“Bukankah kau sudah menolaknya?”
“Saya berubah pikiran!”
Mahendra mendengus. Tatapannya menatap dingin sosok gadis di hadapannya.
“Kau kepepet untuk membayar biaya operasi adikmu makanya berubah pikiran?”
“Saya …”
“Lupakan saja penawarannya. Saya tidak butuh karyawan plin plan sepertimu.”
Mahendra berjalan melewati gadis di hadapannya tanpa melihat reaksi Hana terlebih dahulu. Ia kemudian tersentak karena tiba-tiba jasnya ditarik.
Mahendra menoleh dan menatap tajam Hana yang memasang wajah memohon.
“Lepaskan,”
“Saya tidak akan lepas sampai anda menerima saya!”
“Lihatlah sikapmu itu. Kau pikir ini cara yang bagus untuk meyakinkan pemberi kerja?”
“Anda yang menawarkan saya terlebih dahulu!”
“Penawaran hanya terbuka semalam.”
“Kalau begitu saya tidak akan lepas!”
Mahendra berdecak. Dengan cepat, ia melepas jasnya yang masih ditarik kemudian segera pergi buru-buru. Meninggalkan jasnya begitu saja di tangan Hana.
Hana melongo. Memangnya bisa begitu ya?!
Gadis itu buru-buru berlari mengejar Mahendra yang sudah berada di dekat pintu keluar.
Cepat sekali jalannya!
“Pak! Bapak!”
Hana terus berlari hingga keluar lobi rumah sakit sambil membawa-bawa jas Mahendra. Ia tidak memedulikan orang-orang yang menatapnya heran.
Begitu di luar rumah sakit, Hana celingukan kesana kemari. Gawat, ia kehilangan jejak!
Hana berpikir secepat mungkin. Pria tadi terlihat formal dan rapih, bisa jadi dia adalah pasien VIP atau wali pasien VIP. Bisa juga dia tamu VIP!
Aku harus mencari tempat parkir untuk tamu VIP, batin Hana kemudian melangkah cepat menuju basement.
Sesampai di sana, Hana kembali celingukan dan berhasil menemukan Mahendra yang baru masuk ke mobil mahal di tempat parkir yang memiliki plang di depannya.
Ia buru-buru berlari dan berteriak, “Bapak terhormat! Jas anda ketinggalan!”
Pergerakan Mahendra seketika terhenti. Ia menatap jengkel ke sosok Hana yang sudah berdiri di dekat mobilnya dengan napas terengah-engah.
“Ja-jas anda ..” Hana menyodorkan jas di tangannya ke Mahendra.
Mahendra mengambil jasnya dengan kasar. Ia kemudian melanjutkan gerakannya untuk duduk di kursi mobil dan memegang handle pintu mobil.
“Pak! Tolong pertimbangkan saya!” Seru Hana sambil menahan pintu mobil Mahendra.
Mahendra menggeram kesal. Tatapan matanya menusuk lebih tajam daripada tadi.
“Sudah saya bilang, saya tidak butuh karyawan plin-plan.”
“Saya memiliki pengalaman kerja 5 tahun! Saya sangat kompeten! Saya bisa menjaminnya!”
“Sangat kompeten tapi dipecat?”
Perkataan itu menusuk hati Hana dengan sangat kuat. Apalagi, pria itu mengucapkannya dengan nada remeh.
Hana berusaha meredam emosi dalam dirinya lalu berkata, “Saya kan sudah cerita kalau itu karena perbuatan culas mereka!”
“Tapi saya tidak melihat kompetenmu sekarang.”
Hana seketika terdiam. Tangannya yang menahan pintu mobil perlahan melemah.
Mahendra yang menyadari Hana mulai menyerah mendengus pelan. Ia kembali menarik pintu mobil, tapi pergerakannya terhenti karena ucapan Hana.
“Saya akan bersujud di depan bapak agar saya diterima,”
Mahendra mengedipkan mata.
“Saya akan terima apa pun pekerjaan nanti. Lembur berapa lama pun akan saya lakukan. Saya juga akan terima apabila harus bekerja di luar jam kerja!”
Hana menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Jadi, tolong terima saya. Saya membutuhkan pekerjaan ini.”
Keadaan menjadi hening.
Mahendra menatap lamat-lamat sosok gadis di hadapannya yang masih menundukkan kepala. Ia kemudian menghela napas panjang dan mengusak rambut hitamnya.
“Naik dulu ke mobil.”
Hana segera mengangkat kepalanya dan melihat Mahendra sudah beringut ke ujung kursi lain.
“Cepat.”
Hana buru-buru naik ke dalam mobil kemudian menutup pintu. Tak lama, mobil mulai menyala dan meninggalkan tempat parkir.
Keduanya masih terdiam hingga mobil meninggalkan rumah sakit.
Hana melirik Mahendra dari sudut matanya. Wajah pria itu masih datar dan terlihat… kesal?
Mungkin saja. Karena bagaimana pun, sikap Hana tadi sangat menyebalkan.
Hana mendesah pelan. Mungkin seharusnya aku tidak mendesaknya seperti itu, batinnya.
Hana kemudian menolehkan kepalanya ke Mahendra.
“Pak … Em ..”
“Mahendra,” ucap pria itu datar.
“Pak Mahendra,” Hana mengangguk, “Maaf atas perilaku menyebalkan saya tadi,”
“Kau baru sadar sekarang?” Sindir Mahendra tanpa menatap Hana dan bersedekap, membuat Mahendra terlihat mengintimidasi.
Hana menelan ludah, kehabisan kata-kata. Ia kembali memalingkan pandangan dan menunduk.
“Asal tahu saja, saya tidak akan berubah pikiran tentang sebelumnya,”
“Bapak boleh tes saya!” Seru Hana cepat sambil kembali memandang Mahendra, “Saya selalu dapat nilai sempurna!”
Mahendra menghela napas kencang membuat Hana berjengit kaget. Lagi-lagi ia keceplosan!
“Maksud saya–”
“Sudah cukup. Carlos, hentikan mobilnya.”
Mobil mewah yang ditumpangi Hana seketika berhenti. Mahendra menatap tajam Hana yang kini menciut ketakutan.
“Kau gagal diterima,”
“Apa salah saya?!”
“Salahmu? Tidak ada,” wajah Mahendra kemudian menggelap seiring seringai lebar terbentuk di wajahnya, “Bukankah kamu sendiri yang menganggap saya sebagai penipu?”
Hana tersentak kaget. Ia menelan ludah dengan berat sebelum berbicara pelan, “Sa-saya salah menilai–”
“Kamu tahu siapa saya?”
Hana menggigit bibir. Gawat! Ia tidak punya petunjuk!
Otaknya berhenti berpikir karena tekanan yang ia rasakan sehingga tidak mampu mengeluarkan sebuah jawaban.
Ia melirik Carlos yang terpantul di cermin pengemudi, tapi pria itu hanya meliriknya datar dan melengoskan pandangan.
Hana memelototkan matanya, hendak memberikan tekanan kepada Carlos. Tapi, ia seketika tersentak kaget ketika tangan Mahendra melewati dirinya dan bertumpu pada pintu mobil, membuat dirinya seolah terpenjara.
Hana menoleh patah-patah ke Mahendra. Lagi-lagi, ia menelan ludah karena Mahendra sudah semakin mendekati dirinya dengan tatapan yang lebih tajam.
“Jadi?”
“Ba-bapak … orang penting …?”
Hana tersenyum meyakinkan meski wajahnya sudah berkeringat banyak sekarang. Jantungnya berdebar kencang ketika Mahendra bergeming sejenak sebelum akhirnya menjauh dan melepaskan kungkungan tangannya.
“Tidak buruk,”
Hana menghela napas lega, ia bahkan tidak menyadari sejak kapan sudah menahan napas.
“Kau ingin tahu pekerjaan apa yang saya tawarkan?”
Hana mengangguk cepat. Wajah pucatnya sudah berubah menjadi antusias lagi.
Mahendra menyeringai. “Heh, lihat dirimu yang menyedihkan itu,” ucapnya sinis, “Setelah merendahkan orang sekarang berharap imbalan darinya?”
“Saya–”
“Carlos, berikan dokumennya kepada wanita menyedihkan ini,”
Tanpa berbicara apa pun, Carlos segera memberikan map berwarna coklat ke hadapan Hana. Hana segera mengambilnya dan mengeluarkan bundelan kertas dari map tersebut. Ia segera membaca judul dokumen tersebut.
Kontrak Kerja sebagai Istri dari Mahendra Hastungkoro - Direktur Rumah Sakit Widya.
Tunggu, apa?!
Mata Hana membulat seketika. Ia mengucek-ucek mata, takut salah melihat tulisan judulnya. Tapi ketika ia membacanya lagi, tidak ada perubahan tulisan di judul tersebut.
