共有

Bab 6 - Warung Kopi dan Bangku Modular

作者: Alea Zeya
last update 最終更新日: 2025-05-14 12:29:14

Minggu pagi di Bandung adalah kombinasi anatar bau tanah lembap, suara motor kopling yang susah hidup, dan anak-anak kosan yang baru bangun jam sembilan, tapi merasa sudah jadi manusia produktif. Dika salah satunya. Ia duduk di balkon kosannya, mengenakkan kaos hitam sablon “Rancang Bangun Rindu”, dan celana pendek warna khaki yang sudah mulai pudar karena terlalu sering dipakai buat tidur, kerja kelompok, dan konten TikTok.

Gitar akustik reyot yang biasa dia bawa nongkrong, sekarang ada di pangkuannya. Tapi belum sempat dia genjreng satu lagu, suara dari bawah kosan menginterupsi dengan dramatis:

“DIKAYASA! ADA KIRIMAN DARI CITRA!”

Dika nyaris jatuh dari kursi plastiknya. Ia melongok dari balkon. Di bawah, satpam kosan menunjuk ke arah kardus kecil bertuliskan “Untuk Dika, jangan dibuka pake gerinda.”

Setelah mengambil paket kiriman dari Citra, Dika membuka kardus itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada dua bungkus kopi tubruk kemasan dan satu mug keramik warna kuning pastel. Di sisi mug, tertulis:

“Untuk cowok tengil yang doyan kopi dan gombal.”

Dika senyum-senyum kayak orang baru dapat SIM setelah lima kali gagal praktek. Dia langsung ambil HP, tapi tahan diri buat nggak chat Citra. Kali ini, dia punya rencana lebih besar.

***

Pukul sebelas siang, Citra baru aja selesai mencuci sketchbook (baca: nyelipin di bawah tumpukan baju biar nggak dicurigai hilang) ketika HP-nya berdering nomor Dika muncul. Tapi bukan video call. Ini lebih absurd, “Turun ke bawah. Aku udah ada di depan kosan. Jangan tanya kenapa. Bawa jaket. Dan hati yang kuat.” Kata Dika.

Citra menghela napas, mengenakan jaket oversized-nya, dan turun. Di depan pagar, Dika sudah berdiri tegap dengan motor bebeknya, tak lupa gitarnya. Kali ini, jok belakang motor itu dilapisi kain perca warna-warni dan ada tulisan spidol di belakangnya:

‘VIP SEAT UNTUK ARSITEK TERSAYANG’

“Astaga, kamu kenapa? Kesambet marketing Dufan?” tanya Citra sambil menahan tawa.

“Nggak. Aku cuman mau ngajak kamu jalan ke tempat yang… bisa bikin kamu ketawa. Tapi juga mikir.”

“Itu tempat apa? Seminar motivasi?”

“Bukan. Warung kopi ujung jalan, tapi ada colokan dan Wi-Fi. Ayo naik, Nona Sketsa.” Tapi sebelum itu, Dika menyerahkan sebuah gitar yang terbungkus wadah atau sarung tas gendong.

“Ish, nyusahin!” Tapi tetap saja, Citra menggendong tas gitar tersebut di belakang punggungnya.

Warung kopi yang dimaksud Dika ternyata warung kayu sederhana, setengah permanen, dengan spanduk “Kopi Kang Ayi - Kopi, Kolot, Konsisten”. Tempat itu nggak mewah, tapi punya daya tarik tersendiri, ada colokan di tiap meja, dan Wi-Fi yang walaupun lemot, cukup buat buka P*******t tanpa maki-maki.

Dika dan Citra duduk di pojok, di bawah kipas angin langit-langit yang bunyinya kaya disko rusak. Mereka pesan kopi susu, cireng isi oncom, dan sepotong pisang goreng yang teksturnya ambigu.

“Dika, ini rencana romantismu? Warung kopi pinggir jalan?”

