“Tugasmu adalah mendampingi saya di acara tersebut dan berkenalan secara resmi sebagai istri saya ke mereka.”
“Bagaimana bisa aku melakukannya??!!!”
Hana berguling-guling di atas kasur sambil menjambak rambutnya frustasi. Tadi, setelah membeli cincin dan menikah di KUA, Mahendra mengantarnya ke apartemennya dan bilang akan menjemputnya jam 7 malam nanti.
“Dandan yang cantik,” itulah yang bosnya ucapkan sebelum meninggalkannya.
Masalahnya, Hana memiliki 0 pengetahuan tentang make up. Bukan sama sekali tidak tahu, sih, tapi dia hanya tahu make-up basic! Tentu saja itu bukan make-up yang cocok untuk ke acara formal orang kaya.
Terlebih lagi, dia tidak punya gaun cantik! Dan bukankah seharusnya, setahu yang Hana baca di novel online, bukankah seharusnya sang pria mempersiapkan sang perempuan untuk ke acara seperti itu?!
Seperti, membawanya ke salon mahal atau membelikan gaun mewah yang tidak pernah bisa dibeli oleh sang perempuan.
Usai berguling-guling frustasi, Hana menghela napas panjang. “Aku harus menghubungi Annete,” gumamnya lalu bangkit mengambil ponselnya di atas nakas.
Annete Milandra adalah sahabatnya sejak SMA. Gadis itu sangat modis dan paham dunia permake-upan. Bisa dibilang, dia seperti beauty influencer yang ada di media sosial.
Hana belajar banyak soal skincare dan basic make-up kepada sahabatnya itu. Karena itulah, dia paham betapa rumitnya make-up dan enggan untuk belajar lebih lanjut.
Tapi, mungkin dia harus mulai belajar sekarang. Menjadi istri kontrak Mahendran tandanya dia harus siap menghadiri berbagai pesta megah seperti ini dan tentu ia tidak bisa merepotkan Annette terus.
“Annette, tolong!” Seru Hana setelah teleponnya tersambung ke sahabatnya, “Tolong dandani aku dan pinjamkan gaun!”
“Kau kesambet ya?” Balas Annette membuat Hana meringis, “Aku yakin kau pasti bukan Hana!”
“Ayolah, tolong aku. Ini benar-benar aku!”
“Kenapa tiba-tiba mau dandan begitu?”
“Aku,” Hana menelan ludah, “Aku berkenalan dengan pria kaya raya dan sekarang dia mengajakku ke salah satu pestanya.”
Tidak sepenuhnya bohong, kan?
“YANG BENAR??!!” seru Annette membuat Hana harus menjauhkan sejenak ponselnya dari telinganya, “Oke! Aku segera kesana! Tunggu sebentar!”
Telepon dimatikan tanpa sempat Hana balas. Gadis itu menghela napas dan menidurkan kembali dirinya di kasur.
Pesta belum dimulai tapi rasanya dia sudah sangat lelah.
“Oh ya, aku harus mengabari Alex kalau aku akan datang telat nanti,” gumam Hana ketika teringat malam ini jadwalnya menginap di rumah sakit.
Hana kembali menyalakan ponselnya dan menghubungi adiknya. Tak butuh waktu lama hingga teleponnya tersambung.
“Hai, kak. Masih ingat adikmu?”
Sindiran Alex membuat Hana meringis. Ia baru teringat tadi pagi meninggalkan adiknya begitu saja tanpa berbicara apa pun.
“Maaf. Tadi ada urusan kerja mendadak,”
“Meskipun sekarang hari libur?”
Aduh, dia salah ngomong!
“Iya, begitulah,” ucap Hana berusaha mengakhiri topik mereka sekarang, “Oh ya Lex, aku akan datang telat nanti ke rumah sakit karena ada urusan. Minum obat dan habiskan makan malamnya, ya.”
