Hingar bingar kampus perlahan mereda. Proyek kolaborasi Teknik Mesin dan Arsitektur sudah rampung dan menuai pujian. Tapi alih-alih langsung kembali ke rutinitas masing-masing, ada ruang kosong yang menggantung—ruang yang entah kenapa, ingin diisi.
Dan Citra Paramitha sama sekali nggak nyangka, ruang kosong itu bakal diisi oleh ajakan absurd dari cowok yang selama ini mengganggu hidupnya seperti notifikasi grup W******p keluarga. “Citra, weekend ini jalan, yuk.” Citra mengerjap. Chat dari Dika itu muncul tiba-tiba di layar HP-nya saat ia lagi nonton video tutorial SkecthUp. Ia menghela napas. Citra: Jalan ke mana? Proyek udah selesai kan. Dika: Justru karena udah selesai, kita harus rayain. Jalan-jalan di Bandung gitu. Nongki-nongki lucu. Citra: Kamu ngajak semua tim? Dika: Nggak dong. Cuma kita berdua. Citra: ….. Dika: Jalan proyek kemarin udah rapi. Sekarang saatnya jalan hati. Citra membuang napas panjang. Di sisi lain, hatinya membalas, “nggak lucu tapi kenapa, kok, senyum sendiri, sih?” *** Sabtu pagi. Bandung masih setengah ngantuk, tapi Dika udah berdiri di depan kosan Citra. Pakai hoodie hitam, celana jeans, dan motor bebek tua kesayangannya yang dicat ulang warna sage green—entah kenapa matching sama tone presentasi proyek kemarin. Citra muncul dengan jaket denim oversize dan tote bag berisi sketchbook. “Kita ke mana?” “Ngikutin arah angin dan intuisi. Tapi pertama… kita sarapan dulu.” “Kamu ngajak aku jalan atau mau culik, sih?” “Tenang aja, Nona Sketsa. Dikayasa Pradipta itu cowok baik-baik. Kalau nakal, paling nakalnya… di pikiran.” Citra mendengus dan naik ke boncengan dengan setengah hati—tapi nggak nolak. Mereka berhenti di warung bubur legendaris dekat Dago Atas. Tempatnya sederhana, tapi aromanya menghipnotis. “Aku tahu, kamu anak arsitektur pasti biasanya sarapan avocado toast. Tapi bubur ayam ini beda. Ini sacred,” kata Dika dengan khidmat. “Sacred?” “Iya. Kayak kamu pas lagi konsentrasi ngarsitek. Aura-aura sulit diganggu.” Citra hanya tertawa kecil sambil memesan. Duduk di bangku kayu panjang, mereka makan sambil ngobrol ngalor-ngidul. “Kamu tahu nggak, aku tuh heran, kenapa anak arsitektur selalu nawa tabung gambar segede galon.” Kata Dika, penasaran. “Itu namanya drawing tube. Buat simpan plan. Kamu pikir semua bisa disimpen di flashdisk?” “Tapi itu bisa juga buat ngelindungi diri kalo kampus kena zombie apocalypse.” Ujar Dika, ringan. Citra mengangguk, “tapi sayangnya, itu nggak bisa ngelindungi aku dari omongan tengil kamu.” Selesai sarapan, mereka jalan ke Kawasan Braga. Sepanjang trotoar, Dika sering berhenti untuk foto mural atau papan nama toko jadul. “Kamu tahu nggak, menurut psikologi warna, signage warna kuning itu paling efektif buat narik perhatian?” kata Citra sambil menunjuk sebuah toko buku tua. “Jadi… kalau aku pake jaket kuning neon, kamu bakal lebih memperhatikan aku?” “Enggak. Aku bakal lempar kamu ke lampu lalu lintas. Biar menyatu.” Meski terus menerus adu mulut, langkah mereka sinkron. Obrolan ngalir dari sketsa, film pendek, sampai curhat soal