Share

Bab 2

Author: Runayanti
last update Huling Na-update: 2025-07-08 17:25:33

“Bella O’Brien!” geram Jannah dengan suara bergetar. Dia adalah asisten Deon. Wanita dengan kecantikan sempurna dan sudah bekerja selama dua tahun terakhir.

Ketiga orang itu memakai celemek yang memiliki gambar dan pola sama dalam ukuran tubuh berbeda. Gambar karakter dengan wortel besar.

“Bagaimana bisa... Bella?” gumamnya lirih. Kata itu nyaris tak terdengar, bahkan oleh dirinya sendiri.

Mata Naila ikut menatap ke arah kerumunan kecil di taman, rahangnya mengencang.

"Jannah..."

“Maaf,” gumam Jannah dengan suara bergetar. “Kita pergi, Nai…”

Naila segera memeluknya. Erat. “Kenapa pergi, Jannah? Kamu tidak mau bertemu dengan anakmu?”

Jannah membalas pelukan itu dengan tubuh yang akhirnya goyah. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan lagi, jatuh di pundak Naila yang tubuhnya lebih tinggi sedikit darinya.

“Tak apa, melihat anakku tersenyum seperti itu sudah cukup bagiku,” katanya dengan suara nyaris pecah.

Naila menatapnya tajam. “Anakmu hanya bingung, Jan. Dia terlalu kecil untuk mengerti. Tapi kamu... kamu tetap Ibunya. Dan kamu harus kembali berdiri, bukan lari.”

Jannah menutup wajahnya. Tapi suara tawa Alfie yang masih terdengar dari kejauhan menghantam dadanya lagi.

"Ki-kita... pergi saja." Dengan mata yang masih memerah, Jannah hendak melangkah pergi, diikuti Naila yang masih melayangkan tatapan penuh kebencian ke arah ketiga orang itu.

Tapi tiba-tiba, langit yang sejak tadi mendung akhirnya pecah juga. Petir menggelegar dan rintik hujan pertama jatuh pelan, lalu dalam hitungan detik berubah menjadi deras.

Jannah menghentikan langkahnya, mematung.

Panitia bubar secepat kilat, para orang tua dan anak-anak berlarian ke arah bangunan sekolah untuk berteduh.

Namun Jannah dan Naila tidak bergerak lebih lanjut. Tubuhnya yang lemah tidak boleh terkena hujan karena rentan mengalami radang.

Dan di situlah semuanya pecah, saat ketiga orang yang paling ingin ia hindari malah berlari ke arah yang sama. Menuju ke lokasi di mana dia dan Naila sedang berdiri dan mematung.

"Deon... sini, cepat!" suara Bella menggema di tengah hujan, tangannya menggandeng Alfie erat, sementara Deon menyusul dari belakang sambil membawa tas dan beberapa peralatan milik Alfie.

Mereka bertiga berhenti hanya beberapa langkah dari tempat Jannah berdiri. Berhadapan.

Waktu seakan membeku.

Mata Deon membelalak saat menatap wajah Jannah yang berdiri diam, pakaian ketiga orang itu sedikit basah, ekspresi Deon tak terbaca.

Bella ikut terdiam, namun dengan cepat menunduk, lalu jongkok untuk membuka kaos Alfie yang basah dan mengganti baju bocah itu dengan kaos kering dari dalam tas, seolah-olah dia adalah seorang ibu yang penuh perhatian.

Tidak ada yang berkata apa-apa. Bahkan Alfie yang melihat kehadiran ibu kandungnya juga tidak menyapa.

Deon tidak bertanya kenapa Jannah ada di sana. Tidak juga mencoba menjelaskan mengapa ia hadir di acara itu bersama Bella seolah mereka adalah pasangan resmi. 

Ia hanya mengalihkan pandangan, lalu membuka payungnya kemudian mengarahkan Alfie masuk ke gedung sekolah bersama Bella.

Sama sekali tidak ada perkataan apa pun.

Dan Jannah?

Ia tetap berdiri di sana, membeku. Dingin. Lelah. Dan hampa, juga bingung.

"Hei, dia pikir kita ini patung?" geram Naila, tetapi Jannah menahan tangannya agar sahabatnya itu tidak bertindak gegabah.

“Kita… pulang saja,” ucap Jannah, tangannya terkepal kencang.

***

Malam itu rumah terasa lebih senyap dari biasanya. Deon pulang seperti biasa, membuka dasi, mengganti baju, dan makan malam tanpa banyak bicara. Demikian juga Alfie.

Jannah menyaksikannya dari ujung meja, berharap ada sepatah dua patah kata, apa pun itu. Mereka seperti orang asing yang berada di satu meja yang sama.

Namun tak ada percakapan.

Tak ada pertanyaan “Kamu tadi lihat aku ya?”

Tak ada permintaan maaf.

Tak ada rasa bersalah.

Deon hanya duduk di sofa setelah makan, membuka laptop, dan menyibukkan diri seperti tak pernah terjadi apa-apa. 

