Share

7. Ada Rasa

Setelah galau-galauan kemarin karena putus sama Mario, akhirnya Lintang kembali bangkit, dia harus lebih bersemangat lagi, hidup bukan hanya tentang cinta, ada kehidupan yang harus diperjuangkan untuk mencapai masa depan yang lebih baik lagi.

Deringan telepon membuat Lintang menghentikan langkahnya yang hendak masuk ke lobi kantor.

"Halo, Bu," sapa Lintang saat menerima panggilan masuk dari ibunya di seberang sana.

"Lintang, kapan kamu ke Lombok sama pasangan kamu? Bapak udah nanyain terus, katanya kalian harus cepat menikah, umur kamu juga udah pas membina rumah tangga."

Ucapan Arini membuat Lintang membeku, dia bingung harus menjawab apa, dia hanya terdiam.

"Lin, kalau kamu mau, Bapak bisa jodohkan kamu sama anak kepala desa di sini, ingat Adi? Yang teman masa kecil kamu itu."

Lintang rasa umur dua puluh tiga tahun masih cukup muda untuk menjalin rumah tangga.

"Bu, Lintang bisa cari jodoh sendiri. Ibu dan Bapak tenang aja, suatu saat nanti Lintang akan ke Lombok sama calonnya Lintang."

Terdengar embusan napas di seberang sana. "Kapan, Lin? Kamu udah 23 tahun, sudah lulus kuliah, sudah bekerja, jadi untuk apa dilambat-lambatin," Arini menjeda ucapannya, "teman-teman kamu udah pada nikah, setiap Ibu datang ke kondangan pasti ditanya; Lintang kapan nikah?"

Salah satu hal yang buat Lintang malas tinggal di desa, terlalu ingin tahu urusan orang lain. Lihat yang salah sedikit pasti dikomentari, lihat ini dan itu pasti dijulidin. Serasa kehidupan kita itu sesuatu yang harus mereka nilai.

"Bu, Lintang mau kerja dulu, ya, nanti disambung lagi."

Lintang langsung mematikan sambungan teleponnya, anggap saja Lintang tidak sopan karena mematikan secar sepihak, tapi dia tidak suka kalau ibunya membicarakan perjodohan.

***

Ilham yang baru sampai kantor langsung melihat ekspresi Cakra yang sedang tersenyum di kubikelnya, seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru, atau anak SD yang mendapat nilai bagus di sekolahnya.

Ilham pun menghampirinya. "Cak!"

Cakra kembali ke alam sadar, dan menatap Ilham. "Apa?"

"Lo kenapa senyum-senyum sendiri?"

Cakra kembali menampilkan senyuman lebarnya. "I'm falling in love."

Ilham meletakkan telapak tangannya ke kening Cakra. "Lo sakit?"

Ilham pikir, sekarang Cakra sudah gila karena ditinggal nikah mantan.

"Ham, sekarang gue tahu. Obat move on paling mujarab adalah menemukan penggantinya."

Ilham semakin tidak mengerti tentang Cakra yang tiba-tiba patah hati, tiba-tiba jatuh hati, dan dia tidak mau tahu dengan siapa Cakra jatuh hati.

"Ham, lo nggak pengin tahu gue jatuh hati sama siapa?"

Ilham mengendikkan bahu, lalu berjalan ke kubikelnya sendiri. "Bodo amat!" ujar Ilham dengan suara tinggi.

"Ham, hati gue kembali bergetar setelah gue nyipok orang." Cakra pun membalas ucapan Ilham dengan suara yang lumayan tinggi membuat beberapa orang di dalam ruangan itu menatap ke arah Cakra.

Cakra langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan mengalihkan perhatian ke komputer yang ada di hadapannya. Rasa malu menyerang setelah ucapan yang dia lontarkan beberapa saat itu.

Pasti abis ini image cool gue, berubah jadi image mesum.

"Fix, si Cakra jadi bucin sekarang," gumam Ilham seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Setelah pulang kantor, Cakra langsung ke indekosnya Lintang, modusnya untuk melihat kondisi kaki Lintang, padahal sebenarnya dia kangen dengan perempuan itu.

Lintang menghampiri Cakra yang duduk di sofa, setelah dipanggil oleh Tasya.

"Ada apa, Cak?" tanya Lintang saat duduk di salah satu sofa.

"Cuma mau mastiin kaki kamu."

"Oh, udah lumayan mendingan, tapi belum normal banget jalannya."

"Atau kamu mau ke dokter?"

Lintang langsung menggeleng. "Masa manja banget, gini doang ke dokter."

Sebenarnya Lintang itu anti dengan rumah sakit. Waktu kecil pernah sakit demam, dan dia dirawat di rumah sakit, pas jarum infus masuk ke kulitnya dia nangis, sejak saat itu Lintang tidak mau sakit lagi, sebisa mungkin dia jaga kesehatan agar tidak ada jarum-jarum lagi yang menusuk kulitnya.

"Lin, kita makan, yuk. Kebetulan abis dari kantor aku langsung ke sini, belum makan."

Lintang berpikir sejenak. "Makan sekitar sini aja, ya. Tapi kamu suka makanan kaki lima nggak?"

"Boleh dicoba, kayaknya not bad."

"Oke."

Mereka pun langsung ke warung kaki lima yang ada di sekitar indekos tersebut. Lintang menunjuk salah satu warung yang menjadi langganannya, menyediakan berbagai jenis menu yang menurut Lintang enak dan juga murah meriah.

Keduanya duduk di bangku panjang, setelah memesan dua porsi nasi goreng, dan dua gelas es jeruk.

"Tumben nggak air putih?" tanya Lintang.

"Biar samaan sama kamu."

"Bucin."

Cakra tertawa pelan. "Aslinya mah enggak, beda aja gitu sama kamu."

"Tingkat bucin paling tinggi adalah aku nggak mau makan kalau kamu nggak makan."

"Kamu pernah kayak gitu?"

Lintang mengangguk. "Pernah, waktu awal-awal jadian sama Mario."

Mengingat nama Mario membuat Lintang kembali murung, dia berusaha mengenyahkan bayangan laki-laki itu.

"Lintang, jangan ingat dia lagi," gumam Lintang ke dirinya sendiri.

Cakra mengernyit heran. "Kenapa?"

"Bukan apa-apa."

"Putus?"

Lintang hanya terdiam, dia mengalihkan fokus ke ponselnya yang ada di atas meja.

Cakra, lo ada kesempatan buat dapatin Lintang.

"Lin, kamu mau nggak jad—"

Belum sempat Cakra melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pesanannya mereka datang.

"Selamat makan," ujar Lintang yang hanya diangguki oleh Cakra.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status