LOGINRuangan mendadak terasa lebih sunyi setelah kata “sewa rahim” terucap. Bunyi pendingin ruangan yang semula samar kini terdengar jelas. Amara duduk kaku di kursinya, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Darian tetap berdiri di dekat jendela, punggungnya lurus, tatapannya tak terbaca.
Dokter Anton berdehem pelan, berusaha mencairkan ketegangan. “Baik, kita tidak akan langsung mengambil langkah itu,” ujarnya hati-hati. “Hari ini kita mulai dari pemeriksaan awal. Tes darah lengkap, hormon, USG transvaginal. Setelah hasilnya keluar, kita akan jadwalkan stimulasi ovarium untuk pengambilan sel telur. Biasanya memakan waktu dua minggu sebelum prosedur IVF pertama dilakukan.” Amara mengangguk kecil, masih berusaha mencerna. “Dua minggu…” ia mengulang pelan. “Kami akan memberikan resep obat hormon untuk menyiapkan tubuh Anda,” lanjut Dr. Anton. “Ada vitamin, ada injeksi harian, juga beberapa pembatasan pola makan. Semua agar proses IVF nanti memiliki peluang lebih tinggi.” Tatapan Darian beralih pada dokter, dingin. “Lakukan apa pun yang perlu. Aku tidak mau buang-buang waktu,” suaranya datar, seperti memberi perintah pada bawahannya. “Baik, Pak,” jawab Dr. Anton. “Tapi kesuksesan tetap bergantung pada kepatuhan Nona Amara.” Darian hanya mendengus. “Kirim jadwal pemeriksaan lanjutan lewat asistenku. Aku ada janji dengan klien, itu lebih penting.” Ia berbalik, melangkah menuju pintu. Asistennya, Marco yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan menunduk hormat kepada dokter. “Permisi, kami pamit dulu,” katanya singkat, lalu mengikuti Darian keluar. Pintu menutup, menyisakan Amara dan Dr. Anton di ruangan yang kini terasa lapang namun berat. Amara menarik napas panjang. “Nona Amara. Perawat akan mengantar Anda ke laboratorium. Setelah selesai, kembali ke saya untuk menerima resep.” “Baik…” katanya pelan. Amara mengikuti perawat, menjalani semua tes. Jarum suntik, alat USG dingin, cahaya lampu yang menyilaukan, semuanya terasa seperti prosedur mekanis. Sekitar satu jam, ia kembali ke ruang konsultasi. Dr. Anton menyerahkan lembaran kertas. “Ini resepnya. Obat ini diminum sesuai jadwal. Tidak boleh telat. Hindari kopi lebih dari satu cangkir sehari, jangan alkohol, rokok, atau junk food. Banyak air putih, istirahat cukup. Itu semua penting agar peluangnya besar.” Amara menerima resep itu, menatapnya lama. “Baik, Dokter. Saya akan patuhi.” “Kalau ada efek samping, hubungi kami. Ini nomor saya.” Ia menyelipkan kartu nama. Amara berdiri, menunduk sopan. “Terima kasih, Dokter.” Keluar dari ruang konsultasi, ia langsung menuju apotek. Plastik obat yang diterimanya terasa berat di tangan. Ia menunggu taksi di depan lobi rumah sakit, wajahnya setenang topeng. Perutnya perih. Saat taksi datang, ia meminta sopir berhenti di toko roti kecil di dekat kantor. Membeli beberapa roti isi, lalu kembali masuk taksi. Di kantor, tatapan orang-orang sudah jadi makanan sehari-hari. Bisikan kecil terdengar, tapi ia tidak peduli. Di mejanya, Lina sedang mengetik cepat. Amara duduk, menyodorkan satu roti. “Ini buatmu.” Lina tersenyum kecil. “Kau baik banget. Makasih.” Mereka makan roti di sela kerja. Lina melirik saat Amara mengeluarkan botol air dan beberapa obat. “Kau minum obat banyak sekali. Itu obatmu dari kecelakaan itu ya?” Amara tersenyum tipis. “Ya, untuk kesembuhanku.” Ia menatap beberapa butir yang tersisa. Demi anak yang ia impikan, ia harus menelan semuanya. Mereka kembali tenggelam dalam pekerjaan. Hanya suara ketikan keyboard yang mengisi ruangan. Menjelang siang, Pak Andhika, kepala divisi riset dan analisis muncul di sisi meja. “Amara,” suaranya berat. Amara menoleh. “Ya, Pak?” “Aku serahkan analisis kelayakan proyek Kencana Raya padamu. Data mentah ada di folder bersama. Laporan komprehensifnya harus rapi, detail, tidak boleh ada angka meleset.” Amara mengangguk. “Baik, Pak. Saya kerjakan.” Pak Andhika menatapnya sejenak, lalu pergi. Amara menggulung lengan kemeja, menatap layar penuh grafik dan angka. Ia menghela napas, lalu mulai mengetik. Jam dinding di ruang divisi riset sudah menunjukkan pukul dua belas lebih lima belas. Aroma makanan dan kopi dari pantry samar-samar masuk ke ruangan. Suara kursi bergeser, beberapa karyawan mulai