Di kamar Alfie, suasana jauh berbeda. Lampu redup menyinari ruangan yang kini hanya berisi suara alat pemantau detak jantung dan desiran lembut AC. Alfie duduk bersandar dengan selimut menutupi separuh tubuhnya.
“Mau makan, Nak?” tanya Deon sambil membuka bungkusan makanan yang dibeli Chayo tadi.
“Di mana Mommy?” tanya Alfie lirih, matanya menatap langsung ke arah ayahnya.
Deon terdiam. Ia memindahkan nasi ke mangkuk kecil, pura-pura sibuk.
“Mommy masih istirahat. Kamu jangan terlalu banyak mikir, oke? Ayo makan dulu,” jawabnya dengan senyum tipis yang gagal menyembunyikan keresahan di balik matanya.
Sepanjang makan, Alfie tak berhenti menatap pintu kamar. Sesekali menghela napas kecil, lalu menyuapkan makanan perlahan tanpa selera.
Deon berusaha tenang, menjawab pertanyaan seadanya sambil memaksakan diri tersenyum. Tapi pikirannya kacau. Tubuhnya lelah, pikiran lebih lelah lagi.
Begitu makan malam
Deon mendongak, matanya memerah. Membalas tatapan Naila dengan penuh kemarahan.“Bukan saat dia pergi,” ujar Naila pelan, “tapi saat dia datang kembali... setelah semuanya terlambat.”Lalu Naila melangkah kembali menuju ke mobilnya, menekan laju gas kuat-kuat meninggalkan Deon yang masih terpaku di sana.Deon segera menekan laju gas kuat-kuat untuk mengejar mobil yang dikendarai Afgan. Dadanya terasa sesak dan nafasnya berat. Amarah serta cemburu menguasai dirinya bercampur dengan perasaan bersalah karena tidak pernah memberikan perhatian terhadap kondisi kesehatan Jannah sebelumnya.Mobil Afgan duluan sampai di depan halaman Rumah Sakit Mahendra, Afgan dan Jannah turun dari mobil tanpa menyadari keberadaan mobil Deon yang menyusul mereka. Kedua mata Deon membulat saat menyaksikan bagaimana Afgan membuka pintu mobil bagi Jannah dan melindungi kepalanya supaya tidak terantuk kap mobil saat keluar dari pintu mobil.Jannah membawa sebuah rantang kecil di tangannya."Aku ingin mengunjungi
Naila menggeleng cepat. “Deon bukan tipe yang nyaman hanya karena seseorang memberi perhatian. Kamu tahu itu. Dia bukan lelaki yang mudah terbujuk. Tapi dia juga pria yang tidak peka, dan bisa membuat keputusan bodoh kalau kamu tidak ada untuk menyadarkannya.”"Dia hanya terlalu pendiam. Tapi aku merasa dia tidak mencintai pelakor itu, walaupun dia memang cantik dan telaten dalam mengurus Alfie, dia bahkan sudah menyelamatkan hidup Alfie dan..."Kalimat Naila terputus karena dia sendiri baru menyadari ada yang salah dalam semua perkataannya yang malah terdengar rancu.Hening menguasai ruangan.Jannah menarik napas panjang, lalu berdiri. Ia berjalan perlahan ke depan cermin. Wajahnya pucat, pipinya basah. Tapi sorot matanya mulai kembali hidup.“Kalau begitu,” katanya pelan, “aku harus merestui mereka, bukan?""Bukan, maksudku bukan begitu, Jannah..."Tok! Tok! Tok! Tok!Ketukan keras dari arah pint
