Tangan Aya membukakan pintu penumpang Mercy putih itu, mengingat Maserati-nya ditinggalkan di kantor karena tadi malam diantar pulang oleh Zayn. Senyumnya mengembang pada gadis yang masih menatapnya dengan tatapan kesal itu. “Ayo, kita mau ketemu Mama di Mahkota Clinic,” Aya meraih tangan Ari dan menariknya ke mobilnya.
Ari sekali lagi menarik tangannya dan dengan anggun jalan sendiri lalu masuk ke mobil Aya. Ujung bibirnya tertarik dan Aya melihat Ari yang duduk dengan anteng di dalam mobilnya, setelah menutup pintu untuk Ari, Aya berjalan ke pintu pengemudi dan dengan riang melajukan mobilnya ke arah salah satu mall terbesar di kota. * Mata Ari sedari tadi mencuri lirik pada Aya yang dengan lihai memutar roda kemudi, belok kanan belok kiri mengerti harus pergi kemana. Hatinya kembali teriris. Ia sendiri tidak tahu apapun. Bahkan apa yang dilakukan Mamanya dan Aya yang ternyata sudah janjian untuk bertemu itu. Sedih sekali. Ari tahu ini bukan salah Aya. Namun begitu melihat Aya yang memiliki segalanya, mengerti semua hal, mengerjakan banyak hal penting, juga dekat dengan semua keluarga yang aslinya adalah keluarganya itu, rasanya sedih. Yang seharusnya dekat dan mengerti semua hal itu kan harusnya dirinya. Bahkan tadi pagi, saat Sella datang dengan setelan rok dan kemeja dan memperkenalkan diri pada Ari sebagai asistern Aya, ia juga merasa sedih. Meskipun sikap hormat Sella padanya juga tidak berbeda seperti pada Aya, Ari tetap merasa sedih. Ini tidak adil untuknya. Ari menunduk, menatap pakaian yang ia pakai. Ini juga harusnya adalah bajunya. Ia mengangkat kepala, menatap keluar jendela dengan perasaan dan pikiran yang campur aduk. * “Saya mau semua yang dipakai, ya, Mbak,” ucapnya pada sales associate yang sudah selesai memakaikan lipstick pink lembut di bibir Ari. “Baik, Kak, mohon menunggu saya siapkan dulu,” gadis itu tersenyum cerah. Bagaimana tidak, semua yang dipakaikannya pada Ari dibeli semua. Targetnya akan terpenuhi cepat-cepat. Aya mengangguk kecil lalu meraih gelas jus di depannya. Ari berdiri canggung menatap pantulan dirinya di depan cermin. “Udah aku bilang kamu itu cantik,” Aya mengerling pada Ari. “Mirip banget sama Mama,” tambahnya. “Mirip, lah, kan mama aku,” Ari mendengus. Bibir Aya mengerucut, menghela napas, masih ngambek aja, pikirnya. “Duduk sini, minum dulu biar adem,” katanya menepuk kursi di sampingnya. Lirikan sekilas Ari pada Aya lalu mengikuti ucapan Aya, duduk dengan canggung. Ari meraih gelas jus jeruknya dan menyesap pelan. Lalu memerhatikan semua hal yang Aya lakukan. Dari mulai memperhatikan warna dan jenis semua make up yang diambilkan mbak berseragam Dior tadi, lalu mengangguk dan menyerahkan kartu hitam dari dalam dompetnya. Ari memerhatikan untuk belajar. Ia bisa belajar dengan cepat. Melihat bagaimana Aya melakukan hal yang belum pernah dilakukannya. * Ari menghentikan langkahnya saat Aya tiba-tiba menyerahkan dua paperbag berisi make up tadi pada dua orang lelaki bersetelan hitam. “Oh, ini Pak Endra, ini Pak Rudi,” Aya menunjuk satu per satu lelaki itu dengan telapak tangan terbuka, “yang bertugas mengawal kita hari ini. Aku lupa bilang tadi,” katanya dengan cengiran di wajahnya. Mata Ari mengerjap, “Mengawal?” Aya mengangguk, lalu meraih pergelangan tangan Ari dan mengajaknya kembali berjalan, “Papa akan nyiapin hal seperti ini juga kalau kamu pergi sendiri. Nanti gak usah kaget ya kalau di belakang mobil kamu ada motor yang ngikutin,” katanya sambil terus memastikan Ari berjalan di sampingnya. “Kamu biasa di giniin juga?” Aya mengingat, “Akhir-akhir ini udah jarang, karena kalau pergi aku pasti sama Sella atau sama Mas Zayn,” jawab Aya, “dulu sih iya,” tambahnya. Ari berkedip, “Mas Zayn siapa?” “Penasaran, kan?” Aya memicing. Ari mendengus. Kembali cemberut pada Aya yang menggodanya. Melihat Ari kembali kusut, Aya terkekeh, “Pacar aku,” jawabnya kemudian. “Dia udah tau tentang kamu?” Aya mengangguk, “Udah.” “Tentang aku juga?” Lagi, Aya mengangguk, “Iya.” Ragu-ragu, Ari menoleh, “Tanggapannya gimana?” Langkah Aya terhenti, berbalik menghadap Ari yang ikut berhenti, “Dia memang posesif banget, Ri, tapi tadi malem dia kalem aja aku bilang kalau aku bukan anak kandung Mama dan Papa. Aku gak tau deh akan gimana,” jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya tak acuh, lalu kembali melangkah, “Kalau jodoh, mungkin dia akan menerima aku yang ternyata bukan siapa-siapa ini. Kalau gak jodoh,” Aya menggantung kalimatnya, tersenyum melirik Ari. Ari melihat senyuman pasrah itu. “Mau gimana lagi? Iya, kan?” tanyanya dengan senyuman yang masih mengembang. Ari mengerjap melihat senyuman dan kerlingan mata Aya itu. “Udah ah, jangan ngomongin pacar. Kan kita punya misi yang lebih penting hari ini,” Aya mengamit lengan Ari, mengajaknya kembali berjalan. “Emangnya kita punya misi apa? Kamu gak bilang apa-apa tadi waktu bawa aku kabur dari rumah,” Ari ngedumel sendiri. “Oh, ya? Aku belum bilang?” Ari mendengus. Aya terkekeh, senang juga ia mengganggu Ari. Selain Chandra, ternyata adiknya ini juga bisa jadi sasaran empuk jahilnya. Lagi, Aya menghentikan langkahnya, menoleh pada Ari dengan tatapan sungguh-sungguh. “Kita punya misi pentiiing banget!” Alis Ari saling bertautan. “Misi kita hari ini adalah cari barang untuk memenuhi walk in closet milik Carita Paramita Suwira!” Mata Ari membelalak. “Mama sama Papa udah bilang kalau mereka yang akan bikin lemari kamu penuh. Tapi aku pikir kita bisa menghabiskan waktu bersama sambil muter-muter dan nyari baju tas dan semua hal yang pas dengan selera kamu itu, rasanya bakal lebih menyenangkan, kan?” Ari mengerjap dengan penjelasan yang Aya berikan. “Jadi, jangan sungkan, ayo kita penuhi lemari kamu dengan semua hal yang harusnya jadi milik kamu.” Ari berkedip. Itu ucapannya tadi malam. “Kamu denger yang aku bilang?” tanyanya setelah menelan liur, canggung. Senyum Aya melengkung, mengangguk kecil. Tatapan penuh tekad Aya seketika membuat Ari ciut, “Aku akan memastikan semua yang ada di kamar aku, juga akan ada di kamar kamu. Sampai kamu gak punya alasan buat cemburu lagi sama aku!” *Tangan Aya kembali terangkat untuk menutup mulutnya yang menguap.“Maaf, Pah, Mah,” katanya sekali lagi sebelum menyuapkan dada ayam panggang saus madu yang dimintanya sejak subuh tadi ke dapur rumah. Mengunyah sambil mencuri-curi pandang pada ipad di pangkuannya.“Kamu keliatan gak sehat,” Chandra menaruh punggung tangannya di kening Aya.Sedikit panas.“Kamu demam,” Chandra menoleh pada Aya sekarang.“Istirahat aja, Ya,” ucap Papa.Sedangkan Mama sudah berjalan kepadanya. Melakukan hal yang sama seperti Chandra, “Bentar, Mama ambil dulu thermometer,” ucap Mama.Tangan Aya meraih tangan Mei yang sudah hendak pergi.“Aya gak apa-apa, Mah,” katanya pelan.“Kamu demam,” jawab Mei.Tangan Aya memindahkan ipad di pangkuannya ke atas meja, ia berdiri. Meraih Mei ke dalam pelukannya. “Aya gak apa-apa, Mah,” katanya sekali lagi. Ia menopangkan dagu di pundak kiri Mei.Wanita yang sudah menjadi ibunya selama dua puluh tujuh tahun itu membawa Aya ke dalam pelukannya. “Beneran?” tanyanya memast
‘Bagaimana bisa anak manis yang selalu ia jahili dan menjahilinya balik ini ternyata bukan adiknya?’Chandra tertegun sendiri melihat Aya yang membungkuk di depan wastafel dan membasuh wajah dan matanya yang perih. Tangannya memegangi rambut panjang Aya yang terurai ke atas wastafel basah, menahannya di pundak Aya.“Oke sekarang udah gak perih lagi,” Aya mengangkat wajah. Meraih handuk bersih dari gulungan teratas di atas meja. Mengelap wajah yang sudah bersih.Senyumnya mengembang melihat Chandra masih di sana dan memegangi rambutnya.“Tengkyu, Kak,” ucapnya sekalian meraih rambutnya, lanjut mengeringkan ujung rambut yang kebasahan.“Kok bisa sih kalau di kantor kamu jadi keren gitu?” tanya Chandra kemudian.Aya mengerjap, melirik Chandra yang berbalik keluar dari kamar mandi. “Tanya sama diri sendiri, deh, Kak. Kenapa kalau di kantor jadi galak banget,” Aya mengembalikan pemikiran Chandra pada kakaknya sendiri.Lelaki itu menghentikan langkah, menoleh di ambang pintu dan menatap Aya
Ari tidak terima! Kenapa kesannya Aya memutuskan Zayn karena kasihan padanya? Kenapa rasanya seperti Aya sengaja melakukannya karena ia adalah anak kandung Mama dan Papanya? Kenapa rasanya seperti bukan kemenangan yang ia banggakan siang tadi?Benar, ia mendengar smeua perkataan Aya dan Tris di tangga tadi.Entah apa yang sudah mereka berdua bicarakan berdua di mobil, tapi dari yang Ari dengar di dekat tangga. Kedua orang itu sedang membicarakan apa yang Ari bisa mengerti. Tentang Tris yang keberatan karena Aya sama sekali tidak memedulikan apa yang Zayn perbuat padanya.Ari dengan kesalnya menyetujui apa yang Tris ucapkan.Bahwa Aya tidak seharusnya tenang dan pasrah melihatnya dengan Zayn.Karena yang Ari butuhkan juga bukan reaksi semacam itu. Ia ingin melihat Aya kalah. Ia ingin melihat Aya tidak berdaya. Sesuatu hal yang sama seperti dirinya. Ketidakberdayaan.Tapi gadis itu bahkan tidak menunjukan emosi apapun saat Ari kembali dari makan siangnya dengan Zayn. Aya sama sekali tid
“Makasih udah jemput,” Aya tersenyum pada Tris yang duduk di balik kemudi.“Makasih juga udah dipinjemin mobilnya,” jawab Tris dengan senyum terpaksa yang harus ia berikan pada Aya dengan alasan kesopanan.Hari ini ia memang menerima tawaran meminjam mobil Aya. Setelah kemarin pergi dengan pesanan ojolnya. Aya menyerahkan kunci mobilnya pagi tadi setelah sarapan yang penuh huru-hara.Alasannya tidak lain tidak bukan adalah karena Aya yang putus dengan Zayn.Mama heboh memeluknya, papa bertanya apakah dirinya baik-baik saja atau tidak, dan Ari yang mengatakan kalau Zayn mengkhawatirkan Aya karena tadi malam mereka berpisah begitu saja di taman komplek. Aya menjawab semuanya dengan satu jawaban yang sama. Kalau ia baik-baik saja.Namun ada yang membuat Aya sedikit aneh. Kakaknya, Chandra, lelaki itu sama sekali tidak berkomentar apa-apa. Sebenarnya, daripada memikirkan yang sudah selesai, Aya lebih memikirkan itu. Ada apa dengan kakaknya?Tidak mungkin masih marah karena insiden kemarin,
Mengingat semua yang Aya beritahukan padanya dalam pelajaran pertama hari sabtu kemarin. Duduk dengan punggung tegak, memakai garpu dan pisau untuk memotong steaknya. Memakannya dengan anggun dan tidak terburu.“Maaf ngerepotin kamu tadi malem,” Zayn berkata dengan nada menyesal.Membuat Ari mengalihkan pandangan matanya dari potongan daging di atas piringnya. Kepala gadis itu menggeleng kecil, “Aku sama sekali gak repot, kok,” jawabnya ringan.Senyum Ari membuat Zayn ikut tersenyum, “Makasih, Ari, kamu bahkan menawarkan diri buat nemenin Aya. Meskipun ternyata Aya udah punya temen lain,” katanya dengan bahu terangkat kecil.“Aku harusnya yang minta maaf, Mas,” lirih Ari, “karena mau ngasih liat keadaan Aya yang baik-baik aja, jadi bikin kamu liat Aya sama Tris.”Zayn tersenyum kecut.“Aku kepikiran semaleman setelah liat lagi foto yang aku kirim. Sorry,” ucapnya lagi.Kepala Zayn menggeleng kecil, tangan kanannya terulur menyentuh punggung tangan kiri Ari yang berada di atas meja. Me
“Sama kayak ini, Kang,” Aya menunjukan Chanel 25 miliknya. Ia sempat-sempatnya kembali ke mobilnya dan mengambil tas sebelum naik ke rumah dan duduk dengan Tris di sofa teras belakang.Tris memandangi tas Aya.“Ini tas, itu tas. Sama. Fungsinya juga sama,” Aya menjelaskan sambil menunjuk ransel yang berada di samping Tris.“Hm,” Tris mengangguk.“Harga tas ini lebih dari seratus juta,” ucap Aya yang membuat Tris membelalak.Ekspresi Tris membuat Aya mengikik kecil.“Gimana rasanya bawa tas harga ratusan juta, Aya?” tanya Tris.“Rasanya kayak bawa tas,” jawab Aya dengan kerlingan kecil di matanya.“Aya,” Tris menghela napas.Menghentikan kikikannya, Aya menggeleng, “Kayak yang aku bilang, Kang, ini bukan soal tas, bukan soal teh, ini soal nama yang dibawa sama tas ini dan teh itu. Bukan tentang bentuk yang bisa di lihat. Tapi tentang nilai yang dibawanya.”Wajah Tris yang mengerti kemudian menatap Aya dengan anggukan kecil kepalanya. “Bukan soal benda, tapi apa yang ada di dalamnya dan