“Dua puluh tujuh tahun yang lalu, Papa menemani Mama di Kalimantan untuk nyari Illipe Butter,” Surya membuka cerita. Duduk di sofa single yang bisa menatap ke kanan dan kirinya. Dimana Mei dan Carita duduk bersisian di sofa kanan, sedangkan Aya dan Chandra duduk di sofa sebelah kiri.
Matanya menangkap wajah tegang dari Aya dan Chandra. Keduanya yang benar-benar terkejut dengan berita ini. Wajah Carita yang duduk menempel pada Mei juga sama, takut dan cemas juga tidak luput dari pandangan Surya.
“Due date mama masih dua minggu lagi saat itu. Papa udah minta Mama untuk gak pergi dulu, tapi—“
“Kalian tau Mama bagaimana,” potong Mei pada penjelasan Surya, “Mama keras kepala sampai bilang kalau pergi kesana karena ngidam banget.”
“Dan Papa yang bucin ini benar-benar menuruti maunya Mama?”
Chandra menebak dengan sangat tepat. Karena kemudian kedua orang tua itu tersenyum dan mengangguk. Tidak ingat dengan kejadian yang terjadi saat ia masih balita itu, Chandra hanya ingat ia punya adik perempuan yang cantik.
“Lalu gak disangka banget Mama kontraksi, pecah ketuban sesudah keliling liat buah, dan berakhir dengan lahiran. Padahal Mama mau ke Disney Sea dulu minggu depannya itu, Kak,” Mei terkekeh sendiri.
“Mama lahiran di rumah sakit, waktu itu malem-malem. Kacau banget malam itu, Kak.” Papa mengingat, “kami berdua dibantu Pak Bima, mengurus semuanya, dan pulang dari sana tanpa prasangka apapun.”
Mei menunduk, meraih tangan Carita. Gadis yang ternyata anak kandungnya itu duduk dengan tegang. “Kami ternyata membawa bayi yang salah,” Mei tercengang dengan ucapannya sendiri lalu cepat-cepat menoleh pada Aya, “Maksud Mama bukan gitu, Aya. Mama—“
“Kapan Mama menyadari kalau aku bukan anak kandung Mama?”
Pertanyaan itu tercetus begitu saja di kepalanya. Aya mencoba tenang. Ini bukan hal yang harus ia hadapi dengan buru-buru. Tanpa prasangka apapun. Ini kesalahan yang jelas sangat fatal. Namun waktu yang sudah dilalui sampai hari ini juga tidak sebentar. Ia ingin tahu sejak kapan Mama dan Papanya menyembunyikan hal ini darinya.
“Sejak awal, Sayang,” jawab Mei. Tidak ada keraguan, tidak ada yang ditutupi.
“Setibanya kita di Jakarta, kami melakukan semua tes kesehatan sama kamu, Sayang,” tambah Surya, “Mama O, Papa B. Kamu punya golongan darah A, Aya. Kami curiga sejak tau golongan darah kamu.”
Aya tidak pernah tahu itu. Sejak kecil sampai sekarang, semua hal tentang kesehatan dipantau Dokter Ilham. Semua hal diberitahukan bahwa ia baik, orang taunya baik, Chandra juga baik. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan mereka. Hidup sehat dan baik, makan yang diatur oleh ahli gizi, vitamin dan semua hal yang sudah dipersiapkan. Aya merasa semua hal di dalam hidupnya serba mudah dan ia hanya tinggal sekolah dan sekarang bekerja.
Namun ternyata semuanya itu apa?
“Sejak awal?”
“Pak Bima segera kembali ke sana, tapi seperti kami, orang tua kamu juga sudah pergi, Sayang,” jelas Mei. Kata-katanya tenang, terang sekali agar membuat Aya tenang juga.
Tatapan Aya beralih pada Carita. Melihat bagaimana sedehananya gadis di depannya. Entah perasaan apa yang tumbuh di dalam hatinya, hanya saja, rasanya sesak. Aya duduk dengan gelisah. Padahal biasanya ia berguling-guling dengan nyaman di sofa ruang keluarga ini.
