Share

Pacar Sejuta Umat
Pacar Sejuta Umat
Penulis: Jana Indria

1. Perpisahan

Penulis: Jana Indria
last update Terakhir Diperbarui: 2021-01-10 17:38:07

"Ibu beneran mau kembali ke kantor pusat?" 

Rere menghentikan gerakan tangannya yang sedari tadi tak berhenti memasukkan barang barang yang berada di atas meja ruangan itu, ke dalam box kardus yang ia minta tadi ke salah satu boy office.

Sambil menghela nafas panjang, dia berdiri tegak dan menghadapkan badan pada perempuan cantik berjilbab lebar yang tengah berdiri di hadapannya.

"Ya ... Mau gimana lagi, udah disuruhnya begitu oleh Bos." ujar Rere sambil tersenyum tulus. 

Rere paham kesedihan Nia, tiga tahun dirinya ditemani gadis cantik yang selalu menutupi kecantikannya di balik kaca mata tebal dan cadar yang selalu ia gunakan. Berdua menghabiskan waktu bekerja bersama. Membuatnya juga merasakan apa yang sedang Nia rasakan.

*Nanti pimpinan penggantinya laki apa perempuan, Bu Rere?" 

"Nggak tahu, orangnya kan baru datang besok! Jadi ya ... Kita lihat aja, besok!" jawab Rere yang kembali sibuk dengan barang barangnya.

"Mmm ...!" Nia berdehem, dengan wajah sedih yang ia tunjukkan. Tangannya memilih kursi yang letaknya paling dekat dengan posisi Rere, untuk ditempati.

"Jangan sedih dong, Nia."

Lagi lagi Rere menghentikan apa yang sedang ia lakukan hanya untuk menghibur hati anak buahnya yang sudah ia anggap sebagai saudara selama ia merantau ke kota ini. 

"Kita kan masih bisa saling berhubungan. Apalagi nanti kalau kau sudah punya pacar, pasti bakalan lupa padaku."

"Tidak ada seorang pun yang mau berteman tulus dengan saya, Bu. Jangankan untuk bersahabat, sekedar menyapa saja mereka segan." Jawab Nia, lagi lagi dia menampakkan wajah sedihnya.

"Cuman Ibu saja yang mau bersahabat dengan saya." Nia menjawab dengan mata menatap lantai.

"Ayo, kita pergi!" 

Tiba tiba saja Rere mengambil tasnya dari kursi dan langsung melangkah pergi membuka pintu dan berdiri di sana sambil menatap Nia yang kini juga tengah menatapnya dengan wajah yang memerah karena menahan tangis.

"Ibu, kita mau ke mana?" Tanya Nia yang heran, karena tiba tiba saja Rere mengajaknya pergi.

Rere tak menjawab pertanyaan Nia, dia hanya menggerakkan sedikit kepalanya membuat isyarat agar Nia segera bangkit dan melangkah mengikutinya. 

Melihat ekspresi yang dikeluarkan Rere, Nia tak lagi berani untuk mengucapkan apa apa lagi. Selain mengikuti kemauan ibu direkturnya itu.

Rere berhenti di lobi, menunggu seseorang yang tadi ia perintahkan untuk membawa mobilnya ke depan lobi. 

"Bu ...."

Rere tak lagi memperdulikan ucapan Nia, apalagi bersamaan dengan itu mobil miliknya sudah datang dan berhenti pas di depannya. 

"Bu ...!" Sapa seorang lelaki berpakaian office boy yang mendekat dan mengulurkan tangannya, memberikan kunci mobil sambil membungkukkan badannya sedikit.

"Makasih ya ...." Ujar Bu Rere yang menyelipkan sejumlah uang ke tangan office boy tadi.

"Sama sama, Bu." Jawab office boy tersebut sambil tersenyum senang.

Namun itu tak di perhatikan oleh Rere, yang telah melangkah mendekati pintu mobilnya.

"Nia ... Masuk!" perintah Rere sambil membuka pintu untuk Nia, dan langsung menyalakan mobilnya sesaat setelah Nia duduk dan menutup pintu mobil.

"Bu ... Ngapain kita ke sini, siapa yang mau di dandani?" tanya Nia saat melihat mobil yang di kemudikan oleh bosnya berhenti di sebuah salon terkenal di kota itu. 

