Kedua pria itu seketika terdiam. Atmosfer langsung berubah kaku. Vincent, yang biasanya selalu dominan dalam setiap situasi, kali ini hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Cahyo bahkan terlihat lebih pucat dari biasanya.
Ayah Naila, cukup untuk membuat keduanya mematung. Siapa yang bisa melawan keberadaan seorang ayah? Kedua pria itu belum siap bathin untuk hubungan lebih lanjut, jadi apa yang mau dikatakan?
Siapa yang tidak tahu bahwa Ayah Naila adalah seorang tentara yang cukup berkuasa di lingkungan militer?
Vincent masih mau melindungi kepalanya dan Cahyo harus selalu berhati-hati dalam menjalani tugasnya.
Kedua pria itu hanya bisa menelan ludah pahit, sambil mengikuti langkah kaki Naila menuju ke luar dari butik tersebut dengan elegan.
Dan saat deru mobil hitam besar maybach berhenti di depan butik, kaca jendela turun, memperlihatkan wajah serius pria paruh baya dengan tatapan tajam… baik Vincent maupun Cahyo hanya bisa berdiri kaku,
Jannah menunduk, air matanya jatuh tanpa henti. “Jangan salahkan dirimu, Naila… ini semua bukan salahmu. Aku masih hidup, itu sudah cukup. Aku… sudah belajar menerima, meskipun sakit. Kamu juga baik-baik saja dan kita masih bertemu, itu adalah lebih dari cukup.”Naila segera memeluk sahabatnya lagi, "aku sungguh merindukanmu, Jannah.""Aku juga..."Isak tangis haru mewarnai ruangan itu dan dua laki-laki pendamping mereka hanya menyaksikannya dengan rasa haru bercampur gembira.Afgan, yang berdiri di dekat ranjang, menatap mereka dengan tatapan tenang. Ada ketulusan di sorot matanya saat melihat Jannah berusaha menguatkan diri di hadapan Naila. Dan entah bagaimana, keberadaan pria itu membuat Jannah merasa sedikit lebih baik. Ia merasa tidak sendirian.Naila menggenggam tangan Jannah erat. “Kamu tidak akan sendirian lagi, Jannah. Aku di sini, dan aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Kita tetap akan bersama-sama.”
Di lorong gelap, Deon menahan diri dengan kedua tangannya menekan dinding. Dia mendengar dengan jelas kalimat yang dikatakan Alfie, namun dia tidak bisa melakukan apapun untuk memperbaiki hubungan antara ibu dan anak tersebut.Selama ini, Jannah memang selalu sakit-sakitan dan Deon merasa, bukan kesalahan Alfie bila memilih Bella yang selalu berada di sisinya.Bayangan mimpi buruknya kembali terlintas, bercampur dengan kenyataan pahit yang baru saja ia lihat. Ia merasa, sedikit demi sedikit, dirinya mulai terpinggirkan dari “keluarga” yang seharusnya ia lindungi.Deon menghubungi Cahyo dan Cahyo menerangkan bahwa yang memberikan akses masuk adalah Kakek Robert.Tidak ada yang bisa melakukan apa pun, termasuk Deon.***Keesokan harinya, hari masih pagi dan matahari baru saja menampakkan sinarnya. Di kamar yang sunyi, Naila perlahan membuka mata. Pandangannya sempat kabur, tubuhnya masih terasa lemah, namun setidaknya kesadaran tel