“Kakak tenang saja, aku bukan anak kecil yang susah makan lagi,” kelakar Alex, “Oke, selamat bersenang-senang,”
Setelah berbicara beberapa patah kata lagi, Hana mematikan teleponnya. Bertepatan dengan itu, pintu apartemennya diketuk.
Hana segera bangkit dari kasur dan melangkah menuju pintu. Ia membukanya dan menemukan wajah antusias Annette dengan tas selempang besar di sisi tubuhnya.
“Jadi, siapa pria yang beruntung itu?”
***
Pukul setengah tujuh, Hana selesai didandani. Kini, gaun merah marun dengan kerah putih dan hiasan bunga mawar di dada sudah melekat di tubuhnya. Ada untaian permata kecil di bagian roknya yang berkerlap-kerlip indah.
“Sudah kubilang kau sangat cantik kalau berdandan!” Puji Annete dengan mata berbinar-binar, “Sekarang pria itu pasti akan takluk padamu!”
Hana meringis. Membayangkan Mahendra terpesona rasanya agak … membuatnya merinding, bahkan sebenarnya ia tak bisa membayangkannya sama sekali karena pria itu terlalu cuek!
“Aku penasaran apakah David juga ke pesta itu atau tidak,” ucap Annete sembari merapihkan alat-alat make-upnya ke dalam tas.
David juga merupakan sahabat mereka sejak SMA. Pada dasarnya, mereka bertiga memang satu geng saat SMA dan terus bertahan hingga sekarang.
“Oh ya, dia juga kaya ya,” ucap Hana baru teringat, “Tapi, kayaknya nggak mungkin deh. Masa lingkaran orang kaya ter-sekoneksi itu?”
“Yah, siapa tau kan?” Annette mengangkat kedua bahunya, “Nanti kirimin foto dia ya kalau datang!”
Hana tertawa melihat wajah penuh harap Annete. Ia mengangguk.
Hana memang sudah tahu kalau Annette menyukai sahabat lelaki mereka sejak kuliah, tapi belum berani mengungkapkannya hingga sekarang. Bisa dibilang, Annete hanya secret admirer David untuk sekarang.
“Aku pamit dulu. Have fun ya!” Pamit Annette usai merapihkan berbagai alatnya.
Hana mengangguk dengan seulas senyum lebar. Ia memberikan ucapan terima kasih kepada Annette dan mengantarkannya ke depan pintu.
Ketika Annette keluar dan dia menutup pintu, Hana segera menghela napas kencang. Jantungnya berdegup kencang.
Ya, sejak tadi Hana memang gugup tiap memikirkan perihal pesta itu. Ia tadi tidak terlalu gugup karena Annette masih menemaninya, tapi ketika sahabatnya itu pergi, perasaan gugup itu menguasai seluruh dirinya!
Hana yakin ia cukup memiliki pengetahuan tentang etika di dalam pesta karena bukan sekali ini saja dia berpesta, tapi ini benar-benar pesta orang kaya yang tidak pernah Hana hadiri!
Ia khawatir akan menyinggung orang-orang di sana karena kesalahan bicaranya atau merepotkan Mahendra sehingga pria itu akan memecatnya. Ia bahkan tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan keluarga Mahendra karena pria itu tidak memberikan instruksi apa pun!
Bukankah dia terlalu tidak tahu diri? Batin Hana sambil mendengus kesal.
Menyerahkan semua urusan begitu saja di tangannya tanpa memberikan training! Dia ini anak baru jadi tentu saja perlu panduan!
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi nyaring. Hana segera mendekati nakas dan mengambil ponselnya. Tertera tulisan ‘bos’ di layar ponselnya.
“Saya sudah di depan,” ucap Mahendra kemudian menutup telepon tanpa membiarkan Hana berbicara apa pun.
Hana mendengus kesal. Ia buru-buru mengambil tas tangannya di atas kasur dan melangkah menuju pintu.
