Home / Young Adult / Pacarku Si Ketua OSIS / Suasana Semakin Tegang

Share

Suasana Semakin Tegang

Author: Adela Ghani
last update Last Updated: 2024-10-01 01:23:25

Hari itu, ruangan OSIS terasa lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, selalu ada suara canda tawa atau obrolan ringan yang membuat suasana jadi hangat.

Tapi hari ini, rasanya seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan kami semua.

Aku duduk di kursiku, memandang ke arah Dina yang sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.

Arga ada di dekat pintu, memeriksa beberapa agenda acara yang akan kami adakan minggu depan.

Meski kami berada di ruangan yang sama, rasanya ada jarak yang begitu lebar di antara kami, khususnya antara Dina, Arga, dan aku.

Sejak kejadian di taman sekolah kemarin, Dina tidak lagi berbicara pada kami.

Tatapannya dingin setiap kali bertemu denganku, dan aku bisa merasakan bahwa dia berusaha sebisa mungkin mengabaikan keberadaanku.

Suasana ini membuat dadaku sesak. Aku tidak ingin suasana OSIS jadi seperti ini, tapi aku juga tahu bahwa ini tidak bisa dihindari.

"Sudah selesai semua agendanya?" suara Arga memecah keheningan.

Dia menoleh ke arah Dina, berharap mendapat respon. Namun, Dina hanya memberikan isyarat anggukan kecil tanpa berkata apa-apa tanpa sedikit pun menatap Arga.

Arga menghela napas pelan. Aku bisa melihat raut wajahnya yang semakin tegang. Dina benar-benar mendiamkannya dan itu membuat suasana jadi semakin tidak nyaman.

Aku memalingkan wajah, mencoba berkonsentrasi pada tugasku sendiri tetapi itu sulit.

Perasaanku campur aduk, antara rasa bersalah dan rasa canggung. Aku tahu ini bukan hanya tentang OSIS, tapi ini tentang perasaan.

Dina menyukai Arga, dan dia merasa tersingkirkan. Aku bisa merasakannya, dan meski tidak ada yang ingin membuat suasana jadi seperti ini, tapi semuanya terasa tak bisa terhindarkan.

Tiba-tiba, suara kursi yang ditarik dengan keras mengejutkanku. Aku menoleh dan melihat Arga berdiri.

Tatapannya serius, penuh tekad. Dia berjalan mendekati Dina yang masih sibuk berpura-pura fokus pada dokumen di depannya.

“Dina,” panggil Arga dengan nada tegas.

Dina tetap diam, tidak menanggapi.

“Dina, kita harus bicara,” lanjut Arga lagi, kali ini dengan suara yang lebih berat.

Aku bisa melihat ketegangan yang mulai memuncak di antara mereka.

Dina akhirnya mendongak, menatap Arga dengan pandangan dingin.

"Apa yang perlu dibicarakan?" tanyanya sinis.

"Aku pikir kita sudah jelas dengan semua ini."

Arga menghela napas panjang, mencoba tetap tenang meskipun aku bisa melihat dia sudah merasa terpojok dengan sikap Dina.

“Aku tahu kamu marah,” Arga mulai bicara.

“Dan aku tahu ini bukan cuma soal OSIS. Ini soal perasaan.”

Dina memutar matanya, lalu menutup dokumennya dengan keras, seolah-olah tidak mau mendengar lebih lanjut.

“Apa pun yang kamu katakan Arga, aku nggak peduli. Kamu jelas udah buat pilihanmu.”

“Dina, denger dulu,” Arga melangkah mendekatinya, suaranya penuh ketulusan.

“Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakitimu atau membuat kamu merasa tersingkir. Tapi soal ini... soal perasaan... ini bukan sesuatu yang bisa aku kendalikan.”

Aku menahan napas, merasakan suasana semakin menegangkan. Dina menatap Arga dengan mata yang berkilat marah, tapi aku tahu itu lebih karena luka daripada kebencian.

“Kamu bilang kamu nggak bisa ngendalikan perasaan?” Dina membalas dengan nada tajam.

“Kamu tahu Arga, selama ini aku selalu ada buat kamu. Aku yang selalu ada di sampingmu, aku yang selalu mendukungmu di OSIS, aku yang...”

“Aku tahu, Dina,” potong Arga dengan lembut.

“Aku tahu kamu selalu ada buat aku. Dan aku sangat menghargai itu. Tapi ini soal hati. Aku nggak bisa memaksa diriku untuk merasakan sesuatu yang nggak aku rasakan.”

Dina terdiam sesaat, matanya bergetar, tapi dia menolak untuk menangis di hadapan Arga.

"Jadi, kamu memilih Nayla?"

Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang langsung, tapi lebih dari itu, aku terkejut dengan cara Dina menatapku seolah-olah aku telah merebut sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya.

Arga mengangguk pelan.

“Aku memilih Nayla, karena aku benar-benar menyukainya Dina. Tapi itu nggak berarti aku mau kita berhenti jadi teman. Aku masih mau kamu ada di OSIS, kita masih punya banyak hal yang harus dikerjakan bersama.”

Dina tertawa kecil, namun tawa itu terdengar getir.

“Teman? Kamu serius, Arga? Kamu pikir setelah semua ini aku bisa kembali jadi teman biasa sama kamu? Setelah aku tahu kamu lebih memilih dia?”

Tatapan Dina beralih kepadaku, dan rasanya seperti ada api yang membara di balik matanya.

Aku bisa merasakan kemarahan dan kekecewaannya, tapi aku juga tahu bahwa ini bukan salahku sepenuhnya.

Perasaan tidak bisa dipaksakan, dan situasi ini adalah hasil dari sesuatu yang tidak bisa kami kendalikan.

“Aku nggak pernah mau ini terjadi, Dina,” aku berkata pelan, mencoba menawarkan penjelasan.

“Aku juga nggak mau kita jadi seperti ini.”

Dina memotongku dengan tatapan tajam.

“Nggak mau? Kamu pasti senang sekarang, Nayla. Kamu punya Arga, dan aku? Aku cuma jadi orang yang dibuang, ya kan?”

Aku merasakan dadaku sesak mendengar kata-katanya.

“Dina, bukan seperti itu...”

“Tapi begitulah kenyataannya!” Dina memotong dengan suaranya yang meninggi.

“Kamu tahu aku suka sama Arga. Kamu tahu! Tapi kamu tetap mendekatinya, dan sekarang kamu mendapatkan dia. Kamu menang, Nayla. Selamat.”

Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata Dina begitu tajam, dan meskipun aku tahu dia sedang terluka, rasanya seperti ada luka yang juga tergores di hatiku.

Arga mencoba melangkah lebih dekat ke Dina, tetapi dia segera menepisnya.

“Jangan sentuh aku, Arga. Aku nggak butuh simpati atau belas kasihanmu. Aku bisa menjaga diri sendiri.”

Setelah mengatakan itu, Dina meraih tasnya dan berdiri dari kursinya dengan cepat.

“Aku keluar,” katanya dengan tegas, lalu melangkah keluar dari ruangan tanpa menoleh ke belakang.

Suasana hening kembali setelah kepergian Dina, dan ruangan OSIS terasa semakin sesak dengan keheningan yang tidak nyaman.

Arga menatap pintu yang baru saja ditinggalkan Dina, wajahnya sangat muram.

“Aku nggak tahu harus gimana lagi,” Arga berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepadaku.

“Aku udah berusaha jelasin, tapi dia...”

Aku menghela napas, lalu melangkah mendekati Arga.

“Dia butuh waktu,” kataku pelan.

“Aku tahu Dina terluka, tapi aku juga tahu pada akhirnya dia akan mengerti. Ini bukan salahmu, Arga.”

Arga menoleh, menatapku dengan mata yang penuh rasa bersalah.

“Aku nggak mau hubungan kita bikin suasana OSIS jadi rusak, Nay.”

“Aku juga nggak mau,” jawabku jujur.

“Tapi kita nggak bisa mengendalikan perasaan orang lain. Yang bisa kita lakukan hanya tetap jujur pada diri sendiri.”

Dia mengangguk, meski wajahnya masih terlihat cemas.

“Aku harap kamu benar. Aku cuma nggak mau kehilangan Dina sebagai teman.”

“Aku juga berharap begitu,” gumamku, meski di dalam hatiku masih ada kekhawatiran.

Meski begitu, aku tahu bahwa ini adalah ujian yang harus kami hadapi bersama.

Bagaimanapun juga, aku percaya bahwa perasaan jujur akan selalu menemukan jalannya, meski jalan itu kadang dipenuhi oleh rintangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Memohon Kepada Bara

    Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pernikahan Dipercepat

    Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Arga Datang

    “Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pertemuan di Parkiran

    Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Malam Panjang

    Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Apakah Ada Pilihan Lain?

    Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status