Home / Romansa / Pak Direktur, Saya Butuh Kerja! / CHAPTER 4: Jadi, Saya Lulus?

Share

CHAPTER 4: Jadi, Saya Lulus?

Author: Heiho
last update Huling Na-update: 2025-08-15 15:51:33

“.... Bapak bercanda ya?”

“Menurutmu begitu?”

Hana menelan ludah. Ia melirik Carlos yang sudah memandang mereka dengan tatapan datar dan posisi duduk siap. 

“Saya …. Saya tidak keberatan kita … kita melakukannya. Ta-tapi, tidak perlu dilihat Car-maksud saya, asisten bapak, kan?” Nego Hana dengan nada gugup. Walaupun sebenarnya, ia juga ragu untuk ber-berciuman, sih, tapi kalau itu demi tes masuk maka akan ia lakukan!

“Lalu, siapa yang akan menilai kecocokan kita?” Tanya Mahendra dengan alis terangkat. Hana tidak tahu apakah pria itu sungguh-sungguh bertanya atau hanya ingin menggodanya, tapi melihat wajah datarnya, sepertinya dia memang sungguh-sungguh dengan ucapannya!

Tunggu! Atau ini usaha balas dendamnya karena perbuatanku kemarin?! Batin Hana menduga. 

Jika benar begitu, berarti dia harus melakukannya, kan?! Seperti kata pepatah, nyawa dibalas nyawa!

Tapi .. kalau ada orang lain yang melihatnya …

Hana menelan ludah, “Kan bisa bapak sendiri yang menilai kecocokan kita,”

“Oh, benar juga,” Mahendra menyeringai, “Aku bisa menilainya dari seberapa cocok bibir kecilmu menempel dengan bibirku. Apakah menempel dengan pas atau–”

“Ba-baik! Saya akan melakukannya!”

Hana menatap serius wajah Mahendra yang dihiasi seringai lebar. Jantungnya berdegup kencang seiring semburat merah menghiasi wajahnya.

Ngomong-ngomong, bagaimana caranya berciuman?!

Selama ini, Hana tidak pernah menjalin hubungan romansa dengan lelaki. Bisa dibilang, dia jomblo sejak lahir. 

Hana hendak mengulurkan tangannya, tapi berhenti. Mengulurkan tangan lagi, berhenti lagi. 

Apa dia harus memegang pipi calon bosnya ini? Ia sering melihat di film-film seperti itu. Tapi, pria ini akan menjadi bosnya! Dan mereka melakukan ini bukan karena cinta.

Kalau begitu, langsung nyosor saja? Bukankah itu akan terlihat aneh?

Melihat Hana membeku dalam pikirannya sendiri, Mahendra menghela napas. Ia menatap Carlos yang masih asik memerhatikan bos dan calon karyawannya. 

“Berhenti memantau, Carlos. Wanita ini tidak berguna,”

Hana tersentak. Ia menatap panik Mahendra yang sudah kembali ke posisi duduk awal.

“Berciuman saja tidak bisa. Mana mungkin dia cocok–”

Perkataan Mahendra terhenti karena dasinya ditarik oleh Hana. Mahendra menolehkan wajahnya dan ... 

CUP!

Kedua bibir mereka bertemu.

Mata Mahendra melebar sementara wajah Hana memerah padam. Hanya sepersekian detik, Hana kembali melepaskan bibirnya. Ia menutup bibirnya dengan lengan dan memalingkan pandangan dari Mahendra yang sedang menatapnya lamat-lamat. 

“Ja-jadi, apa saya lulus ..?”

Mahendra mengerjapkan mata. Ia mengalihkan pandangan ke Carlos yang hanya mengacungkan jempol membuat Mahendra mengernyitkan dahi. Ia sedikit sangsi apa jawaban Carlos itu jujur atau dia hanya ingin segera pergi dari urusan ini. 

Mahendra menatap kembali Hana yang wajahnya masih merah padam. Gadis itu sempat melirik ke Mahendra sebelum buru-buru mengalihkan pandangannya.