Bella mengeluh tubuhnya sangat sakit, wajahnya dibuat semanis mungkin, seolah sedang menahan rasa tidak nyaman.“Deon…” suaranya melengking manja, “…tolong pijitin aku ya, badanku benar-benar pegal. Kamu kan paling tahu bagian mana yang harus ditekan.”Deon yang duduk di samping sofa hanya menoleh sekilas. Tangannya masih mengusap kepala Alfie yang bersandar di pangkuannya. Anak itu tampak tenang, tak bersuara, hanya memeluk pinggang ayahnya erat-erat, seakan mencari perlindungan tanpa berkata apa-apa.Melihat diamnya laki-laki itu, Bella cemberut dan masih berusaha, "Deon, tanganku dibungkus perban dan kaki juga patah, aku tidak mungkin menyuruh tukang kusuk untuk memijit tubuhku yang terasa remuk ini."Deon mengembuskan napasnya lalu melangkah dengan malas menuju ke ranjang. Memijit bahu Bella perlahan.Di sudut ruangan, Kakek Robert duduk di sofa panjang, sejak tadi menyaksikan semuanya dan han
Dokter Afgan masuk dengan stelan jas rapi. Wibawanya langsung menguasai ruangan, langkahnya mantap seolah setiap lantai yang ia injak tunduk pada kehadirannya. Matanya menatap lurus ke arah Jannah atau lebih tepatnya, ke perut Jannah.“Anakku,” ulangnya lagi dengan nada penuh kepastian. “Kau tidak akan menyangkalnya, Jannah.”Deon berdiri dari kursinya, wajahnya memucat bercampur amarah. “Apa maksudmu?” suaranya berat, hampir seperti geraman. "Bagaimana kau bisa masuk?"Dokter Afgan tersenyum tipis, meski sorot matanya tajam. “Maksudku jelas. Anak itu… darah dagingku.”Jannah tercekat, tubuhnya bergetar hebat. Ia tak pernah bisa kembali bertemu dengan Afgan dengan cara seperti ini.“Diam!” Deon melangkah maju, berdiri tepat di hadapan Dokter Afgan. “Jangan main-main di depanku. Anak itu Jannah kandung dari rahimnya sebagai istriku. Kau tidak berhak mengaku seenaknya!”
Jannah menunduk, wajahnya kaku. Ia mencoba menarik napas panjang, tapi dadanya terasa sesak. Seolah-olah dinding kamar menyempit, menekan tubuhnya tanpa ampun.“Baiklah, sudah selesai. Infusnya sudah lancar. Tensi Nyonya juga bagus. Detak janin juga normal. Perban di wajah sudah diganti. Nyonya istirahat saja, jangan banyak pikiran.” Perawat itu menepuk pelan punggung tangan Jannah sebelum keluar, meninggalkan kamar sementara satu perawat lainnya masih membersihkan sisa perban yang dibuka tadi."Jangan terlalu dipikirkan apa kata orang. Mereka tidak mengalami apa yang Nyonya alami saat ini. Saya bisa mengerti, semua itu tidak mudah. Nyonya pasti sudah pergi bila tidak memikirkan situasi tanpa pendapatan tetap. Bagaimana wanita bisa bertahan hidup, bukan? Oh ya, sarapan akan diantar sebentar lagi, permisi," ucap perawat yang terakhir pergi seraya memberikan senyum dengan ramah dan menepuk kecil bahu Jannah seolah-olah sedang memberi kekuatan.Begitu p
Deon menarik napas panjang, dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Ada sesuatu yang ingin ia jawab, tapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa mengusap tangan Bella lebih erat, seolah jawaban itu tersimpan dalam genggamannya.Keheningan di ruang rawat itu begitu menekan. Deon tetap diam, matanya menatap Bella tanpa sepatah kata pun. Hanya genggamannya yang terasa hangat, tapi tak ada jawaban atas pengakuan cinta yang keluar dari bibir Bella.Air mata Bella mengalir semakin deras. Rasa sakit di tubuhnya seakan tak sebanding dengan perih di hatinya karena keheningan Deon. Dengan tenaga yang tersisa, ia mencoba mendorong selimut dan menggerakkan tubuhnya turun dari ranjang.“Aku tahu… aku tahu kau tidak menginginkanku… tapi aku tidak peduli! Aku lebih baik mati daripada tidak ada di sisimu!” suaranya parau, penuh kepanikan."Kumohon, jangan lagi kau selamatkan diriku!"Deon segera berdiri dan menahan tubuh Bella yang gemetar. “B