Masuk“Bella O’Brien!” geram Jannah dengan suara bergetar. Dia adalah asisten Deon. Wanita dengan kecantikan sempurna dan sudah bekerja selama dua tahun terakhir.
Ketiga orang itu memakai celemek yang memiliki gambar dan pola sama dalam ukuran tubuh berbeda. Gambar karakter dengan wortel besar.
“Bagaimana bisa... Bella?” gumamnya lirih. Kata itu nyaris tak terdengar, bahkan oleh dirinya sendiri.
Mata Naila ikut menatap ke arah kerumunan kecil di taman, rahangnya mengencang.
"Jannah..."
“Maaf,” gumam Jannah dengan suara bergetar. “Kita pergi, Nai…”
Naila segera memeluknya. Erat. “Kenapa pergi, Jannah? Kamu tidak mau bertemu dengan anakmu?”
Jannah membalas pelukan itu dengan tubuh yang akhirnya goyah. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan lagi, jatuh di pundak Naila yang tubuhnya lebih tinggi sedikit darinya.
“Tak apa, melihat anakku tersenyum seperti itu sudah cukup bagiku,” katanya dengan suara nyaris pecah.
Naila menatapnya tajam. “Anakmu hanya bingung, Jan. Dia terlalu kecil untuk mengerti. Tapi kamu... kamu tetap Ibunya. Dan kamu harus kembali berdiri, bukan lari.”
Jannah menutup wajahnya. Tapi suara tawa Alfie yang masih terdengar dari kejauhan menghantam dadanya lagi.
"Ki-kita... pergi saja." Dengan mata yang masih memerah, Jannah hendak melangkah pergi, diikuti Naila yang masih melayangkan tatapan penuh kebencian ke arah ketiga orang itu.
Tapi tiba-tiba, langit yang sejak tadi mendung akhirnya pecah juga. Petir menggelegar dan rintik hujan pertama jatuh pelan, lalu dalam hitungan detik berubah menjadi deras.
Jannah menghentikan langkahnya, mematung.
Panitia bubar secepat kilat, para orang tua dan anak-anak berlarian ke arah bangunan sekolah untuk berteduh.
Namun Jannah dan Naila tidak bergerak lebih lanjut. Tubuhnya yang lemah tidak boleh terkena hujan karena rentan mengalami radang.
Dan di situlah semuanya pecah, saat ketiga orang yang paling ingin ia hindari malah berlari ke arah yang sama. Menuju ke lokasi di mana dia dan Naila sedang berdiri dan mematung.
"Deon... sini, cepat!" suara Bella menggema di tengah hujan, tangannya menggandeng Alfie erat, sementara Deon menyusul dari belakang sambil membawa tas dan beberapa peralatan milik Alfie.
Mereka bertiga berhenti hanya beberapa langkah dari tempat Jannah berdiri. Berhadapan.
Waktu seakan membeku.
Mata Deon membelalak saat menatap wajah Jannah yang berdiri diam, pakaian ketiga orang itu sedikit basah, ekspresi Deon tak terbaca.
Bella ikut terdiam, namun dengan cepat menunduk, lalu jongkok untuk membuka kaos Alfie yang basah dan mengganti baju bocah itu dengan kaos kering dari dalam tas, seolah-olah dia adalah seorang ibu yang penuh perhatian.
Tidak ada yang berkata apa-apa. Bahkan Alfie yang melihat kehadiran ibu kandungnya juga tidak menyapa.
Deon tidak bertanya kenapa Jannah ada di sana. Tidak juga mencoba menjelaskan mengapa ia hadir di acara itu bersama Bella seolah mereka adalah pasangan resmi.
Ia hanya mengalihkan pandangan, lalu membuka payungnya kemudian mengarahkan Alfie masuk ke gedung sekolah bersama Bella.
Sama sekali tidak ada perkataan apa pun.
Dan Jannah?
Ia tetap berdiri di sana, membeku. Dingin. Lelah. Dan hampa, juga bingung.
"Hei, dia pikir kita ini patung?" geram Naila, tetapi Jannah menahan tangannya agar sahabatnya itu tidak bertindak gegabah.
“Kita… pulang saja,” ucap Jannah, tangannya terkepal kencang.
***
Malam itu rumah terasa lebih senyap dari biasanya. Deon pulang seperti biasa, membuka dasi, mengganti baju, dan makan malam tanpa banyak bicara. Demikian juga Alfie.
Jannah menyaksikannya dari ujung meja, berharap ada sepatah dua patah kata, apa pun itu. Mereka seperti orang asing yang berada di satu meja yang sama.
Namun tak ada percakapan.
Tak ada pertanyaan “Kamu tadi lihat aku ya?”
Tak ada permintaan maaf.
Tak ada rasa bersalah.
Deon hanya duduk di sofa setelah makan, membuka laptop, dan menyibukkan diri seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Sementara Alfie kembali ke kamar, entah untuk melakukan apa karena waktu masih menunjukkan pukul delapan, terlalu dini untuk dikatakan sebagai waktu menjelang tidur.
Jannah ingin pergi melihat anaknya, tapi menahan diri. Dia melirik suaminya, sifat yang datar itu membuat dadanya seperti dihantam palu.
“Kamu senang hari ini?” akhirnya Jannah bertanya, suaranya dingin.
Deon tak menoleh. “Alfie senang.”
“Tadi, Alfie manggil Bella ‘ibu’.”
“Aku tahu.”
“Dan kamu diam saja?”
Deon menghela napas, menutup laptop. “Jangan buat ini rumit, Jannah. Itu cuma acara sekolah. Tidak ada hal yang terlalu penting untuk dibahas dan kamu harus tahu, aku lelah.”
Jannah menahan amarah yang naik ke tenggorokannya. “Cuma acara sekolah? Kamu berdiri di sana dengan Bella seolah kalian—”
“Kamu yang nggak bisa hadir selama beberapa tahun ini, Jannah.” Deon memotong tajam. “Apakah kamu yakin nggak akan pingsan selama acara?”
Jannah tercekat, ia memegang dadanya kuat-kuat, meresapi perkataan Deon yang seolah berkata, ‘kamu itu beban.’
"Lagipula, bukankah kamu masih opname di Rumah Sakit? Sejak kapan kamu keluar? Mengapa tidak mengabariku?"
Jannah membisu. Bukan karena tak ada jawaban. Tapi karena hatinya terlalu penuh untuk mengeluarkan satu kata pun.
"Tapi aku sudah menghubungimu dan..."
Deon mengeluarkan ponselnya, meliriknya sebentar lalu dengan ketus menjawab, "Daya ponselku habis rupanya…"
Deon berdiri. “Jaga kesehatanmu, Jannah. Kamu tidak boleh emosi. Kalau pingsan lagi, aku akan semakin repot. Kita tidak ingin masalah baru muncul lagi, bukan? Sudah, aku tidur dulu.”
Dan ia pun pergi. Tanpa memandang istrinya. Langsung menghentakkan tubuhnya dengan kasar di atas ranjang. Tanpa satu pun penjelasan. Tanpa menunggu sebuah sahutan.
Jannah menyusul langkah Deon ke kamar.
“Deon, aku..."
Kalimatnya terputus karena Deon terlihat menutup kepalanya dengan bantal dan tubuhnya menghadap ke sisi yang berlawanan dengannya.
Pria itu tampak tidak peduli. Jannah mengepalkan kedua tangannya erat-erat.
Sejak malam itu, Jannah mulai memperhatikan lebih saksama. Matanya tak lagi melewatkan hal-hal kecil yang dulu mungkin ia anggap sepele.
Bella terlalu sering berada di antara mereka dan Alfie yang selalu merengek agar asisten suaminya itu yang membantunya mengerjakan PR.
Alfie bahkan sering ikut Deon ke kantor dan mereka hanya pulang kalau hari sudah malam.
Jannah awalnya tak curiga. Bella banyak membantu—mengantar dan menjemput Alfie, menyiapkan kebutuhannya, bahkan mengerjakan hal-hal yang tak mampu Jannah lakukan karena tubuhnya yang lemah sejak mengandung.
Namun, sejak pesan itu muncul, Jannah mulai memperhatikan secara seksama.
Dan pagi ini, langkah Jannah terhenti saat mendengar suara kecil dari putranya.
"Ibu Bella."
Deon bangkit perlahan, wajahnya masih menahan ekspresi yang tidak sempat ia sembunyikan.Ia menatap Jannah begitu dalam, sampai Jannah merasakan lututnya melemah lagi.“Terima kasih untuk makan malamnya,” ucap Deon akhirnya, nada suaranya stabil tapi matanya tidak."Aku akan membawa Amara besok dan Alfie akan menginap di rumahmu?"“Ya,” jawab Jannah cepat. "Besok pagi, aku akan menyusun jadwal dan memberikannya kepada notaris di kantor hukum tempatku bekerja. Kita berdua akan menandatangani perjanjian secara tertulis agar ke depannya tidak saling menyinggung."Deon mengangguk pasrah meski hatinya tidak ikhlas.“Hati-hati di jalan.”Deon mengangguk sekali lagi lalu menggandeng tangan kecil Alfie. Tapi sebelum ia pergi, ia menatap Jannah sekali lagi—kali ini lebih lembut, lebih tajam, dan jauh lebih berbahaya daripada pukulan Afgan sebelumnya.“Aku tidak akan menyerah,” katanya, hampir seperti janji.Jannah menelan ludah, jantungnya berdetak tidak karuan.“Selamat malam, Jannah.”Pintu
Saat semuanya siap, mereka duduk bersama di meja makan kecil yang hanya muat empat kursi. Satu pemandangan muncul begitu natural, terlihat nyaris seperti keluarga bahagia.Jannah memotong telur untuk Alfie.Deon membantu menyendokkan nasi goreng ke piring bocah itu.Alfie makan dengan lahap, pipinya menggembung lucu.Lalu Deon memotong telur untuk Amara yang sudah bisa mengerutu tak jelas karena potongan milik abangnya lebih besar.Deon merasa lucu lalu memberikan sebagian lagi potongan telur scramble untuk Amara dan anak comel itu mengunyahnya dengan bentuk pipi yang sangat lucu.Entah kenapa, suasana itu menampar hati Jannah pelan-pelan. Ada rasa hangat yang muncul tiba-tiba dan rasa takut yang menyusul di belakangnya. Ia tahu suasana seperti ini adalah kelemahannya. Deon tahu itu juga."Ini sungguh enak sekali... khas lokal Indonesia."“Kamu masih ingat cara buatnya,” kata Deon, suaranya sangat lembut sampai Jann
“Ya,” Jannah melanjutkan, “aku tahu sekarang tidak ada gunanya menghindar. Hasil DNA itu jelas.”Deon mengangguk.“Amara memang anakmu,” katanya akhirnya.Ada sesuatu di mata Deon yang runtuh. Seperti beban berat yang dilepaskan tetapi disertai rasa pedih mendalam. Ia ingin tersenyum, tapi bibirnya justru gemetar. Menoleh ke arah Amara dan Alfie."Aku tahu, dia anak perempuanku, dia— "“Tapi…” sela Jannah cepat sambil menatapnya, dingin, jelas. “Itu tidak berarti aku akan kembali kepadamu.”Wajah Deon menegang. “Kenapa?”“Karena aku tidak lagi percaya padamu.” Jannah bersandar. “Karena rasa sakit yang kamu buat tidak hilang hanya karena kamu datang membawa bukti DNA. Dan karena aku sudah terlalu lelah hidup dengan luka yang sama.”"Semua tidak akan berubah banyak walau kau sudah menemukan diriku kembali," lanjutnya denga
Deon menuruti, duduk di sofa dekat jendela. Pipi kirinya memar, tapi ia tetap tampak tenang, bahkan agak puas. Merasa yakin bahwa kemenangan sudah ada padanya. Bahwa Jannah sudah memilih dirinya dibanding Afgan.Setidaknya Deon tidak diusir oleh Jannah saat ini.Jannah membuatkan teh hangat untuk Alfie, lalu duduk berhadapan dengan Deon. Tatapannya tajam, seperti dokter yang hendak mengoperasi sesuatu tanpa anestesi.“Aku akan langsung ke inti,” katanya.“Silakan.” Deon menyandarkan tubuh, menunggu.“Kamu bertanya mengapa aku menghindarimu,” Jannah menghela napas. “Jawabannya sederhana: karena aku takut.”Deon mengernyit. “Takut? Pada apa?”“Pada kamu,” jawabnya pelan tapi tegas. “Pada sifatmu, pada masa lalumu, pada apa yang kamu buat aku rasakan waktu itu.”"Kamu tidak pernah mencintaiku. Semua perhatianmu hanya pernah diberikan kepada Bella."
Ia tahu. Ia tahu sejak melihat tanda lahir di bahunya kembali disinggung. Ia tahu saat pertama kali melihat Deon berlari menolongnya di tengah kecelakaan itu bahwa dirinya masih menginginkan secui perhatian dari pria itu.Tetapi melihat semua kebohongannya sudah tercetak secara tertulis…Ia tak bisa menyangkal lagi.Deon menatapnya lekat-lekat. “Katakan… mengapa kamu menghindar dariku, Jannah?”Pertanyaan itu menggantung, berat seperti batu yang jatuh ke lautan.“Apakah kamu tidak menginginkan diriku dan Alfie lagi?” tambah Deon dengan suara nyaris pecah. “Beritahu aku. Beritahu aku supaya aku tahu bagaimana harus berdiri di depanmu.”Alfie menatap Jannah dari sofa, matanya besar, polos, dan penuh luka kecil yang tak seharusnya dimiliki anak usia delapan tahun. “Mama… Alfie tidak nakal kan? Kenapa Mama pergi terus?”"Apakah Alfie melakukan kesalahan? Ap
Alfie mengangguk dengan mata yang mengantuk."Tidak apa-apa, tidurlah."Perasaan lega, bahagia, sedih, dan penyesalan bercampur menjadi satu. Namun satu hal yang paling menusuk—Deon membiarkan Cahyo meneruskan penghancuran bisnis Afgan di Jakarta. Karena itu, Cahyo tidak ikut dalam penerbangan kali ini.Jannah masih tiduran di tempat tidurnya dan bermain dengan Amara dan ia tidak tahu bahwa Deon telah pulang. Tidak tahu bahwa Deon telah runtuh dan sedang menuju ke Berlin, kini berjuang untuk keluarga yang selama ini ia hancurkan dengan tangannya sendiri.Di titik itu, Deon hanya punya satu tujuan:*Membawa pulang mereka. Jannah. Dan putrinya. Anak mereka.****Udara Berlin pagi itu menggigit kulit, menusuk sampai ke tulang. Langit kelabu, daun-daun yang tersisa dari musim gugur berguguran di halaman rumah kecil tempat Jannah tinggal bersama putrinya.Deon berdiri di depan pintu itu, satu tangan memegang koper keci







