LOGIN“.... Bapak bercanda ya?”
“Menurutmu begitu?”
Hana menelan ludah. Ia melirik Carlos yang sudah memandang mereka dengan tatapan datar dan posisi duduk siap.
“Saya …. Saya tidak keberatan kita … kita melakukannya. Ta-tapi, tidak perlu dilihat Car-maksud saya, asisten bapak, kan?” Nego Hana dengan nada gugup. Walaupun sebenarnya, ia juga ragu untuk ber-berciuman, sih, tapi kalau itu demi tes masuk maka akan ia lakukan!
“Lalu, siapa yang akan menilai kecocokan kita?” Tanya Mahendra dengan alis terangkat. Hana tidak tahu apakah pria itu sungguh-sungguh bertanya atau hanya ingin menggodanya, tapi melihat wajah datarnya, sepertinya dia memang sungguh-sungguh dengan ucapannya!
Tunggu! Atau ini usaha balas dendamnya karena perbuatanku kemarin?! Batin Hana menduga.
Jika benar begitu, berarti dia harus melakukannya, kan?! Seperti kata pepatah, nyawa dibalas nyawa!
Tapi .. kalau ada orang lain yang melihatnya …
Hana menelan ludah, “Kan bisa bapak sendiri yang menilai kecocokan kita,”
“Oh, benar juga,” Mahendra menyeringai, “Aku bisa menilainya dari seberapa cocok bibir kecilmu menempel dengan bibirku. Apakah menempel dengan pas atau–”
“Ba-baik! Saya akan melakukannya!”
Hana menatap serius wajah Mahendra yang dihiasi seringai lebar. Jantungnya berdegup kencang seiring semburat merah menghiasi wajahnya.
Ngomong-ngomong, bagaimana caranya berciuman?!
Selama ini, Hana tidak pernah menjalin hubungan romansa dengan lelaki. Bisa dibilang, dia jomblo sejak lahir.
Hana hendak mengulurkan tangannya, tapi berhenti. Mengulurkan tangan lagi, berhenti lagi.
Apa dia harus memegang pipi calon bosnya ini? Ia sering melihat di film-film seperti itu. Tapi, pria ini akan menjadi bosnya! Dan mereka melakukan ini bukan karena cinta.
Kalau begitu, langsung nyosor saja? Bukankah itu akan terlihat aneh?
Melihat Hana membeku dalam pikirannya sendiri, Mahendra menghela napas. Ia menatap Carlos yang masih asik memerhatikan bos dan calon karyawannya.
“Berhenti memantau, Carlos. Wanita ini tidak berguna,”
Hana tersentak. Ia menatap panik Mahendra yang sudah kembali ke posisi duduk awal.
“Berciuman saja tidak bisa. Mana mungkin dia cocok–”
Perkataan Mahendra terhenti karena dasinya ditarik oleh Hana. Mahendra menolehkan wajahnya dan ...
CUP!
Kedua bibir mereka bertemu.
Mata Mahendra melebar sementara wajah Hana memerah padam. Hanya sepersekian detik, Hana kembali melepaskan bibirnya. Ia menutup bibirnya dengan lengan dan memalingkan pandangan dari Mahendra yang sedang menatapnya lamat-lamat.
“Ja-jadi, apa saya lulus ..?”
Mahendra mengerjapkan mata. Ia mengalihkan pandangan ke Carlos yang hanya mengacungkan jempol membuat Mahendra mengernyitkan dahi. Ia sedikit sangsi apa jawaban Carlos itu jujur atau dia hanya ingin segera pergi dari urusan ini.
Mahendra menatap kembali Hana yang wajahnya masih merah padam. Gadis itu sempat melirik ke Mahendra sebelum buru-buru mengalihkan pandangannya.
“Haah,” Mahendera kembali menyeringai, “Dasar wanita menyedihkan.”
“Apa?”
Mahendra kembali menatap Carlos, “Jam berapa acara malam ini?”
“Sekitar pukul setengah delapan, pak,” balas asisten Mahendra itu.
Mahendra mengangguk. Ia kembali menatap Hana yang memasang wajah tak mengerti.
“Cepat tanda tangan dokumen kontraknya setelah kau membaca syarat-syaratnya,”
“Eh?”
“Carlos, berikan dia pulpen lalu jalankan mobilnya,”
“Ba-bapak?” Hana bergantian memandang Mahendra dan Carlos dengan wajah yang semakin bingung.
Carlos menyodorkan pulpen mahal ke Hana yang diterima gadis itu dengan ragu-ragu. Hana kemudian menatap Mahendra yang sudah kembali duduk santai di posisinya ketika mobil berjalan kembali.
Jadi … dia lulus tes?
***
Syarat-syarat yang diberikan Mahendra sama persis dengan syarat pernikahan kontrak yang sering Hana baca di aplikasi online.
Harus profesional, tidak boleh ada perasaan (terutama karena status Hana bukan hanya istri kontrak, tapi juga karyawan Mahendra). Harus berakting di depan kolega dan keluarga masing-masing. Hubungan fisik? Minimal pegangan tangan, paling maksimal ciuman (kalau keadaan terpaksa saja).
Secara garis besar, syarat-syarat tersebut sangat menguntungkannya. Hana seringkali bingung kenapa para pemeran utama perempuan di novel selalu keberatan dengan syarat-syarat seperti ini.
Padahal mereka hanya tinggal ongkang kaki untuk mendapatkan uang berlimpah.
Dan yang lebih menguntungkannya lagi, mereka tidak tinggal bersama! Tinggal bersama dilakukan untuk hal-hal urgent saja.
Pekerjaan ini mungkin tidak seburuk itu. Untung saja, dia bersikeras untuk memohon pada Mahendra.
Mobil mahal Mahendra berhenti di depan toko aksesoris mewah. Menelisik dari bagian luarnya, Hana sudah tahu perhiasan di dalamnya akan bernilai jutaan bahkan milyaran rupiah.
Uang yang selalu Hana harapkan bisa ia dapat.
Tunggu, Mahendra mengajaknya kesini, apakah berarti mereka akan mengadakan pesta pernikahan hari ini?!
Dia belum siap!
“Kenapa kau?”
Lamunan Hana terbuyar mendengar suara Mahendra. Ia menolehkan kepala dan melihat Mahendra sudah membuka pintu mobilnya karena hendak keluar.
“Oh itu .. “ Hana menelan ludah, “Karena saya sudah tanda tangan kontrak, apa itu berarti kita akan … melakukan pesta pernikahan?” ujarnya dengan wajah memerah samar.
Mahendra mengernyitkan alis membuat Hana berjengit kaget. Wajahnya semakin memerah malu ketika ia menyadari tatapan Mahendra seolah berbicara, ‘kau serius bilang begitu?’
“Maafkan saya! Saya berpikir dangkal! Tentu saja tidak ada, kan?!” Hana cepat-cepat menundukkan kepala. Lebih tepatnya, ia berusaha mengalihkan pandangan dari Mahendra yang terus menatapnya seolah akan menguliti dirinya.
Mahendra menghela napas. “Tidak ada pesta. Kita hanya beli cincin sebagai penanda sudah menikah untuk dilihat orang-orang,” jelas Mahendra.
“Setelah itu, kita akan mendaftarkan pernikahan di KUA sekaligus menikah di sana,”
Hana menghela napas lega, “Jadi begitu,”
“Kalau sudah paham cepat keluar. Waktu kita tidak banyak,”
“Baik, pak!”
Hana buru-buru membuka pintu mobil di sisi kirinya. Ia segera turun dan mengejar Mahendra yang sudah berjalan masuk lebih dulu ke dalam toko perhiasan.
Begitu Hana masuk ke dalamnya, Ia ternganga melihat ornamen-ornamen mewah di sekeliling toko. Kilau-kilau cahaya memenuhi setiap sudut toko, seolah menggoda setiap orang yang masuk agar membelanjakan semua orang mereka.
Enaknya jadi orang kaya, batin Hana pedih. Ia langsung merasa seperti orang miskin begitu merasakan perhiasan-perhiasan yang dipajang menatap dirinya penuh intimidasi.
“Hei, cepat kesini!” Seru Mahendra ke Hana yang masih terbengong-bengong.
Hana buru-buru melangkah menuju counter utama yang sudah ada pegawai toko perhiasan. Begitu berdiri di depan counter, Hana kembali ternganga. Matanya membesar melihat berbagai macam perhiasan indah di dalam counter.
Enaknya jadi orang kaya!
“Kami butuh cincin yang langsung jadi,” ucap Mahendra ke pegawai di counter. Ia lalu melirik ke arah Hana, “Ukur jari dia,”
“Baik, pak.”