dosen killer. “Kamu tuh ya, Citra,” ujar Dika sambil duduk di tangga museum, “tipe orang yang kalau jadi bangunan, pasti bergaya minimalis industrial. Luarnya dingin, dalamnya hangat.” Citra menoleh. “Kalau kamu?” “Kalau aku… kayak ruko tua. Tampak luar berantakan, tapi banyak cerita dan bisa disewa kalau lagi lowong.” “HAHA. Ruko nyebelin.” Menjelang sore, mereka naik ke Tahura (Taman Hutan Raya). Dika menyetir motor pelan, membiarkan angin sore masuk lewat celah jaket mereka. Di dalam Tahura, mereka duduk di batang pohon tumbang sambil makan roti bakar dan teh kotak. Citra membuka sketchbook-nya, menggambar pemandangan di depan mereka. “Boleh lihat?” tanya Dika. Citra mengangguk pelan. Dika memperhatikan. Gambar pohon. Jalan setapak. Dan dua figure kecil yang duduk berdampingan. “Ini… kita, ya?” “Yah, siapa lagi. Masa Bangku Modular?” Dika nyengir, lalu mengambil bolpoin dan menulis sesuatu kecil di pojok kanan atas. Citra melotot. “Eh! Kamu nulis apa?” “Cuma satu baris.” Dika menunjukkan: ‘Kalau hati bisa digambar, semoga bentuknya kayak sketsa kamu. Nggak sempurna, tapi bikin nyaman.’ Citra mendesah, lalu memutar matanya. “Dikayasa. Kamu tuh, memang cowok teknik, yang kerjaannya ngegombal doang.” Dika mengangguk-ngangguk. “Original buatan Ibu dan Ayah. One only untuk Citra Paramitha.” Saat hari mulai gelap, mereka turun dari Tahura. Berhenti sebentar di tempat rental film vintage. Dika menunjukkan koleksi DVD lawas. “Kamu pernah nonton Before Sunrise?” “Belum.” “Good. Kita nonton ini, malam ini.” “Di mana? Kosan aku kan, nggak boleh bawa cowok.” “Di kosan aku, Cit. Nanti pasang proyektor di tembok balkon. Gratis popcorn.” Citra menatapnya lama. “Oke… tapi kalau kamu macam-macam—” “—aku rela dicoret dari gambar masa depan kamu.” Malam itu, mereka benar menonton. Duduk di balkon kosan Dika. Proyektor murahan menampilkan film jadul ke tembok yang retak di sudut kanan. Tapi rasanya… nyaman. Citra menyandar di bantal. Dika duduk bersila sambil sesekali mengintip reaksi Citra. Di tengah film, Dika berbisik. “Kamu tahu nggak… kalau kita hidup di fil, kamu itu tokoh utama yang nggak sadar kalau cowok nyebelin ini diam-diam suka banget.” Citra tidak menoleh. Tapi senyum di wajahnya cukup jadi jawaban. Dan di layar, Jesse berkata pada Celine, “If there’s any kind of magic in this world… it must be in the attempt of understanding someone, sharing something.” (Jika ada keajaiban di dunia ini… itu pasti dalam upaya memahami seseorang, berbagi sesuatu). Dika memandang Citra, lalu diam-diam menambahkan kalimat dalam hati: “Dan semoga… aku bisa terus jadi bagian cerita kamu. Meski nggak selalu di halam depan.” *** GRUP KOSAN CEWEK Ayu: CIEEEEE… gimana jalan sama tukang las favorit kampus? Citra: Nyebelin. Tapi nyenengin juga. Nina: DIAJAK KEMANA AJA??? Citra: Muterin Bandung. Tapi yang muter sebenarnya… hati aku… GRUP ANAK TEKNIK Dika: Bro. gue kayaknya jatuh cinta beneran. Dito: Gas lah. Nikahin langsung. Gani: Si Citra? Dika: Iya. Kayaknya dia itu… sketsa hidup hue yang paling pengen gue jadiin