Sementara Alfie kembali ke kamar, entah untuk melakukan apa karena waktu masih menunjukkan pukul delapan, terlalu dini untuk dikatakan sebagai waktu menjelang tidur.

Jannah ingin pergi melihat anaknya, tapi menahan diri. Dia melirik suaminya, sifat yang datar itu membuat dadanya seperti dihantam palu.

“Kamu senang hari ini?” akhirnya Jannah bertanya, suaranya dingin.

Deon tak menoleh. “Alfie senang.”

“Tadi, Alfie manggil Bella ‘ibu’.”

“Aku tahu.”

“Dan kamu diam saja?”

Deon menghela napas, menutup laptop. “Jangan buat ini rumit, Jannah. Itu cuma acara sekolah. Tidak ada hal yang terlalu penting untuk dibahas dan kamu harus tahu, aku lelah.”

Jannah menahan amarah yang naik ke tenggorokannya. “Cuma acara sekolah? Kamu berdiri di sana dengan Bella seolah kalian—”

“Kamu yang nggak bisa hadir selama beberapa tahun ini, Jannah.” Deon memotong tajam. “Apakah kamu yakin nggak akan pingsan selama acara?”

Jannah tercekat, ia memegang dadanya kuat-kuat, meresapi perkataan Deon yang seolah berkata, ‘kamu itu beban.’

"Lagipula, bukankah kamu masih opname di Rumah Sakit? Sejak kapan kamu keluar? Mengapa tidak mengabariku?"

Jannah membisu. Bukan karena tak ada jawaban. Tapi karena hatinya terlalu penuh untuk mengeluarkan satu kata pun.

"Tapi aku sudah menghubungimu dan..."

Deon mengeluarkan ponselnya, meliriknya sebentar lalu dengan ketus menjawab, "Daya ponselku habis rupanya…"

Deon berdiri. “Jaga kesehatanmu, Jannah. Kamu tidak boleh emosi. Kalau pingsan lagi, aku akan semakin repot. Kita tidak ingin masalah baru muncul lagi, bukan? Sudah, aku tidur dulu.”

Dan ia pun pergi. Tanpa memandang istrinya. Langsung menghentakkan tubuhnya dengan kasar di atas ranjang. Tanpa satu pun penjelasan. Tanpa menunggu sebuah sahutan.

Jannah menyusul langkah Deon ke kamar.

“Deon, aku..."

Kalimatnya terputus karena Deon terlihat menutup kepalanya dengan bantal dan tubuhnya menghadap ke sisi yang berlawanan dengannya. 

Pria itu tampak tidak peduli. Jannah mengepalkan kedua tangannya erat-erat. 

Sejak malam itu, Jannah mulai memperhatikan lebih saksama. Matanya tak lagi melewatkan hal-hal kecil yang dulu mungkin ia anggap sepele. 

Bella terlalu sering berada di antara mereka dan Alfie yang selalu merengek agar asisten suaminya itu yang membantunya mengerjakan PR.

Alfie bahkan sering ikut Deon ke kantor dan mereka hanya pulang kalau hari sudah malam.

Jannah awalnya tak curiga. Bella banyak membantu—mengantar dan menjemput Alfie, menyiapkan kebutuhannya, bahkan mengerjakan hal-hal yang tak mampu Jannah lakukan karena tubuhnya yang lemah sejak mengandung.

Namun, sejak pesan itu muncul, Jannah mulai memperhatikan secara seksama.

Dan pagi ini, langkah Jannah terhenti saat mendengar suara kecil dari putranya.

"Ibu Bella."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 7

    Deon sudah kembali ke kamar dan berdiri tepat di tengah pintu kamar utama."Uhm, hanya coretan bekas PR si Alfie, bukan hal penting."Deon mengernyitkan dahi, menatap wajah Bella yang sekilas diliputi kegugupan."Apakah saya boleh melihatnya?"Bella menggigit bibirnya, hatinya berdegup kencang lalu menunduk. “Deon, kok saya tiba-tiba merasa pusing.” Tangannya naik ke kening, tubuhnya mulai oleng. Dan sebelum sempat benar-benar jatuh, Deon sudah menangkap tubuhnya.“Eh, kamu kenapa?” tanyanya dengan nada khawatir, sementara Bella berpura-pura kehilangan tenaga, bersandar di pelukannya."Deon..."Mau tak mau, Deon

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 6

    Ia menoleh lebih jelas. Tapi tak ada siapa-siapa sekarang. Mungkin hanya bayangan. Atau... benar-benar dia?“Tunggu sebentar…” gumam Deon seraya melepas genggaman tangannya dari Bella lalu berdiri. Kakinya hendak melangkah meninggalkan ruangan, tapi—“Akh!” Tiba-tiba Bella meringis pelan sambil memegangi perbannya.Deon langsung berhenti. “Ada apa? Sakit lagi?” tanyanya cepat.Bella mengangguk kecil, suaranya gemetar. “Maaf, tadi perbannya tersenggol. Rasanya perih sekali…”Deon langsung duduk kembali dan memegang tangan Bella.Bella menunduk, tapi dari semua itu, matanya melirik ke arah lorong tempat tadi D