Hana segera mengulurkan tangannya ke pegawai. Pegawai dengan cekatan mengukur lingkar jari manisnya menggunakan meteran sambil menuliskannya di catatan. Setelah beberapa saat, pegawai toko selesai mengukur jari manisnya.
“Untuk cincinnya, apakah ada request, pak? Seperti warna, permatanya–”
“Tidak perlu. Akan makan waktu lama untuk itu,” potong Mahendra, “Berikan saja cincin sederhana yang sesuai ukuran kami.”
“Baik, pak.”
Pegawai tersebut segera berlalu menuju bagian belakang toko, meninggalkan Hana dan Mahendra yang berdiri canggung. Tidak, sebenarnya hanya Hana saja yang canggung.
Hana menelan ludah. Ia memutar otak untuk mencari percakapan di antara mereka. Tapi, tidak ada yang muncul.
Apalagi, mengingat dia daritadi sangat cerewet sebelum direkrut, rasa-rasanya ia harus lebih diam sekarang karena pria di sebelahnya sudah menjadi bosnya.
Bos atau .. suami kontraknya?
Hana menghela napas pelan. Baru setengah hari berlalu, tapi rasanya sudah melelahkan. Padahal, baru tadi pagi dia putus asa atas nasib adiknya, kini harapan itu sudah muncul kembali meski dengan risiko besar.
“Kapan adikmu operasi?”
Hana segera menoleh ketika mendengar pertanyaan Mahendra. Ia mengangguk cepat.
"Minggu depan, pak,"
"Hm,"
“Akhir-akhir ini kesehatannya terus meningkat jadi dokter Watson bisa menjadwalkan operasinya sesegera mungkin,” ucap Hana sambil tersenyum.
Mahendra hanya bergumam untuk menanggapi ucapan Hana, tak lanjut berbicara lagi.
Hana memerhatikan bosnya itu lamat-lamat. Ia menarik napas sejenak, meremas kedua tangannya bersamaan, lalu berkata,
“Terima kasih banyak, pak, karena telah bersedia menerima saya,” ucap Hana membuat Mahendra menoleh padanya.
“Berkat bapak, saya bisa memenuhi impian adik saya,”
Mahendra menatap lamat-lamat Hana yang menyunggingkan senyum lebar. Ia kemudian mengalihkan pandangan tak acuh.
“Kau beruntung karena tidak ada orang lain yang mendaftar,”
“Bapak menyebarluaskan loker itu?”
“Menurutmu?”
Hana mengernyitkan alis kesal. Sepertinya dari tadi, setiap dia bertanya, pria itu akan membalikkannya dengan pertanyaan sarkas. Padahal tinggal menjawab iya atau tidak saja!
“Ingatlah bahwa kau ini karyawan,” ucap Mahendra mengalihkan perhatian Hana lagi, “Meskipun kau berstatus sebagai istri kontrak juga, tapi status karyawanmu lebih tinggi,”
“Jadi, bersikaplah profesional dan jangan memasukkan unsur pribadi apa pun karena saya akan melakukan hal yang sama.”
Hana mengangguk mantap. Tak ada keraguan dalam tatapan matanya ketika memandang Mahendra.
“Patuhi perintah saya apa pun itu.”
Hana mengangguk dengan perasaan bingung. Bukankah memang harusnya begitu? Batin Hana bertanya-tanya, tapi ia memutuskan untuk tak menanyakannya.
“Maaf menunggu lama, pak,” ucap pegawai toko yang sudah muncul kembali ke counter. Ia menaruh dua kotak beludru dengan cincin perak di dalamnya. Ada permata kecil di cincin itu yang berkerlap-kerlip indah ketika diterpa cahaya lampu.
“Apakah ingin saya bungkuskan?” Tanya pegawai toko.
Mahendra menggeleng, “Akan kami pakai sekarang.”
Eh? Sekarang? Batin Hana sebelum buyar karena Mahendra tiba-tiba menggenggam tangan kanannya.
“Ba-bapak?”
Mahendra tak menjawab panggilannya. Ia mengangkat tangan kanan Hana kemudian menyematkan cincin itu ke jari manisnya.
Mata Hana seketika membesar. Jantungnya berdegup kencang hingga bisa ia rasakan di kulit luarnya. Wajahnya menyemburat merah tanpa bisa ia cegah.
