Amara menatap layar ponselnya sekali lagi. Pesan singkat itu hanya berisi dua kata: Ke ruanganku sekarang. Ia menarik napas panjang, merapikan kertas-kertas di mejanya, lalu berdiri. Langkahnya terasa berat saat menuju lift. Detik demi detik di dalam kotak logam itu terasa lebih lama dari biasanya, hingga akhirnya pintu terbuka tepat di depan ruangan sang CEO. Pintu kaca besar membentang, tulisan “Ruangan Ceo" membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Amara mengetuk pelan, mendengar suara datar dari dalam. “Masuk.” Ia mendorong pintu. Ruangan luas itu terasa sunyi dan dingin, wangi kopi hitam samar tercium. Darian sudah duduk di balik mejanya, jas abu tua membungkus tubuhnya sempurna. Tatapannya menusuk seperti biasa, dingin, tak terbaca. “Duduk.” Suaranya singkat, tak memberi ruang untuk menawar. Amara duduk di kursi depan meja. Tangannya meremas rok kerjanya di pangkuan, mencoba menahan gugup. Ia belum mengerti kenapa bosnya memanggilnya lagi. Darian menatapnya sejenak,
Ruangan mendadak terasa lebih sunyi setelah kata “sewa rahim” terucap. Bunyi pendingin ruangan yang semula samar kini terdengar jelas. Amara duduk kaku di kursinya, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Darian tetap berdiri di dekat jendela, punggungnya lurus, tatapannya tak terbaca. Dokter Anton berdehem pelan, berusaha mencairkan ketegangan. “Baik, kita tidak akan langsung mengambil langkah itu,” ujarnya hati-hati. “Hari ini kita mulai dari pemeriksaan awal. Tes darah lengkap, hormon, USG transvaginal. Setelah hasilnya keluar, kita akan jadwalkan stimulasi ovarium untuk pengambilan sel telur. Biasanya memakan waktu dua minggu sebelum prosedur IVF pertama dilakukan.” Amara mengangguk kecil, masih berusaha mencerna. “Dua minggu…” ia mengulang pelan. “Kami akan memberikan resep obat hormon untuk menyiapkan tubuh Anda,” lanjut Dr. Anton. “Ada vitamin, ada injeksi harian, juga beberapa pembatasan pola makan. Semua agar proses IVF nanti memiliki peluang lebih tinggi.”
Amara mengamati Darian mengambil map berisi kontrak itu. Pria itu menyimpannya di laci dengan gerakan cepat, seolah itu hanya selembar kertas tak berarti. "Sudah selesai," kata Darian, suaranya dingin dan lugas. "Kembali bekerja." Amara tidak menoleh, ia hanya mengangguk pelan dan berjalan keluar dari ruangan itu. Di luar ruangan, tatapan karyawan seolah mengikuti langkahnya. Beberapa berbisik. “Dia lagi…” “Bahkan setelah kecelakaan, dia masih bisa bekerja.” "Apa dia dimarahi lagi?" "Mungkin..." Amara pura-pura tak mendengar. Ia sudah terbiasa. Di mejanya, tumpukan berkas menunggu. Ia menarik napas panjang, lalu duduk. Lina, rekan satu divisi, mendekat. “Kau baik-baik saja? Mukamu pucat.” “Aku baik. Cuma kurang tidur,” jawab Amara pendek. “Masih sempat analisis data tender yang kemarin?” “Sudah aku kerjakan, tinggal validasi,” kata Amara. Lina tersenyum kecil. “Kau memang mesin.” Amara tidak menanggapi, matanya sudah fokus pada tabel angka dan grafik. Ja
Seminggu setelah keluar dari rumah sakit, Amara kembali ke apartemen mungilnya. Hari-hari yang seharusnya diisi dengan istirahat, kini terasa penuh bayangan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi apartemennya yang sederhana. Perban di dahi dan beberapa memar di lengan dan kakinya menjadi saksi bisu kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Wajahnya masih terlihat pucat dan lelah, jauh dari gambaran Amara yang biasa, yang selalu berusaha tersenyum meski batinnya dipenuhi cemoohan. Ia menghela napas, bayangan Darian Lancaster kembali terlintas. Senyum sinisnya, tatapan mata abu-abunya yang dingin, dan kata-kata tajam yang menembus pertahanan dirinya. "Kamu bahkan tidak takut bicara begitu padaku?" dan "Kamu bahkan tahu apa yang baru saja kamu minta dariku?" Amara memejamkan mata, memegang erat pinggiran wastafel. Ia tahu permintaannya gila, tapi bukan itu yang membuatnya terusik. Pikirannya dipenuhi pertanyaan lain: mengapa Darian menolaknya seolah permintaan itu menyi
Amara Aurelia menatap langit-langit putih kamar rawat inapnya. Udara pagi yang sejuk masuk dari celah jendela, tapi tidak mampu mengusir gejolak di dadanya. Kata-kata yang ia ucapkan pada Darian Lancaster semalam terus bergema di kepalanya. Seorang staf biasa berani meminta hal segila itu kepada CEO dingin nan arogan? Memalukan.Namun di balik rasa malu itu, ada penyesalan yang lebih dalam. Nyaris mati karena kecelakaan, membuatnya sadar: ia benar-benar sebatang kara. Seumur hidup ia tidak pernah memikirkan pernikahan, apalagi keluarga. Tapi sekarang, satu-satunya hal yang terlintas justru “bagaimana jika aku menghilang tanpa meninggalkan apa-apa?” Tekad itu lebih kuat daripada rasa takutnya kepada Darian. Pintu terbuka. Darian masuk tanpa mengetuk, langkahnya tenang dan terukur, tetapi auranya yang menekan langsung memenuhi ruangan. Ia terlihat sempurna seperti biasa. Setelan jas hitam mahal membalut tubuhnya yang atletis, menambah kesan dominan. Tatapan mata abu-abunya yang taja
“Apa yang kamu mau? Kompensasi atas kecelakaanmu?” Suara Darian Lancaster terdengar berat dan dingin, memenuhi ruangan rumah sakit yang hening. Amara tercekat. Untuknya, masih hidup saja sudah syukur. Tapi satu penyesalan besar terus menghantui: ia tidak ingin pergi dari dunia ini tanpa meninggalkan jejak. Ia menelan ludah, lalu berbisik pelan, “Kamu mau jadi ayah anakku… atau hanya sekadar pria yang memberiku anak? Aku mau jadi ibu.” Darian membeku di tempat. Senyum sinis yang biasa menghiasi wajahnya memudar seketika, tergantikan kebingungan. Mata abu-abunya yang tajam menatap Amara intens, seolah hendak menembus pikirannya. Ia berdiri di dekat jendela; bayangan malam membingkai sosok tinggi tegapnya. Kemeja putih yang digulung sampai siku memperlihatkan otot lengannya yang kekar. Aura dominan yang biasa ia pancarkan terasa berlipat ganda, memenuhi ruangan sempit itu. “Maksudnya?” suaranya rendah, menusuk. Amara memberanikan diri menatap balik. “Aku mau jadi ibu,” ulangnya le