Pagi di Bandung memang punya pesona yang nggak ada habisnya. Embun masih malas turun ke tanah, angin masih lembut seperti senyum mahasiswa baru yang belum tahu kerasnya revisi dosen. Tapi buat Citra, pagi itu adalah lanjutan dari mimpi buruk semalam—Dika.
Dengan hoodie abu-abu, tote bag berisi sketchbook, dan tumbler kopi, Citra melangkah menuju kampus. Langkahnya terhenti sesaat saat melihat motor rombeng Dika yang parkir miring seperti habis nabrak pohon mangga. “Pengen banget gergaji itu motor,” gumamnya sambil memeluk erat tumbler-nya. Dari arah berlawanan, Dika muncul, kali ini pakai helm setengah kepala dan jaket biru tua khas anak teknik. Gitar masih di punggung, karena katanya, “Siapa tahu ketemu inspirasi di jalan, jadi bisa langsung bikin lagu buat kamu.” “Citraaa!” serunya, melambaikan tangan sambil jalan cepat seperti anak kecil yang lihat es krim. Citra mempercepat langkah. Tapi Dika tetap bisa menyusul. “Kamu tahu nggak, Citra? Aku tuh nyimpen kutipan di kepala, buat kamu.” “Boleh deh, kasih. Biar aku tahu sejauh apa aku harus muntah.” Dika cengar-cengir. “Cinta itu kayak sketsa. Nggak selalu sempurna, tapi kalau kamu yang gambar, aku rela jadi garis nggak lurus pun.” Citra mendesah panjang, “Aku tuh anak arsitektur, bukan guru TK yang harus ngasih nilai buat puisi kamu yang absurd.” Tapi, walaupun nadanya dingin, entah kenapa sudut bibir Citra sedikit terangkat. Sedikit banget. Tapi Dika tahu. Mereka masuk kampus bareng—walaupun Citra sangat menolak kata “bareng”. Dika menuju geduk teknik mesin yang penuh dengan manusia berbaju seragam praktik, bawa helm proyek, dan bau oli. Sementara Citra berjalan anggun menuju jurusan arsitektur—tempat manusia-manusia visual, penuh estetika, dan kantong mata tiga lapis. *** Pagi di kampus itu keras, bro. Tapi lebih keras lagi hatinya Citra Paramitha. Dika masuk kelas tepat waktu—keajaiban yang layak masuk headline. Tapi sebelum dosen masuk, dia duduk bareng gengnya: Rama, Dito, dan Gani. “Lo kenapa sih pagi-pagi udah niat banget ngejar Citra?” tanya Gani sambil ngelap tangan dari oli bekas praktikum. Dika nyengir. “Karena dia beda. Cewek lain mungkin manis, tapi Citra tuh… pedasnya bikin candu.” “Lo tuh bukan cinta, Ka. Lo tuh kena mental.” Dito nyeletuk, “Tapi gue dukung. Anak arsitektur emang beda. Kalo dapet satu, bisa jadi inspirasi album.” Dika malah corat-coret buku catatan. Nggak fokus sama rumus termodinamika, tapi malah nulis lirik: “Kalau kamu bangun gedung, aku bangun harapan. Kalau kamu gambar ruang, aku gambar masa depan…” Dika nutup buku dan senyum sendiri. “Anjir, bagus juga. Besok gue nyanyi lagi ah.” Sementara itu… di ruang studio jurusan arsitektur, Citra duduk paling pojok. Sketchbook-nya terbuka, pensil teknis di tangan. Tapi pikirannya malah lari ke gitar—eh maksudnya, ke cowok ngeselin tadi pagi. “Dia tuh kenapa ya… kalau nggak nyanyi, ngegombal. Kalau nggak ngegombal, nyengir. Kalo nggak nyengir, ya nyanyi sambil ngegombal.” “Ngomongin siapa, Cit?” tanya Fara, temannya seangkatan. Citra melirik, “Hantu kos sebelah.” Fara langsung paham. “Oh, si Dika. Ih, dia tuh terkenal loh, katanya sih sering ngisi acara pensi. Anak teknik tapi bisa main musik. Ganteng pula, katanya…” Citra mendengus. “Katanya. Tapi aslinya tengil. Dan sok tahu. Dan berisik.” Fara tertawa. “Tapi lo sebutin semua ciri-cirinya. Berarti lo merhatiin dong?” Citra menatap Fara tajam. “Lo mau gue gambar sebagai kucing berambut singa di tugas perspektif minggu depan?” “Maap…” Setelah seharian kuliah revisi, Citra kembali ke kosan. Dia mengira bakal bisa istirahat. Tapi tentu saja, hidup tak semudah itu. BRUK. “YA AMPUN DIKAAAAA!” Citra