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 5

    “Eh, Ya, saya…” Jannah merasa canggung.“Dari data yang saya lihat, nyeri sendi yang Anda alami sudah memasuki tahap kronis. Kita evaluasi dulu, ya. Apa Anda datang sendiri hari ini?” tanyanya sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya, berupa berkas elektronik.“Eh, iya, Dokter,” sahut Jannah pelan tapi canggung. “Dan saya lihat…” Ia berhenti sejenak, menatap koper kecil di sebelah kaki Jannah. “Anda membawa koper?”"Maaf, apakah Anda berencana melakukan perjalanan?"Jannah menunduk. Tangannya meremas jemari sendiri di pangkuan. Dia belum memutuskan akan ke mana. Satu-satunya tempat yang bisa dia pergi adalah rumah Naila, sahabatnya."Uhm, sekali lagi maaf. Saya bukan ingin mencampuri urusan pribadi Anda, tapi untuk kondisi Anda saat ini, sangat tidak disarankan untuk melakukan perjalanan..."“Oh, bukan. Maksudku… Saya sedang... ingin sendiri. Rasanya... saya perlu menenangkan diri. Saya ingin menyembuhkan, bukan hanya badan, tapi juga yang lain-lain," sela Jannah buru-buru.Ada jeda

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 4

    “Jannah! Tolong ambilkan salep oles dari lemari obat di kamar!” teriak Deon.Itu suara yang tak pernah ia dengar bahkan saat Jannah pingsan karena nyeri tiba-tiba yang sering menyiksa sendinya. Seolah-olah Deon benar-benar sudah lupa, siapa yang adalah istrinya.Suara yang tak pernah digunakan untuknya, tapi kini diteriakkan demi luka kecil di tangan seorang asisten?Tangis yang ditahannya pecah juga. Ia memutar tubuh tanpa kata, lalu berjalan cepat menuju kamar. Tapi langkahnya goyah, seperti tubuhnya kehilangan tenaga.Nafasnya tercekat dan rasa sesak memenuhi dadanya. Ia tidak mengambil obat. Ia tidak menjawab. Ia bahkan tidak membanting pintu kamar. Ia hanya diam, dan membiarkan dirinya lenyap dalam sepi.Deon melihat kepergian Jannah namun tidak mempedulikan hal itu, dia berpikir Jannah menuruti perintahnya dan pergi mengambil obat.Bella menahan napas, mengerjap pelan sambil berpura-pura menahan air mata, namun ada senyum kecil di sudut bibirnya.“Saya... tidak sengaja, Tuan Deo

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 3

    “Ibu Bella, kalau kita menang lomba kemarin, hadiahnya bisa buat beli cemilan, ya?”“Kalau kamu baik dan rajin belajar, Mommy-mu pasti beliin, kan?”Diliputi rasa nyeri yang belum hilang sejak semalam, ia mendengar suara riang Alfie dari arah dapur tengah bercengkrama dengan sosok yang tak lain adalah Bella.Jannah berdiri di ambang pintu dapur, menatap dalam diam. Bella tengah memotong apel dengan tenang, sesekali dia mengaduk sup yang sedang dimasak di atas kompor yang menyala. Senyum ramahnya tidak berubah.Wanita itu selalu hadir pagi-pagi sekali. Awalnya Jannah menganggapnya sebagai pegawai yang baik. Namun, hari ini Jannah mulai memperhatikan lebih mendetail.“Mommy nggak pernah suka cemilan. Mommy suka diam aja di kamar. Dia selalu tidur. Nggak kayak Ibu Bella,” ucap Alfie dengan memamerkan wajah cemberutnya ke arah Bella.Jantung Jannah serasa disayat. Ia menelan ludah, menahan emosi yang bergemuruh.“Alfie,” panggilnya pelan.Anak itu menoleh. “Oh, Mommy sudah bangun!” seruny

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 2

    “Bella O’Brien!” geram Jannah dengan suara bergetar. Dia adalah asisten Deon. Wanita dengan kecantikan sempurna dan sudah bekerja selama dua tahun terakhir.Ketiga orang itu memakai celemek yang memiliki gambar dan pola sama dalam ukuran tubuh berbeda. Gambar karakter dengan wortel besar.“Bagaimana bisa... Bella?” gumamnya lirih. Kata itu nyaris tak terdengar, bahkan oleh dirinya sendiri.Mata Naila ikut menatap ke arah kerumunan kecil di taman, rahangnya mengencang."Jannah..."“Maaf,” gumam Jannah dengan suara bergetar. “Kita pergi, Nai…”Naila segera memeluknya. Erat. “Kenapa pergi, Jannah? Kamu tidak mau bertemu dengan anakmu?”Jannah membalas pelukan itu dengan tubuh yang akhirnya goyah. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan lagi, jatuh di pundak Naila yang tubuhnya lebih tinggi sedikit darinya.“Tak apa, melihat anakku tersenyum seperti itu sudah cukup bagiku,” katanya dengan suara nyaris pecah.Naila menatapnya tajam. “Anakmu hanya bingung, Jan. Dia terlalu kecil untuk menge

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status