“Haah,” Mahendera kembali menyeringai, “Dasar wanita menyedihkan.”

“Apa?”

Mahendra kembali menatap Carlos, “Jam berapa acara malam ini?”

“Sekitar pukul setengah delapan, pak,” balas asisten Mahendra itu. 

Mahendra mengangguk. Ia kembali menatap Hana yang memasang wajah tak mengerti. 

“Cepat tanda tangan dokumen kontraknya setelah kau membaca syarat-syaratnya,”

“Eh?”

“Carlos, berikan dia pulpen lalu jalankan mobilnya,”

“Ba-bapak?” Hana bergantian memandang Mahendra dan Carlos dengan wajah yang semakin bingung. 

Carlos menyodorkan pulpen mahal ke Hana yang diterima gadis itu dengan ragu-ragu. Hana kemudian menatap Mahendra yang sudah kembali duduk santai di posisinya ketika mobil berjalan kembali. 

Jadi … dia lulus tes?

***

Syarat-syarat yang diberikan Mahendra sama persis dengan syarat pernikahan kontrak yang sering Hana baca di aplikasi online. 

Harus profesional, tidak boleh ada perasaan (terutama karena status Hana bukan hanya istri kontrak, tapi juga karyawan Mahendra). Harus berakting di depan kolega dan keluarga masing-masing. Hubungan fisik? Minimal pegangan tangan, paling maksimal ciuman (kalau keadaan terpaksa saja). 

Secara garis besar, syarat-syarat tersebut sangat menguntungkannya. Hana seringkali bingung kenapa para pemeran utama perempuan di novel selalu keberatan dengan syarat-syarat seperti ini. 

Padahal mereka hanya tinggal ongkang kaki untuk mendapatkan uang berlimpah. 

Dan yang lebih menguntungkannya lagi, mereka tidak tinggal bersama! Tinggal bersama dilakukan untuk hal-hal urgent saja.

Pekerjaan ini mungkin tidak seburuk itu. Untung saja, dia bersikeras untuk memohon pada Mahendra. 

Mobil mahal Mahendra berhenti di depan toko aksesoris mewah. Menelisik dari bagian luarnya, Hana sudah tahu perhiasan di dalamnya akan bernilai jutaan bahkan milyaran rupiah. 

Uang yang selalu Hana harapkan bisa ia dapat. 

Tunggu, Mahendra mengajaknya kesini, apakah berarti mereka akan mengadakan pesta pernikahan hari ini?!

Dia belum siap!

“Kenapa kau?”

Lamunan Hana terbuyar mendengar suara Mahendra. Ia menolehkan kepala dan melihat Mahendra sudah membuka pintu mobilnya karena hendak keluar. 

“Oh itu .. “ Hana menelan ludah, “Karena saya sudah tanda tangan kontrak, apa itu berarti kita akan … melakukan pesta pernikahan?” ujarnya dengan wajah memerah samar. 

Mahendra mengernyitkan alis membuat Hana berjengit kaget. Wajahnya semakin memerah malu ketika ia menyadari tatapan Mahendra seolah berbicara, ‘kau serius bilang begitu?’

“Maafkan saya! Saya berpikir dangkal! Tentu saja tidak ada, kan?!” Hana cepat-cepat menundukkan kepala. Lebih tepatnya, ia berusaha mengalihkan pandangan dari Mahendra yang terus menatapnya seolah akan menguliti dirinya. 

Mahendra menghela napas. “Tidak ada pesta. Kita hanya beli cincin sebagai penanda sudah menikah untuk dilihat orang-orang,” jelas Mahendra. 

“Setelah itu, kita akan mendaftarkan pernikahan di KUA sekaligus menikah di sana,”

Hana menghela napas lega, “Jadi begitu,”

“Kalau sudah paham cepat keluar. Waktu kita tidak banyak,”

“Baik, pak!”

