Dirra masih dalam siklusnya, dia mual dan muntah secara rutin di pagi hari. Nafsu makannya melorot drastis, wajahnya pucat dan pipinya kini begitu tirus. Beberapa helai rambutnya mulai rontok karena stress.
Ibunya menangis setiap malam melihat kondisi putrinya yang memprihatinkan, kehamilan ini membuat Dirra begitu tersiksa.
“Kita harus cepat-cepat beresin semuanya yah, Dirra harus pindah secepatnya.” Kata Kaili, ibu Dirra. Dia dan suaminya tengah berada di ruang tamu, berdiskusi pelan-pelan karena takut tetangga mendengar.
Dirra sedang di dalam kamar, tertidur.
Persiapan pindah Dirra sudah sembilan puluh persen selesai, kini yang harus diselesaikan hanyalah pembayaran rumah yang akan mereka kontrak.
“Ambil uang pensiun ayah aja, kita bayar dulu dua tahun. Gak apa-apa, ibu yakin nanti kita bisa berpikir untuk selanjutnya bagaimana.” Ucap Kaili, airmata sudah jatuh satu persatu dari matanya.
Hatinya terluka melihat buah hatinya tersiksa karena menahan muntah setiap pagi, dia juga kasihan melihat Dirra selalu menunggu kedatangan Janggala ke rumah ini. Berharap pada ketidakpastian yang dia tahu kalau keluarga laki-laki itu tidak akan pernah mengizinkan keduanya bersama.
“Bagaimana dengan hutang Bank kita bu?”
Ibunya terdiam mendengar hal itu, hutang Bank itu dulu diambil untuk sekolah dan kuliah Dirra. Orangtuanya kemudian diajak untuk ikut berbisnis dengan salah satu temannya, namun ternyata semuanya palsu. Mereka tertipu, uang hasil pinjaman itu hilang dan tidak pernah kembali.
Sekarang mereka harus melunasi semuanya.
“Ayah gak usah mikirin itu dulu, nanti ibu yang cari cara supaya kita bisa melunasi sisanya.”
Ayah Dirra memijat keningnya, dia menjadi merasa bersalah karena sudah harus pensiun ketika keluarganya masih belum stabil.
“Gimanapun tujuan utama kita adalah Dirra yah. Dia harus segera pergi dari sini supaya bisa menjalani kehamilannya dengan nyaman dan aman. Ibu beneran khawatir kalau dia masih disini, selain omongan tetangga tentunya.”
Ayah dan ibu Dirra masih berbicara ketika sebuah ketukan di pintu mengejutkan mereka, melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam mereka bisa menebak kalau kunjungan ini mungkin bukanlah kunjungan biasa.
Ayah Dirra membuka pintu dan mendapati sosok yang paling mereka tidak ingin temui, wanita paruh baya dengan pakaian kantor yang mewah itu menatap keduanya dengan angkuh. Di belakang wanita itu ada beberapa orang dengan tubuh tegap dan besar.
Ibu Dirra terkesiap, buru-buru wanita itu mengecek keadaan sekitar dan meminta Nancy untuk segera masuk.
“Saya tidak mau masuk, rumah kalian terlalu kotor dan sempit.”
“Saya mohon, saya tidak ingin ada keributan disini.” Ujar Kaili, memohon pada Nancy yang mengerenyitkan dahinya. Namun wanita paruh baya itu langsung mengerti mengapa Kaili begitu panik melihat kedatangannya.
Wanita itu pasti takut tetangga tahu kalau anaknya hamil, pikirnya. Senyumnya kemudian mengembang.
Dia masuk ke dalam rumah kecil itu diikuti oleh kedua bodyguardnya, dia duduk di salah satu kursi tamu dan mengamati rumah itu. Rumah kecil dan kumuh, meskipun rumah ini rapi tetap saja di mata Nancy rumah ini terlihat tidak layak untuk ditempati.
Rumah ini layak untuk dijadikan kandang kambing, batinnya.
Melihat beberapa kertas yang berserakan diatas meja, Nancy bisa menyimpulkan kalau mereka mungkin tengah membicarakan pinjaman Bank. Karena ada beberapa buku tabungan dan hitungan sisa pembayaran.
Kaili langsung membereskan kertas-kertas tersebut. Dia bahkan enggan untuk menawari wanita itu minum meskipun sekadar berbasa-basi.
“Saya datang kesini hanya untuk memastikan kalau Dirra mau menggugurkan kandungannya.”
