Share

Bab 5

last update Last Updated: 2024-09-30 22:31:36

Pacar Toxic 5

Sejak resmi memutuskan hubungan dengan Reymond daku fokus dengan pekerjaanku. Bukannya aku tidak mengalami patah hati, tapi lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja. Dengan begitu aku tak sempat mikirin Reymond. Mau jalan-jalan ya nggak mungkin, aku kurang tahu daerah sini. Nggak ada temennya juga. Diani sibuk sama pacarnya. Lagipula aku anak rantau, harus ekstra hemat agar bisa nabung. Masa iya habis merantau masih miskin juga?

Memang hubungan kami baru setahun jalan, tapi banyak kenangan dan momen yang sudah kami lewati. Dan bukan perkara mudah untuk melupakan semua itu. Apalagi selama tinggal di kota ini, duniaku hanya seputar kantor dan Reymond. Tahu sendiri, di kota ini hanya dia dan Diani yang akrab denganku.

Pagi berangkat kerja, diantar Reymond. Di tempat kerja, hampir tiap jam Reymond nelfon nanya aku sedang apa? Makan siang, sama Reymond juga. Pulang kantor pun di jemput Reymond. Reymond lagi, Reymond lagi. Jadi, melupakan Reymond effortnya luar biasa. Butuh waktu dan perjuangan, apalagi dia pacar pertamaku. Aku berharap kesibukan dan seiring berjalannya waktu, Reymond terlupakan dan lukaku sembuh dengan sendirinya.

Entah terlalu cinta, atau bagaimana. Kadang aku kangen Reymond juga. Kangen diantar jemput, kangen makan bareng, kangen perhatiannya, kangen suaranya, senyum manisnya. Pokoknya aku kangen semua tentang Reymond. Namun begitu aku tetap berusaha sebisa mungkin untuk melupakan sosoknya, mengingat betapa toxicnya hubungan kami.

'Ya Allah .... Ternyata patah hati se-nyesek ini'

"Senyum, Luk! Senyum! Tegang amat itu muka. Biar patah hati, wajah harus tetap ceria!" Seperti biasa, Diani selalu mengganggu ketenanganku.

Dia yang menjadi tempat curhatku selama ini. Jadi, dia yang paling tahu apa kurasakan saat ini.

Aku menarik bibirku ke atas, hingga lengkungan menyerupai senyum.

"Senyumnya yang ihlas, dong.... Jangan kaku begitu." Diani menangkup wajahku dengan kedua tangannya.

"Udah deh, Di! Aku mau kerja, kamu jangan ganggu terus! Entar ketahuan Pak Bos kerja nggak serius terus dapat SP, nangis!" Aku menepis tangan Diani dari wajahku.

"Nggak takut, tuh! Kan, aku aku punya orang dalam. Jadi aman lah posisiku." Diani pernah cerita, dia masih ada hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan.

"Kamu aman! Nah, aku?" Diani terkekeh mendengar ucapanku.

"Serius amat, Jeng! Kerja itu harus dengan hati yang bahagia, biar hasilnya maksimal. Lah, kamu? Muka kaku kek kanebo kering gitu. Senyum, dong! Biar aura positif menghampiri, dan hasil pekerjaanmu memuaskan. Lagian kamu ini, putus sama cowok kampret aja galaunya nggak habis-habis. Move on, Jeng, move on! Hidup harus tetap berjalan meski nggak punya pacar," ucap Diani berapi-api. Sudah seperti motivator aja dia!

"Udah pidatonya?" sinisku.

"Ih, kamu ini ya! Diberi pencerahan bukannya terima kasih malah sinis begitu. Yang aku omongin semuanya bener, Luk! Patah hati boleh, sedih juga nggak ada yang larang. Tapi jangan berlebihan gitu, dong! Kayak cowok di dunia tinggal Reymond aja!" Bukannya berhenti, Diani justru semakin menjadi.

