Hidup sempurna Cahaya Anindiya –Aya– berubah saat Carita Paramita –Ari– datang. Bukan, nyatanya Aya lah yang sudah merebut semua kesempurnaan dan kemewahan yang seharusnya milik Ari. Meskipun itu bukan salah Aya, benih rasa bersalah itu sudah terlanjur bersarang di hatinya. Namun saat Zayn –kekasihnya direbut, semua kesalahan dilimpahkan padanya, dan ia hanya menjadi tempat sampah emosi Ari, Aya bertahan dengan pendampingan dari Tris.
View MoreKaki dalam balutan Louboutin itu tidak menghambat langkah cepatnya. Rok cream span selutut dengan balutan kemeja lengan panjang berwarna pink blush masih rapi di tubuh rampingnya. Tangannya terulur mengambil jas dari tangan Sella, asistennya, lalu tanpa berkata apa-apa langsung memakainya. Rambut panjangnya ia rapikan juga. Tangan lentiknya mengibaskan rambutnya dengan ringan dan menyelipkan ke belakang telinga kanan.
Cahaya Anindiya Suwira, anak kedua dari Surya Suwira itu menghentikan langkahnya. “Papa pasti nanyain lagi soal Arya, kan?” tanya Aya kembali melangkah saat pintu lift terbuka di depannya. “Bukan, Bu, kalau soal Pak Arya, Pak Surya gak akan bilang mau kenalin seseorang ke Bu Aya,” jawab Sella yang sudah menekan tombol basement. “Terus Papa gak bilang apa-apa lagi?” Sella mengangguk. “Misterius banget sih Pak Surya,” Aya terkekeh pelan lalu merogoh saku jasnya, mencari ponsel. “Kalau gitu jadwal saya siang ini dimundurin dua jam lagi ya, Sel,” pintanya kemudian sambil menandai alarm di ponselnya. “Siap, Bu,” jawab Sella sambil mengulurkan Chanel 25 milik Aya, saat tangan bosnya itu terulur padanya. Pintu lift terbuka, “Saya pergi dulu,” pamit Aya sambil keluar dari lift dan berjalan menuju Maserati GranTusimo miliknya. Masuk dengan luwes dan segera meluncur meninggalkan gedung Suryas Corporation. -*- Membelokkan mobil ke gerbang rumah yang sudah dibukakan, Aya menurunkan jendela dan tersenyum ramah, “Makasih, Pak Dayat,” katanya pada satpam rumah. Pak Dayat mengangguk hormat, namun tatapannya kali ini berbeda. Aya menangkap tatapan itu tapi ia tidak bertanya. Ia lurus membawa mobilnya masuk ke dalam parkiran luas di depan pintu garasi yang terbuka setengah. Menghentikan mobil diluar pintu, Aya melirik ke dalam garasi. Di dalamnya Aya bisa melihat Mercy milik mamanya, juga Bentley milik Papa. Matanya memincing, “Siang gini Mama juga udah pulang?” Merasa aneh. Mama dan Papanya adalah dua orang yang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mama menjadi CEO di Mahkota Skincare yang sekarang sedang sibuk dengan pengembangan Skin Clinic-nya, yang biasanya tidak bisa diganggu sampai jam pulang nanti. Papa juga yang masih menjabat sebagai Komisaris di Suryas Corp biasanya masih punya jadwal super padat. Aya saja yang mendampingi Papa sebagai CFO sibuknya bukan main. Meraih tasnya, ia membuka pintu. Langkahnya kembali terhenti saat melihat Ferrari yang dikenalnya masuk ke halaman. Senyumnya mengembang saat pemilik mobil merah itu keluar. Lelaki dengan setelan jas yang rapi itu berjalan ke arahnya dan memeluk Aya dengan luwes. “Kakak dipanggil pulang juga?” tanya Aya sambil membalas pelukan singkat itu. Lelaki yang dipanggil kakak itu mengangguk. Chandra Arjuna Suwira, Si Sulung keluarga Suwira itu melepaskan pelukannya, “Kamu belum dapet bocoran apa-apa dari Sella?” tanyanya. Aya menggeleng pelan. Wajah keduanya sama-sama mempesona, tampan dan cantik yang terawat dengan sangat baik. Meski dari sudut manapun, keduanya tidak punya kesamaan sebagai kakak-adik. Namun keduanya adalah anak dari Surya Suwira dan Meilani Hidayat. Pasangan pengusaha sukses dalam bidangnya masing-masing. Mempersilakan Aya menaiki tangga batu lebih dulu untuk sampai ke pintu depan, Chandra mengekorinya dari belakang. “Jangan sampai kejutannya adalah Mama hamil adik kita, ya, Ya?” Aya terkikik, berbalik, dan menepuk pelan lengan Chandra. Bagaimana bisa kakaknya berpikir seperti itu. “Kak, Mama udah menopouse, gak mungkin hamil dong,” jawabnya dengan kening sama berkerutnya. Tertular tawa mengikik Aya, Chandra tersenyum, “Ayo kita lihat kebenarannya,” ajaknya yang segera dijawab dengan anggukan penuh semangat dari Aya. Melewati taman depan rumah yang membuat udara sejuk di teras, dengan pohon-pohon palem, melati belanda yang merambat dan berbunga lebat, juga rimbunnya monstera di pojok teras. Chandra menyamakan langkah dengan adiknya yang terpaut jarak empat tahun darinya itu. Tangannya terangkat dan dengan jahilnya mengacak rambut Aya yang setiap pagi diblowdry sejak subuh. “Kakak!” gelegar Aya dengan kesal. Kakinya menyentak lantai sambil meraih rambut berantakannya. Yang berbuat jahil sudah lebih dulu berlari ke dalam rumah dalam tawa berderai. Aya tidak peduli ia masih memakai Louboutin delapan centi, ia berlari mengejar Chandra yang sudah tidak terlihat, ikut masuk ke dalam rumah mewah bernuansa kayu dan alam itu. Membiarkan pintu depan terbuka begitu saja. Berbelok di tembok yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga, Ia melihatnya, punggung Chandra yang berhenti tepat beberapa langkah di depannya. “Kakak jail banget sih, aku masih ada meeting sesudah dari si—“ Suara Aya berhenti. Chandra juga tidak berusaha melarikan diri lagi. Mengikuti arah pandang kakaknya, Aya menatap Papa dan Mama di depannya. Berdiri menyambut Aya dan Chandra. Senyum merekah di wajah keduanya. Namun bukan pemandangan itu yang menyita perhatian kakak-adik itu yang kompak diam mematung. Di depan mereka, di antara kedua orang tuanya, diapit oleh Mama dan Papa mereka, berdiri seorang gadis yang tersenyum kaku pada keduanya. Aya berkedip. Chandra yang lebih dulu pulih dari keterkejutannya. “Ada apa ini, Mah? Pah?” tanyanya. Mei dan Surya tersenyum, namun baik Chandra atau Aya, keduanya bisa melihat binar terharu di mata mereka. “Kami menemukannya,” ucap Papa. Lelaki hampir enam puluh itu tersenyum menoleh pada gadis di sampingnya. Menatap dengan penuh cinta dan haru. Mei mengangkat tangan menyeka ujung matanya, lalu tangan kanannya merangkul pundak gadis itu. Aya memerhatikannya, sepertinya mereka seumuran. Hanya saja, penampilan gadis di samping Mei terlihat sangat sederhana. Rambut panjang lurusnya berwarna hitam menyampir di bahunya. Blouse knit hitam dan celana jeansnya sesederhana wajahnya yang tanpa riasan. “Mah?” suara Chandra membuat Aya menoleh pada kakak lelakinya itu. Setelah mengusap kembali sudut matanya, Mei tersenyum, “Kami menemukan adik kamu yang asli, Chandra.” Deg! Aya mengalihkan padangannya pada Mamanya yang mengangguk, pada Papanya yang tersenyum, lalu pada Chandra yang sama-sama terkejut dengan dirinya. Kepala Aya menoleh kembali pada gadis di depannya. “Mama?” tanya Aya dengan suara tercekat. “Ini Carita, anak Mama yang tertukar sama kamu, Sayang,” jawab Mei dengan senyuman yang sama. Mata cokelat Aya berkedip. Senyuman dari wanita yang biasa ia panggil Mama masih hangat seperti biasa. Namun, kenapa hatinya perih begini? -*-“Gila, kamu?” Ari mendesis.“Apaan sih kok bilang aku gila?” jawab Aya tak terima.“Gak perlu dicoba kali,” Ari menyerahkan lagi satu setel bra dan celana dalam yang Aya ulurkan padanya.“Ya kamu bilang gak tau ukuran, kan?” sewot Aya masih tidak terima disebut gila. “Aku gak mungkin nyamai ukuran kita. Punya kamu lebih kecil!”“Aya, ih, tutup mulut!” Ari melirik kiri dan kanan yang padahal tidak ada orang. “Punya aku gak sekecil itu juga kali! Kamu aja yang kegedean.”Aya mencibir, “Ini aset buat suami gue, ya. Kita perawatan bareng deh nanti biar punya kamu lebih gede,” ucapnya kemudian.Mata Ari mengerjap, “Perawatan?”“Iyalah, selain muka, ini juga perlu,” jawab Aya menggebu seperti sales asuransi sambil menunjuk kedua bolanya dalam balutan vest knitt yang mempertegas lekukan dan tonjolan tubuhnya.“Emang bisa?” tanya Ari polos.“Bisa, dong,” jawab Aya dengan lirikan misterius.“Caranya?”“Ya gitu,” Aya berusaha menyembunyikan cengirannya.Ari melihatnya, “Jahat ih, mentang-mentan
Tangan Aya membukakan pintu penumpang Mercy putih itu, mengingat Maserati-nya ditinggalkan di kantor karena tadi malam diantar pulang oleh Zayn. Senyumnya mengembang pada gadis yang masih menatapnya dengan tatapan kesal itu. “Ayo, kita mau ketemu Mama di Mahkota Clinic,” Aya meraih tangan Ari dan menariknya ke mobilnya.Ari sekali lagi menarik tangannya dan dengan anggun jalan sendiri lalu masuk ke mobil Aya.Ujung bibirnya tertarik dan Aya melihat Ari yang duduk dengan anteng di dalam mobilnya, setelah menutup pintu untuk Ari, Aya berjalan ke pintu pengemudi dan dengan riang melajukan mobilnya ke arah salah satu mall terbesar di kota.*Mata Ari sedari tadi mencuri lirik pada Aya yang dengan lihai memutar roda kemudi, belok kanan belok kiri mengerti harus pergi kemana. Hatinya kembali teriris. Ia sendiri tidak tahu apapun. Bahkan apa yang dilakukan Mamanya dan Aya yang ternyata sudah janjian untuk bertemu itu.Sedih sekali.Ari tahu ini bukan salah Aya. Namun begitu melihat Aya yang
Mata Ari melebar menatap berkeliling kamar Aya. Melihat dengan matanya sendiri bahwa ruangan bernuansa putih dan kuning itu terasa mewah dan cantik. Sebuah ranjang king size berada di sisi kiri, lalu dipan tv di seberangnya, dengan sofa empuk di antaranya. Ari terperangah saat Aya membawanya masuk ke dalam walk in closet yang lebih besar dari ruang kamar itu sendiri.“Kita tidur bareng dulu malam ini, kan? Kamar kamu belum siap banget.”Ari menoleh saat Aya mendekatinya dan membawakan sepasang baju tidur dan celana panjang dari balik salah satu pintu lemari. Dilihatnya lemari-lemari yang tertutup, lalu pada lemari kaca yang menampilkan tas-tas yang dipajang seperti di toko, lalu deretan sepatu di rak bawah yang beragam warna dan bentuk. Lalu di salah satu sisi terdapat cermin tinggi dan meja rias yang diatasnya penuh dengan peralatan make up.Semua hal yang pernah Ari lihat dalam bentuk KW nya kini ia lihat yang aslinya.Tangan Aya menyerahkan setelan baju tidur dan berdiri di depan A
Melangkah ke tangga batu, setelah beberapa kali menarik napas untuk menenangkan diri. Aya naik dengan ditemani suara khas sepatunya. Langkahnya dibuat ringan, tapi tangannya menggenggam tali tas lebih erat, berhenti sejenak di depan pintu sebelum mendorongnya terbuka.“Aya pulang,” serunya lantang. Tapi ia menghentikan langkahnya lagi, mematung di ambang pintu, sedih menyergapnya begitu saja. Kebiasaan yang sudah dibawanya selama dua puluh tujuh tahun hidup di rumah ini.Sekarang, rasanya seruannya itu terasa salah.*Mei mendapati Aya yang masih berdiri di ambang pintu.“Aya udah pulang?” sambutnya dengan wajah sumringah.Tersadar dari lamunannya, Aya mengangkat wajah dan memasang senyum yang manis di bibirnya, “Aya pulang, Mah,” jawabnya. Langkahnya kembali maju, ditutupnya kembali pintu dan melangkah menuju wanita yang selama ini menyayanginya bagai anak kandungnya sendiri.Tangan Mei terulur membawa Aya ke pelukannya.Aya dengan haru menyerbu pelukan itu dan menyandarkan dagu di p
Menatap gemerlap lampu dari balik jendela kantornya di lantai dua puluh lima, selepas magrib tadi ia berdiri dan belum berniat untuk pulang. Aya terpekik kaget karena satu tangan yang melingkari perutnya dan membawanya ke pelukan seorang di belakangnya.“Ini aku,” ucap suara itu.“Zayn?”“Siapa lagi yang bisa peluk-peluk kamu kayak gini,” Zayn menunduk membenamkan wajahnya pada lekukan leher Aya. Lalu mendaratkan bibirnya di sana.Gadis itu terperanjat geli, lalu melepaskan diri, “Ini di kantor, Pak Zayn,” tolaknya pada sikap Zayn yang selalu menyentuhnya tak kenal tempat.“Tapi gak ada siapa-siapa,” jawab Zayn dengan cueknya langsung menyambar pinggang Aya dan membawanya mendekat, tangan kanannya meraih pipi kiri Aya dan mendaratkan bibirnya di bibir Aya.Tangan Aya yang terangkat menepuk pundak Zayn, mengalihkan perhatian. Zayn memundurkan wajahnya dan menatap Aya dengan wajah kesal.“Aku kangen,” ucap lelaki itu dengan manjanya.“Tapi aku mau ngomong dulu. Boleh?” tanya Aya sambil
Aya melepaskan ponsel, kembali menyimpannya di dalam tas putihnya. Berkedip dan menarik napas sebelum mengangkat wajahnya, ia tersenyum, “Itu Sella,” katanya sambil terkekeh pelan.“Kamu masih ada jadwal?”Menatap kembali pada Mei, Aya mengangguk, “Apakah aku-“ Aya menarik napas, menelan pahit di tenggorokannya, “Apakah aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dulu?” tanyanya kemudian.Surya terkejut membalas tatapan ragu-ragu Aya.Aya terkekeh dipaksakan, “Hanya jika Papa memberi izin,” katanya kemudian. Matanya sudah memanas sejak tadi.Melihat gemetar di bibir Aya, Surya tertegun. Bahkan saat rapat dengan orang-orang penting di perusahaannya, Aya tidak pernah gemetar. Sejak memulai karirnya di Suryas Corp, Aya selalu tampil percaya diri. Bukan karena ia sombong karena anak pemilik dan pemegang tahta tertinggi di perusahaan, namun karena gadis itu punya nilai yang baik atas dirinya sendiri. Tapi nilai itu seketika lebur saat kenyataan menampakan diri.Surya mengangguk, “Silakan lanjutkan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments