Home / Romansa / Pak Ceo, Aku Ingin Anak / Bab 5: Sewa Rahim

Share

Bab 5: Sewa Rahim

Author: Za_dibah
last update Last Updated: 2025-09-15 12:39:23

Ruangan mendadak terasa lebih sunyi setelah kata “sewa rahim” terucap. Bunyi pendingin ruangan yang semula samar kini terdengar jelas. Amara duduk kaku di kursinya, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Darian tetap berdiri di dekat jendela, punggungnya lurus, tatapannya tak terbaca.

Dokter Anton berdehem pelan, berusaha mencairkan ketegangan.

“Baik, kita tidak akan langsung mengambil langkah itu,” ujarnya hati-hati. “Hari ini kita mulai dari pemeriksaan awal. Tes darah lengkap, hormon, USG transvaginal. Setelah hasilnya keluar, kita akan jadwalkan stimulasi ovarium untuk pengambilan sel telur. Biasanya memakan waktu dua minggu sebelum prosedur IVF pertama dilakukan.”

Amara mengangguk kecil, masih berusaha mencerna.

“Dua minggu…” ia mengulang pelan.

“Kami akan memberikan resep obat hormon untuk menyiapkan tubuh Anda,” lanjut Dr. Anton. “Ada vitamin, ada injeksi harian, juga beberapa pembatasan pola makan. Semua agar proses IVF nanti memiliki peluang lebih tinggi.”

Tatapan Darian beralih pada dokter, dingin.

“Lakukan apa pun yang perlu. Aku tidak mau buang-buang waktu,” suaranya datar, seperti memberi perintah pada bawahannya.

“Baik, Pak,” jawab Dr. Anton. “Tapi kesuksesan tetap bergantung pada kepatuhan Nona Amara.”

Darian hanya mendengus. “Kirim jadwal pemeriksaan lanjutan lewat asistenku. Aku ada janji dengan klien, itu lebih penting.”

Ia berbalik, melangkah menuju pintu.

Asistennya, Marco yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan menunduk hormat kepada dokter. “Permisi, kami pamit dulu,” katanya singkat, lalu mengikuti Darian keluar.

Pintu menutup, menyisakan Amara dan Dr. Anton di ruangan yang kini terasa lapang namun berat. Amara menarik napas panjang.

“Nona Amara. Perawat akan mengantar Anda ke laboratorium. Setelah selesai, kembali ke saya untuk menerima resep.”

“Baik…” katanya pelan.

Amara mengikuti perawat, menjalani semua tes. Jarum suntik, alat USG dingin, cahaya lampu yang menyilaukan, semuanya terasa seperti prosedur mekanis. Sekitar satu jam, ia kembali ke ruang konsultasi.

Dr. Anton menyerahkan lembaran kertas. “Ini resepnya. Obat ini diminum sesuai jadwal. Tidak boleh telat. Hindari kopi lebih dari satu cangkir sehari, jangan alkohol, rokok, atau junk food. Banyak air putih, istirahat cukup. Itu semua penting agar peluangnya besar.”

Amara menerima resep itu, menatapnya lama. “Baik, Dokter. Saya akan patuhi.”

“Kalau ada efek samping, hubungi kami. Ini nomor saya.” Ia menyelipkan kartu nama.

Amara berdiri, menunduk sopan. “Terima kasih, Dokter.”

Keluar dari ruang konsultasi, ia langsung menuju apotek. Plastik obat yang diterimanya terasa berat di tangan. Ia menunggu taksi di depan lobi rumah sakit, wajahnya setenang topeng.

Perutnya perih. Saat taksi datang, ia meminta sopir berhenti di toko roti kecil di dekat kantor. Membeli beberapa roti isi, lalu kembali masuk taksi.

Di kantor, tatapan orang-orang sudah jadi makanan sehari-hari. Bisikan kecil terdengar, tapi ia tidak peduli.

Di mejanya, Lina sedang mengetik cepat. Amara duduk, menyodorkan satu roti. “Ini buatmu.”

Lina tersenyum kecil. “Kau baik banget. Makasih.” Mereka makan roti di sela kerja.

Lina melirik saat Amara mengeluarkan botol air dan beberapa obat. “Kau minum obat banyak sekali. Itu obatmu dari kecelakaan itu ya?”

Amara tersenyum tipis. “Ya, untuk kesembuhanku.”

Ia menatap beberapa butir yang tersisa. Demi anak yang ia impikan, ia harus menelan semuanya.

Mereka kembali tenggelam dalam pekerjaan. Hanya suara ketikan keyboard yang mengisi ruangan.

Menjelang siang, Pak Andhika, kepala divisi riset dan analisis—muncul di sisi meja.

“Amara,” suaranya berat.

Amara menoleh. “Ya, Pak?”

“Aku serahkan analisis kelayakan proyek Kencana Raya padamu. Data mentah ada di folder bersama. Laporan komprehensifnya harus rapi, detail, tidak boleh ada angka meleset.”

Amara mengangguk. “Baik, Pak. Saya kerjakan.”

Pak Andhika menatapnya sejenak, lalu pergi.

Amara menggulung lengan kemeja, menatap layar penuh grafik dan angka. Ia menghela napas, lalu mulai mengetik. Dunia di sekitarnya memudar. Hanya suara ketikan, obat yang masih harus diminum, dan tekad yang diam-diam ia simpan: menjalani semua ini sampai selesai.

Jam dinding di ruang divisi riset sudah menunjukkan pukul dua belas lebih lima belas. Aroma makanan dan kopi dari pantry samar-samar masuk ke ruangan. Suara kursi bergeser, beberapa karyawan mulai berdiri, bercakap ringan, lalu keluar menuju kantin.

Lina menghampiri meja Amara sambil menutup laptopnya sendiri. “Amara,” panggilnya pelan. “Kita makan siang di kantin, yuk.”

Amara masih menatap layar, jarinya menari di atas keyboard. Ia hanya menoleh sebentar, senyum tipis terbit di bibirnya. “Kau duluan saja, Lina. Aku masih harus selesaikan ini.”

Lina menahan napas, lalu menghela panjang. “Amara… kau baru sembuh. Jangan memforsir dirimu. Pekerjaan bisa menunggu.” Suaranya ada nada khawatir.

Amara berhenti mengetik sesaat, lalu menutup map kecil di sampingnya. “Aku tahu. Tenang saja, Lina. Aku masih punya beberapa roti.” Ia menunjukkan plastik kecil berisi roti isi yang dibelinya tadi pagi.

Lina melirik plastik itu, wajahnya melunak. “Ya sudah, jangan lupa makan. Kalau pusing langsung berhenti.”

Amara mengangguk sekali. “Baik. Terima kasih sudah mengingatkan.”

“Baiklah, aku duluan ya,” kata Lina, lalu melangkah pergi bersama karyawan lain. Suara mereka makin menjauh hingga yang tersisa hanya bunyi pendingin ruangan.

Ruangan terasa sepi. Hanya ada Amara di sudutnya, suara ketikan keyboard menjadi ritme yang menenangkan. Perutnya mulai berontak. Ia berhenti sejenak, membuka plastik roti, menggigitnya perlahan sambil tetap menatap layar.

Tiga puluh menit kemudian, suara sepatu kulit terdengar dari arah koridor. Darian berjalan diiringi asistennya, Marco, melewati deretan meja menuju lift pribadi yang akan membawanya ke lantai atas. Langkahnya tegap, wajahnya datar.

Tatapannya sekilas tertuju pada Amara. Perempuan itu masih menunduk pada layar, jari-jarinya mengetik cepat sementara sepotong roti tergigit di bibirnya. Ia bahkan tidak sadar sedang diperhatikan. Pandangan Darian dingin, tajam, hanya sepersekian detik sebelum ia kembali menatap lurus dan melangkah naik.

Asistennya menoleh kecil, seolah ingin bicara, tapi Darian tak memberikan isyarat apa pun. Mereka berdua menghilang di balik pintu lift, meninggalkan aroma parfum mahal yang samar.

Di meja kerjanya, Amara merenggangkan bahu. Laporan yang dikerjakan akhirnya rampung. Ia mengunyah sisa roti sampai habis, meneguk air mineral, lalu menghela napas lega.

Baru saja ia hendak merapikan file, ponselnya bergetar. Layar menyala. Nama pengirimnya terpampang jelas: Bos Galak.

> Ke ruanganku. Sekarang.

Amara menatap layar itu beberapa detik. Ujung bibirnya menegang. "Kenapa lagi dia memanggilku…" batinnya. Pesan dari bosnya selalu seperti bom yang siap meledak kapan saja.

Ia menutup ponsel, menarik napas panjang, lalu bersiap menuju lantai atas, tempat Darian menunggunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 6: Hambar, sama seperti wajahnya.

    Amara menatap layar ponselnya sekali lagi. Pesan singkat itu hanya berisi dua kata: Ke ruanganku sekarang. Ia menarik napas panjang, merapikan kertas-kertas di mejanya, lalu berdiri. Langkahnya terasa berat saat menuju lift. Detik demi detik di dalam kotak logam itu terasa lebih lama dari biasanya, hingga akhirnya pintu terbuka tepat di depan ruangan sang CEO. Pintu kaca besar membentang, tulisan “Ruangan Ceo" membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Amara mengetuk pelan, mendengar suara datar dari dalam. “Masuk.” Ia mendorong pintu. Ruangan luas itu terasa sunyi dan dingin, wangi kopi hitam samar tercium. Darian sudah duduk di balik mejanya, jas abu tua membungkus tubuhnya sempurna. Tatapannya menusuk seperti biasa, dingin, tak terbaca. “Duduk.” Suaranya singkat, tak memberi ruang untuk menawar. Amara duduk di kursi depan meja. Tangannya meremas rok kerjanya di pangkuan, mencoba menahan gugup. Ia belum mengerti kenapa bosnya memanggilnya lagi. Darian menatapnya sejenak,

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 5: Sewa Rahim

    Ruangan mendadak terasa lebih sunyi setelah kata “sewa rahim” terucap. Bunyi pendingin ruangan yang semula samar kini terdengar jelas. Amara duduk kaku di kursinya, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Darian tetap berdiri di dekat jendela, punggungnya lurus, tatapannya tak terbaca. Dokter Anton berdehem pelan, berusaha mencairkan ketegangan. “Baik, kita tidak akan langsung mengambil langkah itu,” ujarnya hati-hati. “Hari ini kita mulai dari pemeriksaan awal. Tes darah lengkap, hormon, USG transvaginal. Setelah hasilnya keluar, kita akan jadwalkan stimulasi ovarium untuk pengambilan sel telur. Biasanya memakan waktu dua minggu sebelum prosedur IVF pertama dilakukan.” Amara mengangguk kecil, masih berusaha mencerna. “Dua minggu…” ia mengulang pelan. “Kami akan memberikan resep obat hormon untuk menyiapkan tubuh Anda,” lanjut Dr. Anton. “Ada vitamin, ada injeksi harian, juga beberapa pembatasan pola makan. Semua agar proses IVF nanti memiliki peluang lebih tinggi.”

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 4: Prosedur Kehamilan.

    Amara mengamati Darian mengambil map berisi kontrak itu. Pria itu menyimpannya di laci dengan gerakan cepat, seolah itu hanya selembar kertas tak berarti. ​"Sudah selesai," kata Darian, suaranya dingin dan lugas. "Kembali bekerja." Amara tidak menoleh, ia hanya mengangguk pelan dan berjalan keluar dari ruangan itu. ​ Di luar ruangan, tatapan karyawan seolah mengikuti langkahnya. Beberapa berbisik. “Dia lagi…” “Bahkan setelah kecelakaan, dia masih bisa bekerja.” "Apa dia dimarahi lagi?" "Mungkin..." Amara pura-pura tak mendengar. Ia sudah terbiasa. Di mejanya, tumpukan berkas menunggu. Ia menarik napas panjang, lalu duduk. Lina, rekan satu divisi, mendekat. “Kau baik-baik saja? Mukamu pucat.” “Aku baik. Cuma kurang tidur,” jawab Amara pendek. “Masih sempat analisis data tender yang kemarin?” “Sudah aku kerjakan, tinggal validasi,” kata Amara. Lina tersenyum kecil. “Kau memang mesin.” Amara tidak menanggapi, matanya sudah fokus pada tabel angka dan grafik. Ja

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 3: Pertemuan Tak Terduga

    Seminggu setelah keluar dari rumah sakit, Amara kembali ke apartemen mungilnya. Hari-hari yang seharusnya diisi dengan istirahat, kini terasa penuh bayangan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi apartemennya yang sederhana. Perban di dahi dan beberapa memar di lengan dan kakinya menjadi saksi bisu kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Wajahnya masih terlihat pucat dan lelah, jauh dari gambaran Amara yang biasa, yang selalu berusaha tersenyum meski batinnya dipenuhi cemoohan. Ia menghela napas, bayangan Darian Lancaster kembali terlintas. Senyum sinisnya, tatapan mata abu-abunya yang dingin, dan kata-kata tajam yang menembus pertahanan dirinya. "Kamu bahkan tidak takut bicara begitu padaku?" dan "Kamu bahkan tahu apa yang baru saja kamu minta dariku?" ​Amara memejamkan mata, memegang erat pinggiran wastafel. Ia tahu permintaannya gila, tapi bukan itu yang membuatnya terusik. Pikirannya dipenuhi pertanyaan lain: mengapa Darian menolaknya seolah permintaan itu menyi

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   ​Bab 2: Kesepakatan yang Tidak Terduga

    ​Amara Aurelia menatap langit-langit putih kamar rawat inapnya. Udara pagi yang sejuk masuk dari celah jendela, tapi tidak mampu mengusir gejolak di dadanya. Kata-kata yang ia ucapkan pada Darian Lancaster semalam terus bergema di kepalanya. Seorang staf biasa berani meminta hal segila itu kepada CEO dingin nan arogan? Memalukan.Namun di balik rasa malu itu, ada penyesalan yang lebih dalam. Nyaris mati karena kecelakaan, membuatnya sadar: ia benar-benar sebatang kara. Seumur hidup ia tidak pernah memikirkan pernikahan, apalagi keluarga. Tapi sekarang, satu-satunya hal yang terlintas justru “bagaimana jika aku menghilang tanpa meninggalkan apa-apa?” Tekad itu lebih kuat daripada rasa takutnya kepada Darian. ​Pintu terbuka. Darian masuk tanpa mengetuk, langkahnya tenang dan terukur, tetapi auranya yang menekan langsung memenuhi ruangan. Ia terlihat sempurna seperti biasa. Setelan jas hitam mahal membalut tubuhnya yang atletis, menambah kesan dominan. Tatapan mata abu-abunya yang taja

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 1: Sebuah Kesepakatan Berani

    “Apa yang kamu mau? Kompensasi atas kecelakaanmu?” Suara Darian Lancaster terdengar berat dan dingin, memenuhi ruangan rumah sakit yang hening. Amara tercekat. Untuknya, masih hidup saja sudah syukur. Tapi satu penyesalan besar terus menghantui: ia tidak ingin pergi dari dunia ini tanpa meninggalkan jejak. Ia menelan ludah, lalu berbisik pelan, “Kamu mau jadi ayah anakku… atau hanya sekadar pria yang memberiku anak? Aku mau jadi ibu.” Darian membeku di tempat. Senyum sinis yang biasa menghiasi wajahnya memudar seketika, tergantikan kebingungan. Mata abu-abunya yang tajam menatap Amara intens, seolah hendak menembus pikirannya. Ia berdiri di dekat jendela; bayangan malam membingkai sosok tinggi tegapnya. Kemeja putih yang digulung sampai siku memperlihatkan otot lengannya yang kekar. Aura dominan yang biasa ia pancarkan terasa berlipat ganda, memenuhi ruangan sempit itu. “Maksudnya?” suaranya rendah, menusuk. Amara memberanikan diri menatap balik. “Aku mau jadi ibu,” ulangnya le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status