Share

8. Alasan Menikah

Laras menatap galeri foto semasa ia berpacaran dengan Cakra. Jujur saja sampai detik ini Laras belum bisa melupakan Cakra, andai saja kejadian malam itu tidak pernah terjadi, pasti sekarang Laras sudah menikah dengan orang yang ia cintai.

Dari belakang tiba-tiba muncul Aksa yang melihat apa yang sedang dilihat oleh Laras, pria itu pun langsung merampas ponsel istrinya. "Oh jadi di belakang aku, kamu masih sering lihat kenangan kalian? Masih belum bisa move on sama dia, Ras? Aku enggak suka ya kalau istri aku masih belum bisa move on dari mantannya. Dia aja udah bisa move on dari kamu, Larasati!" Ucapan Aksa sangat menggebu-gebu.

"Aksa, dari awal kamu tahu, pernikahan ini terjadi karena terpaksa, kalau aja malam itu kamu nggak jebak aku, aku sekarang pasti udah nikah sama Cakra. Sampai sekarang aku masih cinta sama Cakra, bukan kamu. Kamu mungkin bisa dapatin aku sebagai istri kamu, tapi kamu enggak bisa dapatin cinta aku!" Laras tidak kalah berapi-api.

Sebuah tamparan keras melayang ke pipi aku. "Aku bisa lakuin yang lebih ke kamu, jadi jangan buat aku marah. Sampai selamanya kamu cuma boleh jadi istri aku." Aksa menyeret Laras ke kamar. Laras ingin berontak tapi tidak bisa, tenaga Aksa jauh lebih kuat.

Aksa melempar Laras dengan ke atas ranjang. Ia memperlakukan istrinya itu seperti binatang yang harus memuaskan nafsunya. Dengan kasar, Aksa melakukan pelampiasan yang menyakiti Laras. Laras hanya bisa menangis tanpa melakukan perlawanan, karena percuma juga tenaga Aksa jauh lebih kuat darinya.

Tatapan dan hawa nafsu Aksa seperti seseorang yang sedang kesetanan. Mimpi apa Laras sampai harus punya suami seperti Aksa yang tidak beperikemanusiaan.

Sebuah bisikan terdengar di telinga Laras. "Kamu pikir, aku nikahi kamu karena aku cinta sama kamu. Bukan, Sayang. Aku nikahi kamu, karena aku mau merebut kamu dari Cakra. Dan sekarang terbukti, aku berhasil menang dari Cakra."

Laras memelotot dengan tajam. "Berengsek!"

***

Cakra baru saja selesai mandi setelah lelahnya menjadi budak korporat seharian, ia pun membuka ponselnya dan melihat pesan masuk.

Laras: can i hug you?

Cakra tidak peduli dengan pesan teks itu, baginya Laras hanya masa lalu yang sekarang harus  ia kubur dalam-dalam. Cakra tidak akan membiarkan masa lalu kembali mengusiknya, ia harus berusaha meninggalkan kenangan yang pernah ada bersama Laras saat itu.

Tak lama kemudian muncul telepon dari Laras, tetapi Cakra terus mengabaikan panggilan itu, hingga akhirnya panggilan ketiga, Cakra pun segera mengangkatnya. Mungkin ini urgent sampai Laras terus meneleponnya beberapa kali.

"Halo," ujar Cakra sekenanya, ia benar-benar tidak peduli dengan Laras.

"Cak, aku hancur," balas Laras dengan air mata yang tidak tertahankan. Ia pun terisak di balik tangisnya.

Cakra mengernyitkan keningnya. "Maksudnya apa?"

Belum sempat Laras menjawab, tiba-tiba pintu kamar mandi digedor-gedor oleh Aksa. "Woy, lagi apa kamu di dalam? Lama banget! Cepat buka pintunya, kamu harus masak. Aku mau makan malam."

"Ras, itu Aksa kenapa teriak-teriak?"

"Udah dulu ya, aku harus masak." Laras pun langsung mematikan sambungan teleponnya. Laras merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa, ia membiarkan Aksa memperlakukannya dengan sampah.

Cakra masih kepikiran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Laras. Kenapa dia menangis? Kenapa dia bilang hancur? Dan kenapa Aksa teriak-teriak? Apa hubungan mereka enggak baik-baik saja? Banyak pertanyaan yang muncul di pikiran Cakra.

"Ah udahlah, Cak. Lo enggak usah peduli sama Laras lagi, ingat dia udah ninggalin lo demi laki-laki lain, mending lo fokus aja buat dapatin Lintang. "Ah ngomong-ngomong Lintang, dia lagi apa ya? Jadi kangen, seharian ini belum ketemu."

"Cak, ayo makan malam dulu, udah siap," ujar Sintia dari balik pintu kamarnya Cakra.

"Oke, Ma. Aku OTW."

***

"Lintang, ayo pulang, udah saatnya kamu nikah, kalau kamu belum nikah juga, bikin ibu sama bapak jadi kepikiran. Keluarga dan tetangga terus tanya kapan kamu nikah, kapan kamu pulang, kapan kamu punya anak, dan---"

"Ibu, kalau tetangga dan keluarga pada nanya, ibu jawab aja, Lintang masih sibuk kerja, nanti juga kalau udah waktunya, Lintang nikah."

"Lintang! Enggak semudah itu, kalau ibu jawab kayak gitu, pasti akan banyak pertanyaan-pertanyaan lain."

Lintang memutar bola matanya dengan malas. "Ya udah, ibu senyumin aja kalau ada yang tanya."

"Lintang, enggak semudah itu. Ibu kasih kamu waktu seminggu deh. Kamu harus datang sama pacar kamu itu ke sini, kenalin ke keluarga besar kita. Kalau kamu enggak mau datang sama pacar kamu, berarti kamu harus mau dijodohkann dengan adi. Gimana?" Arini semakin kesal menanggapi putrinya ini yang keras kepala.

Lintang menghela napas pelan. "Enggak bisa, Bu. Lintang kerja dan enggak bisa cuti."

"Oh kalau kamu enggak mau datang, biar Ibu yang ke Jakarta untuk seret kamu pulag. Mau kamu?"

"Terserah ibu deh!" Lintang langsung mematikan sambungan teleponnya dengan kesal.

Niat Lintang merantau ke Jakarta agar mendapatkan ketenangan dari keluarganya, ternyata tetap saja. Kalau Lintang mau jadi anak durhaka, ia bisa saja memblokir nomor telepon orang tuanya, tapi untungnya ia masih ingat dosa dan ingat jasa-jasa orang tuanya.

"Apa gue minta tolong Cakra aja ya, buat ikut ke Lombok?" Lintang mengembuskan napasnya. "Ah, Mario, kenapa kita harus putus?" Lintang benar-benar frustasi mengingat peliknya hidup.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status