Diani memegang kedua bahuku, dia memaksaku menatap ke padanya. "Luluk, lihat aku! Aku perhatiin kamu sudah seperti robot tahu, nggak. Hidup hanya sekedar hidup, jiwamu melayang entah kemana. Semangat, Luk! Semangat! Tatap masa depan! Aku paham nggak mudah buat kamu lupain Reymond, tapi jangan letoy gini, dong! Atau kamu cari cowok baru aja, biar cepet nglupain si Reymond itu."

"Sudah selesai tausiyah, Ustadzah? Saya harus kembali bekerja, tugas saya masih banyak," sahutku kesal sambil menepis tangan Diani dari bahuku.

"Diani! Kamu dibayar untuk bekerja, bukan untuk ngerumpi!" Suara tegas Pak Bos menginterupsi obrolan kami. Sontak aku dan Diani kalang kabut berlari ke kubikel masing-masing.

"Saya mau ini yang terakhir, saya melihat karyawan ngobrol yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, di jam kerja!" ucap Pak Bos lagi.

Kami berdua tak berkutik sama sekali, hanya bisa diam dan menundukkan kepala. Meski dikit, ucapan Pak Bos ini termasuk kalimat sakti yang harus dipatuhi karyawan di sini. Bisa jadi masalah besar, kalau berani membantah. Jangan sampai kalimat keramat meluncur dari bibirnya. Bahaya! Karena aku sudah pernah bikin masalah, jadi paling aman cukup diam saja.

Hening, di antara kami berdua tak ada yang berani angkat bicara. Pak Bos pun masih diam di tempatnya, entah siapa yang ditatap. Aku atau Diani, aku tak tahu. Karena dari tadi hanya menunduk.

"Diani! Kamu ke ruangan saya sekarang!" titah suara itu dengan tegas.

Tak ada jawaban dari Diani. Aku tebak dia mengangguk sopan. Aku mana berani melihat? Melirik aja takut.

Mereka berdua meninggalkan ruangan, itu bisa kudengar dari suara sepatunya yang beradu dengan lantai, dan semakin menjauh hingga akhirnya tak terdengar.

"Hhh...." Akhirnya aku bisa bernafas lega sekarang. Mereka sudah pergi.

Kenapa Diani dipanggil, ya? Bukannya deadline laporannya masih nanti sore? Apa Diani dapat sanksi, karena ketahuan ngobrol di jam kerja? Kalau iya, kenapa hanya Diani saja? Kok, aku enggak? Ih, Pak Bos pilih kasih.

Ah ya, aku lupa. Pak Bos masih marah karena kejadian di resto waktu itu. Pak Bos bahkan mendiamkan aku, nggak akan bicara kalau nggak penting banget. Itu pun hanya sepatah dua patah kata.

'Aku harus apa, Bos? Agar dapat maafmu' Batinku bermonolog.

* * * * * * * * * * * * *

Aku punya kebiasaan aneh, sejak putus dari Reymond. Tiap di kosan, aku selalu mengunci pintu kamar, lampu pun aku matikan. Antisipasi kalau Reymond datang, agar dia pikir aku sedang pergi. Aku memang setakut itu pada cowok tempramen itu.

Seminggu berlalu, Reynald tak pernah menememuiku. Kupikir dia sudah bisa menerima keputusanku, dan move dengan cari gandengan baru. Meski nggak ganteng-genteng banget, Reymond termasuk good looking. Aku rasa dia bisa dengan mudah mencari penggantiku. Kalau mikir kesitu, hatiku bagai ditusuk sembilu.

'Hati, kenapa kamu plin-plan begini?'

Lagi asik-asiknya melamun, tiba-tiba ponselku berbunyi nyaring. Sebuah panggilan dari nomor asing masuk. Aku harap itu bukan Reymond yang pakai nomer baru.

"Halo, Assalamu'alaikum ...." Meski ragu, aku tetap mengangkat panggilan itu. Takut kalau ternyata ada panggilan penting.

"Waalaikum salam. Benar ini saya sedang bicara sama, Mbak Luluk?" sapa suara wanita dari seberang sana.

"Maaf, ini siapa ya?" Tentu aku tidak mau langsung menjawab iya. takut penelfon ternyata sindikat penipu. Jaman sekarang kejahatan makin banyak modusnya.

