Malam makin turun pelan-pelan di Bandung, tapi balkon kosan cowok itu masih menyala lembut oleh sorot proyektor. Layar film sudah gelap, credit Before Sunrise telah selesai, tapi tidak ada yang beranjak. Hanya suara jangkrik dari halaman belakang, dan satu nyamuk yang terbang melintasi wajah Dika—langsung ditepuk pelan.
“Kamu tuh ya… selalu ada di momen yang nggak penting tapi bikin deg-degan,” kata Citra tiba-tiba. Dika menoleh pelan. “Maksudnya? Aku atau nyamuknya?” Citra menyandarkan kepala ke bantal di belakangnya. “Dua-duanya nyebelin. Tapi kamu lebih bikin males ngeselinnya.” Dika mengangguk pelan, seolah menerima penghargaan. “Dikasih gelar sama Citra Paramitha: cowok paling nyebelin sedunia. Tapi tetep dicariin tiap hari.” Citra melirik. “Siapa yang nyariin?” “Yang tadi habis bilang, ‘nyebelin tapi nyenengin’ digrup kosannya.” “IHHH! KAMU NGINTIP CHAT AKU?” Dika menyilangkan tangan di dada. “Aku nggak ngintip, tapi aku bisa baca dari auramu. Kamu tuh kayak majalah dinding—penuh informasi, tapi suka ditempelin pengumuman darurat.” Citra menghela napas, mencoba tidak tertawa. Tapi gagal. “Dikayasa Pradipta, kamu tuh… definisi cowok yang kalau jadi bangunan, mungkin rumah susun. Ramai, padat, kadang pengap, tapi anehnya… bikin betah.” “YES!” seru Dika sambil mengangkat tangan. “Berarti kamu betah dong?” “Betah marah.” Mereka terdiam sejenak. Lampu-lampu jalan dari kejauhan memantulkan cahaya ke langit-langit kamar Dika yang terbuka ke arah balkon. Angin malam lembut menyibak rambut Citra, dan Dika yang memperhatikan tanpa suara… hanya bisa menatap dengan takjub. Lalu, seolah mendengar bisikan dari semesta komedi romantis, Dika bangkit. Ia menghilang sebentar ke dalam kamar, lalu keluar lagi sambil membawa gitar akustik kecil yang warnanya sudah pudar. “Oh no,” kata Citra cepat-cepat. “Jangan nyanyi. Aku mohon.” “Terlambat,” sahut Dika sambil menyetem pelan. Citra menutup muka pakai bantal. “Dikaaaa.” “Tenang, ini bukan nyanyian cinta norak. Ini lagu, tentang arsitek yang terlalu serius buat jatuh cinta.” Ia mulai memetik. Nada-nadanya ringan, melodinya sederhana, tapi liriknya… oh, liriknya seperti hasil ngobrol semalaman di studio arsitektur. “Dia pakai jaket denim dan marah kalau garis nggak simetris. Tapi diam-diam di gambar lesung pipi di sketsa pohon pinus. Dia bilang cinta itu nggak penting, yang penting render selesai. Tapi kenapa tiap aku lewat, dia pura-pura nggak lihat. Tapi kenapa senyumnya nambah satu layer?” Citra memukul bantalnya ke kepalanya sendiri. “Ya ampun… itu terlalu spesifik.” “Karena inspirasi datang dari kenyataan,” Dika menjawab tanpa henti memetik. Ia kembali melanjutkan liriknya, “Aku bukan plot utama di hidpunya. Mungkin cuma figuran yang suka datang saat mood drop. Tapi kalau suatu hari dia bikin denah masa depan, Aku mau jadi kusen pintu yang selalu dia lewati pulang.” Citra menunduk. Entah malu atau nahan ketawa, tapi dari sudut matanya, jelas ada senyum lebar yang mencoba disembunyikan. “Dika…” “Ya?” “Kamu tuh… kayak error pas render. Ganggu, ngeselin, tapi kalau nggak