Hana buru-buru membuka pintu mobil di sisi kirinya. Ia segera turun dan mengejar Mahendra yang sudah berjalan masuk lebih dulu ke dalam toko perhiasan. 

Begitu Hana masuk ke dalamnya, Ia ternganga melihat ornamen-ornamen mewah di sekeliling toko. Kilau-kilau cahaya memenuhi setiap sudut toko, seolah menggoda setiap orang yang masuk agar membelanjakan semua orang mereka. 

Enaknya jadi orang kaya, batin Hana pedih. Ia langsung merasa seperti orang miskin begitu merasakan perhiasan-perhiasan yang dipajang menatap dirinya penuh intimidasi. 

“Hei, cepat kesini!” Seru Mahendra ke Hana yang masih terbengong-bengong. 

Hana buru-buru melangkah menuju counter utama yang sudah ada pegawai toko perhiasan. Begitu berdiri di depan counter, Hana kembali ternganga. Matanya membesar melihat berbagai macam perhiasan indah di dalam counter. 

Enaknya jadi orang kaya!

“Kami butuh cincin yang langsung jadi,” ucap Mahendra ke pegawai di counter. Ia lalu melirik ke arah Hana, “Ukur jari dia,”

“Baik, pak.”

Hana segera mengulurkan tangannya ke pegawai. Pegawai dengan cekatan mengukur lingkar jari manisnya menggunakan meteran sambil menuliskannya di catatan. Setelah beberapa saat, pegawai toko selesai mengukur jari manisnya. 

“Untuk cincinnya, apakah ada request, pak? Seperti warna, permatanya–”

“Tidak perlu. Akan makan waktu lama untuk itu,” potong Mahendra, “Berikan saja cincin sederhana yang sesuai ukuran kami.”

“Baik, pak.”

Pegawai tersebut segera berlalu menuju bagian belakang toko, meninggalkan Hana dan Mahendra yang berdiri canggung. Tidak, sebenarnya hanya Hana saja yang canggung. 

Hana menelan ludah. Ia memutar otak untuk mencari percakapan di antara mereka. Tapi, tidak ada yang muncul.

Apalagi, mengingat dia daritadi sangat cerewet sebelum direkrut, rasa-rasanya ia harus lebih diam sekarang karena pria di sebelahnya sudah menjadi bosnya.

Bos atau .. suami kontraknya?

Hana menghela napas pelan. Baru setengah hari berlalu, tapi rasanya sudah melelahkan. Padahal, baru tadi pagi dia putus asa atas nasib adiknya, kini harapan itu sudah muncul kembali meski dengan risiko besar. 

“Kapan adikmu operasi?”

Hana segera menoleh ketika mendengar pertanyaan Mahendra. Ia mengangguk cepat. 

"Minggu depan, pak,"

"Hm,"

“Akhir-akhir ini kesehatannya terus meningkat jadi dokter Watson bisa menjadwalkan operasinya sesegera mungkin,” ucap Hana sambil tersenyum. 

Mahendra hanya bergumam untuk menanggapi ucapan Hana, tak lanjut berbicara lagi. 

Hana memerhatikan bosnya itu lamat-lamat. Ia menarik napas sejenak, meremas kedua tangannya bersamaan, lalu berkata, 

“Terima kasih banyak, pak, karena telah bersedia menerima saya,” ucap Hana membuat Mahendra menoleh padanya. 

“Berkat bapak, saya bisa memenuhi impian adik saya,”

Mahendra menatap lamat-lamat Hana yang menyunggingkan senyum lebar. Ia kemudian mengalihkan pandangan tak acuh. 

“Kau beruntung karena tidak ada orang lain yang mendaftar,”

“Bapak menyebarluaskan loker itu?”

“Menurutmu?”

Hana mengernyitkan alis kesal. Sepertinya dari tadi, setiap dia bertanya, pria itu akan membalikkannya dengan pertanyaan sarkas. Padahal tinggal menjawab iya atau tidak saja!