Hana berjalan perlahan menuruni tangga apartemen dengan sepatu haknya. Ia lalu menuju mobil mewah Mahendra yang sudah terparkir di depan pagar apartemen.
Ada Carlos di sebelah mobil. Ketika melihat kehadiran Hana, pria berkacamata itu sigap membuka pintu mobil untuk Hana.
“Terima kasih, Carlos,” ucap Hana dengan seulas senyum. Carlos hanya mengangguk dengan wajah datar. Pria itu benar-benar pendiam.
Hana segera masuk ke dalam mobil dan pintu ditutup Carlos. Asisten Mahendra itu kemudian berjalan menuju kursi pengemudi dan mulai melajukan mobil.
“Dandananmu tidak buruk juga,”
Hana menoleh ke sumber suara dan melihat Mahendra menatapnya penuh selidik. Bola mata pria itu naik-turun, melihat keseluruhan penampilan Hana.
“Terima kasih, pak. Bapak juga–”
Hana menghentikan ucapannya ketika benar-benar memerhatikan penampilan Mahendra.
Bukankah bosnya ini terlihat sangat … tampan?
Sebenarnya, penampilannya tidak jauh beda dengan tadi pagi. Tapi kali ini, jasnya tidak hanya membalut kemeja putih, tapi juga vest hitam yang membalut rapat tubuhnya, membuat bentukan badannya agak terlihat.
Tidak, tunggu, apakah badan bosnya memang sebagus itu daritadi?
“Dasar mesum,”
Ucapan Mahendra menyentakkan Hana kembali. Wajahnya memerah ketika melihat Mahendra memicingkan mata ke arahnya.
Gawat, dia kelepasan menatap terlalu lama!
Hana berdehem lalu mengalihkan pandangannya kembali ke depan. “Saya hanya ingin bilang penampilan bapak juga bagus malam ini,” klarifikasi Hana.
“Dengan tatapan mesum seperti itu?”
“Saya tidak menatap mesum,”
“Heh,” Mahendra menyeringai, “Menatap badan orang dalam waktu lama bukan mesum? Menurutmu bagaimana, Carlos?”
“Menurut saya mesum, pak.”
Mata Hana membelalak. Ia menggeram kesal sambil memicingkan mata ke Mahendra yang sudah duduk santai.
Dasar pria menyebalkan!
Beberapa menit kemudian, mereka akhirnya sampai di lokasi acara. Sebuah hotel mewah bintang lima yang banyak dibicarakan di internet. Hana benar-benar tidak menyangka ia akhirnya bisa datang kesini.
Carlos membawa mobil ke depan pintu lobi hotel. Seorang petugas hotel membukakan pintu di samping Mahendra. Mahendra melangkah turun dari mobil diikuti Hana. Pria itu merapihkan sejenak jasnya yang sedikit kusut karena duduk tadi.
“Nyonya Hastungkoro baru saja datang,” beritahu petugas hotel lain ke Mahendra.
Mahendra mengangguk dengan wajah datar. Ia lalu menyodorkan tangannya ke Hana.
“Pegangan tangan,” titahnya.
Hana menelan ludah. Ia mengulurkan tangan dan menggenggam jari jemari Mahendra dengan sedikit gemetar.
“Tanganmu berkeringat,” decak Mahendra.
“Ma-maaf saya gugup karena baru pertama kali pegangan tangan dengan lelaki,”
“Dasar amatir,” dengus Mahendra, “Berusahalah untuk tenang agar kita tidak ketahuan.”
Hana mengangguk kecil. Ia mulai melangkah masuk ke dalam hotel bersama Mahendra.
Begitu masuk, beberapa orang langsung menyapa Mahendra. Sepertinya itu kolega-kolega bosnya.
“Siapa perempuan cantik ini, Hendra?” Tanya salah satu kolega bosnya.
Mahendra melirik sejenak ke Hana. Hana yang menyadari tatapan itu segera tersenyum kaku dan menganggukkan kepala.
“Salam kenal. Saya Hana Sullivan, i-istri pak Mahendra,”
“Istri?!” Seru beberapa orang terkaget-kaget, “Sejak kapan kau menikah, Ndra?”
“Baru saja. Satu minggu lalu,” jawab Mahendra tenang, “Saya permisi masuk ke dalam ruang pesta.”
Tubuh Hana segera ditarik ke dalam ruang pesta, meninggalkan kolega-kolega Mahendra yang kini asyik bergosip tentang bosnya.
“Tetap pertahankan seperti tadi,” ucap Mahendra sebelum membuka pintu ruang pesta. Ia menatap tajam Hana.
“Suami-istri. Baru menikah seminggu lalu,”
Hana mengangguk pelan. Sebenarnya, pikirannya agak kosong sekarang sehingga ia hanya mengiyakan jawaban Mahendra.
Mahendra membuka lebar pintu pesta. Hana menyipitkan mata, merasa silau dengan cahaya yang tiba-tiba masuk ke matanya. Setelah menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan, Hana melihat jelas tatapan semua orang yang mengarah kepada mereka sambil berbisik-bisik.
Jantung Hana seketika berdebar kencang. Dapat ia rasakan tangannya yang digenggam Mahendra semakin lembab karena keringat. Tanpa sadar, ia mengeratkan genggaman tangannya membuat Mahendra melirik ke arahnya.
“MAHENDRA!”
Suara menggelegar itu memecahkan bisik-bisik di ruang pesta. Tak lama, muncul seorang wanita paruh baya berambut gelombang sebahu dengan sheath dress ungu lembut dari kerumunan.
Wanita itu berjalan ke arah Hana dan Mahendra dengan tatapan tajam. Tidak ada keramahan sedikit pun di wajahnya yang membuat tubuh Hana semakin menegang.
“Selamat malam, bu.” Sapa Mahendra tenang, sama sekali tidak terintimidasi dengan tatapan tajam sang wanita.
Ibu? Ibu Mahendra?!
Hana membelalakkan matanya. Ia buru-buru menundukkan kepala dan berkata, “Se-selamat malam, nyonya,”
“Siapa wanita ini, Mahendra?!” Seru ibu Mahendra dengan tatapan tajamnya yang masih belum surut.
“Dia istriku,” balas Mahendra, “Kami menikah seminggu yang lalu.”
“Hah?!” ibu Mahendra mengerutkan alis dalam. Terlihat sekali, ia tidak puas dengan jawaban Mahendra.
“Sa-saya Hana Sullivan, nyonya,” ucap Hana cepat. Diulasnya senyum seramah mungkin agar sang wanita tidak melihat kegugupannya.
“Sullivan? Aku tidak pernah dengar keluarga dengan marga itu,” ucap ibu Mahendra tajam.
“Sepertinya, dia bukan dari lingkaran keluarga berada, nyonya Fanesya,” duga salah satu wanita di dekat ibu Mahendra.
Jantung Hana seketika tertohok. Perkataan itu tidak salah, sih, tapi kalau diucapkan kencang-kencang apalagi dengan tatapan merendahkan seperti itu, tentu saja dia sakit hati!
“Apa benar, Mahendra?” Tanya Fanesya tajam. Matanya semakin memicing tajam seolah menguliti Hana.
Meski begitu, Mahendra sama sekali tak terganggu. Pria itu tetap memasang wajah tenang seolah ibunya hanya bertanya tentang kabarnya sehari-hari.
“Kalau memang benar begitu lalu kenapa?” Sarkas Mahendra, “Aku mencintainya.”
Ini cuma akting, Hana!
Hana menarik napas pelan karena merasakan debaran jantungnya meningkat. Ia bahkan merasa pipinya mulai memanas karena ucapan Mahendra tadi.
Mungkin ini karena dia jomblo sejak lahir dan belum pernah menerima pernyataan suka dari satu pun lelaki sehingga bereaksi seperti ini.
“Jangan bercanda, Mahendra!” Bentak Fanesya membuat kesadaran Hana kembali, “Kau seharusnya menikah dengan Veronika! Putri dari keluarga Adam itu!”
Setelah malam itu, Hana tidak bertemu lagi dengan Mahendra. Bahkan, pria itu sama sekali tidak menghubungi Hana. Hal ini sudah berlangsung selama tiga hari. Sepertinya, Mahendra sengaja melakukannya agar Hana benar-benar fokus dengan pengobatan Alex. Meski begitu, Hana merasa bersalah jika hanya berdiam diri. Jadi, ia seringkali mengirim pesan kepada Mahendra untuk bertanya tentang tugasnya. Sayangnya, Mahendra kadang hanya menjawab ‘tidak’ dengan singkat atau tidak membacanya sama sekali. Sama seperti kali ini. Pesan yang Hana kirimkan sejak tadi pagi hanya tertulis ‘sudah terkirim’ hingga siang ini. Hana menghela napas. “Kakak terlihat gelisah sekali,”Hana menoleh ke Alex yang sedang mengerjakan buku latihan ujian masuk kuliah. Meski ia berbicara ke Hana, tapi tatapannya tetap tertuju pada buku di hadapannya. “Kakak gelisah karena tidak bekerja?” Tanya Alex. “Sedikit,” Hana mengusap-usap lehernya, “Kau tahu, kan, kakak jarang sekali cuti,”“Kalau begitu, nikmatilah sekarang,”
“Liburan? Maksud bapak apa?”Hana memasang wajah serius, “Apa itu kegiatan yang harus saya hadiri untuk status itu?”“Kau cepat tanggap, ya,” Hana mendengus ketika Mahendra menyeringai semakin lebar. Ia melirik ke belakang, memastikan Alex masih tertidur lalu berkata, “Sebaiknya kita bicara di luar saja,”Mahendra mundur ke belakang, mempersilahkan Hana untuk keluar. Gadis itu segera menutup pintu ketika sudah di luar. “Ngomong-ngomong, kenapa kau di sini?” Tanya Mahendra sambil memerhatikan kamar Alex dari luar. Hana mengernyitkan alis, “Maksud bapak?”“Saya sudah bilang ke dokter Watson untuk menaruh adikmu di ruangan VVIP buat perawatan pasca operasi,”Hana tercekat. Ia menatap Mahendra tidak percaya. “Itu … dipotong dari gaji saya, kan?”“Kenapa kamu terobsesi sekali menyuruh saya untuk memotong gajimu?”Hana menghela napas. Ia tidak paham apakah bosnya ini memang tidak mengerti maksudnya atau hanya pura-pura tidak tahu. Atau … pria ini melakukannya demi citranya? Biar dia ter
Hana memeluk Alex erat-erat. Sementara itu, Alex hanya mengernyitkan alis dan berkata pelan, “Aku baik-baik saja, kak. Pelukan kakak terlalu kencang.”“Maaf,” Hana tersenyum kecil ketika melepaskan pelukannya, “Kakak terlalu senang karena kau sudah siuman,”Alex tersenyum kecil. Ia paham betapa khawatir kakaknya tadi, hal itu terlihat sangat jelas di wajahnya. Apalagi, ia juga mengetahui bahwa kakaknya sedang sangat merasa bersalah sekarang karena ketidak sigapannya tadi. “Bagaimana rasanya pasang ring jantung?” Tanya Hana dengan mata berbinar-binar. Alex menghela napas. “Tidak kerasa perubahan yang berarti, sih,” balas Alex. Ia kemudian melirik David yang berdiri di depan ranjangnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kak David ada di sini? Kakak memanggilmu saking paniknya, ya?”David tertawa, “Iya. Kau taulah kakakmu kalau panik seperti apa,”“Aku sangat tahu, kok,”Alex dan David terkekeh bersama, sementara Hana mengerucutkan bibirnya. “ALEX!!!”Ketiganya segera menoleh ke pintu dan mel
Pertama kali Hana mengetahui bahwa adiknya memiliki sakit jantung adalah saat Alex berada di tahun kedua SMP. Pria itu tiba-tiba mengeluhkan dadanya nyeri dan rasa sakitnya tidak berkurang meski berhari-hari. Kala itu jugalah pertama kalinya Hana bertemu dengan dokter Watson. Dokter ramah dan baik hati itu tanpa segan membayarkan biaya berobat Alex karena tidak sengaja mendengar kakak beradik itu saling menenangkan diri terkait biaya pengobatan Alex. Semenjak itu, Alex menjadi langganan tetap pasien dokter Watson karena nyeri dadanya suka kambuh. Meski begitu, tidak pernah terjadi hal parah atas penyakitnya. Selama 3 tahun atau hingga Alex kelas sebelas, ia hanya mengalami nyeri dada ringan dan tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari meski tetap membatasi aktivitas berat. Tapi, ketika Alex baru lulus SMA dan sedang giat-giatnya belajar untuk persiapan masuk kuliah, Alex tiba-tiba ambruk di tempat lesnya. Hana masih ingat ketika ia begitu kalang kabut menuju rumah sakit dengan jan
“Besok saya akan pergi ke taman bermain bersama David,”Mahendra melirik Hana yang sedang memegangi jasnya setelah dipakai tadi. Ia melonggarkan dasinya dan berkata, “Kenapa?”“Ini balasan untuk bantuan David, pak,”Mahendra mengangkat alis, mengingat-ingat kejadian ketika sang gadis menelepon David dan teringat dengan percakapan singkat yang ia dengar itu. Percakapan yang sama sekali tidak cocok untuk gadis tidak peka ini. “Ya. Pergilah,” ujar Mahendra, “Besok juga tidak ada agenda.”“Terima kasih banyak, pak!” Seru Hana riang. Ia berbalik badan dan bersenandung pelan tanpa menyadari tatapan lekat Mahendra. Sejujurnya, Hana memang cukup menunggu jadwal bermain ini. Ia sangat lelah dengan berbagai drama selama seminggu ke belakang dan agenda bermain ini menjadi hadiah yang sangat bagus untuknya!Kondisi Alex juga baik, jadi ia tak perlu khawatir tentang adiknya itu selama pergi besok. “Kau membersihkan rumah?” Tanya Mahendra melihat rumahnya terlihat lebih bersih dari biasanya. Pa
Ketika turun dari tangga, Fanesya bisa langsung melihat Hana di ruang makan, Seperti biasa, gadis itu telaten menyiapkan makanan. Fanesya mendengus pelan. Ia berjalan menuju meja makan dan berhenti di dekatnya. “Mana Mahendra?” Tanyanya ketus pada Hana yang segera menghentikan kegiatannya. “Mas Mahendra pergi sangat pagi tadi karena ada rapat katanya,” balas Hana dengan senyum canggung. Ini pertama kalinya mereka hanya makan berdua, jadi tentu saja Hana merasa sangat gugup dan khawatir sekarang. Fanesya mendengus lagi. Ia duduk di atas kursinya, bersebrangan dengan Hana yang juga segera duduk. Wanita itu menatap makanannya di hadapannya, terlihat enak seperti biasanya. Tapi, tentu saja dia tidak akan mengatakannya ke gadis di depannya ini. Kalau dia melakukan itu, bukankah akan memberi kesan kalau ia sudah menerimanya?“Mumpung kita berdua, mari kita berbincang,” ucap Fanesya sambil menatap lurus Hana. Hana menelan ludah, ia mengangguk pelan. “Apa tujuanmu mendekati Mahendra?” Ta