“Romantis itu bukan soal tempat. Tapi soal siapa yang nememin kamu makan cireng isi cinta.”

Citra menatap Dika dengan tatapan yang sudah biasa ia pakai saat lihat hasil render yang gosong. Jengah. “Kamu tuh ya, kalau jadi warna, kamu pasti magenta. Nggak tahu mau jadi merah atau ungu.”

“Kalau kamu jadi warna, kamu abu-abu. Bikin aku bingung terus. Tapi selalu elegan.”

Mereka tertawa. Lalu ngobrol soal hal-hal sepele, seperti, kenapa kabel mouse selalu kusut, kenapa helm selalu bau meski dijemur, dan kenapa Citra masih simpan kartu Ujian Nasional SMA di dompetnya.

“Kenangan,” jawab Citra sambil menyeruput kopinya. “Kadang hal-hal nggak penting itu yang paling susah dibuang. Kayak… kamu… misalnya?”

“Waduh. Aku ini apa? Mantan kekasih di recycle bin?”

“Kamu lebih kayak sticky note yang selalu nyempil di sketchbook. Mau dibuang, tapi lucu.”

“Kalau kamu sticky note, aku whiteboard-nya. Siap ditulisi rencana masa depan.”

“Aduh, berat. Kayak portofolio semester lima.”

***

Saat matahari mulai miring ke barat, mereka memutuskan jalan kaki menyusuri taman kota di belakang kampus. Dika iseng main gitar sambil jalan, bikin beberapa orang melirik.

“Kamu nggak malu gitu nyanyi di jalan?” tanya Citra. “Kayak pengamen tau nggak, sih?” Citra menyipitkan matanya.

“Enggak. Aku malah pengen bikin konser akustik keliling kampus. Nama panggungnya… Dika & Proyeksi Hati.”

“Proyeksi dari mana?”

“Dari cinta yang belum disetujui dosen pembimbing.”

Citra tertawa. Dika memainkan lagu yang ia pikir sendiri. Liriknya sudah pasti absurd.

“Kopi hitam di warung Kang Ayi.

Tatapan kamu lebih pahit, tapi aku nagih lagi.

Kursi plastik jadi saksi.

Kita debat soal lampu taman dan teori konspirasi.”

Citra menepuk jidat, tapi matanya berbinar. Mereka duduk di bangku taman yang dulu mereka rancang. Bangku modular itu sudah dipasang di taman kampus, lengkap dengan plakat kecil bertuliskan nama proyek mereka.

“Kamu tahu,” kata Dika, “bangku ini dibuat untuk semua orang. Tapi hari ini, aku pengen duduk di sini cuma sama kamu.”

Citra mengangguk. “Ini tempat pertama dalam hidupku yang aku desain sendiri. Tapi juga… tempat pertama yang bikin aku ngerasa ditemani.”

Dika menoleh. “Kalau gitu, boleh nggak, aku jadi bagian dari desain hidpu kamu? Biar kita bareng-bareng ngerjain revisi, sampe lulus. Sampe tua.”

Citra terdiam. Lalu menjawab ringan, “Asal kamu siap direvisi terus tiap minggu, ya.”

“Siap. Asal jangan ganti dosen pembimbing di tengah jalan.”

Mereka tertawa lagi. Dan ketika malam mulai turun, Dika menutup gitar, dan berkata, “Kalau hari ini jadi sketsa, aku nggak mau warnain. Biar kayak gini aja. Polos, tapi nyenengin.”

Citra menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Dan… kalau kamu jadi bagian dari layout hidup aku… jangan pernah jadi margin, ya. Aku butuh kamu di tengah halaman.”

Dan langit Bandung yang mulai gelap, suara motor, tawa, dan senyum mereka mengisi malam. Ringan, lucu, tengil. Tapi manisnya… susah dilupain.