“Apa?!” Kaili dan suaminya merespon secara bersamaan atas apa yang diutarakan oleh Nancy. Keduanya begitu terkejut.
“Bukankah saya bilang sejak awal kalau saya tidak mau menerima janin itu? Saya tidak ingin dilain waktu nantinya kalian menuntut tanggung jawab pada Janggala karena anak itu.” Ucap Nancy dengan nada tegas dan tatapan mata yang tajam pada kedua orang di depannya.
Tatapan penuh intimidasi itu tidak membuat Kaili gentar, dia harus mempertahankan harga diri anaknya.
“Kami tidak akan menuntut apapun, bagi kami kehadiran bayi itu adalah berkah meskipun dengan cara yang tidak baik. Silahkan pergi dari sini jika anda ingin memaksa anak saya melakukan hal yang mungkin akan membahayakan nyawanya.” Ucap Kaili tidak kalah tegasnya dengan Nancy.
Nancy menghela napas, kemudian mengeluarkan selembar kertas berisi banyak kalimat yang diketik dan di cap.
“Kalau begitu tanda tangani ini, bagaimanapun saya harus punya bukti kuat kalau kalian tidak akan menuntut Janggala suatu hari nanti.”
Ayah Dirra mengambil kertas itu dan membacanya, di dalam kertas PERJANJIAN itu terdapat banyak poin-poin terutama untuk tidak memakai nama TANTRA dan tidak berusaha mempertemukan anak tersebut dengan Janggala.
Semuanya terlihat menyudutkan Dirra dan juga bayinya.
“Kami tidak akan menandatangani apapun, kami berjanji tidak akan mengganggu keluarga anda. Kami hanya mohon untuk tidak mengganggu lagi keluarga kami.” Ayah Dirra bersuara, menyerahkan selembar kertas itu pada Nancy.
Nancy menatapnya dengan kesal, merasa harga dirinya diinjak-injak dengan sopan oleh orang di depannya.
“Bagaimana kalau saya tawarkan hal menarik?”
Kaili dan suaminya saling pandang, mencoba menebak apa yang akan wanita paruh baya itu tawarkan lagi padanya demi tidak menyentuh lagi anaknya.
“Saya akan memberikan uang pada anda untuk kehidupan baru Dirra juga melunasi hutang Bank.”
Dada Kaili dan suaminya terasa perih, mereka tidak pernah merasa terhina seperti ini selama hidup. Apa yang Nancy katakan melukai hati mereka, jika mereka menerima uang itu sama saja mereka seperti menjual keperawanan putri mereka.
“Pergi dari rumah ini.” Suara ayah Dirra bergetar ketika mengatakannya, lelaki tua itu sudah hampir melewati batas sabarnya. Kata demi kata yang Nancy lontarkan benar-benar menyakitinya.
“Apa? Saya belum mengatakan jumlahnya. Saya berikan sejumlah uang dan saya hanya meminta agar Dirra putus dari Janggala.”
“Pergi. Kami tidak akan menerima tawaran apapun dari anda, seberapapun besar nominalnya. Kami tidak butuh. Silahkan pergi dari sini sebelum saya meminta ketua RT untuk mengusir kalian.”
Alis Nancy bertaut, dia merasa tersinggung dengan ucapan ayah Dirra. Kedua tangannya dia lipat di depan dada, kakinya bersilang dan dagunya naik ke atas.
“Kalian usir saya dan semua orang disini akan tahu kalau anak kalian hamil diluar nikah atau kalian memikirkan ucapan saya, menyetujuinya dan saya tidak akan menganggu keluarga kalian lagi.”
Ayah Dirra mengepalkan tangannya, giginya bergemeratak karena marah. Pria itu kemudian bangun dari duduknya, membuka pintu rumahnya lebar-lebar.
“Keluar. Kami tidak akan menganggu Janggala, Dirra dan anaknya adalah tanggung jawab saya dan istri saya sebagai orangtuanya. Jangan ganggu anak kami lagi.”
Nancy melirik dengan sinis, tanpa bicara apapun wanita paruh baya itu melangkahkan kakinya keluar dari rumah kecil itu. Dia masuk ke dalam mobil, kemudian mengambil ponselnya, menghubungi Eveline.
“Eve, hubungi atasan orangtua Dirra. Kita pakai cara lain agar mereka sekeluarga pergi dari sini!”
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar