“Gila, kamu?” Ari mendesis.
“Apaan sih kok bilang aku gila?” jawab Aya tak terima. “Gak perlu dicoba kali,” Ari menyerahkan lagi satu setel bra dan celana dalam yang Aya ulurkan padanya. “Ya kamu bilang gak tau ukuran, kan?” sewot Aya masih tidak terima disebut gila. “Aku gak mungkin nyamai ukuran kita. Punya kamu lebih kecil!” “Aya, ih, tutup mulut!” Ari melirik kiri dan kanan yang padahal tidak ada orang. “Punya aku gak sekecil itu juga kali! Kamu aja yang kegedean.” Aya mencibir, “Ini aset buat suami gue, ya. Kita perawatan bareng deh nanti biar punya kamu lebih gede,” ucapnya kemudian. Mata Ari mengerjap, “Perawatan?” “Iyalah, selain muka, ini juga perlu,” jawab Aya menggebu seperti sales asuransi sambil menunjuk kedua bolanya dalam balutan vest knitt yang mempertegas lekukan dan tonjolan tubuhnya. “Emang bisa?” tanya Ari polos. “Bisa, dong,” jawab Aya dengan lirikan misterius. “Caranya?” “Ya gitu,” Aya berusaha menyembunyikan cengirannya. Ari melihatnya, “Jahat ih, mentang-mentang aku gak tau apa-apa, ya!” Tawa Aya pecah kemudian melihat wajah kesal Ari yang mengambil setelan di tangannya dan berjalan menuju bilik ganti di Store Victoria Secret. Seru banget sih menggoda adik Chandra itu. Membuat Aya melupakan sedikit pikiran semerawutnya. Membuat Aya sedikit bisa bernapas di antara sesak yang menghimpit dadanya. * Ucapan Aya benar-benar dilakukannya. Dari store Dior, ke Chanel, lalu pindah ke Gucci. Kemudian masuk ke Luois Vuitton, lanjut ke Saint Laurent, Valentino, Victoria Secret, Diptique, Sephora, dan Zara. Setelah dipotong duhur, ngopi sebentar cari yang manis untuk tambah tenaga, dan ashar, Aya menarik Ari ke tempat terakhir mereka sore ini. “Meskipun belum semuanya—“ “Belum?” Ari memekik. Cengiran kecil kembali bertengger di wajah Aya, “Belum semuanya, Ari, masih ada batik-batik dan kebaya aku yang butiknya gak ada di sini,” jawabnya ringan. Ari menggeleng-geleng. “Kita harus kesini dulu. Tempat aku beresin rambut,” ucap Aya sambil masuk melewati pintu kaca yang dibukakan oleh salah seorang staff. “Aya!” sapa seorang di dalam sana. Baik Aya dan Ari sama-sama menoleh pada suara itu. Senyum Aya mengembang dan mengangkat tangan, berjalan ke arah gadis yang baru saja berdiri dengan rambut mengkilap dan berwarna ungu di ujung-ujungnya. “Vanny,” seru Aya lalu bercipika-cipiki dengan gadis seumurannya. “Makin cantik aja sih yang udah punya pacar!” goda Vanny sambil mencolek pipi Aya dengan genit. “Udah nyebar aja,” Aya tersipu-sipu lalu tawanya berderai. “Iyalah, siapa yang akan menyangka kalau seorang Zayn Alexandra calon CEO Widj Grup akan melabuhkan hatinya sama si Anti Club selama di Harvard!” Vanny tergelak juga. Matanya menatap takjub pada Aya. “Gue ke Club juga ya, Van!” sanggah Aya tidak terima. “Iya, tapi dengan muka jutek kayak dapet F dan cuma minum jus jeruk terus mojok di ujung sofa dan bilang sakit lutut sama tiap orang yang ngajak ke dance floor!” “Gue beneran sakit lutut, Van. Kita udah main skate di park sampe terjatuh-jatuh, ya. Jangan lupa dong lo,” Aya terkekeh. “Ih, iya deh,” Vanny ikut tergelak. “Tapi beneran deh, banyak yang patah hati karena Zayn sama lo,” katanya kembali ke topik awal. “Termasuk elo?” “Sialan tebakannya bener!” Vanny tergelak, “Tapi bisa apa gue di depan Bu Cahaya?” “Ibu banget kayak gue udah emak-emak aja,” timpal Aya. “Gue ikut seneng deh, akhirnya lo move on juga dari Ragasha,” Vanny tersenyum, kali ini lebih tulus tanpa cengiran menggoda. Aya menyipit, “Gue udah lupa, ya, Lo! Sial banget diingetin lagi,” kawabnya berdecak kesal. “Sorry,” Vanny mengusap pelan pundak Aya. Bibirnya melengkung ke atas. Bibir Aya tersenyum seketika, “Tapi boong. Gue udah move on beneran!” Tangan Vanny berakhir dengan menepuk pundak Aya gemas, dijahili lagi kan sama Aya! “Jago nih Zayn kayaknya?” tanyanya dengan alis terangkat. Aya mendekatkan bibir ke telinga Vanny. “Rahasia,” bisiknya. * Ari melihat bagimana Aya ngobrol dengan gadis yang terlihat modis dan juga telihat kaya itu. Mendengar tawa dan obrolan mereka tentang Harvard dan Zayn yang ternyata adalah anak kaya lainnya membuat Ari kembali ciut. Sesaat tadi ia merasa asik bagai bertemu teman dengan Aya. Namun jurang yang menganga di antara dirinya dan Aya memang sedalam itu. Sebanyak apapun Aya bilang akan mengisi kamarnya dengan semua hal yang ada di kamar Aya. Semua itu bahkan tidak ada seujung kukunya sedikit pun. Aya sudah berada jauuuh di depannya. Ia tak ubahnya seperti manekin yang dipajang di toko-toko baju yang mereka datangi tadi. Berada di depan, dengan tampilan yang menawan, dipilihkan baju-baju terbaik, tapi kosong. Tidak mengerti apapun yang ada di depannya. Aya bilang akan membuatnya tidak cemburu. Namun perasaan itu membesar sekarang. Melihat lingkung Aya yang lebih segalanya dari dirinya, membuat rasa cemburunya semakin menjadi. Semakin besar, tidak bisa ia bendung lagi. * Vanny tergelak dibarengi tawa Aya. Lalu pandangannya beralih pada gadis yang berdiri tak jauh dari mereka. “Siapa, Ya?” Mata Aya berkedip dan baru ingat dengan Ari, ia menoleh, menghampiri Ari dan membawanya ke depan Vanny yang masih menatap Aya dengan penasaran. “Ari ini Vanny, temen aku dari kecil,” Aya memperkenalkan. Vanny mengangkat tangannya. “Vanny,” katanya ramah. “Vanny ini Ari. Anak kandungnya mama sama papa, juga adik kandung Kak Chandra yang baru berhasil ketemu,” lanjut Aya dengan ringan ditambah senyuman lebar di wajahnya. Tangan Ari yang berjabat tangan saling berkenalan dengan Vanny menggenggam lebih erat. Sama juga dengan tangan Vanny. Matanya menatap bergantian Aya dan Ari. Menatap salah tingkah di hadapan keduanya. “Gue anak angkat,” tambah Aya dengan senyum masih berada di wajahnya. *Tangan Aya kembali terangkat untuk menutup mulutnya yang menguap.“Maaf, Pah, Mah,” katanya sekali lagi sebelum menyuapkan dada ayam panggang saus madu yang dimintanya sejak subuh tadi ke dapur rumah. Mengunyah sambil mencuri-curi pandang pada ipad di pangkuannya.“Kamu keliatan gak sehat,” Chandra menaruh punggung tangannya di kening Aya.Sedikit panas.“Kamu demam,” Chandra menoleh pada Aya sekarang.“Istirahat aja, Ya,” ucap Papa.Sedangkan Mama sudah berjalan kepadanya. Melakukan hal yang sama seperti Chandra, “Bentar, Mama ambil dulu thermometer,” ucap Mama.Tangan Aya meraih tangan Mei yang sudah hendak pergi.“Aya gak apa-apa, Mah,” katanya pelan.“Kamu demam,” jawab Mei.Tangan Aya memindahkan ipad di pangkuannya ke atas meja, ia berdiri. Meraih Mei ke dalam pelukannya. “Aya gak apa-apa, Mah,” katanya sekali lagi. Ia menopangkan dagu di pundak kiri Mei.Wanita yang sudah menjadi ibunya selama dua puluh tujuh tahun itu membawa Aya ke dalam pelukannya. “Beneran?” tanyanya memast
‘Bagaimana bisa anak manis yang selalu ia jahili dan menjahilinya balik ini ternyata bukan adiknya?’Chandra tertegun sendiri melihat Aya yang membungkuk di depan wastafel dan membasuh wajah dan matanya yang perih. Tangannya memegangi rambut panjang Aya yang terurai ke atas wastafel basah, menahannya di pundak Aya.“Oke sekarang udah gak perih lagi,” Aya mengangkat wajah. Meraih handuk bersih dari gulungan teratas di atas meja. Mengelap wajah yang sudah bersih.Senyumnya mengembang melihat Chandra masih di sana dan memegangi rambutnya.“Tengkyu, Kak,” ucapnya sekalian meraih rambutnya, lanjut mengeringkan ujung rambut yang kebasahan.“Kok bisa sih kalau di kantor kamu jadi keren gitu?” tanya Chandra kemudian.Aya mengerjap, melirik Chandra yang berbalik keluar dari kamar mandi. “Tanya sama diri sendiri, deh, Kak. Kenapa kalau di kantor jadi galak banget,” Aya mengembalikan pemikiran Chandra pada kakaknya sendiri.Lelaki itu menghentikan langkah, menoleh di ambang pintu dan menatap Aya
Ari tidak terima! Kenapa kesannya Aya memutuskan Zayn karena kasihan padanya? Kenapa rasanya seperti Aya sengaja melakukannya karena ia adalah anak kandung Mama dan Papanya? Kenapa rasanya seperti bukan kemenangan yang ia banggakan siang tadi?Benar, ia mendengar smeua perkataan Aya dan Tris di tangga tadi.Entah apa yang sudah mereka berdua bicarakan berdua di mobil, tapi dari yang Ari dengar di dekat tangga. Kedua orang itu sedang membicarakan apa yang Ari bisa mengerti. Tentang Tris yang keberatan karena Aya sama sekali tidak memedulikan apa yang Zayn perbuat padanya.Ari dengan kesalnya menyetujui apa yang Tris ucapkan.Bahwa Aya tidak seharusnya tenang dan pasrah melihatnya dengan Zayn.Karena yang Ari butuhkan juga bukan reaksi semacam itu. Ia ingin melihat Aya kalah. Ia ingin melihat Aya tidak berdaya. Sesuatu hal yang sama seperti dirinya. Ketidakberdayaan.Tapi gadis itu bahkan tidak menunjukan emosi apapun saat Ari kembali dari makan siangnya dengan Zayn. Aya sama sekali tid
“Makasih udah jemput,” Aya tersenyum pada Tris yang duduk di balik kemudi.“Makasih juga udah dipinjemin mobilnya,” jawab Tris dengan senyum terpaksa yang harus ia berikan pada Aya dengan alasan kesopanan.Hari ini ia memang menerima tawaran meminjam mobil Aya. Setelah kemarin pergi dengan pesanan ojolnya. Aya menyerahkan kunci mobilnya pagi tadi setelah sarapan yang penuh huru-hara.Alasannya tidak lain tidak bukan adalah karena Aya yang putus dengan Zayn.Mama heboh memeluknya, papa bertanya apakah dirinya baik-baik saja atau tidak, dan Ari yang mengatakan kalau Zayn mengkhawatirkan Aya karena tadi malam mereka berpisah begitu saja di taman komplek. Aya menjawab semuanya dengan satu jawaban yang sama. Kalau ia baik-baik saja.Namun ada yang membuat Aya sedikit aneh. Kakaknya, Chandra, lelaki itu sama sekali tidak berkomentar apa-apa. Sebenarnya, daripada memikirkan yang sudah selesai, Aya lebih memikirkan itu. Ada apa dengan kakaknya?Tidak mungkin masih marah karena insiden kemarin,
Mengingat semua yang Aya beritahukan padanya dalam pelajaran pertama hari sabtu kemarin. Duduk dengan punggung tegak, memakai garpu dan pisau untuk memotong steaknya. Memakannya dengan anggun dan tidak terburu.“Maaf ngerepotin kamu tadi malem,” Zayn berkata dengan nada menyesal.Membuat Ari mengalihkan pandangan matanya dari potongan daging di atas piringnya. Kepala gadis itu menggeleng kecil, “Aku sama sekali gak repot, kok,” jawabnya ringan.Senyum Ari membuat Zayn ikut tersenyum, “Makasih, Ari, kamu bahkan menawarkan diri buat nemenin Aya. Meskipun ternyata Aya udah punya temen lain,” katanya dengan bahu terangkat kecil.“Aku harusnya yang minta maaf, Mas,” lirih Ari, “karena mau ngasih liat keadaan Aya yang baik-baik aja, jadi bikin kamu liat Aya sama Tris.”Zayn tersenyum kecut.“Aku kepikiran semaleman setelah liat lagi foto yang aku kirim. Sorry,” ucapnya lagi.Kepala Zayn menggeleng kecil, tangan kanannya terulur menyentuh punggung tangan kiri Ari yang berada di atas meja. Me
“Sama kayak ini, Kang,” Aya menunjukan Chanel 25 miliknya. Ia sempat-sempatnya kembali ke mobilnya dan mengambil tas sebelum naik ke rumah dan duduk dengan Tris di sofa teras belakang.Tris memandangi tas Aya.“Ini tas, itu tas. Sama. Fungsinya juga sama,” Aya menjelaskan sambil menunjuk ransel yang berada di samping Tris.“Hm,” Tris mengangguk.“Harga tas ini lebih dari seratus juta,” ucap Aya yang membuat Tris membelalak.Ekspresi Tris membuat Aya mengikik kecil.“Gimana rasanya bawa tas harga ratusan juta, Aya?” tanya Tris.“Rasanya kayak bawa tas,” jawab Aya dengan kerlingan kecil di matanya.“Aya,” Tris menghela napas.Menghentikan kikikannya, Aya menggeleng, “Kayak yang aku bilang, Kang, ini bukan soal tas, bukan soal teh, ini soal nama yang dibawa sama tas ini dan teh itu. Bukan tentang bentuk yang bisa di lihat. Tapi tentang nilai yang dibawanya.”Wajah Tris yang mengerti kemudian menatap Aya dengan anggukan kecil kepalanya. “Bukan soal benda, tapi apa yang ada di dalamnya dan