berdiri, bercakap ringan, lalu keluar menuju kantin. Lina menghampiri meja Amara sambil menutup laptopnya sendiri. “Amara,” panggilnya pelan. “Kita makan siang di kantin, yuk.” Amara masih menatap layar, jarinya menari di atas keyboard. Ia hanya menoleh sebentar, senyum tipis terbit di bibirnya. “Kau duluan saja, Lina. Aku masih harus selesaikan ini.” Lina menahan napas, lalu menghela panjang. “Amara… kau baru sembuh. Jangan memforsir dirimu. Pekerjaan bisa menunggu.” Suaranya ada nada khawatir. Amara berhenti mengetik sesaat, lalu menutup map kecil di sampingnya. “Aku tahu. Tenang saja, Lina. Aku masih punya beberapa roti.” Ia menunjukkan plastik kecil berisi roti isi yang dibelinya tadi pagi. Lina melirik plastik itu, wajahnya melunak. “Ya sudah, jangan lupa makan. Kalau pusing langsung berhenti.” Amara mengangguk sekali. “Baik. Terima kasih sudah mengingatkan.” “Baiklah, aku duluan ya,” kata Lina, lalu melangkah pergi bersama karyawan lain. Suara mereka makin menjauh hingga yang tersisa hanya bunyi pendingin ruangan. Ruangan terasa sepi. Hanya ada Amara di sudutnya, suara ketikan keyboard menjadi ritme yang menenangkan. Perutnya mulai berontak. Ia berhenti sejenak, membuka plastik roti, menggigitnya perlahan sambil tetap menatap layar. Tiga puluh menit kemudian, suara sepatu kulit terdengar dari arah koridor. Darian berjalan diiringi asistennya, Marco, melewati deretan meja menuju lift pribadi yang akan membawanya ke lantai atas. Langkahnya tegap, wajahnya datar. Tatapannya sekilas tertuju pada Amara. Perempuan itu masih menunduk pada layar, jari-jarinya mengetik cepat sementara sepotong roti tergigit di bibirnya. Ia bahkan tidak sadar sedang diperhatikan. Pandangan Darian dingin, tajam, hanya sepersekian detik sebelum ia kembali menatap lurus dan melangkah naik. Asistennya menoleh kecil, seolah ingin bicara, tapi Darian tak memberikan isyarat apa pun. Mereka berdua menghilang di balik pintu lift, meninggalkan aroma parfum mahal yang samar. Di meja kerjanya, Amara merenggangkan bahu. Laporan yang dikerjakan akhirnya rampung. Ia mengunyah sisa roti sampai habis, meneguk air mineral, lalu menghela napas lega. Baru saja ia hendak merapikan file, ponselnya bergetar. Layar menyala. Nama pengirimnya terpampang jelas: Bos Galak. > Ke ruanganku. Sekarang. Amara menatap layar itu beberapa detik. Ujung bibirnya menegang. "Kenapa lagi dia memanggilku…" batinnya. Pesan dari bosnya selalu seperti bom yang siap meledak kapan saja. Ia menutup ponsel, menarik napas panjang, lalu bersiap menuju lantai atas, tempat Darian menunggunya.Evan menaiki tangga spiral dengan langkah yang ringan dan penuh perhitungan. Senyum tipis, yang lebih menyerupai seringai, terukir di bibirnya. Tujuan utamanya bukan berkas kerja yang ia jadikan alasan kepada Bi Ana di bawah. Tujuannya adalah misteri 'Nona' yang membuat Darian, si patung es Arcus, kehilangan ketenangan. Evan sampai di Lantai Dua. Ia menelisik sekeliling, merasakan keheningan yang berbeda dari biasanya. 'Kakak pasti menyembunyikan seseorang. Lantai Dua ini terasa terlalu... terawat untuk hanya dihuni Bi Ana.' Fokusnya mengarah ke kamar tamu yang pernah ditidurinya beberapa kali saat berkunjung ke penthouse ini. Ia mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu terkunci dengan kuat dari dalam. "Kenapa kamar ini dikunci?" gumam Evan pelan, dahinya berkerut karena penasaran. Ia mencoba gagang pintu itu lagi, memutarnya keras, tetapi kuncinya tidak bergeser sedikit pun. "Seorang pelayan tidak mungkin mengunci kamar tamu di siang hari kalau tidak ada yang disembunyikan. Ini
Darian memastikan pintu utama penthouse terkunci rapat, mengunci kembali setiap mekanisme keamanan canggih. Ia menghela napas panjang, bukan karena lega, melainkan karena kelelahan emosional. Kepalanya terasa pening setelah drama adu argumen dengan Evan. Ia segera menaiki tangga spiral, langkahnya lebih berat dari biasanya. 'Kenapa Evan harus datang sekarang? Dan kenapa dia sepenasaran itu pada Amara?' Darian menggerutu dalam hati. Ia sadar, ketertarikan Evan pada wanita yang ia sembunyikan, sekecil apa pun itu, adalah racun mematikan bagi kerahasiaan kontrak ini. Darian kemudian berjalan menuju kamar Amara, mengetuknya pelan, memanggil dengan suara yang sengaja dilembutkan. "Amara, buka pintunya. Ini aku," panggil Darian, suaranya sedikit serak dan rendah, sisa dari ketegangan yang baru saja ia alami. Amara segera berjalan mendekat, kunci diputar perlahan. Ia membuka pintu setengah, wajahnya yang cantik terlihat cemas. Darian berdiri di sana, auranya yang dingin tampak sedik
Darian baru saja keluar dari kamar Amara, hatinya masih menyimpan gejolak dari sentuhan singkat saat ia memasangkan liontin. Ia berjalan menuju ruang kerjanya yang berada di ujung lorong Lantai Dua. Tiba-tiba, suara bel pintu yang nyaring di Lantai Satu terdengar memecah keheningan penthouse. Darian, yang bersiap masuk ke ruang kerja, mengerutkan kening. Siapa yang berani mengganggu di hari Minggu malam? Tak lama, suara langkah kaki Bi Ana yang tergesa menaiki tangga spiral terdengar. Bi Ana langsung menuju kantor Darian dan mengetuk pintu yang sedikit terbuka. "Tuan Darian! Tuan Evan datang berkunjung!" lapor Bi Ana. Darian terkejut, ekspresinya langsung mengeras. Ia tahu ini adalah ancaman besar. "Evan?" gumamnya, suaranya mengandung bahaya. Ia mengangguk cepat, tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Aku akan menemuinya, Bi," kata Darian, suaranya rendah dan tajam. Ia memberi peringatan kepada Bi Ana di dalam kantornya. "Ingat, Bi. Jangan bilang soal Amara. Aku tida
Darian tiba di penthouse megah di Solterra sebelum matahari terbit. Udara subuh kota itu terasa dingin, tetapi Darian segera mandi dan berganti pakaian, menyingkirkan aroma lelah perjalanan. Meskipun jetlagnya menusuk, ia tidak bisa menunggu lama. Kebutuhan untuk melihat Amara dan menepati janjinya lebih mendesak. Tepat pukul 08.00, setelah Amara menyelesaikan ritual suntikan paginya, Darian mengetuk pintu. "Masuk," jawab Amara, yang sedang sarapan di sofa kecil di kamarnya. Amara segera meletakkan sendoknya, terkejut melihat Darian. Pria itu berdiri di ambang pintu, tampak rapi dengan kemeja oxford berwarna charcoal dan celana kain yang santai. Namun, kelelahan akibat perjalanan lintas benua terlihat jelas di bawah matanya. "Pagi, Amara. Aku kembali," sapa Darian. Suaranya rendah dan serak, tetapi kelembutan yang ia tunjukkan belakangan ini tetap terasa. "Bagaimana tidurmu setelah panggilan tadi malam?"
Pagi hari, Amara terbangun setelah tidur yang gelisah. Rasa lelahnya berbeda, bukan lagi lelah fisik akibat obat, melainkan lelah mental yang menumpuk. Di kota metropolitan Solterra yang selalu bergerak cepat, Amara terperangkap dalam keheningan penthouse mewah itu. Hari keenam Two Week Wait (TWW) adalah titik kritis. Secara teori, ini adalah masa puncak implantasi janin. Dan secara emosional, ini adalah masa puncak kecemasan. Amara merasakan mual yang lebih kuat hari ini. Sensasi itu datang seperti gelombang, membuatnya harus segera duduk tegak di tempat tidur. 'Mual ini...' Amara memejamkan mata. 'Apakah ini mual kehamilan? Atau hanya efek Progesteron yang mencekik tubuhku?' Ia tahu ia tidak boleh mencari gejala. Ia tahu obsesi ini hanya akan menyakitinya. Namun, otak biologisnya terus menerus mencatat setiap sensasi. "Aku tidak boleh berharap. Jika aku terlalu berharap, dan ternyata aku gagal... Pak Darian akan kecewa. Dia sudah berkorban begitu banyak, mengatur segalany
Pagi hari tiba, menandai hari kelima dalam masa Two Week Wait yang terasa tak berujung. Amara terbangun bukan karena alarm, melainkan karena rasa nyeri yang menjalar di punggung bawah. 'Punggungku sakit sekali. apakah ini kram lagi?' Amara segera meraih ponsel, siap memanggil Suster Dewi, tetapi rasa sakit itu mereda secepat kedatangannya. Ia menarik napas lega. 'Hanya ilusi. Hanya otot yang tegang karena terlalu banyak istirahat,' Amara mencoba menenangkan pikirannya. Progesteron memang sering menyebabkan nyeri punggung, tetapi rasa cemas selalu menyertai setiap sensasi baru. Pukul 08.00, Suster Dewi datang dengan senyum cerah. "Pagi, Bu Amara. Bagaimana hari ini? Ada keluhan baru?" tanya Suster Dewi sambil menyiapkan ampul PIO. "Punggung bawah saya terasa sakit sebentar tadi, Suster. Apakah itu normal?" tanya Amara, nada suaranya sedikit ragu. Suster Dewi memeriksa denyut nadinya dengan teliti. "Sangat normal, Bu. Progesteron membuat ligamen dan otot di sekitar pa







