Siang itu, suasana kampus mulai sedikit lebih damai dibandingkan biasanya. Angin Bandung membelai daun-daun pohon di sepanjang koridor jurusan teknik, dan matahari—meski sedikit menyebalkan—masih bersikap sopan tidak terlalu terik. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.
“CITRA PARAMITHA, KE RUANG SIDANG MINI SEKARANG JUGA!” Suara Bu Devi, dosen pembimbing studio arsitektur, menggelegar seperti gempa skala kecil. Citra, yang sedang Menyusun mood board di studio, langsung reflek berdiri. “Ada apa lagi, Bu?” tanyanya gugup. “Kamu ditunjuk jadi PIC visual untu kolaborasi antarjurusan dengan teknik mesin. Mereka lagi ngerjain protoype urban furniture, kamu bagian visual presentasi dan desain pendekatannya.” Citra mengerjapkan mata. “Kolaborasi… sama teknik mesin?” “Iya. Dan kamu kerja bareng ketua tim mereka. Namanya—” “—jangan bilang Dikayasa Pradipta.” Bu Devi tersenyum penuh makna. “Kamu kenal, ya?” Kenal? Kenal itu terlalu halus. Citra lebih tepatnya terganggu secara konsisten oleh eksistensi makhluk bernama Dika sejak minggu pertama ia pindah ke kosan itu. *** Ruang sidang mini yang biasanya dipakai untuk presentasi proyek, sekarang penuh dengan blueprint, sketsa furniture kota, dan satu sosok cowok dengan baju kerja teknik kebesaran, duduk santai sambil menggambar pakai bolpoin biru. “Lama banget sih, Nona Sketsa?” sapa Dika begitu Citra masuk. Citra mendengus. “Nggak usah pake julukan. Ini kerje kelompok, bukan pementasan teater absurd.” Dika berdiri sambil menyerahkan map presentasi. “Nih, data tentang proyeknya. Kami diminta bikin prototype modular bench buat area taman kampus. Timku bagian struktur dan mekaniknya. Kamu, bagian desain dan pendekatan konsep urban-nya.” Citra membuka map, lalu mengangguk. “Oke. Aku buat rancang bentuk modular-nya, tapi struktur dalam bangkunya kamu harus sesuaikan sama layout desainku.” “Deal.” Dika lalu mendekat sambil senyum menggoda. “Tapi boleh nggak, setiap desain kamu… disisipin hati kecil di pojok, biar aku bisa pura-pura tersentuh waktu ngerakit?” Citra menyipitkan mata. “Kalo kamu nggak bisa serius kerja sama, aku bakal pasang alarm tikus di struktur bangkunya.” “Oke, oke, siap. Ibu Arsitek satu ini emang galak-galak gemes.” Kerja bareng antara dua jurusan beda dunia itu berlangsung… aneh. Tiap kali Citra menjelaskan rancangan visual dengan istilah seperti adaptive reuse, contextual approach, atau ergonomic seating, Dika membalas dengan, “Oke, terus bagian duduknya mau dari plat baja atau jati belanda yang kamu cintai itu?” “Jangan sebut jati belanda seolah-olah itu mantan pacar aku.” “Tapi cocok. Ringkih tapi artistik.” Meski begitu, Citra diam-diam mengakui: Dika bukan sekadar tukang gitar di balkon. Dia teliti, cepat mikir, dan bisa menerjemahkan kebutuhan bentuk ke struktur rangka logam tanpa mengubah estetika. Dalam satu sesi diskusi sore di bengkel teknik mesin, Dika bahkan sempat menjelaskan konsep stress concentration dengan sabar. “Bagian kaki bangku ini harus dibikin sudut lembut,” katanya sambil menggambar, “biar nggak ada penumpukan tegangan di titik tertentu. Nanti lama-lama retak kalo stress-nya nggak didistribusi.” Citra mengangguk. “Kayak hati, ya. Nggak boleh fokusin beban di satu titik doang.” Dika nyengir. “Tuh kan, kita udah satu frekuensi. Makanya yuk, kita satukan bangku dan masa depan—” “DIKA!” *** Suatu sore, saat mereka mengerjakan revisi final di studio, Citra tertidur di meja karena kelelahan. Sketchbook-nya terbuka, dan di dalamnya, ada gambar bangku taman lengkap dengan layout taman kampus. Dika menatapnya lama. Ia lalu membuka laptop, dan mulai mengetik proposal presentasi sambil sesekali menatap Citra. Di bawa judul proyek, dia menulis: “Bangku ini mungkin untuk semua orang. Tapi semoga dia jadi tempat duduk yang paling nyaman buat satu orang yang sekarang lagi tidur di seberang meja.” Setelah