blueprint. Dan di balkon itu, sisa popcorn berserakan. Film sudah selesai. Tapi cerita mereka… baru dimulai.Minggu pagi di Bandung adalah kombinasi anatar bau tanah lembap, suara motor kopling yang susah hidup, dan anak-anak kosan yang baru bangun jam sembilan, tapi merasa sudah jadi manusia produktif. Dika salah satunya. Ia duduk di balkon kosannya, mengenakkan kaos hitam sablon “Rancang Bangun Rindu”, dan celana pendek warna khaki yang sudah mulai pudar karena terlalu sering dipakai buat tidur, kerja kelompok, dan konten TikTok. Gitar akustik reyot yang biasa dia bawa nongkrong, sekarang ada di pangkuannya. Tapi belum sempat dia genjreng satu lagu, suara dari bawah kosan menginterupsi dengan dramatis: “DIKAYASA! ADA KIRIMAN DARI CITRA!”Dika nyaris jatuh dari kursi plastiknya. Ia melongok dari balkon. Di bawah, satpam kosan menunjuk ke arah kardus kecil bertuliskan “Untuk Dika, jangan dibuka pake gerinda.” Setelah mengambil paket kiriman dari Citra, Dika membuka kardus itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada dua bungkus kopi tubruk kemasan dan satu mug keramik warna kuning pastel. Di si
Malam makin turun pelan-pelan di Bandung, tapi balkon kosan cowok itu masih menyala lembut oleh sorot proyektor. Layar film sudah gelap, credit Before Sunrise telah selesai, tapi tidak ada yang beranjak. Hanya suara jangkrik dari halaman belakang, dan satu nyamuk yang terbang melintasi wajah Dika—langsung ditepuk pelan. “Kamu tuh ya… selalu ada di momen yang nggak penting tapi bikin deg-degan,” kata Citra tiba-tiba. Dika menoleh pelan. “Maksudnya? Aku atau nyamuknya?” Citra menyandarkan kepala ke bantal di belakangnya. “Dua-duanya nyebelin. Tapi kamu lebih bikin males ngeselinnya.” Dika mengangguk pelan, seolah menerima penghargaan. “Dikasih gelar sama Citra Paramitha: cowok paling nyebelin sedunia. Tapi tetep dicariin tiap hari.” Citra melirik. “Siapa yang nyariin?” “Yang tadi habis bilang, ‘nyebelin tapi nyenengin’ digrup kosannya.” “IHHH! KAMU NGINTIP CHAT AKU?” Dika menyilangkan tangan di dada. “Aku nggak ngintip, tapi aku bisa baca dari auramu. Kamu tuh kayak majala
Hingar bingar kampus perlahan mereda. Proyek kolaborasi Teknik Mesin dan Arsitektur sudah rampung dan menuai pujian. Tapi alih-alih langsung kembali ke rutinitas masing-masing, ada ruang kosong yang menggantung—ruang yang entah kenapa, ingin diisi. Dan Citra Paramitha sama sekali nggak nyangka, ruang kosong itu bakal diisi oleh ajakan absurd dari cowok yang selama ini mengganggu hidupnya seperti notifikasi grup WhatsApp keluarga. “Citra, weekend ini jalan, yuk.” Citra mengerjap. Chat dari Dika itu muncul tiba-tiba di layar HP-nya saat ia lagi nonton video tutorial SkecthUp. Ia menghela napas.Citra: Jalan ke mana? Proyek udah selesai kan. Dika: Justru karena udah selesai, kita harus rayain. Jalan-jalan di Bandung gitu. Nongki-nongki lucu. Citra: Kamu ngajak semua tim?Dika: Nggak dong. Cuma kita berdua.Citra: …..Dika: Jalan proyek kemarin udah rapi. Sekarang saatnya jalan hati.Citra membuang napas panjang. Di sisi lain, hatinya membalas, “nggak lucu tapi kenapa, kok, senyum se