“Apakah—“
“Apa buktinya lagi, Mah? Pah?” tanya Chandra mengangkat tangan untuk kemudian mendarat di tangan Aya, meremas jemari tangan adiknya yang terasa dingin menusuk.
Tatapan Aya berpindah pada lelaki yang selama ini ia yakini sebagai kakaknya.
Chandra melirik Carita, gadis itu menatap takut-takut padanya, “Carita—“
“Panggil aja aku Ari,” Carita bersuara pertama kali.
Senyum Chandra tersungging di bibirnya. Menatap Ari dengan lembut, ia mengangguk, “Ari maaf bukannya aku gak percaya, tapi ini terlalu mendadak untuk aku dan Aya.”
Ari mengangguk kecil, “Aku juga masih belum percaya, Kak—“
“Chandra.”
“Kak Chandra,” Ari meneruskan ucapannya.
Aya menatap bergantian pada Chandra dan Ari. Melihat adanya kemiripan dari keduanya. Kemiripan yang sama sekali tidak dimiliki olehnya. Tangan Aya gemetar dalam genggaman Chandra.
Dari saku jasnya, Surya mengeluarkan amplop putih dari laboratorium ternama dan terpercaya. “Kami sudah tes DNA, Kak,” jawabnya.
“Hasilnya cocok,” tambah Mei mengangguk yakin pada Chandra.
Chandra menatap amplop putih itu dan meraihnya. Melepaskan gengaman tangannya di jemari Aya, lalu membuka amplop itu. Melihat hasil yang disuguhkan laporan di atas kertas itu. 99,99%.
Mencuri lirik pada kertas di tangan Chandra, Aya semakin merasa nelangsa.
“Apakah orang tuamu–“ Chandra menggeleng lalu menyimpan kertas kembali ke salam amplop.
“Apakah orang tuaku masih ada?” Aya meneruskan pertanyaan Chandra.
Aya menarik napasnya yang terasa berat, lalu merasakan usapan lembut Chandra di punggungnya. Ia menoleh pada kakaknya dan mengangguk kecil. Isyarat kalau ia tidak apa-apa dengan kenyataan yang tiba-tiba ini.
Carita melirik Aya ragu-ragu, melihat memindai Aya dari atas rambut sampai ujung kakinya. Menatap rambut bergelombang Aya yang ditata rapi, jas diluar kemejanya yang pas dengan tubuhnya, rok span cream, juga stiletto louboutin itu. Perlahan, Ari menegakkan punggungnya, mencuri pandang pada letak kaki Aya yang terlipat elegan tanpa menyilangkan kaki. Lalu pada tangan Aya yang berada di atas pangkuannya.
Kepala Ari terangkat dan menatap Aya yang masih menunggu jawabannya, perlahan, Ari mengangguk. “Masih ada Abah, kalau Ama sudah meninggal tahun lalu,” jawabnya. Suaranya kecil mendayu dan lembut.
Kedua mata Aya menutup, dengan sema kekuatannya, ia menahan bibirnya untuk tidak bergetar. Aya berakhir dengan menggigit bibirnya dan mengatur napasnya.
“Maafkan Mama sama Papa yang baru menemukan Ari sekarang, Aya,” suara Surya terdengar lagi.
Mei melepaskan tangan Ari, mengangguk dan tersenyum padanya sebelum berpindah ke sebelah Aya.
Mata Aya terbuka saat merasakan tangannya dibawa ke dalam genggaman Mei. Aya tersenyum kecil, “Aku gak apa-apa, Mah,” katanya sebelum Mei berkata apa-apa.
“Kamu memang selalu ngerti sebelum mama ngomong,” jawab Mei dengan senyumannya.
“Aku lega Mama menemukan Ari. Kalau enggak, aku—“
Alarm ponselnya bergema. Aya meraih tas dan mengeluarkan ponselnya. Mematikan alarm lalu menatap ponselnya lekat. Entah, tapi suara alarm dan pesan dari Sella di ponselnya itu terasa membebaskannya dari sesaknya sekarang.
*
“Gak mau di volume lagi? Udah mulai turun nih,” ucap Mas Alle, hair stylish yang biasa menangani rambut Aya.Gadis itu menggeleng, “Saya cuma mau keramas dan blow aja, malam ini udah harus pergi soalnya. Hemat waktu,” jawab Aya sambil tersenyum.“Kalau ada waktu kita kebut volume lagi tapi ya?”Aya mengangguk-angguk di depan cermin besar.Ia kemudian menurut saat staff mengarahkannya ke ruang cuci rambut. Ari sudah kebih dulu berada di sana, sedang dibilas. Mereka belum bicara apa-apa lagi setelah Vanny pamitan karena merasa canggung dan bilang kalau ia akan menghubungi Aya nanti.Aya duduk di kursi wash bak dan membiarkan rambutnya diambil alih. Ia menutup mata saat air hangat mulai mengalir di kulit kepalanya, hangat di sela-sela rambutnya.“Kenapa?”Mata Aya terbuka saat mendengar pertanyaan Ari. Melirik gadis di sampingnya itu, “Kenapa? Kenapa?” tanyanya ringan lalu kembali menutup mata.Ari menghela napas, “Kenapa kamu bilang gitu di depan teman kamu sendiri?”Alis Aya bertaut, k
“Gila, kamu?” Ari mendesis.“Apaan sih kok bilang aku gila?” jawab Aya tak terima.“Gak perlu dicoba kali,” Ari menyerahkan lagi satu setel bra dan celana dalam yang Aya ulurkan padanya.“Ya kamu bilang gak tau ukuran, kan?” sewot Aya masih tidak terima disebut gila. “Aku gak mungkin nyamai ukuran kita. Punya kamu lebih kecil!”“Aya, ih, tutup mulut!” Ari melirik kiri dan kanan yang padahal tidak ada orang. “Punya aku gak sekecil itu juga kali! Kamu aja yang kegedean.”Aya mencibir, “Ini aset buat suami gue, ya. Kita perawatan bareng deh nanti biar punya kamu lebih gede,” ucapnya kemudian.Mata Ari mengerjap, “Perawatan?”“Iyalah, selain muka, ini juga perlu,” jawab Aya menggebu seperti sales asuransi sambil menunjuk kedua bolanya dalam balutan vest knitt yang mempertegas lekukan dan tonjolan tubuhnya.“Emang bisa?” tanya Ari polos.“Bisa, dong,” jawab Aya dengan lirikan misterius.“Caranya?”“Ya gitu,” Aya berusaha menyembunyikan cengirannya.Ari melihatnya, “Jahat ih, mentang-mentan
Tangan Aya membukakan pintu penumpang Mercy putih itu, mengingat Maserati-nya ditinggalkan di kantor karena tadi malam diantar pulang oleh Zayn. Senyumnya mengembang pada gadis yang masih menatapnya dengan tatapan kesal itu. “Ayo, kita mau ketemu Mama di Mahkota Clinic,” Aya meraih tangan Ari dan menariknya ke mobilnya.Ari sekali lagi menarik tangannya dan dengan anggun jalan sendiri lalu masuk ke mobil Aya.Ujung bibirnya tertarik dan Aya melihat Ari yang duduk dengan anteng di dalam mobilnya, setelah menutup pintu untuk Ari, Aya berjalan ke pintu pengemudi dan dengan riang melajukan mobilnya ke arah salah satu mall terbesar di kota.*Mata Ari sedari tadi mencuri lirik pada Aya yang dengan lihai memutar roda kemudi, belok kanan belok kiri mengerti harus pergi kemana. Hatinya kembali teriris. Ia sendiri tidak tahu apapun. Bahkan apa yang dilakukan Mamanya dan Aya yang ternyata sudah janjian untuk bertemu itu.Sedih sekali.Ari tahu ini bukan salah Aya. Namun begitu melihat Aya yang
Mata Ari melebar menatap berkeliling kamar Aya. Melihat dengan matanya sendiri bahwa ruangan bernuansa putih dan kuning itu terasa mewah dan cantik. Sebuah ranjang king size berada di sisi kiri, lalu dipan tv di seberangnya, dengan sofa empuk di antaranya. Ari terperangah saat Aya membawanya masuk ke dalam walk in closet yang lebih besar dari ruang kamar itu sendiri.“Kita tidur bareng dulu malam ini, kan? Kamar kamu belum siap banget.”Ari menoleh saat Aya mendekatinya dan membawakan sepasang baju tidur dan celana panjang dari balik salah satu pintu lemari. Dilihatnya lemari-lemari yang tertutup, lalu pada lemari kaca yang menampilkan tas-tas yang dipajang seperti di toko, lalu deretan sepatu di rak bawah yang beragam warna dan bentuk. Lalu di salah satu sisi terdapat cermin tinggi dan meja rias yang diatasnya penuh dengan peralatan make up.Semua hal yang pernah Ari lihat dalam bentuk KW nya kini ia lihat yang aslinya.Tangan Aya menyerahkan setelan baju tidur dan berdiri di depan A
Melangkah ke tangga batu, setelah beberapa kali menarik napas untuk menenangkan diri. Aya naik dengan ditemani suara khas sepatunya. Langkahnya dibuat ringan, tapi tangannya menggenggam tali tas lebih erat, berhenti sejenak di depan pintu sebelum mendorongnya terbuka.“Aya pulang,” serunya lantang. Tapi ia menghentikan langkahnya lagi, mematung di ambang pintu, sedih menyergapnya begitu saja. Kebiasaan yang sudah dibawanya selama dua puluh tujuh tahun hidup di rumah ini.Sekarang, rasanya seruannya itu terasa salah.*Mei mendapati Aya yang masih berdiri di ambang pintu.“Aya udah pulang?” sambutnya dengan wajah sumringah.Tersadar dari lamunannya, Aya mengangkat wajah dan memasang senyum yang manis di bibirnya, “Aya pulang, Mah,” jawabnya. Langkahnya kembali maju, ditutupnya kembali pintu dan melangkah menuju wanita yang selama ini menyayanginya bagai anak kandungnya sendiri.Tangan Mei terulur membawa Aya ke pelukannya.Aya dengan haru menyerbu pelukan itu dan menyandarkan dagu di p
Menatap gemerlap lampu dari balik jendela kantornya di lantai dua puluh lima, selepas magrib tadi ia berdiri dan belum berniat untuk pulang. Aya terpekik kaget karena satu tangan yang melingkari perutnya dan membawanya ke pelukan seorang di belakangnya.“Ini aku,” ucap suara itu.“Zayn?”“Siapa lagi yang bisa peluk-peluk kamu kayak gini,” Zayn menunduk membenamkan wajahnya pada lekukan leher Aya. Lalu mendaratkan bibirnya di sana.Gadis itu terperanjat geli, lalu melepaskan diri, “Ini di kantor, Pak Zayn,” tolaknya pada sikap Zayn yang selalu menyentuhnya tak kenal tempat.“Tapi gak ada siapa-siapa,” jawab Zayn dengan cueknya langsung menyambar pinggang Aya dan membawanya mendekat, tangan kanannya meraih pipi kiri Aya dan mendaratkan bibirnya di bibir Aya.Tangan Aya yang terangkat menepuk pundak Zayn, mengalihkan perhatian. Zayn memundurkan wajahnya dan menatap Aya dengan wajah kesal.“Aku kangen,” ucap lelaki itu dengan manjanya.“Tapi aku mau ngomong dulu. Boleh?” tanya Aya sambil