selesai, Dika menutup laptop dan memetik gitar yang selalu ia bawa. Pelan saja, supaya tidak membangunkan. “Kalau aku jadi struktur baja, kamu boleh jadi finishing cat-nya. Karena meski aku kuat, tanpa kamu, aku tetap kusam.” Citra mengerang pelan, setengah sadar. “Kalau kamu nyanyi gombal satu lagi, aku cat kamu pakai cat besi tahan panas. *** Presentasi kolaborasi mereka jadi highlight fakultas. Bangku taman modular dengan bentuk melingkar, struktur tersembunyi dari plat baja ringan, dan warna natural dari kayu pinus berhasil mencuri perhatian dosen dan teman-teman. Tapi yang lebih mencuri perhatian adalah… chemistry mereka. “Citra… Dika…” Pak Iqbal, dosen teknik mesin, menatap mereka serius. “Kalau proyek ini jadi dipasang beneran di taman kampus, saya harap kalian nggak rebutan milih bangku buat duduk bareng.” Dika nyengir. “Kalau saya sih ngalah, Pak. Saya duduk di lantai, asal Citra di hati.” Seketika ruang sidang mini penuh suara ketawa dan sorakan. Citra hanya menutupi wajahnya pakai map presentasi, malu tapi… tersenyum juga. GRUP KOSAN CEWEK Nina: Gimana Cit? Lancar proyeknya? Citra: Udah. Ayu: Dan gimana kabar cowok tengil jurusan mesin itu? Citra: Masih tengil. Tapi, pinter juga. Ayu: BENER KAN! Pasti udah ada bibit-bibit suka nih… Nina: CIEEEE Citra: Aku blok kalian. *** Malamnya, Dika duduk lagi di balkon. Ia mengirim voice note ke grup anak teknik: “Gue tuh ya… baru sadar, anak arsitektur tuh bukan sekedar jago gambar. Merek atuh bikin hidup lo kayak desain mereka—berantakan dulu, revisi berkali-kali, tapi ujung-ujungnya, jadi tempat paling nyaman buat pulang.” Sedangkan Citra di kamarnya, menatap sketsa bangku taman. Di pojok kanan bawah, tanpa sadar… ia gambar garis kecil menyerupai lesung pipi.Minggu pagi di Bandung adalah kombinasi anatar bau tanah lembap, suara motor kopling yang susah hidup, dan anak-anak kosan yang baru bangun jam sembilan, tapi merasa sudah jadi manusia produktif. Dika salah satunya. Ia duduk di balkon kosannya, mengenakkan kaos hitam sablon “Rancang Bangun Rindu”, dan celana pendek warna khaki yang sudah mulai pudar karena terlalu sering dipakai buat tidur, kerja kelompok, dan konten TikTok. Gitar akustik reyot yang biasa dia bawa nongkrong, sekarang ada di pangkuannya. Tapi belum sempat dia genjreng satu lagu, suara dari bawah kosan menginterupsi dengan dramatis: “DIKAYASA! ADA KIRIMAN DARI CITRA!”Dika nyaris jatuh dari kursi plastiknya. Ia melongok dari balkon. Di bawah, satpam kosan menunjuk ke arah kardus kecil bertuliskan “Untuk Dika, jangan dibuka pake gerinda.” Setelah mengambil paket kiriman dari Citra, Dika membuka kardus itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada dua bungkus kopi tubruk kemasan dan satu mug keramik warna kuning pastel. Di si
Malam makin turun pelan-pelan di Bandung, tapi balkon kosan cowok itu masih menyala lembut oleh sorot proyektor. Layar film sudah gelap, credit Before Sunrise telah selesai, tapi tidak ada yang beranjak. Hanya suara jangkrik dari halaman belakang, dan satu nyamuk yang terbang melintasi wajah Dika—langsung ditepuk pelan. “Kamu tuh ya… selalu ada di momen yang nggak penting tapi bikin deg-degan,” kata Citra tiba-tiba. Dika menoleh pelan. “Maksudnya? Aku atau nyamuknya?” Citra menyandarkan kepala ke bantal di belakangnya. “Dua-duanya nyebelin. Tapi kamu lebih bikin males ngeselinnya.” Dika mengangguk pelan, seolah menerima penghargaan. “Dikasih gelar sama Citra Paramitha: cowok paling nyebelin sedunia. Tapi tetep dicariin tiap hari.” Citra melirik. “Siapa yang nyariin?” “Yang tadi habis bilang, ‘nyebelin tapi nyenengin’ digrup kosannya.” “IHHH! KAMU NGINTIP CHAT AKU?” Dika menyilangkan tangan di dada. “Aku nggak ngintip, tapi aku bisa baca dari auramu. Kamu tuh kayak majala
Hingar bingar kampus perlahan mereda. Proyek kolaborasi Teknik Mesin dan Arsitektur sudah rampung dan menuai pujian. Tapi alih-alih langsung kembali ke rutinitas masing-masing, ada ruang kosong yang menggantung—ruang yang entah kenapa, ingin diisi. Dan Citra Paramitha sama sekali nggak nyangka, ruang kosong itu bakal diisi oleh ajakan absurd dari cowok yang selama ini mengganggu hidupnya seperti notifikasi grup WhatsApp keluarga. “Citra, weekend ini jalan, yuk.” Citra mengerjap. Chat dari Dika itu muncul tiba-tiba di layar HP-nya saat ia lagi nonton video tutorial SkecthUp. Ia menghela napas.Citra: Jalan ke mana? Proyek udah selesai kan. Dika: Justru karena udah selesai, kita harus rayain. Jalan-jalan di Bandung gitu. Nongki-nongki lucu. Citra: Kamu ngajak semua tim?Dika: Nggak dong. Cuma kita berdua.Citra: …..Dika: Jalan proyek kemarin udah rapi. Sekarang saatnya jalan hati.Citra membuang napas panjang. Di sisi lain, hatinya membalas, “nggak lucu tapi kenapa, kok, senyum se
Siang itu, suasana kampus mulai sedikit lebih damai dibandingkan biasanya. Angin Bandung membelai daun-daun pohon di sepanjang koridor jurusan teknik, dan matahari—meski sedikit menyebalkan—masih bersikap sopan tidak terlalu terik. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. “CITRA PARAMITHA, KE RUANG SIDANG MINI SEKARANG JUGA!” Suara Bu Devi, dosen pembimbing studio arsitektur, menggelegar seperti gempa skala kecil. Citra, yang sedang Menyusun mood board di studio, langsung reflek berdiri. “Ada apa lagi, Bu?” tanyanya gugup. “Kamu ditunjuk jadi PIC visual untu kolaborasi antarjurusan dengan teknik mesin. Mereka lagi ngerjain protoype urban furniture, kamu bagian visual presentasi dan desain pendekatannya.” Citra mengerjapkan mata. “Kolaborasi… sama teknik mesin?” “Iya. Dan kamu kerja bareng ketua tim mereka. Namanya—” “—jangan bilang Dikayasa Pradipta.” Bu Devi tersenyum penuh makna. “Kamu kenal, ya?” Kenal? Kenal itu terlalu halus. Citra lebih tepatnya terganggu secara konsi
Pagi di Bandung memang punya pesona yang nggak ada habisnya. Embun masih malas turun ke tanah, angin masih lembut seperti senyum mahasiswa baru yang belum tahu kerasnya revisi dosen. Tapi buat Citra, pagi itu adalah lanjutan dari mimpi buruk semalam—Dika. Dengan hoodie abu-abu, tote bag berisi sketchbook, dan tumbler kopi, Citra melangkah menuju kampus. Langkahnya terhenti sesaat saat melihat motor rombeng Dika yang parkir miring seperti habis nabrak pohon mangga. “Pengen banget gergaji itu motor,” gumamnya sambil memeluk erat tumbler-nya. Dari arah berlawanan, Dika muncul, kali ini pakai helm setengah kepala dan jaket biru tua khas anak teknik. Gitar masih di punggung, karena katanya, “Siapa tahu ketemu inspirasi di jalan, jadi bisa langsung bikin lagu buat kamu.” “Citraaa!” serunya, melambaikan tangan sambil jalan cepat seperti anak kecil yang lihat es krim. Citra mempercepat langkah. Tapi Dika tetap bisa menyusul. “Kamu tahu nggak, Citra? Aku tuh nyimpen kutipan di kepala, bua
Ada banyak hal yang Citra Paramitha anggap sebagai gangguan di hidupnya. Seperti orang yang nyalain motor knalpot racing jam lima pagi. Seperti pengendara motor yang lupa pake sein tapi marah kalau ditabrak. Dan yang paling menyebalkan adalah, Dikayasa Pradipta, si penghuni kosan sebelah yang berisiknya melebihi toa masjid rusak. Citra menghela napas untuk kesekian kalinya pagi itu. Di tangannya, segelas kopi susu homemade yang niatnya mau nemenin deadline tugas gambar perspektif. Lalu, apa yang terjadi? Dari arah kamar sebelah—kosan sebelah yang nempel dengan kosnya, ada suara gitar nyaring melengking, diikuti suara cowok nyanyi pakai teknik ‘kerongkongan terbakar’.“AKU CINTA KAMU, MESKI KAMU SUKANYA BAKWAN~~~BUKAN AKU YANG GANTENG DAN BERUANG~~~”Citra menahan diri buat nggak lempar penggaris 30 cm ke arah tembok.“Sumpah, ini cowok nyanyi apa mengutuk?” gumamnya pelan sambil menyesap kopinya, mencoba tetap elegan meski hasrat untuk membakar gitar cowok itu membara. Sudah dua