Judul dokumen di tangannya memang itu; Kontrak Kerja sebagai Istri dari Mahendra Hastungkoro - Direktur Rumah Sakit Widya.
“Ba-bapak … Direktur Rumah Sakit Widya ..?” Tanya Hana gelagapan dengan wajah pucat. Ia menatap was-was Mahendra yang kini menyeringai lebar.
“Benar,” ucap Mahendra tenang tapi justru membuat Hana gelisah, “Direktur rumah sakit tempat adikmu dirawat.”
Tubuh Hana seketika bergetar. Bukankah ini sangat gawat?! Ia daritadi bersikap tidak sopan dan menyinggung pak direktur! Bagaimana kalau perawatan adiknya dicabut?!
Ia kemudian tersentak ketika menyadari plang di depan mobil Mahendra yang terparkir di basement rumah sakit bertuliskan; tempat parkir khusus direktur.
Dasar bodoh! Kenapa ia baru menyadarinya sekarang?!
“La-lalu … i-istri ..?”
“Iya, itulah pekerjaannya,” Mahendra menghadapkan badannya ke arah Hana dan menopangkan sisi kepalanya dengan menyandarkan tangan kirinya di sandaran mobil.
“Pekerjaan yang saya tawarkan adalah menjadi istri kontrak,”
“I-Istri kontrak?!”
“Oh dan kamu tadi bilang saya bisa mengetesmu kan?”
Mahendra mencondongkan wajahnya dan menyeringai semakin lebar ketika melihat reaksi gugup Hana.
“Cium saya di bibir agar Carlos menilai kau sudah cocok jadi istri saya atau belum.”
Setelah malam itu, Hana tidak bertemu lagi dengan Mahendra. Bahkan, pria itu sama sekali tidak menghubungi Hana. Hal ini sudah berlangsung selama tiga hari. Sepertinya, Mahendra sengaja melakukannya agar Hana benar-benar fokus dengan pengobatan Alex. Meski begitu, Hana merasa bersalah jika hanya berdiam diri. Jadi, ia seringkali mengirim pesan kepada Mahendra untuk bertanya tentang tugasnya. Sayangnya, Mahendra kadang hanya menjawab ‘tidak’ dengan singkat atau tidak membacanya sama sekali. Sama seperti kali ini. Pesan yang Hana kirimkan sejak tadi pagi hanya tertulis ‘sudah terkirim’ hingga siang ini. Hana menghela napas. “Kakak terlihat gelisah sekali,”Hana menoleh ke Alex yang sedang mengerjakan buku latihan ujian masuk kuliah. Meski ia berbicara ke Hana, tapi tatapannya tetap tertuju pada buku di hadapannya. “Kakak gelisah karena tidak bekerja?” Tanya Alex. “Sedikit,” Hana mengusap-usap lehernya, “Kau tahu, kan, kakak jarang sekali cuti,”“Kalau begitu, nikmatilah sekarang,”
“Liburan? Maksud bapak apa?”Hana memasang wajah serius, “Apa itu kegiatan yang harus saya hadiri untuk status itu?”“Kau cepat tanggap, ya,” Hana mendengus ketika Mahendra menyeringai semakin lebar. Ia melirik ke belakang, memastikan Alex masih tertidur lalu berkata, “Sebaiknya kita bicara di luar saja,”Mahendra mundur ke belakang, mempersilahkan Hana untuk keluar. Gadis itu segera menutup pintu ketika sudah di luar. “Ngomong-ngomong, kenapa kau di sini?” Tanya Mahendra sambil memerhatikan kamar Alex dari luar. Hana mengernyitkan alis, “Maksud bapak?”“Saya sudah bilang ke dokter Watson untuk menaruh adikmu di ruangan VVIP buat perawatan pasca operasi,”Hana tercekat. Ia menatap Mahendra tidak percaya. “Itu … dipotong dari gaji saya, kan?”“Kenapa kamu terobsesi sekali menyuruh saya untuk memotong gajimu?”Hana menghela napas. Ia tidak paham apakah bosnya ini memang tidak mengerti maksudnya atau hanya pura-pura tidak tahu. Atau … pria ini melakukannya demi citranya? Biar dia ter
Hana memeluk Alex erat-erat. Sementara itu, Alex hanya mengernyitkan alis dan berkata pelan, “Aku baik-baik saja, kak. Pelukan kakak terlalu kencang.”“Maaf,” Hana tersenyum kecil ketika melepaskan pelukannya, “Kakak terlalu senang karena kau sudah siuman,”Alex tersenyum kecil. Ia paham betapa khawatir kakaknya tadi, hal itu terlihat sangat jelas di wajahnya. Apalagi, ia juga mengetahui bahwa kakaknya sedang sangat merasa bersalah sekarang karena ketidak sigapannya tadi. “Bagaimana rasanya pasang ring jantung?” Tanya Hana dengan mata berbinar-binar. Alex menghela napas. “Tidak kerasa perubahan yang berarti, sih,” balas Alex. Ia kemudian melirik David yang berdiri di depan ranjangnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kak David ada di sini? Kakak memanggilmu saking paniknya, ya?”David tertawa, “Iya. Kau taulah kakakmu kalau panik seperti apa,”“Aku sangat tahu, kok,”Alex dan David terkekeh bersama, sementara Hana mengerucutkan bibirnya. “ALEX!!!”Ketiganya segera menoleh ke pintu dan mel
Pertama kali Hana mengetahui bahwa adiknya memiliki sakit jantung adalah saat Alex berada di tahun kedua SMP. Pria itu tiba-tiba mengeluhkan dadanya nyeri dan rasa sakitnya tidak berkurang meski berhari-hari. Kala itu jugalah pertama kalinya Hana bertemu dengan dokter Watson. Dokter ramah dan baik hati itu tanpa segan membayarkan biaya berobat Alex karena tidak sengaja mendengar kakak beradik itu saling menenangkan diri terkait biaya pengobatan Alex. Semenjak itu, Alex menjadi langganan tetap pasien dokter Watson karena nyeri dadanya suka kambuh. Meski begitu, tidak pernah terjadi hal parah atas penyakitnya. Selama 3 tahun atau hingga Alex kelas sebelas, ia hanya mengalami nyeri dada ringan dan tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari meski tetap membatasi aktivitas berat. Tapi, ketika Alex baru lulus SMA dan sedang giat-giatnya belajar untuk persiapan masuk kuliah, Alex tiba-tiba ambruk di tempat lesnya. Hana masih ingat ketika ia begitu kalang kabut menuju rumah sakit dengan jan
“Besok saya akan pergi ke taman bermain bersama David,”Mahendra melirik Hana yang sedang memegangi jasnya setelah dipakai tadi. Ia melonggarkan dasinya dan berkata, “Kenapa?”“Ini balasan untuk bantuan David, pak,”Mahendra mengangkat alis, mengingat-ingat kejadian ketika sang gadis menelepon David dan teringat dengan percakapan singkat yang ia dengar itu. Percakapan yang sama sekali tidak cocok untuk gadis tidak peka ini. “Ya. Pergilah,” ujar Mahendra, “Besok juga tidak ada agenda.”“Terima kasih banyak, pak!” Seru Hana riang. Ia berbalik badan dan bersenandung pelan tanpa menyadari tatapan lekat Mahendra. Sejujurnya, Hana memang cukup menunggu jadwal bermain ini. Ia sangat lelah dengan berbagai drama selama seminggu ke belakang dan agenda bermain ini menjadi hadiah yang sangat bagus untuknya!Kondisi Alex juga baik, jadi ia tak perlu khawatir tentang adiknya itu selama pergi besok. “Kau membersihkan rumah?” Tanya Mahendra melihat rumahnya terlihat lebih bersih dari biasanya. Pa
Ketika turun dari tangga, Fanesya bisa langsung melihat Hana di ruang makan, Seperti biasa, gadis itu telaten menyiapkan makanan. Fanesya mendengus pelan. Ia berjalan menuju meja makan dan berhenti di dekatnya. “Mana Mahendra?” Tanyanya ketus pada Hana yang segera menghentikan kegiatannya. “Mas Mahendra pergi sangat pagi tadi karena ada rapat katanya,” balas Hana dengan senyum canggung. Ini pertama kalinya mereka hanya makan berdua, jadi tentu saja Hana merasa sangat gugup dan khawatir sekarang. Fanesya mendengus lagi. Ia duduk di atas kursinya, bersebrangan dengan Hana yang juga segera duduk. Wanita itu menatap makanannya di hadapannya, terlihat enak seperti biasanya. Tapi, tentu saja dia tidak akan mengatakannya ke gadis di depannya ini. Kalau dia melakukan itu, bukankah akan memberi kesan kalau ia sudah menerimanya?“Mumpung kita berdua, mari kita berbincang,” ucap Fanesya sambil menatap lurus Hana. Hana menelan ludah, ia mengangguk pelan. “Apa tujuanmu mendekati Mahendra?” Ta