reflek teriak begitu membuka pintu dan mendapati… cowok itu duduk di tangga depan kos cewek. Bawa papan tulis kecil bertuliskan: “Citra, boleh aku wawancara? Temanya: Pengaruh Lesung Pipi Cewek Terhadap Motivasi Anak Teknik.” Citra mendekat sambil melotot. “Ini daerah kosan cewek. Satpam bisa usir kamu tahu nggak?” Dika senyum santai. “Tapi kamu senyum duluan tadi. Walaupun tipis.” “Aku meludah juga bisa tipis.” “Ya tapi kalo senyum kamu, walau tipis, tetep manis.” “DIKA!!!” Dika berdiri sambil nyengir, lalu lari. “Besok ya aku wawancara lagi! Tapi kali ini, langsung ke hati kamu!” Citra hanya bisa menghela napas panjang. Tapi ada yang aneh. Setelah cowok itu pergi, senyum tipisnya muncul… lagi. GRUP KOSAN CEWEK Citra: Siapa yang bisa bantu laporin cowok kos sebelah ke LLDIKTI karena terlalu aktif ngegombal? Ayu: Duh, Cit. kalo dia seganteng itu dan kamu benci banget, kenapa kamu ngomongin dia terus, ya? Nina: Fix! Benci tanda-tanda cinta tuh nyata… Citra: [membisukan grup selama 8 jam] ~~~ Dika duduk di balkon, gitar di tangan, senyum di bibir. Malam ini dia nggak nyanyi keras-keras. Dia hanya petik senar pelan sambil nyanyi kecil: “Kamu marah, aku senyum. Kamu sindir, aku rindu. Kamu tutup jendela… Aku buka doa, semoga besok kamu senyum juga.” Dika senyum. “Besok. Harus lebih absurd.”Minggu pagi di Bandung adalah kombinasi anatar bau tanah lembap, suara motor kopling yang susah hidup, dan anak-anak kosan yang baru bangun jam sembilan, tapi merasa sudah jadi manusia produktif. Dika salah satunya. Ia duduk di balkon kosannya, mengenakkan kaos hitam sablon “Rancang Bangun Rindu”, dan celana pendek warna khaki yang sudah mulai pudar karena terlalu sering dipakai buat tidur, kerja kelompok, dan konten TikTok. Gitar akustik reyot yang biasa dia bawa nongkrong, sekarang ada di pangkuannya. Tapi belum sempat dia genjreng satu lagu, suara dari bawah kosan menginterupsi dengan dramatis: “DIKAYASA! ADA KIRIMAN DARI CITRA!”Dika nyaris jatuh dari kursi plastiknya. Ia melongok dari balkon. Di bawah, satpam kosan menunjuk ke arah kardus kecil bertuliskan “Untuk Dika, jangan dibuka pake gerinda.” Setelah mengambil paket kiriman dari Citra, Dika membuka kardus itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada dua bungkus kopi tubruk kemasan dan satu mug keramik warna kuning pastel. Di si
Malam makin turun pelan-pelan di Bandung, tapi balkon kosan cowok itu masih menyala lembut oleh sorot proyektor. Layar film sudah gelap, credit Before Sunrise telah selesai, tapi tidak ada yang beranjak. Hanya suara jangkrik dari halaman belakang, dan satu nyamuk yang terbang melintasi wajah Dika—langsung ditepuk pelan. “Kamu tuh ya… selalu ada di momen yang nggak penting tapi bikin deg-degan,” kata Citra tiba-tiba. Dika menoleh pelan. “Maksudnya? Aku atau nyamuknya?” Citra menyandarkan kepala ke bantal di belakangnya. “Dua-duanya nyebelin. Tapi kamu lebih bikin males ngeselinnya.” Dika mengangguk pelan, seolah menerima penghargaan. “Dikasih gelar sama Citra Paramitha: cowok paling nyebelin sedunia. Tapi tetep dicariin tiap hari.” Citra melirik. “Siapa yang nyariin?” “Yang tadi habis bilang, ‘nyebelin tapi nyenengin’ digrup kosannya.” “IHHH! KAMU NGINTIP CHAT AKU?” Dika menyilangkan tangan di dada. “Aku nggak ngintip, tapi aku bisa baca dari auramu. Kamu tuh kayak majala