Dan pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan Bella yang berdiri membatu, dengan mata berkaca-kaca dan hati yang penuh amarah tetapi wajah perempuan itu mudah sekali tersenyum kembali saat melihat ke arah Alfie. Seolah-olah apa yang baru didengarnya dari Deon hanyalah dongeng yang lewat. Kalimat yang tidak berarti apa-apa."Kita mengosok gigi dan mandi, Yok?"Alfie mengangguk dengan riang lalu turun dari ranjang untuk menuju ke kamar mandi bersama Bella yang selalu tersenyum manis bagaikan malaikat pelindung di belakangnya.***Di rumah singgah, Jannah baru selesai menghabiskan sarapannya dan duduk santai di sofa.Jannah menatap ponselnya yang dingin di tangan. Jemarinya gemetar, matanya terpaku pada satu unggahan di layar.Sebuah foto.Alfie tertidur di pelukan Bella. Lalu Deon, terlelap di sofa panjang, hanya beberapa langkah dari mereka.Caption-nya singkat, namun menyayat.Jannah menahan napas. Dadanya berdesir taj
Beberapa jam kemudian…Suara detak jarum jam menjadi satu-satunya irama dalam kesunyian. Bella membuka matanya perlahan. Tubuhnya sedikit pegal, tapi kehangatan dari tubuh kecil Alfie membuatnya tak banyak bergerak. Ia menoleh ke sisi lain ruangan.Matanya langsung menangkap sosok Deon yang tertidur di sofa panjang. Dahi pria itu tampak berkerut meski dalam tidur, seolah masih menyimpan kegelisahan. Cahaya samar dari lampu pojok menyinari sebagian wajah Deon, cukup untuk membuat Bella menghela napas dalam-dalam.Perlahan, dia menggeser posisi duduknya tanpa membangunkan Alfie. Ia meraih ponselnya dari sisi ranjang, lalu dengan gerakan hati-hati mengangkatnya untuk membidik kamera.Klik.Satu jepretan.Gambar itu memperlihatkan dirinya memeluk Alfie yang tertidur, sementara di belakangnya, Deon berbaring di sofa panjang. Foto itu ambigu, namun cukup memberi pesan seolah-olah mereka adalah satu keluarga yang utuh, bahagia, saling menyay
Di kamar Alfie, suasana jauh berbeda. Lampu redup menyinari ruangan yang kini hanya berisi suara alat pemantau detak jantung dan desiran lembut AC. Alfie duduk bersandar dengan selimut menutupi separuh tubuhnya.“Mau makan, Nak?” tanya Deon sambil membuka bungkusan makanan yang dibeli Chayo tadi.“Di mana Mommy?” tanya Alfie lirih, matanya menatap langsung ke arah ayahnya.Deon terdiam. Ia memindahkan nasi ke mangkuk kecil, pura-pura sibuk.“Mommy masih istirahat. Kamu jangan terlalu banyak mikir, oke? Ayo makan dulu,” jawabnya dengan senyum tipis yang gagal menyembunyikan keresahan di balik matanya.Sepanjang makan, Alfie tak berhenti menatap pintu kamar. Sesekali menghela napas kecil, lalu menyuapkan makanan perlahan tanpa selera.Deon berusaha tenang, menjawab pertanyaan seadanya sambil memaksakan diri tersenyum. Tapi pikirannya kacau. Tubuhnya lelah, pikiran lebih lelah lagi.Begitu makan malam
Bella melirik Deon sekilas dan tatapan singkat itu membuat hati Deon berdesir tidak menentu. Kekhawatirannya bertambah banyak walau dia berusaha tetap tenang.Gestur Robert tenang, dan dia juga melihat lirikan singkat dari Bella, tapi ekspresinya tegas. Ia bukan tipe orang yang suka berbasa-basi, dan saat ia berbicara seperti ini, biasanya tak main-main.“Kalau kamu butuh biaya pengobatan, atau bantuan lain, langsung sampaikan ke Deon. Anggap itu bukan balas budi, tapi bentuk tanggung jawab. Tapi kalau kamu menginginkan sesuatu yang mustahil, maka kamu harus memiliki nilai lebih untuk layak memintanya kepadaku.”Bella mengangguk kecil, masih lemah. Tentu saja dia mengerti perkataan kakek tua itu. Tatapannya tetap lembut, meski jelas ada jejak syok di balik sorot matanya.Robert berdiri, menepuk punggung tangan Bella sebelum berbalik ke Deon. “Selidiki siapa yang menabrak cucuku. Dan jaga anak itu baik-baik. Lalu mengenai Bella, berikan p