Rere masih terdiam, dia mematikan mobilnya yang sengaja dia parkir di bawah pohon besar dan rindang yang berada di tengah tengah halaman salon.

Membuka pintu mobil dan melangkah keluar, tanpa berkata apa apa, membuat Nia yang duduk di sebelahnya tak berani bertanya, kecuali mengikuti langkah bosnya.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" 

Seorang receptionis langsung menyapa ramah saat Rere yang di ikuti Nia dari belakang menghampiri satu satunya meja yang berada di lobi salon.

"Tolong katakan pada Bu Dinda, Rere sudah datang."

"Silahkan duduk dulu, Bu." Jawab receptionis itu ramah, tangan kanannya menunjuk kursi kosong ada di depan mejanya.

Tanpa menjawab Rere langsung menuju kursi yang ditunjuk si Mbak receptionis, sambil memainkan ponselnya.  

Lagi lagi Nia hanya bisa mengikuti gerak gerik bosnya tanpa mempunyai keberanian untuk bertanya lagi.

"Maaf Bu Rere. Bu Dinda tadi terpaksa pulang karena ada kepentingan keluarga, tapi beliau sudah memberikan amanah buat saya untuk melakukan tugasnya."

Seorang lelaki yang bergaya seperti perempuan mendekati Rere yang sedang asyik main ponselnya.

"Kamu beneran sanggup?" Tanya Rere yang memandangi wajah lelaki itu dari atas ke bawah, seperti tidak yakin.

"Mudah mudah saya bisa membuat Anda tersenyum hari ini." Jawab lelaki itu lagi ramah, sepertinya dia tidak terpancing dengan ucapan Rere yang merendahkannya tadi.

"Tolong ubah gadis di belakangku!" Ujar Rere tanpa menoleh namun sudah mampu membuat mata Nia hampir keluar dari kelopaknya.

"Bu ...." Tercekat suara Nia, tak sanggup untuk meneruskan kata katanya.

"Mari mbak, ikut saya." Ajak lelaki itu sambil tersenyum ramah, kepada Nia yang sepertinya tak mau berdiri.

"Tapi jangan kamu yang nemenin dia, kalian bukan muhrim!" Ujar Rere, dengan mata tetap fokus pada ponselnya.

"Baik, Bu." Jawab lelaki itu tetap dengan senyum ramahnya. 

****

[Sudah menemukan tempat yang cocok untukku?] Tanya Rere pada seseorang yang ia hubungi melalui ponselnya. Sesaat setelah Nia meninggalkannya sendirian di lobi salon.

[Sudah, semuanya sesuai dengan apa yang anda mau, Bu. Bahkan lengkap dengan satu maid perempuan separuh baya.] Jawab orang yang di telpon.

[Kamu dapat info nggak, siapa yang akan menggantikan aku di sini?] 

[Maaf, Bu. Saya tidak mendapatkan info apa apa, sepertinya tuan bos benar benar akan memberikan banyak kejutan.]

[Jemput aku besok malam di bandara, jangan sampai telat, ok!]

[Siap, Bu!"]

[Makasih, Din. Besok malam jangan sampai membuatku menunggu, Ok!]

Tak perlu menunggu jawaban dari orang yang tadi ia hubungi, Rere sudah mematikan ponselnya dan meletakkan kembali ke dalam tasnya.

"Ibu ... Silahkan." Mbak receptionis yang tadi meletakkan di meja, dua botol teh dan beberapa kue donat di atas piring. Sekaligus menawarkannya pada Rere.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pacar Sejuta Umat   99. Ending

    "Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si

  • Pacar Sejuta Umat   98. Segar (21+)

    Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn

  • Pacar Sejuta Umat   97. Mas, mmm ....

    "Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus

  • Pacar Sejuta Umat   96. Maaf

    Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu

  • Pacar Sejuta Umat   95. Alhamdulillah

    "Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m

  • Pacar Sejuta Umat   94. Pulang, Nia.

    Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san

  • Pacar Sejuta Umat   93. Rere

    "Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere

  • Pacar Sejuta Umat   92. Ngidam masak

    "Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag

  • Pacar Sejuta Umat   91. Salah sangka Alman.

    "Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status