ada, file-nya kayak nggak lengkap.” Dika berhenti main gitar. “Astaga, itu gombalan terbaik yang pernah aku dengar seumur hidupku. Boleh aku pake buat nikah nanti?” “Kamu mau nikah sama siapa?” Dika berdecak. “Nggak tau. Tapi siapa tau orangnya lagi duduk di balkon aku sekarang.” Bruk. Citra melempar bantal ke wajah Dika. Beberapa menit kemudian, setelah suasana mereda dan bantal kembali ke posisi semula, mereka duduk berdampingan. Gitar diletakkan di samping, dan langit mulai menampilkan gugusan bintang yang malu-malu muncul. “Kamu tahu nggak,” kata Dika pelan. “Di dunia arsitektur, kamu selalu ngomongin ruang. Ruang tamu, ruang kerja, ruang transisi. Tapi malam ini, kayaknya… kita lagi bikin ruang yang beda.” Citra menoleh. “Ruang apa?” “Ruang absurd. Tempat dua orang yang tadinya saling ganggu sekarang duduk bareng tanpa saling ingin dorong ke tangga.” Citra menghela napas. “Ruang absurd yang… nyaman.” “Banget.” Mereka terdiam. Tapi diamnya bukan canggung. Lebih kayak jeda dalam musik—yang justru bikin nadanya terasa. Lalu, Dika berdiri dan menunjuk satu titik di langit. “Lihat, itu Orion.” “Kamu tahu konstelasi?” “Aku anak teknik, bukan batu. Kadang-kadang aku juga punya sisi puitis.” “Kamu bukan puitis. Kamu itu… lebih kayak whiteboard bekas sidang. Penuh coretan, nggak jelas, tapi pasti ada satu kalimat yang bikin orang mikir lama.” Dika tertawa. “Aku tulis ya itu di bio I*******m nanti.” Citra hanya menggeleng pelan. “Kamu kenapa sih? Nggak capek apa tengil terus?” “Capek. Tapi kalau bikin kamu senyum, capeknya kayak kerja kelompok yang akhirnya dapet A.” Tiba-tiba, dari dalam kamar Dika terdengar suara alarm HP. Dika buru-buru masuk, lalu keluar sambil membawa dua cup eskrim kecil dari kulkas mini. “Ini agenda terakhir malam ini.” “Es krim?” “Yup. Buatan lokal, rasa vanilla dan pandan. Karena… malam ini harus ditutup dengan yang manis.” Mereka duduk lagi, makan perlahan. Udara malam menyusup ke sela jaket dan rasa es krim yang meleleh pelan. Citra memandangi langit lagi. “Aku suka balkon ini,” bisiknya. “Kenapa?” “Soalnya di sini, segalanya nggak perlu sempurna. Nggak perlu kayak studio. Tapi rasanya real.” Dika tidak menjawab. Ia hanya menoleh, lalu menyenggol bahu Citra pelan. “Kalau balkon ini jadi ruang favorit kamu, aku mau daftarin jadi cagar budaya pribadi.” “Gimana caranya?” “Pake hati. Dan sedikit lem anti rayap.” Tawa mereka berbaur dengan angin malam. Tidak ada gombalan megah, tidak ada drama tinggi. Hanya balkon sederhana, satu gitar, dan dua orang mahasiswa yang sedang—pelan-pelan, membangun sesuatu yang bahkan dosen studio pun tidak bisa nilai dengan rubrik biasa. *** Di kamar kosannya, malam sebelum tidur, Citra membuka sketchbook-nya. Ia menggambar balkon iyu, dengan dua kursi plastik, gitar sandaram proyektor kecil, dan dua figure duduk berdampingan. Di bawah sketsa itu, ia menulis: Balkon: ruang semi private yang ternyata bisa jadi ruang paling jujur. Dan di balkon kosan cowok itu, Dika duduk sendirian, menatap langit, gitar di pangkuannya, dan satu kalimat di pikirannya: “Kalau