Hingar bingar kampus perlahan mereda. Proyek kolaborasi Teknik Mesin dan Arsitektur sudah rampung dan menuai pujian. Tapi alih-alih langsung kembali ke rutinitas masing-masing, ada ruang kosong yang menggantung—ruang yang entah kenapa, ingin diisi. Dan Citra Paramitha sama sekali nggak nyangka, ruang kosong itu bakal diisi oleh ajakan absurd dari cowok yang selama ini mengganggu hidupnya seperti notifikasi grup WhatsApp keluarga. “Citra, weekend ini jalan, yuk.” Citra mengerjap. Chat dari Dika itu muncul tiba-tiba di layar HP-nya saat ia lagi nonton video tutorial SkecthUp. Ia menghela napas.Citra: Jalan ke mana? Proyek udah selesai kan. Dika: Justru karena udah selesai, kita harus rayain. Jalan-jalan di Bandung gitu. Nongki-nongki lucu. Citra: Kamu ngajak semua tim?Dika: Nggak dong. Cuma kita berdua.Citra: …..Dika: Jalan proyek kemarin udah rapi. Sekarang saatnya jalan hati.Citra membuang napas panjang. Di sisi lain, hatinya membalas, “nggak lucu tapi kenapa, kok, senyum se
Siang itu, suasana kampus mulai sedikit lebih damai dibandingkan biasanya. Angin Bandung membelai daun-daun pohon di sepanjang koridor jurusan teknik, dan matahari—meski sedikit menyebalkan—masih bersikap sopan tidak terlalu terik. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. “CITRA PARAMITHA, KE RUANG SIDANG MINI SEKARANG JUGA!” Suara Bu Devi, dosen pembimbing studio arsitektur, menggelegar seperti gempa skala kecil. Citra, yang sedang Menyusun mood board di studio, langsung reflek berdiri. “Ada apa lagi, Bu?” tanyanya gugup. “Kamu ditunjuk jadi PIC visual untu kolaborasi antarjurusan dengan teknik mesin. Mereka lagi ngerjain protoype urban furniture, kamu bagian visual presentasi dan desain pendekatannya.” Citra mengerjapkan mata. “Kolaborasi… sama teknik mesin?” “Iya. Dan kamu kerja bareng ketua tim mereka. Namanya—” “—jangan bilang Dikayasa Pradipta.” Bu Devi tersenyum penuh makna. “Kamu kenal, ya?” Kenal? Kenal itu terlalu halus. Citra lebih tepatnya terganggu secara konsi
Pagi di Bandung memang punya pesona yang nggak ada habisnya. Embun masih malas turun ke tanah, angin masih lembut seperti senyum mahasiswa baru yang belum tahu kerasnya revisi dosen. Tapi buat Citra, pagi itu adalah lanjutan dari mimpi buruk semalam—Dika. Dengan hoodie abu-abu, tote bag berisi sketchbook, dan tumbler kopi, Citra melangkah menuju kampus. Langkahnya terhenti sesaat saat melihat motor rombeng Dika yang parkir miring seperti habis nabrak pohon mangga. “Pengen banget gergaji itu motor,” gumamnya sambil memeluk erat tumbler-nya. Dari arah berlawanan, Dika muncul, kali ini pakai helm setengah kepala dan jaket biru tua khas anak teknik. Gitar masih di punggung, karena katanya, “Siapa tahu ketemu inspirasi di jalan, jadi bisa langsung bikin lagu buat kamu.” “Citraaa!” serunya, melambaikan tangan sambil jalan cepat seperti anak kecil yang lihat es krim. Citra mempercepat langkah. Tapi Dika tetap bisa menyusul. “Kamu tahu nggak, Citra? Aku tuh nyimpen kutipan di kepala, bua
Ada banyak hal yang Citra Paramitha anggap sebagai gangguan di hidupnya. Seperti orang yang nyalain motor knalpot racing jam lima pagi. Seperti pengendara motor yang lupa pake sein tapi marah kalau ditabrak. Dan yang paling menyebalkan adalah, Dikayasa Pradipta, si penghuni kosan sebelah yang berisiknya melebihi toa masjid rusak. Citra menghela napas untuk kesekian kalinya pagi itu. Di tangannya, segelas kopi susu homemade yang niatnya mau nemenin deadline tugas gambar perspektif. Lalu, apa yang terjadi? Dari arah kamar sebelah—kosan sebelah yang nempel dengan kosnya, ada suara gitar nyaring melengking, diikuti suara cowok nyanyi pakai teknik ‘kerongkongan terbakar’.“AKU CINTA KAMU, MESKI KAMU SUKANYA BAKWAN~~~BUKAN AKU YANG GANTENG DAN BERUANG~~~”Citra menahan diri buat nggak lempar penggaris 30 cm ke arah tembok.“Sumpah, ini cowok nyanyi apa mengutuk?” gumamnya pelan sambil menyesap kopinya, mencoba tetap elegan meski hasrat untuk membakar gitar cowok itu membara. Sudah dua