Dan warung Kang Ayi? Tutup jam delapan. Tapi cerita mereka? Masih lanjut sampai bab selanjutnya.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 6 - Warung Kopi dan Bangku Modular

    Minggu pagi di Bandung adalah kombinasi anatar bau tanah lembap, suara motor kopling yang susah hidup, dan anak-anak kosan yang baru bangun jam sembilan, tapi merasa sudah jadi manusia produktif. Dika salah satunya. Ia duduk di balkon kosannya, mengenakkan kaos hitam sablon “Rancang Bangun Rindu”, dan celana pendek warna khaki yang sudah mulai pudar karena terlalu sering dipakai buat tidur, kerja kelompok, dan konten TikTok. Gitar akustik reyot yang biasa dia bawa nongkrong, sekarang ada di pangkuannya. Tapi belum sempat dia genjreng satu lagu, suara dari bawah kosan menginterupsi dengan dramatis: “DIKAYASA! ADA KIRIMAN DARI CITRA!”Dika nyaris jatuh dari kursi plastiknya. Ia melongok dari balkon. Di bawah, satpam kosan menunjuk ke arah kardus kecil bertuliskan “Untuk Dika, jangan dibuka pake gerinda.” Setelah mengambil paket kiriman dari Citra, Dika membuka kardus itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada dua bungkus kopi tubruk kemasan dan satu mug keramik warna kuning pastel. Di si

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 5 - Balkon

    Malam makin turun pelan-pelan di Bandung, tapi balkon kosan cowok itu masih menyala lembut oleh sorot proyektor. Layar film sudah gelap, credit Before Sunrise telah selesai, tapi tidak ada yang beranjak. Hanya suara jangkrik dari halaman belakang, dan satu nyamuk yang terbang melintasi wajah Dika—langsung ditepuk pelan. “Kamu tuh ya… selalu ada di momen yang nggak penting tapi bikin deg-degan,” kata Citra tiba-tiba. Dika menoleh pelan. “Maksudnya? Aku atau nyamuknya?” Citra menyandarkan kepala ke bantal di belakangnya. “Dua-duanya nyebelin. Tapi kamu lebih bikin males ngeselinnya.” Dika mengangguk pelan, seolah menerima penghargaan. “Dikasih gelar sama Citra Paramitha: cowok paling nyebelin sedunia. Tapi tetep dicariin tiap hari.” Citra melirik. “Siapa yang nyariin?” “Yang tadi habis bilang, ‘nyebelin tapi nyenengin’ digrup kosannya.” “IHHH! KAMU NGINTIP CHAT AKU?” Dika menyilangkan tangan di dada. “Aku nggak ngintip, tapi aku bisa baca dari auramu. Kamu tuh kayak majala

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 4 - Cerita Mereka... Baru di Mulai

    Hingar bingar kampus perlahan mereda. Proyek kolaborasi Teknik Mesin dan Arsitektur sudah rampung dan menuai pujian. Tapi alih-alih langsung kembali ke rutinitas masing-masing, ada ruang kosong yang menggantung—ruang yang entah kenapa, ingin diisi. Dan Citra Paramitha sama sekali nggak nyangka, ruang kosong itu bakal diisi oleh ajakan absurd dari cowok yang selama ini mengganggu hidupnya seperti notifikasi grup WhatsApp keluarga. “Citra, weekend ini jalan, yuk.” Citra mengerjap. Chat dari Dika itu muncul tiba-tiba di layar HP-nya saat ia lagi nonton video tutorial SkecthUp. Ia menghela napas.Citra: Jalan ke mana? Proyek udah selesai kan. Dika: Justru karena udah selesai, kita harus rayain. Jalan-jalan di Bandung gitu. Nongki-nongki lucu. Citra: Kamu ngajak semua tim?Dika: Nggak dong. Cuma kita berdua.Citra: …..Dika: Jalan proyek kemarin udah rapi. Sekarang saatnya jalan hati.Citra membuang napas panjang. Di sisi lain, hatinya membalas, “nggak lucu tapi kenapa, kok, senyum se