kamu adalah bangunan, akum au jadi fondasi yang diam-diam bikin kamu tetap berdiri.” Film sudah selesai. Tapi cerita mereka… baru masuk babak dua.Minggu pagi di Bandung adalah kombinasi anatar bau tanah lembap, suara motor kopling yang susah hidup, dan anak-anak kosan yang baru bangun jam sembilan, tapi merasa sudah jadi manusia produktif. Dika salah satunya. Ia duduk di balkon kosannya, mengenakkan kaos hitam sablon “Rancang Bangun Rindu”, dan celana pendek warna khaki yang sudah mulai pudar karena terlalu sering dipakai buat tidur, kerja kelompok, dan konten TikTok. Gitar akustik reyot yang biasa dia bawa nongkrong, sekarang ada di pangkuannya. Tapi belum sempat dia genjreng satu lagu, suara dari bawah kosan menginterupsi dengan dramatis: “DIKAYASA! ADA KIRIMAN DARI CITRA!”Dika nyaris jatuh dari kursi plastiknya. Ia melongok dari balkon. Di bawah, satpam kosan menunjuk ke arah kardus kecil bertuliskan “Untuk Dika, jangan dibuka pake gerinda.” Setelah mengambil paket kiriman dari Citra, Dika membuka kardus itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada dua bungkus kopi tubruk kemasan dan satu mug keramik warna kuning pastel. Di si
Malam makin turun pelan-pelan di Bandung, tapi balkon kosan cowok itu masih menyala lembut oleh sorot proyektor. Layar film sudah gelap, credit Before Sunrise telah selesai, tapi tidak ada yang beranjak. Hanya suara jangkrik dari halaman belakang, dan satu nyamuk yang terbang melintasi wajah Dika—langsung ditepuk pelan. “Kamu tuh ya… selalu ada di momen yang nggak penting tapi bikin deg-degan,” kata Citra tiba-tiba. Dika menoleh pelan. “Maksudnya? Aku atau nyamuknya?” Citra menyandarkan kepala ke bantal di belakangnya. “Dua-duanya nyebelin. Tapi kamu lebih bikin males ngeselinnya.” Dika mengangguk pelan, seolah menerima penghargaan. “Dikasih gelar sama Citra Paramitha: cowok paling nyebelin sedunia. Tapi tetep dicariin tiap hari.” Citra melirik. “Siapa yang nyariin?” “Yang tadi habis bilang, ‘nyebelin tapi nyenengin’ digrup kosannya.” “IHHH! KAMU NGINTIP CHAT AKU?” Dika menyilangkan tangan di dada. “Aku nggak ngintip, tapi aku bisa baca dari auramu. Kamu tuh kayak majala
Hingar bingar kampus perlahan mereda. Proyek kolaborasi Teknik Mesin dan Arsitektur sudah rampung dan menuai pujian. Tapi alih-alih langsung kembali ke rutinitas masing-masing, ada ruang kosong yang menggantung—ruang yang entah kenapa, ingin diisi. Dan Citra Paramitha sama sekali nggak nyangka, ruang kosong itu bakal diisi oleh ajakan absurd dari cowok yang selama ini mengganggu hidupnya seperti notifikasi grup WhatsApp keluarga. “Citra, weekend ini jalan, yuk.” Citra mengerjap. Chat dari Dika itu muncul tiba-tiba di layar HP-nya saat ia lagi nonton video tutorial SkecthUp. Ia menghela napas.Citra: Jalan ke mana? Proyek udah selesai kan. Dika: Justru karena udah selesai, kita harus rayain. Jalan-jalan di Bandung gitu. Nongki-nongki lucu. Citra: Kamu ngajak semua tim?Dika: Nggak dong. Cuma kita berdua.Citra: …..Dika: Jalan proyek kemarin udah rapi. Sekarang saatnya jalan hati.Citra membuang napas panjang. Di sisi lain, hatinya membalas, “nggak lucu tapi kenapa, kok, senyum se
