‘Wanita lemah dan penyakitan sepertimu tidak pantas menjadi nyonya keluarga Mahendra!’
Kalimat menyakitkan itu masih tertancap di benaknya.
Beberapa detik yang lalu, dunia seakan terhenti. Kalimat tersebut muncul melalui pesan anonim—disertai foto suaminya yang tengah menggenggam tangan anak mereka di gerbang sekolah.
“Jannah… kamu mau aku antar menyusul mereka?”
Suara Naila belum membuat Jannah sadar dari lamunannya.
Matanya masih menatap ke arah langit-langit ruangan tempatnya dirawat. Tangan kirinya masih menempel bekas plester infus, dan pipinya pucat tanpa riasan.
Harusnya, mereka bertiga merayakan peringatan Hari Ibu, bersama-sama di sekolah. Menonton bagaimana anak-anak mengirim bunga dan ucapan terima kasih pada masing-masing ibu mereka.
Namun, suaminya itu justru hadir di sekolah tanpa menjemputnya, seakan-akan menunjukkan jika sosoknya tak dibutuhkan.
“Jannah…”
“Sudah berapa hari aku di sini, Naila?”
Suara Jannah yang parau membuat Naila membeku sesaat, “D–dua hari…”.
Tubuh Jannah telah digerogoti lelah dan obat yang tak kunjung habis, hingga kepalanya terasa hampa.
Sudah terlalu sering Jannah menjadi pasien di rumah sakit ini. Opname bukan kabar yang luar biasa lagi baginya. Bahkan suami Jannah sudah menganggap itu seperti rutinitas yang wajar untuknya sehingga tidak mengunjungi sama sekali.
Deon Mahendra adalah seorang pemilik perusahaan yang sukses menguasai hampir seluruh bisnis di kota Alzeera dan pria itu adalah suami yang menikah dengannya tujuh tahun yang lalu.
Menjadi Presiden Direktur sekaligus pemegang saham, membuat seorang Deon Mahendra sangat sibuk setiap hari.
Pria itu bahkan tidak lepas dari laptopnya setiap malam, sehingga dari hari ke hari, komunikasi di antara mereka menjadi lebih sedikit.
Jannah malah yakin, pria itu pasti lupa kapan terakhir mereka makan di luar bersama dalam satu keluarga utuh.
“Aku hanya ingin melihat Alfie,” bisik Jannah. Matanya menatap Naila seperti mencari jawaban yang ia tahu tak akan ia dapatkan.
Naila adalah sahabatnya yang bersuara paling keras saat menentang pernikahan mereka tujuh tahun yang lalu.
“Kalau aku muncul di sekolah… kira-kira anakku akan malu nggak ya, Nai?”
Tatapan Naila melembut. Ia menyentuh punggung tangan Jannah, mengelusnya perlahan.
“Kamu ini Ibunya. Meski dia sedikit ketus, dia tetap darah dagingmu. Setidaknya, tunjukkan ke dia bahwa Ibunya tidak melupakan Hari Ibu.”
Jannah tak bereaksi. Ia hanya mengelus wajahnya yang tirus dan pucat. Entah berapa lama, sejak dirinya sudah kehilangan kecantikan dan berat badan.
Naila menarik napas panjang, menahan emosi yang menggelitik dada. Ia tahu betapa kerasnya perjuangan sahabatnya ini.
Sejak menikah karena perjodohan yang tak pernah ia minta, hingga menderita penyakit saat dikaruniai anak, secara perlahan malah semakin memperburuk kondisi kesehatannya dari hari ke hari.
"Aku akan mengantarmu ke sana, sekalian pulang. Bagaimana?" kata Naila sambil berdiri.
Sejenak, Jannah terdiam. Lalu ia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk pelan. "Baiklah."
Naila membantu membereskan barang-barang Jannah, lalu memanggil perawat untuk mengurus administrasi.
"Jaga kesehatan Nyonya, jangan kembali lagi dalam waktu singkat," gurau sang perawat saat mengantar kedua orang itu.
Jannah tersenyum tipis. "Mudah-mudahan."
Di luar, hujan tipis mulai turun, seolah langit tahu isi hati Jannah yang berat. Pagi itu terasa sejuk dan Naila menambahkan syal untuk leher Jannah. "Jangan masuk angin lagi, kamu tahu betapa lemahnya dirimu."
Saat mobil Naila melaju keluar dari pelataran rumah sakit, Jannah duduk diam di kursi penumpang, memandangi butiran kecil air hujan di kaca jendela. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel.
