Share

Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal
Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal
Penulis: Alea Zeya

Bab 1 - Bukan Sekadar Anak Teknik

Penulis: Alea Zeya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-10 22:17:21

Ada banyak hal yang Citra Paramitha anggap sebagai gangguan di hidupnya. Seperti orang yang nyalain motor knalpot racing jam lima pagi. Seperti pengendara motor yang lupa pake sein tapi marah kalau ditabrak. Dan yang paling menyebalkan adalah, Dikayasa Pradipta, si penghuni kosan sebelah yang berisiknya melebihi toa masjid rusak.

Citra menghela napas untuk kesekian kalinya pagi itu. Di tangannya, segelas kopi susu homemade yang niatnya mau nemenin deadline tugas gambar perspektif.

Lalu, apa yang terjadi?

Dari arah kamar sebelah—kosan sebelah yang nempel dengan kosnya, ada suara gitar nyaring melengking, diikuti suara cowok nyanyi pakai teknik ‘kerongkongan terbakar’.

“AKU CINTA KAMU, MESKI KAMU SUKANYA BAKWAN~~~

BUKAN AKU YANG GANTENG DAN BERUANG~~~”

Citra menahan diri buat nggak lempar penggaris 30 cm ke arah tembok.

“Sumpah, ini cowok nyanyi apa mengutuk?” gumamnya pelan sambil menyesap kopinya, mencoba tetap elegan meski hasrat untuk membakar gitar cowok itu membara.

Sudah dua minggu Citra pindah ke kosan cewek di daerah Dago Atas, lumayan deket kampusnya. Kosannya tenang, sejuk, view ke bukit. Sayangnya, Tuhan nggak menciptakan hidup tanpa plot twist.

Plot twist-nya bernama Dika. Anak teknik. Penghuni kosan cowok sebelah. Tengilnya kayak gorengan ketinggalan di minyak dingin. Dan yang bikin parah: kamar mereka persis berdampingan, cuman dibatasi tembok tipis.

Citra mencoba fokus lagi ke laptopnya. Tapi baru juga mau nentuin garis horizon di layout tugas, suara dari luar jendela bikin dia refleks menoleh.

“CITRAAAA! KAMU NGAMBEK YA HARI INI? KOPI NGGAK DIBAGI, NIH?”

Suara itu. Lagi-lagi. Dika.

Citra buru-buru berdiri, membuka jendela kamarnya, dan melihat cowok itu tengah bersantai di balkon sebelah, gitar dipangkuan, rambut acak-acakan, dan wajah… nyebelin.

“Dikayasa. Kamu sadar nggak sih, kalau kamu itu gangguan audio-visual di hidup orang lain?” tanya Citra datar.

Dika malah tersenyum lebar. “Tapi kamu masih inget namaku, berarti aku cukup berarti dong.”

Citra mengerjapkan mata. “Aku inget karena tiap hari namamu disebut satpam kosan cewek sebagai ‘penyebab tidur terganggu’.”

“Wah, berarti aku legend,” Dika mengangguk-angguk puas. “Nanti kalau kamu udah baper, jangan bilang aku nggak kasih peringatan, ya.”

“Baper? Ke kamu?” Citra tertawa sinis. “Kamu yakin otak kamu itu buat mikir, bukan buat ngatur suara gitar rusak?”

Dika cuman mengangkat bahu. “Gitar rusak aja bisa bikin kamu buka jendela dan ngeliat aku. Apalagi kalau aku main piano. Bisa-bisa kamu ngelamar duluan.”

Citra melotot. Ia menutup jendela keras-keras.

“Cowok ngeselin. Tengil.”

Gangguan bukan hanya di pagi hari saja. Malam harinya, Citra duduk di balkon sambil ngerjain revisi tugas. Suasana tenang. Nggak ada suara gitar. Nggak ada suara teriakan aneh. Sampai…

“Untuk Citra Paramitha… sang penghuni balkon elegan…”

“Aku bawakan lagu malam ini. Judulnya… ‘Bibir Kamu Tipis, Tapi Nancepnya Dalem’.”

Citra hampir menjatuhkan pensilnya.

“Astaga……”

***

Kalau ada yang bilang cinta itu buta, Dikayasa Pradipta bakal nyaut, “Ya iyalah, kalau nggak buta, mana mau naksir tetangga yang tiap hari nyinyir?”

Tapi ya gitu, cinta memang sering datang dalam bentuk yang nggak masuk akal.

Kayak Citra Paramitha, misalnya. Wajah kalem, gaya anggun, jalan pelan, tapi mulutnya… tajam. Ngalahin kritik dosen pas presentasi akhir semester.

Dika ngelirik ke arah balkon kamar sebelah sambil ngunyah indomie goreng rasa ayam geprek buatan sendiri. Sambil gitu, dia mikir keras, “Citra udah keluar belum, ya? Tadi pagi sih buka jendela. Tapi di banting, hmmm, berarti mood-nya masih stabil ke arah penggorengan.”

Sialnya, makin galak Citra, makin pengen Dika kerjain. Makin disindir, makin pengen dia ngegombal receh yang bikin Citra geleng-geleng kepala sambil dalam hati ketawa.

“Lo seriusan, Ka, suka sama cewek galak itu?” tanya Rama, temen kosannya, sambil ngelap gitar pinjeman yang dipake Dika tadi pagi.

Dika angkat bahu. “Nggak tahu… tapi, tiap dia marah, rasanya pengen beliin dia bunga. Tiap dia nyindir, rasanya pengen minta disindir tiap hari.”

“Lo normal nggak sih?”

“Nggak. Anak teknik mana ada yang waras setelah semester enam.”

Rama geleng-geleng. “Terserah lo deh. Yang penting jangan sampe kosan kita dilempar batu karena lo tiap pagi nyanyi aneh-aneh.”

Dika cuman nyengir. Dalam hati, dia udah punya rencana. “Besok pagi, gombalan harus naik level.”

Kemudian, dia melanjutkan kegiatan di depan laptop, ngetik-ngetik skrip presentasi proyek Teknik Mesin. Tapi pikirannya kemana-mana.

Citra. Balkon. Dan kata-kata dia tadi pagi. “Kamu yakin otak kamu itu buat mikir, bukan buat ngatur suara gitar rusak?”

Dika ketawa sendiri. Kebayang nggak sih, cewek kalem tapi nyindirnya pedes banget? Tapi dia tahu, Citra bukan cewek sembarangan.

Makannya Dika punya misi: Bikin Citra benci dulu, baru nanti rindu. Biar dia tahu, Dika bukan sekadar anak teknik—tapi juga seniman gombalan kelas atas.

Benar saja. Besok pagi, Dika sudah berdiri di balkon. Gitar di tangan. Kemeja bolong dikancingin sembarangan. Rambut acak-acakan, tapi penuh percaya diri.

“CITRAAAA! DIKA DATANG LAGI, SEBAGAI PENGGANGGU KEHIDUPANMU YANG TERTATA! PAGI INI, AKU DEDIKASIKAN SEBUAH LAGU BERJUDUL… CINTA ITU KAYAK KOPI TANPA GULA, PAHIT, TAPI KAMU TETAP NAGIH JUGA!”

Sialan.

Jendela kamar Citra terbuka. Citra muncul dengan tatapan… kosong.

“Masih pagi. Kamu nggak takut dosa ganggu orang tidur?”

Dika nyengir. “Justru dosa kalau aku nggak nyapa kamu pagi-pagi gini. Nanti kamu nyari-nyari aku. Kan bahaya.”

“Dika. Aku doain, kamu ngerjain tugas teknikmu pakai AutoCAD versi bajakan yang crash tiap lima menit.”

Dika langsung pura-pura meringis. “Kejamnyooo…”

Citra langsung nutup jendela. Kesal. Dan Dika? Dia malah senyum-senyum sendiri sambil memetik senar gitar pelan.

Musuh bebuyutan emang yang paling bikin penasaran. Apalagi kalau musuhnya punya lesung pipi kayak Citra.

***

BRRRROOOOONNNKKKKK—KEDEDEDE—GUBRAG!

Itu motor. Suara motor—motor yang sudah jadi legenda di lingkungan teknik. Motor tua Dika yang udah disambung-sambungin pakai selang bensin bekas dan plat aluminium sisa proyek.

Bikin Citra yang mau berangkat ke kampus ngomel-ngomel ke teras kos sebelah.

“Dika! Motor kamu itu kenapa sih, kayak truk mogok ditabrak dinosaurus?”

