Share

Keputusan yang Berat

Penulis: Adela Ghani
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-20 14:33:08

Dua hari berlalu lebih cepat dari yang kubayangkan, namun rasanya kepalaku masih penuh dengan kebingungan.

Aku masih belum bisa memutuskan, apakah akan menerima tawaran menjadi sekretaris OSIS atau tidak.

Sepintas, mungkin itu terlihat seperti kesempatan emas terutama di mata Maya yang terus-menerus mengingatkanku bahwa ini bisa jadi momen yang bisa mengubah hidupku.

Tapi di sisi lain, aku merasa bimbang. OSIS bukan hal yang pernah kubayangkan akan aku masuki.

Pagi itu aku duduk di tepi tempat tidurku sambil menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Maya.

Maya: “Nay, kamu udah bikin keputusan belum? Plis jangan nolak! Ini kesempatan langka!”

Aku menghela napas panjang, kemudian meletakkan ponselku di atas meja. Aku belum sempat menjawab pesan Maya karena aku masih memikirkan jawaban untuk diriku sendiri.

Ketika sampai di sekolah, suasananya tampak seperti biasa. Ada keramaian siswa di lorong, canda tawa, dan obrolan yang cukup riuh. Tapi hari ini, semuanya terasa lebih intens untukku.

Setiap kali aku melewati teman-temanku, aku merasa mereka sedang menatapku meski mungkin itu hanya perasaanku saja.

Yang paling membuat jantungku berdebar adalah ketika aku harus melewati ruang OSIS. Ada rasa takut sekaligus penasaran yang bercampur di dalam dadaku.

“Apa kamu udah ambil keputusan?” suara Maya mengagetkanku dari belakang.

Dia muncul dengan senyum lebar dan penuh semangat, seolah-olah dia tahu aku akan berkata “iya.”

Aku menelan ludah, mencoba tersenyum padanya.

“Belum, May. Aku masih mikir.”

Maya menghela napas.

“Kamu ini terlalu banyak mikir, Nay. Lihat dari sisi positifnya deh! Kamu bakal kerja bareng Arga. Siapa tahu kan, kamu jadi lebih dekat dengannya?”

Aku menggeleng menahan tawa kecil.

“May, bukan itu masalahnya. Aku enggak yakin apakah aku bisa menjalani semua ini. Aku bukan tipe orang yang aktif di organisasi.”

“Justru itu! Mereka memilih kamu karena kamu punya potensi. Lagian, siapa yang tahu kamu enggak bisa kalau belum dicoba?”

Aku terdiam mencoba mencerna ucapan Maya. Mungkin dia ada benarnya. Mungkin ini memang kesempatan untuk aku keluar dari zona nyaman dan mencoba sesuatu hal yang baru. Tapi tetap saja, ada perasaan takut yang tak bisa kutepis.

Kami melanjutkan perjalanan ke kelas, dan saat melewati koridor tiba-tiba aku melihat sosok Arga dari jauh.

Dia sedang berdiri bersama beberapa anggota OSIS lain, tampak sedang berdiskusi tentang sesuatu.

Ketika mata kami bertemu, dia tersenyum tipis dan menganggukkan kepala ke arahku. Satu senyuman itu cukup untuk membuat jantungku berdegup lebih cepat.

“Lihat? Bahkan Arga sudah memperhatikan kamu,” bisik Maya pelan sambil tersenyum geli.

Aku hanya bisa tersenyum malu-malu, berusaha mengabaikan pipiku yang memerah. Entah kenapa, setiap kali melihat Arga rasanya seperti ada magnet yang menarik perhatianku.

Tapi, aku tahu aku harus tetap fokus pada hal yang lebih penting sekarang yaitu keputusan yang harus kuambil.

---

Pelajaran pertama dimulai aku berusaha keras untuk fokus, tapi pikiranku terus melayang ke arah tawaran itu. Kata-kata Arga berulang kali terngiang di kepalaku.

"Kami percaya kamu punya potensi, Nayla."

Potensi? Potensi apa? Aku tak pernah merasa punya sesuatu yang spesial.

Sampai akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku menutup buku catatanku dengan pelan dan Maya langsung menghampiriku.

“Kamu harus kasih jawaban hari ini, kan?” tanyanya antusias.

Aku mengangguk pelan.

“Iya, hari ini.”

Maya menatapku serius.

“Kamu harus bilang ‘iya’ Nay. Aku yakin kamu bisa.”