"Saya Tante Rumi, ibunya Rey. Ini bener Mbak Luluk, kan?" tanya suara itu lagi

Deg! Ibunya Rey? Ada apa ini?

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pacar Toxic   Bab 54

    Ekstra part 2 Pov Tema. "Aaa.... " Jeritan Luluk menarik paksa kesadaranku dari alam mimpi. Ku tengok istriku tengah duduk dengan nafas memburu, tangannya memegang dada. Sudah beberapa hari ini dia sering menjerit ketakutan dalam tidurnya. Entah mimpi buruk apa yang tengah menterornya, hingga istriku ketakutan seperti ini. "Mimpi buruk lagi?" Tanya lembut, seraya memeluknya. Luluk mengangguk dalam dekapanku. Aku merasa tidak ada masalah dalam hidup kami. Hubungan kami baik-baik saja, malah sedang mesra-mesranya. Ezra sudah mandiri sekarang, sudah berani tidur di kamarnya sendiri. Jadi aku dan Luluk kembali seperti pengantin baru lagi. Lalu masalah apa hingga membebani pikiran Luluk, hingga terbawa dalam mimpi? "Memang kamu mimpiin apa?" Tanyaku lagi. Kuelus lembut punggungnya. "Mas nggak marah, kan? Kalau aku cerita?" Aku terkekeh mendengar jawaban Luluk. Masak iya aku marah hanya karena dia mimpi buruk? Ada-ada saja istriku ini. "Memang kamu mimpi apa? Selingkuh? Kalau

  • Pacar Toxic   Bab 53

    Pacar Toxic 53 Extra Part Sehari setelah kedatangan Tante Rumi, aku Diani mengabarkan bahwa Raymond meninggal. Aku dan Mas Tama sepakat mengirim karangan bunga, sebagai pengganti kehadiran kami. Datang ke pemakaman mantan, bukan opsi yang tepat untukku yang masih menyimpan trauma. Diani yang selama ini mengikuti kasus Raymond, menceritakan bahwa harusnya mantan pacarku itu sudah mendapat vonis, dan menjalani hukuman. Namun karena kondisi yang tidak memungkinkan, kasus ditunda menunggu sampai Raymond sadar. Aku sempat heran, kenapa Diani begitu up-to-date terhadap kasusnya Raymond. Padahal Mas Tema yang punya kepentingan saja, sudah angkat tangan. Dia bilang padaku. "Awalnya aku dendam banget, Bund. Pengen menjebloskan dia di penjara lebih lama, kalau perlu menuntut dia dengan hukuman mati. Tapi pernyataan dokter yang menyatakan lucknut itu sudah mati batang otak, aku memilih tak peduli. Buat apa? Orang sudah nggak ada harapan gitu. Orang tuanya saja yang bodoh, buang-buan

  • Pacar Toxic   Bab 52

    Pacar Toxic 52 "Sayang, hati-hati nanti jatuh!" ujar Mas Tema, seraya mengejar putra kami yang berlarian di kebun belakang. "Hap! Ketangkap kamu!" tawa bapak dan anak itu berderai bersama, kemudian mereka bergulingan di rumput. Pemandangan ini hanya bisa kunikmati di akhir pekan, senin sampai jumat, Mas Tema akan sibuk di kantor atau proyeknya. Meski hanya bisa memiliki dia seutuhnya di akhir pekan, kami sangat bahagia. "Ayo! Kita lomba nangkap Bunda, siapa yang menang boleh nyium dan meluk Bunda." Ada-ada saja kelakuan bapak dua anak itu. Mana ada lomba seperti itu, jelas dia lah pemenangnya. Kalau pun kalah tetap saja dia tak ngalah sama anaknya, berebut peluk dan cium aku. "Adek enan! Adek enan!" Dengan suara cadelnya dia berseru senang. Diciumnya wajahku berkali-kali, hingga wajah ini basah oleh air liurnya. "Papa juga mau cium Bunda, dong!" Mas Tema merangsek ke arah kami, tapi dihalangi Erza. "Ndak boyeh!" Tangan mungilnya menahan wajah Mas Tema. "Kal

  • Pacar Toxic   Bab 51

    Pacar Toxic 51 Pov Tema "Kalau Mama tidak melarang Luluk makan rujak, pasti dia tidak seperti itu. Dia ngejar tukang rujak, pasti karena pengen banget," sesal Mama. Sejak datang Mama terus saja menangis, melontarkan semua penyesalan, atas sikapnya yang terlalu protektif terhadap Luluk, soal makanan. Mama orang yang paling merasa bersalah. "Namanya ngidam, kan, memang susah ditahan. Orang yang mau bukan dia, tapi bayinya. Mama juga pernah merasakan ngidam, tahu rasanya kalau lagi pengen sesuatu itu kayak apa. Harusnya Mama menuruti Luluk, bukan malah melarang dia makan makanan yang dia inginkan. Jadi tersiksa kan, dia. Terus ngejar tukang rujak, sampai ninggalin kantor," lanjut Mama. "Nggak ada yang salah, Ma. Semua yang terjadi sudah jadi kehendak-Nya. Kita doakan saja, semoga dokter bisa menyelamatkan anak dan istriku." Aku hampir tak bisa menahan tangis ketika berkata. Bayangan Luluk tengah bertaruh nyawa di meja operasi, membayang di pelupuk mata. Luluk dalam keadaan tida

  • Pacar Toxic   Bab 50

    Pacar Toxic 50 Pov Tema "Nyari Luluk, Mas?" tanya Diani ketika aku mendatangi ruangannya. Saat tiba di kantor, Luluk pamit ke ruangan Diani. Kangen katanya. Tentu saja aku tidak melarang. Dua sahabat itu sudah lama tidak bertatap muka, biarlah kangen-kangenan. Setelah Luluk melahirkan nanti, momen seperti itu akan sulit mereka temukan. Luluk akan sibuk dengan anak kami, apalagi kalau kemudian Diani menikah. Makin susah mereka buat ketemuan. Biarlah mereka menikmati kebersamaan ini. Begitu pikirku. Sementara Luluk melepas kangen dengan Diani, aku memeriksa beberapa berkas sebelum ditandatangani, dan menerima laporan secara online dari beberapa proyek yang masih dalam proses pengerjaan. Setelah selesai, aku menyusul Luluk. Aku sudah janji akan mengantarnya membeli perlengkapan anak kami. Sudah mepet waktu melahirkan. Sudah lama juga kami tidak pernah keluar berdua. Anggap saja kami pacaran lagi, sebelum disibukkan dengan kehadiran si kecil. "Tadi dia kesini, kan?" Agak aneh, ti

  • Pacar Toxic   Bab 49

    Pacar Toxic 49 "Gue nggak mau ikut campur, kalau sampai bos ngamuk. Yang lo lakuin ini bahaya tau, nggak? Kita harusnya menghindari masalah, biar nggak berurusan dengan polisi. Eh, elu malah cari gara-gara." "Gue cuma memanfaatkan kesempatan yang ada, Bro. Santai dikit, lah!" "Elo memang susah dibilangin! Masuk lagi tau rasa, lo!" "Tenang, Bro! Semua bakal aman, tempat ini masih steril." "Bos, Rey. Bos! Lo pikir dia nggak tahu tempat ini?" "Asal lo nggak ngomong, Bos gak bakal tahu. Lagipula aku yakin, Bos tidak akan marah. Toh, kita sudah mengerjakan tugas yang dia berikan dengan baik." "Terserah, Lo. Yang penting jangan libatkan gue." "Iya! Khawatir banget, sih, lo." "Oke, kalau begitu gue pergi sekarang. Ingat! Jangan bawa-bawa nama gue, kalau ada apa-apa." "Sip! Thanks bantuannya, Bro." "Gue cabut!" Lamat-lamat kudengar orang berbincang, entah siapa dia. Aku tak kenal suaranya. Meski terasa lengket, aku tetap berusaha membuka mata. Aku terkejut, mendapati diri ten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status