“Ingatlah bahwa kau ini karyawan,” ucap Mahendra mengalihkan perhatian Hana lagi, “Meskipun kau berstatus sebagai istri kontrak juga, tapi status karyawanmu lebih tinggi,”

“Jadi, bersikaplah profesional dan jangan memasukkan unsur pribadi apa pun karena saya akan melakukan hal yang sama.”

Hana mengangguk mantap. Tak ada keraguan dalam tatapan matanya ketika memandang Mahendra. 

“Patuhi perintah saya apa pun itu.”

Hana mengangguk dengan perasaan bingung. Bukankah memang harusnya begitu? Batin Hana bertanya-tanya, tapi ia memutuskan untuk tak menanyakannya. 

“Maaf menunggu lama, pak,” ucap pegawai toko yang sudah muncul kembali ke counter. Ia menaruh dua kotak beludru dengan cincin perak di dalamnya. Ada permata kecil di cincin itu yang berkerlap-kerlip indah ketika diterpa cahaya lampu. 

“Apakah ingin saya bungkuskan?” Tanya pegawai toko. 

Mahendra menggeleng, “Akan kami pakai sekarang.”

Eh? Sekarang? Batin Hana sebelum buyar karena Mahendra tiba-tiba menggenggam tangan kanannya. 

“Ba-bapak?”

Mahendra tak menjawab panggilannya. Ia mengangkat tangan kanan Hana kemudian menyematkan cincin itu ke jari manisnya. 

Mata Hana seketika membesar. Jantungnya berdegup kencang hingga bisa ia rasakan di kulit luarnya. Wajahnya menyemburat merah tanpa bisa ia cegah. 

Mahendra kemudian melepasan genggaman tangannya. Ia lalu menyodorkan tangan kanannya ke Hana. 

“Pakaikan,”

“Baik!” Jawab Hana gelagapan sebelum mengambil cincin di counter. 

Dengan tangan gemetar, Hana menyematkan cincin itu di jari manis Mahendra. Meskipun di awal kesusahan karena tangannya tak berhenti gemetar, tapi ia akhirnya berhasil memakaikannya. 

Mahendra segera menurunkan tangannya setelah cincin berhasil dipakaikan. Ia menatap pegawai toko yang memasang wajah tersipu setelah menyaksikan adegan tadi. 

“Kami ambil cincin ini.” ucap Mahendra yang segera menyadarkan pegawai toko. 

Hana menatap lamat-lamat sosok Mahendra yang tengah melakukan pembayaran dari belakang. Ia meremas celananya erat-erat, berusaha meredam jantungnya yang masih berdetak tak karuan. 

Tenanglah diriku! Profesionallah! 

Setelah melakukan pembayaran, Hana dan Mahendra segera melangkah keluar dari toko perhiasan. 

Mahendra menghentikan langkahnya ketika sudah berada di dekat mobil. Hana yang berjalan di belakangnya refleks menghentikan langkah. Ia menatap Mahendra yang balas menatapnya datar. 

“Kerja bagus buat tadi,” ucap Mahendra, “Pegawai toko itu sangat suka bergosip. Dia akan menjadi saksi kalau kita pasangan suami-istri sungguhan,”

Jadi begitu, batin Hana. Ia mengangguk-angguk, terlalu bingung untuk menjawab ucapan Mahendra. 

Mahendra mengerutkan alis, “Kau tidak salah tingkah, kan?”

“Tentu saja tidak!” Bantah Hana cepat, “Itu adalah bagian dari tugas saya.”

Mahendra menyeringai, “Itu benar. Dan ada satu tugas lagi untukmu malam ini,”

Hana mengangguk. Ia bersiap mendengarkan perintah Mahendra dengan saksama. 

“Malam ini adalah perayaan ke-sepuluh tahun berdirinya Rumah Sakit Widya,” ucap Mahendra memulai, “Dengan kata lain, keluarga saya akan hadir begitu juga dengan kolega-kolega saya,”

Mahendra menaruh kedua tangannya ke dalam saku. Mata hitamnya menatap Hana saksama yang memasang wajah tegang. 

“Tugasmu adalah mendampingi saya di acara tersebut dan berkenalan secara resmi sebagai istri saya ke mereka.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 25: Ingin Bersama Lebih Lama

    Setelah malam itu, Hana tidak bertemu lagi dengan Mahendra. Bahkan, pria itu sama sekali tidak menghubungi Hana. Hal ini sudah berlangsung selama tiga hari. Sepertinya, Mahendra sengaja melakukannya agar Hana benar-benar fokus dengan pengobatan Alex. Meski begitu, Hana merasa bersalah jika hanya berdiam diri. Jadi, ia seringkali mengirim pesan kepada Mahendra untuk bertanya tentang tugasnya. Sayangnya, Mahendra kadang hanya menjawab ‘tidak’ dengan singkat atau tidak membacanya sama sekali. Sama seperti kali ini. Pesan yang Hana kirimkan sejak tadi pagi hanya tertulis ‘sudah terkirim’ hingga siang ini. Hana menghela napas. “Kakak terlihat gelisah sekali,”Hana menoleh ke Alex yang sedang mengerjakan buku latihan ujian masuk kuliah. Meski ia berbicara ke Hana, tapi tatapannya tetap tertuju pada buku di hadapannya. “Kakak gelisah karena tidak bekerja?” Tanya Alex. “Sedikit,” Hana mengusap-usap lehernya, “Kau tahu, kan, kakak jarang sekali cuti,”“Kalau begitu, nikmatilah sekarang,”

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 24: Berubah Pandangan

    “Liburan? Maksud bapak apa?”Hana memasang wajah serius, “Apa itu kegiatan yang harus saya hadiri untuk status itu?”“Kau cepat tanggap, ya,” Hana mendengus ketika Mahendra menyeringai semakin lebar. Ia melirik ke belakang, memastikan Alex masih tertidur lalu berkata, “Sebaiknya kita bicara di luar saja,”Mahendra mundur ke belakang, mempersilahkan Hana untuk keluar. Gadis itu segera menutup pintu ketika sudah di luar. “Ngomong-ngomong, kenapa kau di sini?” Tanya Mahendra sambil memerhatikan kamar Alex dari luar. Hana mengernyitkan alis, “Maksud bapak?”“Saya sudah bilang ke dokter Watson untuk menaruh adikmu di ruangan VVIP buat perawatan pasca operasi,”Hana tercekat. Ia menatap Mahendra tidak percaya. “Itu … dipotong dari gaji saya, kan?”“Kenapa kamu terobsesi sekali menyuruh saya untuk memotong gajimu?”Hana menghela napas. Ia tidak paham apakah bosnya ini memang tidak mengerti maksudnya atau hanya pura-pura tidak tahu. Atau … pria ini melakukannya demi citranya? Biar dia ter

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 23: Liburan Bersama?

    Hana memeluk Alex erat-erat. Sementara itu, Alex hanya mengernyitkan alis dan berkata pelan, “Aku baik-baik saja, kak. Pelukan kakak terlalu kencang.”“Maaf,” Hana tersenyum kecil ketika melepaskan pelukannya, “Kakak terlalu senang karena kau sudah siuman,”Alex tersenyum kecil. Ia paham betapa khawatir kakaknya tadi, hal itu terlihat sangat jelas di wajahnya. Apalagi, ia juga mengetahui bahwa kakaknya sedang sangat merasa bersalah sekarang karena ketidak sigapannya tadi. “Bagaimana rasanya pasang ring jantung?” Tanya Hana dengan mata berbinar-binar. Alex menghela napas. “Tidak kerasa perubahan yang berarti, sih,” balas Alex. Ia kemudian melirik David yang berdiri di depan ranjangnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kak David ada di sini? Kakak memanggilmu saking paniknya, ya?”David tertawa, “Iya. Kau taulah kakakmu kalau panik seperti apa,”“Aku sangat tahu, kok,”Alex dan David terkekeh bersama, sementara Hana mengerucutkan bibirnya. “ALEX!!!”Ketiganya segera menoleh ke pintu dan mel