"Aku nggak tahu harus bilang apa nanti ke Alfie," ucapnya lirih.
"Bilang aja, 'Ibu datang karena Ibu sayang kamu,’” jawab Naila sambil terus menyetir. "Dan tolong jangan pingsan. Aku nggak kuat ngangkat kamu lagi," guyonnya seraya tertawa kecil.
Jannah ikut tertawa kecil, lalu mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca.
Mobil melaju menembus gerimis, menuju sekolah tempat di mana Alfie.
Saat sampai di sekolah, langit di atas sekolah dasar itu tetap abu-abu, seolah ikut memantulkan warna hati Jannah yang sedang porak-poranda.
Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena baru saja keluar dari opname, tapi karena apa yang ia lihat sekarang… menyayat lebih dalam dari luka fisik mana pun.
Ia menarik napas pendek, tergesa membuka resleting tas, lalu mengeluarkan botol kecil berisi pil. Tangan kirinya gemetar saat mencoba memutar tutup botol itu. Dua pil jatuh ke telapaknya yang dingin.
Tanpa pikir panjang, ia telan begitu saja, berharap rasa sakit di dadanya berkurang, walau yang paling menyakitkan justru bukan berasal dari tubuhnya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Naila mulai panik.
Jannah menggeleng pelan. Ia mencoba menyandarkan tubuh ke tembok, menopang dengan tangan yang masih bergetar.
Kakinya lemas. Lututnya seperti mau runtuh. Dan saat itu, pandangannya tertuju pada kerumunan kecil di depan kelas 1B.
Alfie Mahendra.
Putranya. Bocah mungil nan tampan, berusia enam tahun, yang ia kandung sembilan bulan, lahir dengan tangis pertama yang disambut air mata haru... kini berdiri di sana, tertawa. Terlihat sangat gembira.
Tapi bukan itu yang pertama menyayatnya. Bukan senyum ceria Alfie. Bukan tawa polosnya. Bukan pula keberadaan suaminya yang datang tanpa dirinya.
Melainkan keberadaan seorang wanita yang sudah menggantikan tempat di mana seharusnya dia berdiri.
Deon sudah kembali ke kamar dan berdiri tepat di tengah pintu kamar utama."Uhm, hanya coretan bekas PR si Alfie, bukan hal penting."Deon mengernyitkan dahi, menatap wajah Bella yang sekilas diliputi kegugupan."Apakah saya boleh melihatnya?"Bella menggigit bibirnya, hatinya berdegup kencang lalu menunduk. “Deon, kok saya tiba-tiba merasa pusing.” Tangannya naik ke kening, tubuhnya mulai oleng. Dan sebelum sempat benar-benar jatuh, Deon sudah menangkap tubuhnya.“Eh, kamu kenapa?” tanyanya dengan nada khawatir, sementara Bella berpura-pura kehilangan tenaga, bersandar di pelukannya."Deon..."Mau tak mau, Deon
Ia menoleh lebih jelas. Tapi tak ada siapa-siapa sekarang. Mungkin hanya bayangan. Atau... benar-benar dia?“Tunggu sebentar…” gumam Deon seraya melepas genggaman tangannya dari Bella lalu berdiri. Kakinya hendak melangkah meninggalkan ruangan, tapi—“Akh!” Tiba-tiba Bella meringis pelan sambil memegangi perbannya.Deon langsung berhenti. “Ada apa? Sakit lagi?” tanyanya cepat.Bella mengangguk kecil, suaranya gemetar. “Maaf, tadi perbannya tersenggol. Rasanya perih sekali…”Deon langsung duduk kembali dan memegang tangan Bella.Bella menunduk, tapi dari semua itu, matanya melirik ke arah lorong tempat tadi D
