tidak keluar dari mulut. Suara itu seolah data
Sial. Sangat, sangat sial.Tawa rendah yang serak dan mengerikan dari balik helm hitam itu terasa seperti paku-paku dingin yang menancap langsung di gendang telingaku. "Jadi… kau yang telah mengambilnya, Anak Manusia."Cengkeraman tangan berzirah di lenganku mengencang. Dinginnya logam menembus jubah dan kulitku, seolah ingin meremukkan tulangku. Aku mencoba meronta, tapi tenaganya luar biasa kuat, seperti mencoba melawan kekuatan batu gunung. Aku tak bisa bergerak. Aku benar-benar terperangkap."LIORA!"Teriakan panik Riel dan Arista terdengar dari kejauhan. Mereka berhenti, berbalik dengan gerakan patah-patah. Wajah mereka yang tadi sempat lega kini pucat pasi, dipenuhi horor dan keputusasaan."Lepaskan dia, makhluk kegelapan!" geram Riel, pedang peraknya kembali terang
Kami telah ditemukan.Lolongan serak dan penuh penderitaan dari serigala yang telah dirusak itu merobek keheningan malam, menjadi lonceng kematian bagi persembunyian kami. Seketika, patroli Umbra yang tadinya menyebar langsung berhenti serempak. Kepala-kepala berhelm hitam itu menoleh ke arah kami, mata di balik celah zirah mereka pasti sedang menyala penuh kemenangan."SIAPKAN SENJATA!"Suara Riel yang tegas menggema di ceruk batu kami, membuyarkan kepanikanku yang hampir membeku.Tidak ada waktu untuk lari. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Ini adalah pertarungan. Di sini. Sekarang juga.Dari balik pepohonan, para prajurit Umbra melangkah maju dengan gerakan serempak yang dingin, zirah hitam mereka seolah menyerap cahaya rembulan. Seperti bidak-bidak catur mematikan yang perlahan menutup semua jalan keluar. Di depan mereka, kawanan serigala yang matanya menyala merah buas itu menggeram rendah, siap menerkam begitu mendapat perintah."Arista, kau ambil sisi kiri! Aku kanan!" perint
Setelah keajaiban kecil itu, aku langsung terduduk lemas di atas hamparan lumut, napasku tersengal. Pandanganku sedikit berputar, rasanya seperti baru saja lari maraton sambil mendonorkan separuh darahku. Daun emas di tanganku yang tadi bersinar terang kini cahayanya meredup, seolah ia juga ikut kelelahan.Hebat. Jadi kekuatanku ini punya baterai yang bisa habis juga. Dan sepertinya tidak ada power bank di dunia antah berantah ini.Riel dan Arista segera menghampiriku, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran."Liora, kau tidak apa-apa?" tanya Riel cemas, berlutut di sampingku."Cuma… capek banget," jawabku, mencoba tersenyum tapi lebih mirip meringis. "Rasanya seperti seluruh tenagaku, bahkan sebagian dari semangatku, ikut tersedot masuk ke dalam pohon itu.""Kau tida
Kami bertiga menunduk hormat sekali lagi ke arah taman suci itu sebelum akhirnya berbalik, meninggalkan puncak Menara Lumina. Di telapak tanganku, daun emas itu terasa hangat dan hidup, berdenyut dengan energi harapan.Sebuah harapan yang kini terasa begitu berat di pundakku.Saat kami melangkah keluar dari gerbang pualam, aku mengira kami akan kembali dihadapkan pada hutan remang-remang yang menyesatkan. Ternyata aku salah.Hutan di sekitar menara seolah telah berubah. Kabut tipis telah sirna, digantikan oleh pilar-pilar cahaya keemasan yang menembus kanopi perak. Di hadapan kami, sebuah jalur yang tadinya tidak ada kini terbentuk jelas, seolah karpet lumut hijau sengaja digelar untuk menyambut kami.Sang Penjaga Hutan Tertidur menepati janjinya.Hutan ini benar-benar membukakan jalan untuk kami."Luar biasa…" bisik Arista, matanya membelalak takjub.Kami berjalan menuruni lereng dengan langkah yang jauh lebih ringan. Tak ada lagi ilusi, tak ada lagi rintangan. Bahkan suara hutan pun
Mata itu.Dua buah kolam cahaya keemasan yang begitu dalam, begitu kuno, memancarkan kebijaksanaan dari awal waktu. Seluruh ruangan seolah ikut menahan napas. Udara di sekitar kami terasa memadat, bergetar dengan energi purba yang baru saja terbangun.Dan tatapan mata itu… tertuju lurus padaku.Untuk beberapa detik yang terasa seperti keabadian, dunia berhenti berputar. Kami hanya saling menatap—sang raksasa penjaga dan sang gadis tersesat. Jantungku kembali berdebar, bukan karena takut, tapi karena rasa takjub yang begitu besar hingga membuatku nyaris tak bisa bernapas.Lalu, makhluk raksasa itu bergerak perlahan. Ia mengangkat kepalanya yang tertutup lumut sutra, dan sebuah suara menggema di seluruh ruangan.Suara itu tidak keluar dari mulut. Suara itu seolah data
Pintu Menara Lumina telah terbuka.Lorong yang diselimuti cahaya putih lembut itu seolah memanggil kami masuk. Aku menoleh ke arah Riel dan Arista. Sebuah kesepakatan tanpa kata terjalin di antara kami.Tidak ada jalan untuk kembali.Dengan jantung berdebar kencang, aku melangkah lebih dulu. Begitu langkah terakhir kami melewati ambang pintu, gerbang pualam di belakang kami melebur kembali menjadi dinding padat tanpa suara.Kegelapan total menelan kami.Jantungku mencelos. Sial. Kami benar-benar terperangkap.Namun sebelum kepanikan sempat mengambil alih, ruangan di sekitar kami perlahan menyala. Bukan oleh obor, tapi oleh jutaan bintang.Tak ada dinding. Tak ada langit-langit. Di sekeliling kami, terhampar pemandangan angkasa raya yang tak berujung, dipenuhi nebula berwarna-warni yang berputar pelan dan konstelasi bintang yang berkelip indah. Kami seolah sedang berdiri di atas balkon pribadi alam semesta. Lantainya terbuat dari kristal tembus pandang, memantulkan pemandangan bintang