Dika menengok ke arah kos sebelah. “Motor tua. Tapi romantis. Kayak aku.”

“Dih! Motor romantis?”

“Iya. Tuh, setiap pagi dia juga bangunin orang kayak aku.”

Citra mau balas, tapi lebih baik berangkat ke kampus saja. Dia cuman menghela napas, menatap cowok itu sebentar, lalu melangakah menuju ojek online yang sudah dipesan di depan gerbang kosnya.

“CITRA!” Citra tidak berhenti melangkah, tapi suara Dika bikin orang-orang yang sedang berkegiatan di sekitar mereka tertawa. “NGGAK PA-PA KAMU HARI INI NAIK OJEK ONLINE! TAPI BESOK LIAT AJA, KAMU PASTI NAIK OJEK ONLINE LAGI.”

Cowok stress!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 6 - Warung Kopi dan Bangku Modular

    Minggu pagi di Bandung adalah kombinasi anatar bau tanah lembap, suara motor kopling yang susah hidup, dan anak-anak kosan yang baru bangun jam sembilan, tapi merasa sudah jadi manusia produktif. Dika salah satunya. Ia duduk di balkon kosannya, mengenakkan kaos hitam sablon “Rancang Bangun Rindu”, dan celana pendek warna khaki yang sudah mulai pudar karena terlalu sering dipakai buat tidur, kerja kelompok, dan konten TikTok. Gitar akustik reyot yang biasa dia bawa nongkrong, sekarang ada di pangkuannya. Tapi belum sempat dia genjreng satu lagu, suara dari bawah kosan menginterupsi dengan dramatis: “DIKAYASA! ADA KIRIMAN DARI CITRA!”Dika nyaris jatuh dari kursi plastiknya. Ia melongok dari balkon. Di bawah, satpam kosan menunjuk ke arah kardus kecil bertuliskan “Untuk Dika, jangan dibuka pake gerinda.” Setelah mengambil paket kiriman dari Citra, Dika membuka kardus itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada dua bungkus kopi tubruk kemasan dan satu mug keramik warna kuning pastel. Di si

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 5 - Balkon

    Malam makin turun pelan-pelan di Bandung, tapi balkon kosan cowok itu masih menyala lembut oleh sorot proyektor. Layar film sudah gelap, credit Before Sunrise telah selesai, tapi tidak ada yang beranjak. Hanya suara jangkrik dari halaman belakang, dan satu nyamuk yang terbang melintasi wajah Dika—langsung ditepuk pelan. “Kamu tuh ya… selalu ada di momen yang nggak penting tapi bikin deg-degan,” kata Citra tiba-tiba. Dika menoleh pelan. “Maksudnya? Aku atau nyamuknya?” Citra menyandarkan kepala ke bantal di belakangnya. “Dua-duanya nyebelin. Tapi kamu lebih bikin males ngeselinnya.” Dika mengangguk pelan, seolah menerima penghargaan. “Dikasih gelar sama Citra Paramitha: cowok paling nyebelin sedunia. Tapi tetep dicariin tiap hari.” Citra melirik. “Siapa yang nyariin?” “Yang tadi habis bilang, ‘nyebelin tapi nyenengin’ digrup kosannya.” “IHHH! KAMU NGINTIP CHAT AKU?” Dika menyilangkan tangan di dada. “Aku nggak ngintip, tapi aku bisa baca dari auramu. Kamu tuh kayak majala

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 4 - Cerita Mereka... Baru di Mulai

    Hingar bingar kampus perlahan mereda. Proyek kolaborasi Teknik Mesin dan Arsitektur sudah rampung dan menuai pujian. Tapi alih-alih langsung kembali ke rutinitas masing-masing, ada ruang kosong yang menggantung—ruang yang entah kenapa, ingin diisi. Dan Citra Paramitha sama sekali nggak nyangka, ruang kosong itu bakal diisi oleh ajakan absurd dari cowok yang selama ini mengganggu hidupnya seperti notifikasi grup WhatsApp keluarga. “Citra, weekend ini jalan, yuk.” Citra mengerjap. Chat dari Dika itu muncul tiba-tiba di layar HP-nya saat ia lagi nonton video tutorial SkecthUp. Ia menghela napas.Citra: Jalan ke mana? Proyek udah selesai kan. Dika: Justru karena udah selesai, kita harus rayain. Jalan-jalan di Bandung gitu. Nongki-nongki lucu. Citra: Kamu ngajak semua tim?Dika: Nggak dong. Cuma kita berdua.Citra: …..Dika: Jalan proyek kemarin udah rapi. Sekarang saatnya jalan hati.Citra membuang napas panjang. Di sisi lain, hatinya membalas, “nggak lucu tapi kenapa, kok, senyum se