“Eh, Ya, saya…” Jannah merasa canggung.“Dari data yang saya lihat, nyeri sendi yang Anda alami sudah memasuki tahap kronis. Kita evaluasi dulu, ya. Apa Anda datang sendiri hari ini?” tanyanya sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya, berupa berkas elektronik.“Eh, iya, Dokter,” sahut Jannah pelan tapi canggung. “Dan saya lihat…” Ia berhenti sejenak, menatap koper kecil di sebelah kaki Jannah. “Anda membawa koper?”"Maaf, apakah Anda berencana melakukan perjalanan?"Jannah menunduk. Tangannya meremas jemari sendiri di pangkuan. Dia belum memutuskan akan ke mana. Satu-satunya tempat yang bisa dia pergi adalah rumah Naila, sahabatnya."Uhm, sekali lagi maaf. Saya bukan ingin mencampuri urusan pribadi Anda, tapi untuk kondisi Anda saat ini, sangat tidak disarankan untuk melakukan perjalanan..."“Oh, bukan. Maksudku… Saya sedang... ingin sendiri. Rasanya... saya perlu menenangkan diri. Saya ingin menyembuhkan, bukan hanya badan, tapi juga yang lain-lain," sela Jannah buru-buru.Ada jeda
“Jannah! Tolong ambilkan salep oles dari lemari obat di kamar!” teriak Deon.Itu suara yang tak pernah ia dengar bahkan saat Jannah pingsan karena nyeri tiba-tiba yang sering menyiksa sendinya. Seolah-olah Deon benar-benar sudah lupa, siapa yang adalah istrinya.Suara yang tak pernah digunakan untuknya, tapi kini diteriakkan demi luka kecil di tangan seorang asisten?Tangis yang ditahannya pecah juga. Ia memutar tubuh tanpa kata, lalu berjalan cepat menuju kamar. Tapi langkahnya goyah, seperti tubuhnya kehilangan tenaga.Nafasnya tercekat dan rasa sesak memenuhi dadanya. Ia tidak mengambil obat. Ia tidak menjawab. Ia bahkan tidak membanting pintu kamar. Ia hanya diam, dan membiarkan dirinya lenyap dalam sepi.Deon melihat kepergian Jannah namun tidak mempedulikan hal itu, dia berpikir Jannah menuruti perintahnya dan pergi mengambil obat.Bella menahan napas, mengerjap pelan sambil berpura-pura menahan air mata, namun ada senyum kecil di sudut bibirnya.“Saya... tidak sengaja, Tuan Deo
“Ibu Bella, kalau kita menang lomba kemarin, hadiahnya bisa buat beli cemilan, ya?”“Kalau kamu baik dan rajin belajar, Mommy-mu pasti beliin, kan?”Diliputi rasa nyeri yang belum hilang sejak semalam, ia mendengar suara riang Alfie dari arah dapur tengah bercengkrama dengan sosok yang tak lain adalah Bella.Jannah berdiri di ambang pintu dapur, menatap dalam diam. Bella tengah memotong apel dengan tenang, sesekali dia mengaduk sup yang sedang dimasak di atas kompor yang menyala. Senyum ramahnya tidak berubah.Wanita itu selalu hadir pagi-pagi sekali. Awalnya Jannah menganggapnya sebagai pegawai yang baik. Namun, hari ini Jannah mulai memperhatikan lebih mendetail.“Mommy nggak pernah suka cemilan. Mommy suka diam aja di kamar. Dia selalu tidur. Nggak kayak Ibu Bella,” ucap Alfie dengan memamerkan wajah cemberutnya ke arah Bella.Jantung Jannah serasa disayat. Ia menelan ludah, menahan emosi yang bergemuruh.“Alfie,” panggilnya pelan.Anak itu menoleh. “Oh, Mommy sudah bangun!” seruny
“Bella O’Brien!” geram Jannah dengan suara bergetar. Dia adalah asisten Deon. Wanita dengan kecantikan sempurna dan sudah bekerja selama dua tahun terakhir.Ketiga orang itu memakai celemek yang memiliki gambar dan pola sama dalam ukuran tubuh berbeda. Gambar karakter dengan wortel besar.“Bagaimana bisa... Bella?” gumamnya lirih. Kata itu nyaris tak terdengar, bahkan oleh dirinya sendiri.Mata Naila ikut menatap ke arah kerumunan kecil di taman, rahangnya mengencang."Jannah..."“Maaf,” gumam Jannah dengan suara bergetar. “Kita pergi, Nai…”Naila segera memeluknya. Erat. “Kenapa pergi, Jannah? Kamu tidak mau bertemu dengan anakmu?”Jannah membalas pelukan itu dengan tubuh yang akhirnya goyah. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan lagi, jatuh di pundak Naila yang tubuhnya lebih tinggi sedikit darinya.“Tak apa, melihat anakku tersenyum seperti itu sudah cukup bagiku,” katanya dengan suara nyaris pecah.Naila menatapnya tajam. “Anakmu hanya bingung, Jan. Dia terlalu kecil untuk menge