Share

6 —Girls Day Out

Author: Purple Bubble
last update Last Updated: 2025-08-22 14:13:24

Tangan Aya membukakan pintu penumpang Mercy putih itu, mengingat Maserati-nya ditinggalkan di kantor karena tadi malam diantar pulang oleh Zayn. Senyumnya mengembang pada gadis yang masih menatapnya dengan tatapan kesal itu. “Ayo, kita mau ketemu Mama di Mahkota Clinic,” Aya meraih tangan Ari dan menariknya ke mobilnya.

Ari sekali lagi menarik tangannya dan dengan anggun jalan sendiri lalu masuk ke mobil Aya.

Ujung bibirnya tertarik dan Aya melihat Ari yang duduk dengan anteng di dalam mobilnya, setelah menutup pintu untuk Ari, Aya berjalan ke pintu pengemudi dan dengan riang melajukan mobilnya ke arah salah satu mall terbesar di kota.

*

Mata Ari sedari tadi mencuri lirik pada Aya yang dengan lihai memutar roda kemudi, belok kanan belok kiri mengerti harus pergi kemana. Hatinya kembali teriris. Ia sendiri tidak tahu apapun. Bahkan apa yang dilakukan Mamanya dan Aya yang ternyata sudah janjian untuk bertemu itu.

Sedih sekali.

Ari tahu ini bukan salah Aya. Namun begitu melihat Aya yang memiliki segalanya, mengerti semua hal, mengerjakan banyak hal penting, juga dekat dengan semua keluarga yang aslinya adalah keluarganya itu, rasanya sedih. Yang seharusnya dekat dan mengerti semua hal itu kan harusnya dirinya.

Bahkan tadi pagi, saat Sella datang dengan setelan rok dan kemeja dan memperkenalkan diri pada Ari sebagai asistern Aya, ia juga merasa sedih. Meskipun sikap hormat Sella padanya juga tidak berbeda seperti pada Aya, Ari tetap merasa sedih.

Ini tidak adil untuknya.

Ari menunduk, menatap pakaian yang ia pakai. Ini juga harusnya adalah bajunya. Ia mengangkat kepala, menatap keluar jendela dengan perasaan dan pikiran yang campur aduk.

*

“Saya mau semua yang dipakai, ya, Mbak,” ucapnya pada sales associate yang sudah selesai memakaikan lipstick pink lembut di bibir Ari.

“Baik, Kak, mohon menunggu saya siapkan dulu,” gadis itu tersenyum cerah. Bagaimana tidak, semua yang dipakaikannya pada Ari dibeli semua. Targetnya akan terpenuhi cepat-cepat.

Aya mengangguk kecil lalu meraih gelas jus di depannya.

Ari berdiri canggung menatap pantulan dirinya di depan cermin.

“Udah aku bilang kamu itu cantik,” Aya mengerling pada Ari. “Mirip banget sama Mama,” tambahnya.

“Mirip, lah, kan mama aku,” Ari mendengus.

Bibir Aya mengerucut, menghela napas, masih ngambek aja, pikirnya. “Duduk sini, minum dulu biar adem,” katanya menepuk kursi di sampingnya.

Lirikan sekilas Ari pada Aya lalu mengikuti ucapan Aya, duduk dengan canggung. Ari meraih gelas jus jeruknya dan menyesap pelan. Lalu memerhatikan semua hal yang Aya lakukan. Dari mulai memperhatikan warna dan jenis semua make up yang diambilkan mbak berseragam Dior tadi, lalu mengangguk dan menyerahkan kartu hitam dari dalam dompetnya.

Ari memerhatikan untuk belajar. Ia bisa belajar dengan cepat. Melihat bagaimana Aya melakukan hal yang belum pernah dilakukannya.

*

Ari menghentikan langkahnya saat Aya tiba-tiba menyerahkan dua paperbag berisi make up tadi pada dua orang lelaki bersetelan hitam.

“Oh, ini Pak Endra, ini Pak Rudi,” Aya menunjuk satu per satu lelaki itu dengan telapak tangan terbuka, “yang bertugas mengawal kita hari ini. Aku lupa bilang tadi,” katanya dengan cengiran di wajahnya.

Mata Ari mengerjap, “Mengawal?”

Aya mengangguk, lalu meraih pergelangan tangan Ari dan mengajaknya kembali berjalan, “Papa akan nyiapin hal seperti ini juga kalau kamu pergi sendiri. Nanti gak usah kaget ya kalau di belakang mobil kamu ada motor yang ngikutin,” katanya sambil terus memastikan Ari berjalan di sampingnya.

“Kamu biasa di giniin juga?”

Aya mengingat, “Akhir-akhir ini udah jarang, karena kalau pergi aku pasti sama Sella atau sama Mas Zayn,” jawab Aya, “dulu sih iya,” tambahnya.

Ari berkedip, “Mas Zayn siapa?”

“Penasaran, kan?” Aya memicing.

Ari mendengus. Kembali cemberut pada Aya yang menggodanya.

Melihat Ari kembali kusut, Aya terkekeh, “Pacar aku,” jawabnya kemudian.

“Dia udah tau tentang kamu?”

Aya mengangguk, “Udah.”

“Tentang aku juga?”

Lagi, Aya mengangguk, “Iya.”

Ragu-ragu, Ari menoleh, “Tanggapannya gimana?”

Langkah Aya terhenti, berbalik menghadap Ari yang ikut berhenti, “Dia memang posesif banget, Ri, tapi tadi malem dia kalem aja aku bilang kalau aku bukan anak kandung Mama dan Papa. Aku gak tau deh akan gimana,” jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya tak acuh, lalu kembali melangkah, “Kalau jodoh, mungkin dia akan menerima aku yang ternyata bukan siapa-siapa ini. Kalau gak jodoh,” Aya menggantung kalimatnya, tersenyum melirik Ari.

Ari melihat senyuman pasrah itu.

“Mau gimana lagi? Iya, kan?” tanyanya dengan senyuman yang masih mengembang.

Ari mengerjap melihat senyuman dan kerlingan mata Aya itu.

“Udah ah, jangan ngomongin pacar. Kan kita punya misi yang lebih penting hari ini,” Aya mengamit lengan Ari, mengajaknya kembali berjalan.

“Emangnya kita punya misi apa? Kamu gak bilang apa-apa tadi waktu bawa aku kabur dari rumah,” Ari ngedumel sendiri.

“Oh, ya? Aku belum bilang?”

Ari mendengus.

Aya terkekeh, senang juga ia mengganggu Ari. Selain Chandra, ternyata adiknya ini juga bisa jadi sasaran empuk jahilnya. Lagi, Aya menghentikan langkahnya, menoleh pada Ari dengan tatapan sungguh-sungguh.

“Kita punya misi pentiiing banget!”

Alis Ari saling bertautan.

“Misi kita hari ini adalah cari barang untuk memenuhi walk in closet milik Carita Paramita Suwira!”

Mata Ari membelalak.

“Mama sama Papa udah bilang kalau mereka yang akan bikin lemari kamu penuh. Tapi aku pikir kita bisa menghabiskan waktu bersama sambil muter-muter dan nyari baju tas dan semua hal yang pas dengan selera kamu itu, rasanya bakal lebih menyenangkan, kan?”

Ari mengerjap dengan penjelasan yang Aya berikan.

“Jadi, jangan sungkan, ayo kita penuhi lemari kamu dengan semua hal yang harusnya jadi milik kamu.”

Ari berkedip. Itu ucapannya tadi malam.

“Kamu denger yang aku bilang?” tanyanya setelah menelan liur, canggung.

Senyum Aya melengkung, mengangguk kecil. Tatapan penuh tekad Aya seketika membuat Ari ciut, “Aku akan memastikan semua yang ada di kamar aku, juga akan ada di kamar kamu. Sampai kamu gak punya alasan buat cemburu lagi sama aku!”

*

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   8. —Memang, kan?

    “Gak mau di volume lagi? Udah mulai turun nih,” ucap Mas Alle, hair stylish yang biasa menangani rambut Aya.Gadis itu menggeleng, “Saya cuma mau keramas dan blow aja, malam ini udah harus pergi soalnya. Hemat waktu,” jawab Aya sambil tersenyum.“Kalau ada waktu kita kebut volume lagi tapi ya?”Aya mengangguk-angguk di depan cermin besar.Ia kemudian menurut saat staff mengarahkannya ke ruang cuci rambut. Ari sudah kebih dulu berada di sana, sedang dibilas. Mereka belum bicara apa-apa lagi setelah Vanny pamitan karena merasa canggung dan bilang kalau ia akan menghubungi Aya nanti.Aya duduk di kursi wash bak dan membiarkan rambutnya diambil alih. Ia menutup mata saat air hangat mulai mengalir di kulit kepalanya, hangat di sela-sela rambutnya.“Kenapa?”Mata Aya terbuka saat mendengar pertanyaan Ari. Melirik gadis di sampingnya itu, “Kenapa? Kenapa?” tanyanya ringan lalu kembali menutup mata.Ari menghela napas, “Kenapa kamu bilang gitu di depan teman kamu sendiri?”Alis Aya bertaut, k

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   7. —Jurang Pertemanan

    “Gila, kamu?” Ari mendesis.“Apaan sih kok bilang aku gila?” jawab Aya tak terima.“Gak perlu dicoba kali,” Ari menyerahkan lagi satu setel bra dan celana dalam yang Aya ulurkan padanya.“Ya kamu bilang gak tau ukuran, kan?” sewot Aya masih tidak terima disebut gila. “Aku gak mungkin nyamai ukuran kita. Punya kamu lebih kecil!”“Aya, ih, tutup mulut!” Ari melirik kiri dan kanan yang padahal tidak ada orang. “Punya aku gak sekecil itu juga kali! Kamu aja yang kegedean.”Aya mencibir, “Ini aset buat suami gue, ya. Kita perawatan bareng deh nanti biar punya kamu lebih gede,” ucapnya kemudian.Mata Ari mengerjap, “Perawatan?”“Iyalah, selain muka, ini juga perlu,” jawab Aya menggebu seperti sales asuransi sambil menunjuk kedua bolanya dalam balutan vest knitt yang mempertegas lekukan dan tonjolan tubuhnya.“Emang bisa?” tanya Ari polos.“Bisa, dong,” jawab Aya dengan lirikan misterius.“Caranya?”“Ya gitu,” Aya berusaha menyembunyikan cengirannya.Ari melihatnya, “Jahat ih, mentang-mentan

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   6 —Girls Day Out

    Tangan Aya membukakan pintu penumpang Mercy putih itu, mengingat Maserati-nya ditinggalkan di kantor karena tadi malam diantar pulang oleh Zayn. Senyumnya mengembang pada gadis yang masih menatapnya dengan tatapan kesal itu. “Ayo, kita mau ketemu Mama di Mahkota Clinic,” Aya meraih tangan Ari dan menariknya ke mobilnya.Ari sekali lagi menarik tangannya dan dengan anggun jalan sendiri lalu masuk ke mobil Aya.Ujung bibirnya tertarik dan Aya melihat Ari yang duduk dengan anteng di dalam mobilnya, setelah menutup pintu untuk Ari, Aya berjalan ke pintu pengemudi dan dengan riang melajukan mobilnya ke arah salah satu mall terbesar di kota.*Mata Ari sedari tadi mencuri lirik pada Aya yang dengan lihai memutar roda kemudi, belok kanan belok kiri mengerti harus pergi kemana. Hatinya kembali teriris. Ia sendiri tidak tahu apapun. Bahkan apa yang dilakukan Mamanya dan Aya yang ternyata sudah janjian untuk bertemu itu.Sedih sekali.Ari tahu ini bukan salah Aya. Namun begitu melihat Aya yang

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   5 —Ikut Bobo Bareng

    Mata Ari melebar menatap berkeliling kamar Aya. Melihat dengan matanya sendiri bahwa ruangan bernuansa putih dan kuning itu terasa mewah dan cantik. Sebuah ranjang king size berada di sisi kiri, lalu dipan tv di seberangnya, dengan sofa empuk di antaranya. Ari terperangah saat Aya membawanya masuk ke dalam walk in closet yang lebih besar dari ruang kamar itu sendiri.“Kita tidur bareng dulu malam ini, kan? Kamar kamu belum siap banget.”Ari menoleh saat Aya mendekatinya dan membawakan sepasang baju tidur dan celana panjang dari balik salah satu pintu lemari. Dilihatnya lemari-lemari yang tertutup, lalu pada lemari kaca yang menampilkan tas-tas yang dipajang seperti di toko, lalu deretan sepatu di rak bawah yang beragam warna dan bentuk. Lalu di salah satu sisi terdapat cermin tinggi dan meja rias yang diatasnya penuh dengan peralatan make up.Semua hal yang pernah Ari lihat dalam bentuk KW nya kini ia lihat yang aslinya.Tangan Aya menyerahkan setelan baju tidur dan berdiri di depan A

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   4 —Pulang

    Melangkah ke tangga batu, setelah beberapa kali menarik napas untuk menenangkan diri. Aya naik dengan ditemani suara khas sepatunya. Langkahnya dibuat ringan, tapi tangannya menggenggam tali tas lebih erat, berhenti sejenak di depan pintu sebelum mendorongnya terbuka.“Aya pulang,” serunya lantang. Tapi ia menghentikan langkahnya lagi, mematung di ambang pintu, sedih menyergapnya begitu saja. Kebiasaan yang sudah dibawanya selama dua puluh tujuh tahun hidup di rumah ini.Sekarang, rasanya seruannya itu terasa salah.*Mei mendapati Aya yang masih berdiri di ambang pintu.“Aya udah pulang?” sambutnya dengan wajah sumringah.Tersadar dari lamunannya, Aya mengangkat wajah dan memasang senyum yang manis di bibirnya, “Aya pulang, Mah,” jawabnya. Langkahnya kembali maju, ditutupnya kembali pintu dan melangkah menuju wanita yang selama ini menyayanginya bagai anak kandungnya sendiri.Tangan Mei terulur membawa Aya ke pelukannya.Aya dengan haru menyerbu pelukan itu dan menyandarkan dagu di p

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   3 —Pacar

    Menatap gemerlap lampu dari balik jendela kantornya di lantai dua puluh lima, selepas magrib tadi ia berdiri dan belum berniat untuk pulang. Aya terpekik kaget karena satu tangan yang melingkari perutnya dan membawanya ke pelukan seorang di belakangnya.“Ini aku,” ucap suara itu.“Zayn?”“Siapa lagi yang bisa peluk-peluk kamu kayak gini,” Zayn menunduk membenamkan wajahnya pada lekukan leher Aya. Lalu mendaratkan bibirnya di sana.Gadis itu terperanjat geli, lalu melepaskan diri, “Ini di kantor, Pak Zayn,” tolaknya pada sikap Zayn yang selalu menyentuhnya tak kenal tempat.“Tapi gak ada siapa-siapa,” jawab Zayn dengan cueknya langsung menyambar pinggang Aya dan membawanya mendekat, tangan kanannya meraih pipi kiri Aya dan mendaratkan bibirnya di bibir Aya.Tangan Aya yang terangkat menepuk pundak Zayn, mengalihkan perhatian. Zayn memundurkan wajahnya dan menatap Aya dengan wajah kesal.“Aku kangen,” ucap lelaki itu dengan manjanya.“Tapi aku mau ngomong dulu. Boleh?” tanya Aya sambil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status