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 3 - Kolaborasi

    Siang itu, suasana kampus mulai sedikit lebih damai dibandingkan biasanya. Angin Bandung membelai daun-daun pohon di sepanjang koridor jurusan teknik, dan matahari—meski sedikit menyebalkan—masih bersikap sopan tidak terlalu terik. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. “CITRA PARAMITHA, KE RUANG SIDANG MINI SEKARANG JUGA!” Suara Bu Devi, dosen pembimbing studio arsitektur, menggelegar seperti gempa skala kecil. Citra, yang sedang Menyusun mood board di studio, langsung reflek berdiri. “Ada apa lagi, Bu?” tanyanya gugup. “Kamu ditunjuk jadi PIC visual untu kolaborasi antarjurusan dengan teknik mesin. Mereka lagi ngerjain protoype urban furniture, kamu bagian visual presentasi dan desain pendekatannya.” Citra mengerjapkan mata. “Kolaborasi… sama teknik mesin?” “Iya. Dan kamu kerja bareng ketua tim mereka. Namanya—” “—jangan bilang Dikayasa Pradipta.” Bu Devi tersenyum penuh makna. “Kamu kenal, ya?” Kenal? Kenal itu terlalu halus. Citra lebih tepatnya terganggu secara konsi

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 2 - Hantu Kos Sebelah

    Pagi di Bandung memang punya pesona yang nggak ada habisnya. Embun masih malas turun ke tanah, angin masih lembut seperti senyum mahasiswa baru yang belum tahu kerasnya revisi dosen. Tapi buat Citra, pagi itu adalah lanjutan dari mimpi buruk semalam—Dika. Dengan hoodie abu-abu, tote bag berisi sketchbook, dan tumbler kopi, Citra melangkah menuju kampus. Langkahnya terhenti sesaat saat melihat motor rombeng Dika yang parkir miring seperti habis nabrak pohon mangga. “Pengen banget gergaji itu motor,” gumamnya sambil memeluk erat tumbler-nya. Dari arah berlawanan, Dika muncul, kali ini pakai helm setengah kepala dan jaket biru tua khas anak teknik. Gitar masih di punggung, karena katanya, “Siapa tahu ketemu inspirasi di jalan, jadi bisa langsung bikin lagu buat kamu.” “Citraaa!” serunya, melambaikan tangan sambil jalan cepat seperti anak kecil yang lihat es krim. Citra mempercepat langkah. Tapi Dika tetap bisa menyusul. “Kamu tahu nggak, Citra? Aku tuh nyimpen kutipan di kepala, bua

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 1 - Bukan Sekadar Anak Teknik

    Ada banyak hal yang Citra Paramitha anggap sebagai gangguan di hidupnya. Seperti orang yang nyalain motor knalpot racing jam lima pagi. Seperti pengendara motor yang lupa pake sein tapi marah kalau ditabrak. Dan yang paling menyebalkan adalah, Dikayasa Pradipta, si penghuni kosan sebelah yang berisiknya melebihi toa masjid rusak. Citra menghela napas untuk kesekian kalinya pagi itu. Di tangannya, segelas kopi susu homemade yang niatnya mau nemenin deadline tugas gambar perspektif. Lalu, apa yang terjadi? Dari arah kamar sebelah—kosan sebelah yang nempel dengan kosnya, ada suara gitar nyaring melengking, diikuti suara cowok nyanyi pakai teknik ‘kerongkongan terbakar’.“AKU CINTA KAMU, MESKI KAMU SUKANYA BAKWAN~~~BUKAN AKU YANG GANTENG DAN BERUANG~~~”Citra menahan diri buat nggak lempar penggaris 30 cm ke arah tembok.“Sumpah, ini cowok nyanyi apa mengutuk?” gumamnya pelan sambil menyesap kopinya, mencoba tetap elegan meski hasrat untuk membakar gitar cowok itu membara. Sudah dua

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status