Siang itu, suasana kampus mulai sedikit lebih damai dibandingkan biasanya. Angin Bandung membelai daun-daun pohon di sepanjang koridor jurusan teknik, dan matahari—meski sedikit menyebalkan—masih bersikap sopan tidak terlalu terik. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. “CITRA PARAMITHA, KE RUANG SIDANG MINI SEKARANG JUGA!” Suara Bu Devi, dosen pembimbing studio arsitektur, menggelegar seperti gempa skala kecil. Citra, yang sedang Menyusun mood board di studio, langsung reflek berdiri. “Ada apa lagi, Bu?” tanyanya gugup. “Kamu ditunjuk jadi PIC visual untu kolaborasi antarjurusan dengan teknik mesin. Mereka lagi ngerjain protoype urban furniture, kamu bagian visual presentasi dan desain pendekatannya.” Citra mengerjapkan mata. “Kolaborasi… sama teknik mesin?” “Iya. Dan kamu kerja bareng ketua tim mereka. Namanya—” “—jangan bilang Dikayasa Pradipta.” Bu Devi tersenyum penuh makna. “Kamu kenal, ya?” Kenal? Kenal itu terlalu halus. Citra lebih tepatnya terganggu secara konsi
Pagi di Bandung memang punya pesona yang nggak ada habisnya. Embun masih malas turun ke tanah, angin masih lembut seperti senyum mahasiswa baru yang belum tahu kerasnya revisi dosen. Tapi buat Citra, pagi itu adalah lanjutan dari mimpi buruk semalam—Dika. Dengan hoodie abu-abu, tote bag berisi sketchbook, dan tumbler kopi, Citra melangkah menuju kampus. Langkahnya terhenti sesaat saat melihat motor rombeng Dika yang parkir miring seperti habis nabrak pohon mangga. “Pengen banget gergaji itu motor,” gumamnya sambil memeluk erat tumbler-nya. Dari arah berlawanan, Dika muncul, kali ini pakai helm setengah kepala dan jaket biru tua khas anak teknik. Gitar masih di punggung, karena katanya, “Siapa tahu ketemu inspirasi di jalan, jadi bisa langsung bikin lagu buat kamu.” “Citraaa!” serunya, melambaikan tangan sambil jalan cepat seperti anak kecil yang lihat es krim. Citra mempercepat langkah. Tapi Dika tetap bisa menyusul. “Kamu tahu nggak, Citra? Aku tuh nyimpen kutipan di kepala, bua
Ada banyak hal yang Citra Paramitha anggap sebagai gangguan di hidupnya. Seperti orang yang nyalain motor knalpot racing jam lima pagi. Seperti pengendara motor yang lupa pake sein tapi marah kalau ditabrak. Dan yang paling menyebalkan adalah, Dikayasa Pradipta, si penghuni kosan sebelah yang berisiknya melebihi toa masjid rusak. Citra menghela napas untuk kesekian kalinya pagi itu. Di tangannya, segelas kopi susu homemade yang niatnya mau nemenin deadline tugas gambar perspektif. Lalu, apa yang terjadi? Dari arah kamar sebelah—kosan sebelah yang nempel dengan kosnya, ada suara gitar nyaring melengking, diikuti suara cowok nyanyi pakai teknik ‘kerongkongan terbakar’.“AKU CINTA KAMU, MESKI KAMU SUKANYA BAKWAN~~~BUKAN AKU YANG GANTENG DAN BERUANG~~~”Citra menahan diri buat nggak lempar penggaris 30 cm ke arah tembok.“Sumpah, ini cowok nyanyi apa mengutuk?” gumamnya pelan sambil menyesap kopinya, mencoba tetap elegan meski hasrat untuk membakar gitar cowok itu membara. Sudah dua