Siang itu, suasana kampus mulai sedikit lebih damai dibandingkan biasanya. Angin Bandung membelai daun-daun pohon di sepanjang koridor jurusan teknik, dan matahari—meski sedikit menyebalkan—masih bersikap sopan tidak terlalu terik. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. “CITRA PARAMITHA, KE RUANG SIDANG MINI SEKARANG JUGA!” Suara Bu Devi, dosen pembimbing studio arsitektur, menggelegar seperti gempa skala kecil. Citra, yang sedang Menyusun mood board di studio, langsung reflek berdiri. “Ada apa lagi, Bu?” tanyanya gugup. “Kamu ditunjuk jadi PIC visual untu kolaborasi antarjurusan dengan teknik mesin. Mereka lagi ngerjain protoype urban furniture, kamu bagian visual presentasi dan desain pendekatannya.” Citra mengerjapkan mata. “Kolaborasi… sama teknik mesin?” “Iya. Dan kamu kerja bareng ketua tim mereka. Namanya—” “—jangan bilang Dikayasa Pradipta.” Bu Devi tersenyum penuh makna. “Kamu kenal, ya?” Kenal? Kenal itu terlalu halus. Citra lebih tepatnya terganggu secara konsi
Pagi di Bandung memang punya pesona yang nggak ada habisnya. Embun masih malas turun ke tanah, angin masih lembut seperti senyum mahasiswa baru yang belum tahu kerasnya revisi dosen. Tapi buat Citra, pagi itu adalah lanjutan dari mimpi buruk semalam—Dika. Dengan hoodie abu-abu, tote bag berisi sketchbook, dan tumbler kopi, Citra melangkah menuju kampus. Langkahnya terhenti sesaat saat melihat motor rombeng Dika yang parkir miring seperti habis nabrak pohon mangga. “Pengen banget gergaji itu motor,” gumamnya sambil memeluk erat tumbler-nya. Dari arah berlawanan, Dika muncul, kali ini pakai helm setengah kepala dan jaket biru tua khas anak teknik. Gitar masih di punggung, karena katanya, “Siapa tahu ketemu inspirasi di jalan, jadi bisa langsung bikin lagu buat kamu.” “Citraaa!” serunya, melambaikan tangan sambil jalan cepat seperti anak kecil yang lihat es krim. Citra mempercepat langkah. Tapi Dika tetap bisa menyusul. “Kamu tahu nggak, Citra? Aku tuh nyimpen kutipan di kepala, bua
Ada banyak hal yang Citra Paramitha anggap sebagai gangguan di hidupnya. Seperti orang yang nyalain motor knalpot racing jam lima pagi. Seperti pengendara motor yang lupa pake sein tapi marah kalau ditabrak. Dan yang paling menyebalkan adalah, Dikayasa Pradipta, si penghuni kosan sebelah yang berisiknya melebihi toa masjid rusak. Citra menghela napas untuk kesekian kalinya pagi itu. Di tangannya, segelas kopi susu homemade yang niatnya mau nemenin deadline tugas gambar perspektif. Lalu, apa yang terjadi? Dari arah kamar sebelah—kosan sebelah yang nempel dengan kosnya, ada suara gitar nyaring melengking, diikuti suara cowok nyanyi pakai teknik ‘kerongkongan terbakar’.“AKU CINTA KAMU, MESKI KAMU SUKANYA BAKWAN~~~BUKAN AKU YANG GANTENG DAN BERUANG~~~”Citra menahan diri buat nggak lempar penggaris 30 cm ke arah tembok.“Sumpah, ini cowok nyanyi apa mengutuk?” gumamnya pelan sambil menyesap kopinya, mencoba tetap elegan meski hasrat untuk membakar gitar cowok itu membara. Sudah dua