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 3 - Kolaborasi

    Siang itu, suasana kampus mulai sedikit lebih damai dibandingkan biasanya. Angin Bandung membelai daun-daun pohon di sepanjang koridor jurusan teknik, dan matahari—meski sedikit menyebalkan—masih bersikap sopan tidak terlalu terik. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. “CITRA PARAMITHA, KE RUANG SIDANG MINI SEKARANG JUGA!” Suara Bu Devi, dosen pembimbing studio arsitektur, menggelegar seperti gempa skala kecil. Citra, yang sedang Menyusun mood board di studio, langsung reflek berdiri. “Ada apa lagi, Bu?” tanyanya gugup. “Kamu ditunjuk jadi PIC visual untu kolaborasi antarjurusan dengan teknik mesin. Mereka lagi ngerjain protoype urban furniture, kamu bagian visual presentasi dan desain pendekatannya.” Citra mengerjapkan mata. “Kolaborasi… sama teknik mesin?” “Iya. Dan kamu kerja bareng ketua tim mereka. Namanya—” “—jangan bilang Dikayasa Pradipta.” Bu Devi tersenyum penuh makna. “Kamu kenal, ya?” Kenal? Kenal itu terlalu halus. Citra lebih tepatnya terganggu secara konsi

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 2 - Hantu Kos Sebelah

    Pagi di Bandung memang punya pesona yang nggak ada habisnya. Embun masih malas turun ke tanah, angin masih lembut seperti senyum mahasiswa baru yang belum tahu kerasnya revisi dosen. Tapi buat Citra, pagi itu adalah lanjutan dari mimpi buruk semalam—Dika. Dengan hoodie abu-abu, tote bag berisi sketchbook, dan tumbler kopi, Citra melangkah menuju kampus. Langkahnya terhenti sesaat saat melihat motor rombeng Dika yang parkir miring seperti habis nabrak pohon mangga. “Pengen banget gergaji itu motor,” gumamnya sambil memeluk erat tumbler-nya. Dari arah berlawanan, Dika muncul, kali ini pakai helm setengah kepala dan jaket biru tua khas anak teknik. Gitar masih di punggung, karena katanya, “Siapa tahu ketemu inspirasi di jalan, jadi bisa langsung bikin lagu buat kamu.” “Citraaa!” serunya, melambaikan tangan sambil jalan cepat seperti anak kecil yang lihat es krim. Citra mempercepat langkah. Tapi Dika tetap bisa menyusul. “Kamu tahu nggak, Citra? Aku tuh nyimpen kutipan di kepala, bua

  • Pacarku Anak Teknik, Otaknya Dipake Buat Ngegombal   Bab 1 - Bukan Sekadar Anak Teknik

    Ada banyak hal yang Citra Paramitha anggap sebagai gangguan di hidupnya. Seperti orang yang nyalain motor knalpot racing jam lima pagi. Seperti pengendara motor yang lupa pake sein tapi marah kalau ditabrak. Dan yang paling menyebalkan adalah, Dikayasa Pradipta, si penghuni kosan sebelah yang berisiknya melebihi toa masjid rusak. Citra menghela napas untuk kesekian kalinya pagi itu. Di tangannya, segelas kopi susu homemade yang niatnya mau nemenin deadline tugas gambar perspektif. Lalu, apa yang terjadi? Dari arah kamar sebelah—kosan sebelah yang nempel dengan kosnya, ada suara gitar nyaring melengking, diikuti suara cowok nyanyi pakai teknik ‘kerongkongan terbakar’. “AKU CINTA KAMU, MESKI KAMU SUKANYA BAKWAN~~~ BUKAN AKU YANG GANTENG DAN BERUANG~~~” Citra menahan diri buat nggak lempar penggaris 30 cm ke arah tembok. “Sumpah, ini cowok nyanyi apa mengutuk?” gumamnya pelan sambil menyesap kopinya, mencoba tetap elegan meski hasrat untuk membakar gitar cowok itu membara

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status