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 22: Tidak Terlalu Buruk

    Pertama kali Hana mengetahui bahwa adiknya memiliki sakit jantung adalah saat Alex berada di tahun kedua SMP. Pria itu tiba-tiba mengeluhkan dadanya nyeri dan rasa sakitnya tidak berkurang meski berhari-hari. Kala itu jugalah pertama kalinya Hana bertemu dengan dokter Watson. Dokter ramah dan baik hati itu tanpa segan membayarkan biaya berobat Alex karena tidak sengaja mendengar kakak beradik itu saling menenangkan diri terkait biaya pengobatan Alex. Semenjak itu, Alex menjadi langganan tetap pasien dokter Watson karena nyeri dadanya suka kambuh. Meski begitu, tidak pernah terjadi hal parah atas penyakitnya. Selama 3 tahun atau hingga Alex kelas sebelas, ia hanya mengalami nyeri dada ringan dan tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari meski tetap membatasi aktivitas berat. Tapi, ketika Alex baru lulus SMA dan sedang giat-giatnya belajar untuk persiapan masuk kuliah, Alex tiba-tiba ambruk di tempat lesnya. Hana masih ingat ketika ia begitu kalang kabut menuju rumah sakit dengan jan

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 21: Panggilan Tak Terjawab

    “Besok saya akan pergi ke taman bermain bersama David,”Mahendra melirik Hana yang sedang memegangi jasnya setelah dipakai tadi. Ia melonggarkan dasinya dan berkata, “Kenapa?”“Ini balasan untuk bantuan David, pak,”Mahendra mengangkat alis, mengingat-ingat kejadian ketika sang gadis menelepon David dan teringat dengan percakapan singkat yang ia dengar itu. Percakapan yang sama sekali tidak cocok untuk gadis tidak peka ini. “Ya. Pergilah,” ujar Mahendra, “Besok juga tidak ada agenda.”“Terima kasih banyak, pak!” Seru Hana riang. Ia berbalik badan dan bersenandung pelan tanpa menyadari tatapan lekat Mahendra. Sejujurnya, Hana memang cukup menunggu jadwal bermain ini. Ia sangat lelah dengan berbagai drama selama seminggu ke belakang dan agenda bermain ini menjadi hadiah yang sangat bagus untuknya!Kondisi Alex juga baik, jadi ia tak perlu khawatir tentang adiknya itu selama pergi besok. “Kau membersihkan rumah?” Tanya Mahendra melihat rumahnya terlihat lebih bersih dari biasanya. Pa

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 20: Pria Aneh

    Ketika turun dari tangga, Fanesya bisa langsung melihat Hana di ruang makan, Seperti biasa, gadis itu telaten menyiapkan makanan. Fanesya mendengus pelan. Ia berjalan menuju meja makan dan berhenti di dekatnya. “Mana Mahendra?” Tanyanya ketus pada Hana yang segera menghentikan kegiatannya. “Mas Mahendra pergi sangat pagi tadi karena ada rapat katanya,” balas Hana dengan senyum canggung. Ini pertama kalinya mereka hanya makan berdua, jadi tentu saja Hana merasa sangat gugup dan khawatir sekarang. Fanesya mendengus lagi. Ia duduk di atas kursinya, bersebrangan dengan Hana yang juga segera duduk. Wanita itu menatap makanannya di hadapannya, terlihat enak seperti biasanya. Tapi, tentu saja dia tidak akan mengatakannya ke gadis di depannya ini. Kalau dia melakukan itu, bukankah akan memberi kesan kalau ia sudah menerimanya?“Mumpung kita berdua, mari kita berbincang,” ucap Fanesya sambil menatap lurus Hana. Hana menelan ludah, ia mengangguk pelan. “Apa tujuanmu mendekati Mahendra?” Ta

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status