Sekolah sudah hampir selesai dan aku merasa lega karena akhirnya bisa pulang setelah melewati hari yang panjang.
Pikiranku masih dipenuhi dengan kejadian di ruang OSIS tadi, tentang bagaimana Dina keluar dengan penuh amarah, dan bagaimana Arga terlihat begitu bingung menghadapi situasi itu. Meskipun aku tahu semuanya tidak akan selesai begitu saja, aku berusaha menenangkan diri. Saat aku berjalan menuju gerbang sekolah, aku memutuskan untuk melewati jalan pintas di samping gedung kelas yang biasanya sepi. Aku ingin cepat sampai di halte sebelum hujan turun, karena langit sudah tampak semakin gelap. Namun, langkahku terhenti ketika samar-samar aku mendengar suara yang tidak asing. Itu suara Arga. Jantungku berdegup lebih kencang secara tiba-tiba. Tanpa sadar, aku melangkah lebih pelan mencoba mencari tahu dari mana suara itu berasal. Ketika aku mendekati sudut gedung, aku menyadari bahwa Arga sedang berbicara dengan Dina. Mereka berdiri di dekat pohon besar, sedikit tersembunyi dari pandangan umum. Aku ragu sejenak merasa tidak seharusnya mendengar pembicaraan mereka, tapi rasa penasaran mendorongku untuk mendengarkan lebih lanjut. “Aku janji Dina. Aku nggak akan ninggalin kamu,” suara Arga terdengar jelas dan penuh ketulusan. Hatiku mencelos mendengar kata-kata itu. Apa maksudnya? Janji? Tidak akan meninggalkannya? Dina diam sejenak sebelum menjawab dengan suara rendah, tapi cukup jelas bagiku untuk mendengarnya. “Kalau kamu benar-benar nggak mau ninggalin aku, kenapa kamu malah milih Nayla? Kamu tahu kan, aku yang dari awal selalu ada buat kamu.” Perasaan tidak enak mulai merayapi dadaku. Aku tidak pernah ingin berada di posisi ini mendengarkan sesuatu yang mungkin tidak ingin kudengar. Tapi kakiku terasa berat untuk bergerak, dan aku hanya bisa berdiri di tempat, mencoba mengartikan setiap kata yang keluar dari mulut mereka. “Aku tahu, Dina,” Arga menjawab, suaranya terdengar lelah. “Dan aku menghargai semua yang sudah kamu lakukan. Tapi aku nggak bisa bohong tentang perasaanku. Aku suka sama Nayla. Tapi itu nggak berarti aku akan ninggalin kamu. Kita masih bisa tetap dekat, Dina. Aku nggak mau kamu merasa sendirian.” Perasaanku seperti dihantam sesuatu yang berat. Suka sama aku? Tapi dia tidak akan meninggalkan Dina? Apa maksud semua ini? Arga berjanji pada Dina, tapi dia juga memilihku? Kata-kata itu berputar-putar di kepalaku, dan semakin aku mencoba mengerti semakin sakit rasanya. “Aku nggak tahu, Arga,” kata Dina dengan suara yang sedikit bergetar. “Aku nggak tahu apakah aku bisa percaya sama kamu lagi setelah ini. Kamu bilang suka sama Nayla, tapi kamu juga janji nggak akan ninggalin aku. Itu nggak masuk akal!” Aku menahan napas, jantungku berdetak kencang seolah-olah mencoba untuk memberi tahu otakku bahwa ini nyata. Arga sedang berusaha menjaga perasaanku dan perasaan Dina sekaligus. Tapi bagaimana mungkin dia bisa melakukan itu tanpa menyakiti salah satu dari kami? “Dina, aku nggak mau kehilangan kamu,” Arga berkata lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah hampir seperti bisikan. “Aku tahu ini semua rumit, tapi aku akan melakukan apa pun untuk memastikan kamu nggak merasa ditinggalkan. Aku janji.” Dadaku terasa sesak mendengar kata-kata itu. Jadi, Arga membuat janji untuk tetap ada buat Dina, sementara di saat yang sama dia menyatakan perasaannya padaku? Apa yang sebenarnya dia inginkan? Tanpa sadar, aku mulai mundur perlahan, menjauh dari tempat di mana mereka berdiri. Aku tidak bisa lagi mendengarkan. Hati ini terlalu sakit untuk mendengar lebih banyak lagi. Setiap langkah yang kuambil terasa semakin berat, seperti ada beban tak terlihat yang menghimpitku. Bagaimana bisa Arga bicara seperti itu? Langkahku semakin cepat, dan aku hanya ingin pergi sejauh mungkin dari percakapan itu. Aku merasa tersesat, tidak tahu harus berbuat apa. Arga, yang kukira jujur padaku, ternyata masih terjebak dalam perasaan bersalah pada Dina. Dan aku, yang berpikir bahwa segalanya akan menjadi lebih baik setelah kami memulai hubungan ini, sekarang malah merasa terperangkap dalam sesuatu yang lebih rumit dari yang pernah kubayangkan. Aku terus berjalan tanpa tujuan yang jelas. Saat tiba di depan gerbang sekolah aku berhenti untuk mencoba menenangkan diri. Pikiran-pikiran itu terus bergulung di kepalaku, membuatku bingung dan cemas. Haruskah aku menghadapi Arga tentang apa yang kudengar tadi? Atau haruskah aku diam dan menunggu hingga semuanya menjadi jelas? Namun, aku tahu satu hal yang pasti, aku tidak bisa terus seperti ini. Perasaanku terlalu berharga untuk dipermainkan, bahkan jika itu oleh seseorang yang kupercaya seperti Arga. Meskipun aku ingin mempercayainya, ada bagian dari diriku yang merasa terluka dan dikhianati oleh janji yang ia buat untuk Dina. Apakah ini artinya Arga tidak benar-benar memilihku? Apakah aku hanya salah satu dari dua pilihan yang ia coba pertahankan? Perasaan sakit itu semakin menguat. Rasanya seperti ditusuk dari dalam, dan aku tahu bahwa aku tidak bisa membiarkan perasaan ini berlarut-larut. Aku harus berbicara dengan Arga, aku harus tahu kebenaran dari semuanya. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin pulang dan menenangkan diriku. Tanpa berpikir panjang lagi, aku melangkah pergi meninggalkan sekolah dengan hati yang lebih berat daripada sebelumnya. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus dipenuhi dengan gambaran Arga dan Dina berbicara di sudut sekolah tadi. Kata-kata mereka terulang-ulang di kepalaku, dan semakin aku memikirkannya, semakin sakit rasanya. Bagaimana bisa aku menjadi bagian dari situasi yang rumit seperti ini? Aku tahu bahwa tidak ada yang salah dalam perasaan Arga terhadap Dina sebagai teman, tapi janji yang ia buat itu, itu terasa seperti sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Dan itu yang membuatku tidak bisa menerima semuanya begitu saja.Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu