“Kakek! Kakek!” Dalenna memekik riang, tangannya penuh dengan bunga warna-warni. Hari ini dia memakai baju terusan selutut berwarna ungu cerah, rambutnya dibiarkan tergerai dengan bondu sebagai aksesorisnya.
“Pelan-pelan Lenna!” Kaili sedikit berteriak sambil menggeleng melihat kelakuan cucunya yang memang begitu berisik dan aktif.
“Haduh, maksa pakai baju itu katanya biar kakek lihat padahal mau ke makam..” Dirra mengeluh di sebelah Kaili, mereka tengah berjalan masuk ke dalam pemakaman umum.
Satu bulan sudah berlalu sejak hari peringatan ayahnya, Dirra dan Kaili hampir lupa karena sibuk mengurus acara ulang tahun Dalenna. Mereka baru bisa meluangkan waktu berziarah hari ini.
“Itu baju yang dibelikan Elang ya?” Tanya Kaili.
“Iya, sudah Dirra bilang untuk gak belikan baju Lenna tapi setiap kali ke kota pasti bawa baju baru.”
Kaili tertawa, dia tahu benar Elang tengah berusaha begitu keras mengambil hati Dirra meskipun sejauh ini Kaili lihat Dirra tidak berpikir untuk membangun hubungan romantis dengan orang baru.
“Kamu sudah ada persiapan untuk ngajar minggu depan Dir?” Kaili kembali bertanya, menoleh pada Dirra yang tersenyum lebar menanggapi pertanyaannya.
“Sudah kok bu, gugup sih, cuma untuk persiapan sudah oke kok.”
Kaili tersenyum kemudian merangkul Dirra sambil mengelus tangannya dengan lembut. Dia berterima kasih di dalam hati karena Dirra mau bangkit.
Setelah apa yang terjadi, Dirra dibawa bertemu seorang profesional. Ketika Dirra berangsur lebih baik, dia meminta untuk berkuliah. Meskipun sulit namun Dirra berhasil lulus dan akan mulai bekerja sebagai guru Sekolah Dasar di desa itu.
“Nah ini tempat tidur kakek!” Ujar Dalenna sambil menunjuk makam milik ayah Dirra.
Ketiganya berjongkok, berdoa dan menaburkan bunga.
Dalenna menggandeng tangan Kaili dan Dirra dalam perjalanan pulang, seperti biasa hatinya berbunga-bunga dan dia bernyanyi dengan nada riang.
“Ya ampun, lagu apa itu yang lagi dinyanyiin?” Tanya Dirra, membuka pembicaraan di tengah nyanyian putri kecilnya.
“Ibu guru kemarin nyanyi ini! Judulnya burung gereja!”
“Wah, lagunya bagus juga ya..” Kini Kaili yang menanggapi padahal liriknya saja tidak Dalenna hapal dan anak itu hanya bergumam tidak jelas.
Dalenna terkekeh geli.
Jarak dari pemakaman di desa ke rumah tidak terlalu jauh, hanya lima belas menit dengan berjalan kaki. Si kecil Dalenna berlari masuk menuju pintu depan, menunggu dengan tidak sabar ibunya membukakan pintu.
Setelah pintu terbuka dia melesat pergi ke ruang bermain. Elang membuatkan pojok kecil khusus untuk Dalenna, disana ada kotak-kotak besar yang berisi mainan Dalenna dan disanalah biasanya Dalenna menghabiskan waktunya untuk bermain dan belajar.
“Besok jam berapa pergi ke Rumah Sakit Dir?”
Dirra keluar dari dalam kamar setelah berganti pakaian dengan membawa pakaian ganti juga untuk Dalenna. Dia mendekati bocah kecil itu yang sekarang sudah tenggelam dalam asiknya permainan.
“Sepuluh bu kayak biasa.”
“Diantar Elang?” Tanya Kaili yang sudah berganti pakaian menjadi pakaian khusus bertani.
Dirra tidak langsung menjawab, dia terdiam sedangkan tangannya sibuk mengganti pakaian Dalenna.
Kaili menatap Dirra, tahu benar mengapa anaknya tidak langsung menjawab. Selama ini Elang selalu meluangkan waktunya meskipun dia sibuk dan punya janji untuk menenami Dirra, sejak hamil sampai kini Dalenna berusia lima tahun hal itu tidak pernah berubah.
Dirra merasa sungkan namun juga sadar kalau dia memang butuh sosok Elang.
“Kamu masih ragu sama Elang?” Tanya ibunya, kini duduk di samping Dirra yang selesai mengganti pakaian Dalenna. Baju kotor Dalenna dia gulung untuk dimasukkan ke dalam keranjang baju kotor.
“Dirra gak ada perasaan apa-apa bu sama Elang..” Ujarnya sambil menunduk, menatap karpet bunga-bunga yang tengah dia duduki.
“Ibu tahu, dan ibu rasa Elang juga tahu.. Dia tulus bantu kamu.”
“Karena itu bu, Dirra tahu Elang tulus. Selama Elang terus-terusan baik sama Dirra rasanya Dirra tanpa sadar ditekan untuk memiliki perasaan lebih.”
Kaili terdiam kemudian mengelus puncak kepala Dirra. Dia mengerti, sungguh. Tapi keluarga Elang memang tidak memaksa apapun, mereka mengerti bagaimana perasaan Dirra yang dipaksa meninggalkan orang yang dicintainya dalam keadaan hamil.
Semua yang dia lalui setelah kehamilan, melahirkan sampai saat ini begitu berat. keluarga Elang lebih bersyukur dia masih berusaha untuk menjalani hidup.
“Percaya sama ibu ya, gak ada yang mikir kayak gitu. Dirra tahu orang-orang disini begitu kekeluargaan dan baik, mereka bahkan sayang sama Lenna. Jadi, kebaikan-kebaikan yang mereka kasih patut kita hormati.”
Dirra menatap ibunya, “Apa Dirra selama ini ngasih harapan buat Elang bu?”
Ibunya menggeleng, “Sudah jelas sekali kok kalau Dirra hanya menganggap Elang sebagai teman, mungkin lain kali kalau Elang sudah jujur sama kamu, kamu bisa jelaskan sama dia bagaimana perasaan kamu.”
“Atau mungkin lain kali, hati Dirra bisa lebih yakin ke Elang.” Ucapnya, ibunya sedikit terkejut mendengar hal itu namun dia mengangguk.
Dirra sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia sekarang tidak punya keinginan untuk membangun hubungan romantis dengan orang baru, namun Elang juga tidak bisa dibilang orang baru. Semua yang dia lakukan untuk Dirra dan Dalenna lebih dari orang lain lakukan.
Pria itu begitu baik dan menjalani tanggung jawab dengan baik pula.
Namun, hati Dirra tidak bisa berbohong.
Jauh di lubuk hatinya, dia masih menunggu Janggala. Dia tidak percaya Janggala mencampakannya begitu saja, hari dimana Janggala berlari mengejar mobilnya adalah bukti kalau pria itu masih mencintainya.
Dia masih menunggu.
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar