Amara kembali ke kantor menjelang pukul empat sore. Meja kerjanya terasa aneh; semua yang baru saja ia alami di rumah sakit, tatapan tajam Darian, kata-kata Dokter Anton tentang "puasa" sperma, dan rasa asing saat berada satu mobil dengan suaminya, terasa seperti mimpi buruk. Ia memaksakan diri fokus pada layar komputer, tetapi pikirannya terus berputar. Lina meliriknya dari balik monitor. "Ada apa, Amara? Wajahmu terlihat tegang. Apakah urusannya berat?" "Tidak ada, hanya saja masih kepikiran," jawab Amara, tanpa menoleh. "Kau harus buru-buru pulang dan istirahat lebih banyak. Sudah hampir pukul lima," bisik Lina mengingatkan, sambil melirik jam di ponselnya. Amara mengangguk. Ia mengepak tasnya, memastikan paper bag berisi suplemen dari Darian tersembunyi dengan baik. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia tidak ingin Lina atau siapa pun melihat bahwa Darian lah yang membelikan itu. Tepat pukul 16:55, Amara sudah berada di lobi, menunggu taksi. Ia berhasil pulang tepat wakt
Malam menyelimuti penthouse, hanya menyisakan kerlip lampu kota yang masuk dari jendela kaca besar. Suara pintu lift berdenting pelan, diikuti langkah kaki yang berat dan teratur di lantai marmer. Darian pulang. Amara berdiam di kamarnya di lantai atas, tak berniat turun. Ia tahu jam kerja Darian sering tak menentu, dan ia sudah memutuskan untuk menjaga jarak, sesuai dengan kontrak. Ia membuka buku catatan yang dibawanya dari apartemen. Halamannya sudah penuh dengan coretan dan rencana, semua tentang bagaimana ia akan menjalani hidup baru ini. Hidup yang ia perjuangkan mati-matian. Tepat saat ia hendak meraih gelas berisi air putih, ternyata gelas itu sudah kosong. Akhirnya dengan terpaksa ia memberanikan diri melangkah turun menuju dapur. Lantai marmer terasa dingin di telapak kakinya, tangga spiral itu membawanya ke lantai bawah. Tiba-tiba, ia mendengar suara dari ruang tengah. "Belum tidur?" tanya Darian, tanpa menoleh.
Matahari siang menyorot tajam melalui tirai besar penthouse. Cahaya keemasan menembus celah-celahnya, jatuh di atas karpet tebal berwarna krem, memantul di permukaan marmer yang dingin. Heningnya ruangan terasa menekan seperti udara sebelum badai. Amara berdiri di depan lemari pakaian di kamar atas, baru saja menata beberapa barang. Tangannya berhenti di atas lipatan terakhir gaun tidur berwarna pastel. Napasnya keluar panjang. Ia menatap bayangannya di cermin besar: wajah pucat, mata yang tampak letih. Suara jam di dinding berdetak pelan, tetapi di telinganya terdengar lebih keras. Heningnya penthouse itu membuat tiap detik terasa berderak. Tak tahan dengan rasa sunyi yang makin menggumpal, Amara memutuskan turun ke lantai bawah. Pegangan tangga spiral terasa sejuk di telapak tangannya. Baru menapaki anak tangga kedua, aroma sedap langsung menyapa hidungnya: wangi kaldu sayur bercampur tumisan bawang putih. Perutnya berdesir lapar. Ia mempercepat langkah, seperti ditarik aroma
Langit pagi kota itu berwarna pucat, kabut tipis menyelimuti jalanan. Udara dingin menusuk kulit. Amara berdiri di depan apartemen mungilnya dengan koper dan beberapa kotak besar di sekitarnya. Taksi yang ia pesan sudah terparkir, bagasi terbuka menunggu barang-barangnya dimasukkan. Tanpa banyak bicara, ia membantu sopir memasukkan barang-barangnya, lalu duduk di kursi belakang. "Ke kantor catatan sipil, Pak." "Baik Nona." Taksi itu meluncur membelah jalanan yang masih lengang menuju Kantor Catatan Sipil, tempat resmi pencatatan pernikahan. Bangunannya berarsitektur modern dengan nuansa merah dan emas khas tradisi setempat. Dinding kaca besar memantulkan cahaya matahari yang baru terbit. Di dalam, loket-loket pendaftaran, bilik foto, dan kursi tunggu berderet rapi. Aroma kayu manis dari dupa kecil di pojok ruangan bercampur dengan wangi kopi dari mesin otomatis di sudut. Amara melangkah masuk, wajahnya tetap datar. Di sekelilingnya pasangan-pasangan tampak bahagia: ada
Amara menatap layar ponselnya sekali lagi. Pesan singkat itu hanya berisi dua kata: Ke ruanganku sekarang. Ia menarik napas panjang, merapikan kertas-kertas di mejanya, lalu berdiri. Langkahnya terasa berat saat menuju lift. Detik demi detik di dalam kotak logam itu terasa lebih lama dari biasanya, hingga akhirnya pintu terbuka tepat di depan ruangan sang CEO. Pintu kaca besar membentang, tulisan “Ruangan Ceo" membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Amara mengetuk pelan, mendengar suara datar dari dalam. “Masuk.” Ia mendorong pintu. Ruangan luas itu terasa sunyi dan dingin, wangi kopi hitam samar tercium. Darian sudah duduk di balik mejanya, jas abu tua membungkus tubuhnya sempurna. Tatapannya menusuk seperti biasa, dingin, tak terbaca. “Duduk.” Suaranya singkat, tak memberi ruang untuk menawar. Amara duduk di kursi depan meja. Tangannya meremas rok kerjanya di pangkuan, mencoba menahan gugup. Ia belum mengerti kenapa bosnya memanggilnya lagi. Darian menatapnya sejenak,
Ruangan mendadak terasa lebih sunyi setelah kata “sewa rahim” terucap. Bunyi pendingin ruangan yang semula samar kini terdengar jelas. Amara duduk kaku di kursinya, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Darian tetap berdiri di dekat jendela, punggungnya lurus, tatapannya tak terbaca. Dokter Anton berdehem pelan, berusaha mencairkan ketegangan. “Baik, kita tidak akan langsung mengambil langkah itu,” ujarnya hati-hati. “Hari ini kita mulai dari pemeriksaan awal. Tes darah lengkap, hormon, USG transvaginal. Setelah hasilnya keluar, kita akan jadwalkan stimulasi ovarium untuk pengambilan sel telur. Biasanya memakan waktu dua minggu sebelum prosedur IVF pertama dilakukan.” Amara mengangguk kecil, masih berusaha mencerna. “Dua minggu…” ia mengulang pelan. “Kami akan memberikan resep obat hormon untuk menyiapkan tubuh Anda,” lanjut Dr. Anton. “Ada vitamin, ada injeksi harian, juga beberapa pembatasan pola makan. Semua agar proses IVF nanti memiliki peluang lebih tinggi.”