Mahendra kemudian melepasan genggaman tangannya. Ia lalu menyodorkan tangan kanannya ke Hana.
“Pakaikan,”
“Baik!” Jawab Hana gelagapan sebelum mengambil cincin di counter.
Dengan tangan gemetar, Hana menyematkan cincin itu di jari manis Mahendra. Meskipun di awal kesusahan karena tangannya tak berhenti gemetar, tapi ia akhirnya berhasil memakaikannya.
Mahendra segera menurunkan tangannya setelah cincin berhasil dipakaikan. Ia menatap pegawai toko yang memasang wajah tersipu setelah menyaksikan adegan tadi.
“Kami ambil cincin ini.” ucap Mahendra yang segera menyadarkan pegawai toko.
Hana menatap lamat-lamat sosok Mahendra yang tengah melakukan pembayaran dari belakang. Ia meremas celananya erat-erat, berusaha meredam jantungnya yang masih berdetak tak karuan.
Tenanglah diriku! Profesionallah!
Setelah melakukan pembayaran, Hana dan Mahendra segera melangkah keluar dari toko perhiasan.
Mahendra menghentikan langkahnya ketika sudah berada di dekat mobil. Hana yang berjalan di belakangnya refleks menghentikan langkah. Ia menatap Mahendra yang balas menatapnya datar.
“Kerja bagus buat tadi,” ucap Mahendra, “Pegawai toko itu sangat suka bergosip. Dia akan menjadi saksi kalau kita pasangan suami-istri sungguhan,”
Jadi begitu, batin Hana. Ia mengangguk-angguk, terlalu bingung untuk menjawab ucapan Mahendra.
Mahendra mengerutkan alis, “Kau tidak salah tingkah, kan?”
“Tentu saja tidak!” Bantah Hana cepat, “Itu adalah bagian dari tugas saya.”
Mahendra menyeringai, “Itu benar. Dan ada satu tugas lagi untukmu malam ini,”
Hana mengangguk. Ia bersiap mendengarkan perintah Mahendra dengan saksama.
“Malam ini adalah perayaan ke-sepuluh tahun berdirinya Rumah Sakit Widya,” ucap Mahendra memulai, “Dengan kata lain, keluarga saya akan hadir begitu juga dengan kolega-kolega saya,”
Mahendra menaruh kedua tangannya ke dalam saku. Mata hitamnya menatap Hana saksama yang memasang wajah tegang.
“Tugasmu adalah mendampingi saya di acara tersebut dan berkenalan secara resmi sebagai istri saya ke mereka.”
Tubuh Hana menegang. Sangat, sangat tegang. Lebih tegang daripada saat ia menghadiri acara-acara pesta Mahendra. Meski jantungnya kini berdebar-debar kencang, ia berusaha memasang wajah setenang mungkin. Gadis itu hanya mengerjapkan mata dan mengerutkan alis untuk bereaksi atas pertanyaan Rendry. “Saya tidak paham maksud tuan,” jawabnya tenang, “Pernikahan kontrak? Saya rasa hal itu sudah tidak ada di dunia modern ini,”“Maafkan kelancangan saya,”Rendry melepas genggamannya yang membuat Hana seketika menarik napas lega. Pasalnya, ia bisa merasakan tangannya mulai berkeringat karena perasaan tegangnya sekarang. “Saya hanya tidak percaya kalau Hendra benar-benar sudah menikah sekarang,”Kali ini, kebingungan benar-benar membanjiri pikiran Hana. Alisnya semakin tertekuk dalam. Mengapa pria itu berbicara seolah hubungannya dengan Mahendra sangat dekat?“Apa hubungan kalian sangat dekat, tuan?” tanya Hana. “Oh, dia tidak cerita?” balas Rendry retoris. Seringainya tertarik semakin leba
“Kamu sedang menjauhi saya ya akhir-akhir ini?”Tubuh Hana menegang seketika. Ia menelan ludah melihat tatapan tajam Mahendra kemudian menggeleng kaku. “Mana ada saya menjauhi bapak. Kan saya masih suka ikut ke acara bapak,” bantah Hana dengan nada senormal mungkin. Perkataan Mahendra tak salah. Hana memang benar-benar menjauhi pria itu! Walaupun tentu saja ia tak melakukannya terang-terangan, hanya mengurangi frekuensi pembicaraan mereka dengan tidak menanggapi ejekan Mahendra. Meski sebenarnya itu langkah yang cukup terlihat karena selama ini Hana suka menanggapi ejekan bosnya, tapi tetap saja hanya sebatas itu! Ia pun juga tidak berusaha menolak tiap Mahendra menyentuhnya saat mereka berada di sebuah acara, meski dia sangat enggan melakukannya karena teringat dengan waktu itu. Lagipula, sudah sebulan berlalu dari family gathering itu. Ia tidak menyangka Mahendra tiba-tiba akan bertanya seperti itu karena pria itu selalu terlihat biasa saja selama ini. Mahendra masih menatapnya
“Kemarin seru perjalanannya, kak?”“Seru, kok,” Hana tersenyum kecil, “Kita main di pantai. Sayang banget kemarin kamu nggak ikut,”Alex menggerutu kecewa sementara Annette dan David saling bertatapan. Entah kenapa, raut wajah sahabatnya terlihat ganjil. Seolah ada yang sedang ditutupi oleh gadis itu. Hari ini, keduanya datang untuk membantu membawakan barang-barang Alex di rumah sakit karena ini hari terakhirnya. Hana yang meminta keduanya dan mumpung sedang weekend, mereka menyanggupi untuk membantu. “Nggak ada kejadian apa gitu, Han?” tanya Annette berusaha memancing. Walaupun ia tahu hal itu tak akan segera memancing Hana untuk bercerita karena gadis itu lebih suka memendam. “Nggak ada kejadian yang spesial, sih,” balas Hana berbohong yang membuat Annette memicingkan matanya. Hana yang menyadari pandangan sahabatnya tersenyum semakin lebar. “Emang kejadian kayak gimana?”“Apa gitu. Orang kaya kan banyak gosipnya!”David mendelik kepada Annette yang cengengesan. Ia mendengus pe
Hana berusaha mendorong tubuh besar Mahendra. Tapi, tentu saja tenaganya kalah kuat sehingga alih-alih Mahendra yang mundur, ia malah terdorong ke belakang dan berakhir di atas kasur.Mahendra tak henti-hentinya menyatukan bibir mereka hingga Hana tak sempat berbicara lagi. Ia tersentak ketika Mahendra mulai menaruh bibirnya di leher Hana.“Pak Mahendra! Sadar!” seru Hana sambil mendorong bahu Mahendra.Ciuman Mahendra terlepas. Pria itu menggeram kesal. Tangannya terangkat dan menyingkap kerah piyama Hana hingga bahunya terekspos.PLAK!Gerakan Mahendra seketika terhenti. Hana terengah-engah. Ia buru-buru mendorong tubuh
Hana pikir, acara family gathering yang dia hadiri sekarang akan berbeda dengan family gathering yang ia datangi sebelumnya ketika di kantor lama. Berbeda yang dia maksud adalah family gathering tersebut akan lebih kaku dan tidak seseru sebelumnya.Tapi, pemikirannya ternyata salah.Ia tidak menyangka orang-orang akan sangat ‘lepas’ di acara ini. Mereka saling berguyon ketika berkompetisi, menyanyikan yel-yel, dan keseruan lainnya yang sama seperti family gathering di kantor lama Hana.Bahkan, Mahendra yang terkenal dengan ekspresi datarnya, juga terlihat lepas meski sedikit saja. Dia hanya tersenyum kecil dan tertawa pelan saja setiap ada melihat tingkah para koleganya. Tapi, hal itu sudah cukup bagi Hana untuk memotret ekspresi berbeda itu dal
“Pak Mahendra, bangun. Sudah sampai,”Mata hitam itu terbuka pelan. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Hana yang begitu dekat. Mahendra segera bangkit dari posisinya. Ia menoleh keluar dan melihat bis sudah berhenti di depan villa. Ia kembali menoleh ke Hana.“Apa tadi saya–?”Hana mengangguk pelan. Mahendra menghela napas. Ia merapihkan rambutnya yang berantakan dan berkata, “Maaf yang tadi,”Hana menggeleng. Ia tidak merasa keberatan sama sekali. Malah itu menjadi kesempatan yang sangat langka untuknya karena mereka jarang berada sedekat itu. Atau bisa dibilang memang hanya sekali saat mereka memakai masker bersama.