Aku tersenyum kecut.

“Aku enggak tahu May. Rasanya masih berat.”

“Kalau kamu enggak coba, kamu enggak akan pernah tahu hasilnya.”

Perkataan Maya lagi-lagi menancap di pikiranku. Kali ini, aku merasa tidak punya alasan untuk menolak.

Apa yang dia katakan benar. Kalau aku tidak mencoba, aku tak akan pernah tahu apakah aku mampu atau tidak. Dan mungkin, jika aku menolak kesempatan ini aku akan menyesalinya nanti.

Dengan hati yang masih setengah ragu, aku berdiri dari bangku dan memutuskan untuk pergi ke ruang OSIS.

“Good luck!” seru Maya memberikan semangat terakhir sebelum aku melangkah keluar kelas.

---

Ruang OSIS terasa lebih sunyi ketika aku masuk. Hanya ada beberapa anggota yang tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Aku melangkah pelan, tiba-tiba Arga muncul dari balik pintu kaca kecil yang memisahkan ruangan kerja dan ruangan rapat.

“Nayla,” panggilnya dan aku segera menoleh.

Dia mendekat, wajahnya seperti tenang tapi dengan sorot matanya yang tajam.

“Jadi, kamu sudah bikin keputusan?”

Aku menggigit bibir bawahku merasa sedang gugup.

“Aku… aku sudah memikirkannya. Dan, aku rasa… aku akan terima tawaran kalian.”

Arga tersenyum, kali ini lebih lebar dari biasanya. Ada rasa lega di matanya yang membuatku sedikit tenang.

“Aku senang mendengarnya. Kami yakin kamu akan menjadi tambahan yang bagus untuk tim ini.”

“Terima kasih sudah memberi kesempatan,” balasku meski di dalam hatiku masih ada keraguan kecil.

“Baik kalau begitu, nanti sore setelah pulang sekolah kita adakan rapat kecil untuk membahas tugas-tugasmu. Bisa?”

Aku mengangguk sedikit terkejut.

“Oh, ya. Tentu.”

“Bagus. Sampai nanti sore, Nayla.”

Aku pamit dan meninggalkan ruang OSIS dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ada kelegaan karena akhirnya aku membuat keputusan.

Tapi di sisi lain, aku tahu ini baru permulaan. Tugas sebagai sekretaris OSIS jelas bukan sesuatu yang bisa kuanggap enteng. Apa saja yang akan menantiku di depan?

---

Sore itu, aku kembali ke ruang OSIS seperti yang dijanjikan. Arga sudah menungguku bersama beberapa pengurus lainnya, termasuk Dina wakil ketua OSIS yang terkenal dengan kecantikannya dan kepintarannya.

Aku sering mendengar desas-desus bahwa Dina dan Arga dekat. Tapi entahlah, aku tidak pernah tahu pasti.

“Selamat datang di tim, Nayla,” sapa Dina dengan senyum ramah, meski aku bisa merasakannya atau mungkin itu hanya perasaanku saja.

“Terima kasih Dina,” balasku mencoba tersenyum balik.

Rapat dimulai, dan Arga menjelaskan tugas-tugasku sebagai sekretaris. Mendengar semua tanggung jawab yang harus aku pikul, aku mulai merasa sedikit kewalahan.

Tapi aku tahu, aku tidak bisa mundur sekarang. Aku sudah membuat keputusan, dan aku harus menjalankannya dengan baik.

Sepanjang rapat aku berusaha fokus pada apa yang mereka jelaskan, meski sesekali aku mencuri pandang ke arah Arga.

Dia begitu tenang dan tegas, benar-benar terlihat seperti pemimpin yang diidolakan banyak siswa. Aku bisa melihat mengapa orang-orang begitu kagum padanya.

Rapat selesai setelah hampir satu jam. Aku keluar dari ruang OSIS dengan tumpukan kertas di tanganku yaitu catatan tentang rapat, daftar tugas, dan jadwal kegiatan yang harus aku pelajari.

Di balik semua itu, ada sedikit rasa bangga dalam diriku. Aku sudah melangkah keluar dari zona nyaman. Hari ini, aku resmi menjadi bagian dari OSIS.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Memohon Kepada Bara

    Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pernikahan Dipercepat

    Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Arga Datang

    “Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pertemuan di Parkiran

    Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Malam Panjang

    Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Apakah Ada Pilihan Lain?

    Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status