เข้าสู่ระบบ"Dia melihat ke arah kita, Pak" bisiknya. "Sepertinya… Nona Graciella sudah mulai tertarik."
"Bagus," Reon semakin menunduk. Menahan jarak wajah mereka lama. Lantas dia semakin kokoh melingkarkan lengannya pinggang sekretarisnya. Sementara itu, penciuman Ellena semakin penuh dengan aroma parfum maskulin Reon. Dia juga sesekali merasakan ibu jari bosnya menekan dengan elusan samar. Melihat bibir Reon menciptakan gejolak dalam dada Ellena yang sudah lama terpendam. Dia menggigit bibir dalamnya sambil menata napas, lalu menunduk. Oh, Ellena sadar. Reon sudah punya tambatan hati lain dan Ellena sedang menjalankan peran untuk menarik perhatian perempuan itu. Tatapannya kini tertuju pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Ya, Ellena tidak boleh terbawa perasaan. Cincin itu hanya sekadar aksesoris untuk sandiwara mereka. Lalu, dari arah samping, Graciella muncul. Perempuan itu mendekat dengan langkah anggun yang pelan. "Saya tidak menyangka ternyata seorang Dareon Sankara Adinata akhirnya bertunangan," ucap Graciella. Reon menoleh sedikit, lalu mengarahkan tubuh tingginya ke arah Graciella. Ellena otomatis ikut mengikuti. "Ya, begitulah yang terjadi, Nona Graciella," sahut Reon, menunduk pada Ellena. Gadis itu spontan tersenyum. Dia menatap Reon lalu Graciella. "Perkenalkan, saya Ellena, tunangan Reon," kata Ellena, mengulurkan tangan. Graciella mengulas senyum tipis. "Cincin yang bagus, Nona Ellena." Wanita itu meraih uluran tangan Ellena. "Salam kenal, saya Graciella." Detik berikutnya, mata Graciella memicing. "Tapi saya heran, kenapa belum ada satupun berita mengenai pertunangan kalian?" Ellena mendadak panik. Mau jawab apa dia? Reon tidak briefing soal itu. Untung saja bosnya yang mengambil alih pertanyaan itu. "Kami memang baru tunangan secara privat, saya melamar Ellena satu minggu yang lalu di Adinata Samudra," jawab Reon. "Wow, yatch… sunsweet… and ring…" tangan lembut Graciella menyentuh lengan Ellena. "Kamu sangat beruntung Ellena." Ellena hanya bisa tersenyum manis seolah membenarkan semua perkataan Reon. "Terima kasih, Nona Graciella." "Hmm… saya sedikit penasaran…" Graciella mendekat, "apa kamu bisa cerita bagaimana Tuan Muda Reon melamar kamu, Nona Ellena?" Ellena ingin kabur saja rasanya. Hatinya menjerit minta tolong. Tatapan Graciella penuh selidik. Mungkinkah wanita ini tahu kalau Ellena dan Reon hanya pura-pura tunangan? Namun, sebelum sempat menjawab apa-apa, bibir Ellena sudah dibungkam oleh bibir Reon. Bahu gadis itu menegang, pupilnya membesar. Sementara itu, kedua alis Graciella menukik. Dia terkejut. Sama halnya dengan tamu-tamu lain. Tapi, satu sudut bibirnya terangkat tipis, samar-samar sampai tidak ada yang menyadari. Di sisi lain, Reon melumat bibir Ellena pelan seperti mengabsen kembali benda kenyal yang dulu tiap hari dia kerjai. Ellena yang paham ini bentuk tugasnya sebagai tunangan pura-pura Reon, akhirnya mengalihkan rasa terkejutnya dan segera memejamkan mata dan ikut melumat bibir bosnya dengan ritme yang sama. "Emphh…" Ellena mendongak begitu tangan Reon menyentuh rahangnya. Tangan gadis itu naik melingkar di leher Reon. Sementara Reon menarik pinggang ramping Ellena untuk merapatkan tubuh mereka. Ciuman lambat itu berangsur-angsur jadi penuh tuntutan. Tidak peduli dengan semua mata yang tertuju pada mereka, Reon mengisap bibir Ellena atas bawah dengan rakus, seperti ingin menyerap semua rasanya. Dia begitu merindukan sensasi ini. Ellena yang sejak tadi memang goyah pelan-pelan membuka bibir hingga lidah Reon bisa menyelusup masuk ke dalam rongga mulutnya. "Emphh… Reon… ini… em… di tempat umum," ujar Ellena di sela ciuman itu. "Mmph… Nona Graciella mau tahu cara aku melamar kamu, sayang…" Reon terus melumat bibir Ellena seolah binatang rakus yang kelaparan. Tangan lelaki itu juga tidak diam saja. Reon mengusap pinggang Ellena, lalu naik ke panggung sekretarisnya. Ellena bahkan sudah tidak tahu ini masih bagian dari sandiwara atau bukan. Ciuman mereka terlalu… menggairahkan. Sama seperti saat mereka masih menjalin kasih di SMA. Begitu ciuman Reon dan Ellena lepas, wajah mereka masih berjarak sepersekian inci. Napas keduanya memburu. Tatapan Ellena tidak lepas dari mata sayu Reon. Ada kilatan di iris mereka yang masih ingin melanjutkan ciuman itu. Ke sesuatu yang lebih. Untuk menuntaskan gejolak rindu dalam dada. Tapi, mereka akhirnya sadar dengan situasi. Para tamu mulai berbisik-bisik. Ellena berdeham, lalu mengangkat tangannya mengusap sisa lipstik yang blepotan di bibirnya. "Maaf, Nona Graciella… kami terbawa suasana…" Ellena merangkul lengan Reon. "Sebelum melamar saya, kami berciuman seperti tadi." Gadis itu menyunggingkan senyum tipis. "Hmmm, kalian pasangan yang manis dan penuh gairah." Senyuman Graciella semakin mengembang, bibir bawahnya tergigit tipis. Tatapannya yang penuh selidik sedikit berubah. Diisi sensasi yang bagi Ellena aneh. Apakah Graciella membayangkan dirinya yang dicium oleh Reon? Ah, ternyata Graciella benar-benar punya ketertarikan pada tunangan orang. Sementara itu, Reon mengusap bibir bawahnya yang bengkak dan merah karena sisa lipstik Ellena. Dadanya masih bergejolak. Tidak bisa. Reon masih ingin. Lelaki itu meraih tangan Ellena, lalu menatap Graciella tanpa ekspresi. "Kami permisi." Reon menarik tangan Ellena menjauh dari pusat gala. Gadis itu mendelik heran. Suara gala meredup seketika. Mereka berhenti di samping koridor seni yang sepi dan gelap. Tanpa mengatakan apa-apa, Reon mengurung Ellena di dinding dan menunduk tajam untuk meraup bibir Ellena. Benda favoritnya itu dilumat lagi. Kali ini lebih buas. Ellena bahkan tidak diberi kesempatan untuk menghirup oksigen dengan bebas. Tidak ada Graciella lagi ataupun penonton. Tapi kenapa Reon masih terus mengerjai bibir Ellena? "Emphh…" "Pak Reon… Berhenti…" lirih Ellena di sela hantaman bibir Reon yang semakin rakus melahap segala sisi bibirnya. Tangannya menepuk-nepuk dada Reon. Reon menarik bibirnya sesaat. Mata gelapnya terpaku pada Ellena beberapa jenak. Dia kemudian mendekatkan bibir ke daun telinga Ellena. "Orang-orang Graciella pasti mengawasi kita," bisiknya. Ellena mengerjap pelan, wajahnya menoleh sedikit. Jadi ini masih bagian dari sandiwara mereka? "Ahh…" Gadis itu mendesah pelan saat merasakan telinganya di gigit oleh Reon. Sesuatu dalam diri Ellena berdesir hebat dari ujung kepala sampai kakinya. Dia memejamkan mata setengah sambil memiringkan kepala saat bibir Reon pelan-pelan menyapu leher jenjang Ellena. Awalnya lembut, tapi lama-lama Reon menghisapnya kuat, seolah dia vampir yang haus darah. "Pak Reon… emphh—" Bibir Ellena kembali dibungkam oleh bibir Reon yang melumatnya penuh tuntutan. Ellena membalas ciuman itu sama rakusnya. Entah sadar atau tidak, gadis itu sudah mengalungkan lengannya di leher Reon, jemarinya meremas rambut bosnya. Reon merasakan sesuatu dalam dadanya memantik untuk dituntaskan. Napasnya semakin memburu, tangannya mulai mengabsen tiap lekuk tubuh Ellena yang dia sukai. Mata mereka terpejam rapat dengan bibir mereka yang terus memagut liar sambil menjalin lidah dan bertukar saliva. "Mmph…" "Elle…" "Reon…""Dia melihat ke arah kita, Pak" bisiknya. "Sepertinya… Nona Graciella sudah mulai tertarik.""Bagus," Reon semakin menunduk. Menahan jarak wajah mereka lama. Lantas dia semakin kokoh melingkarkan lengannya pinggang sekretarisnya. Sementara itu, penciuman Ellena semakin penuh dengan aroma parfum maskulin Reon. Dia juga sesekali merasakan ibu jari bosnya menekan dengan elusan samar. Melihat bibir Reon menciptakan gejolak dalam dada Ellena yang sudah lama terpendam. Dia menggigit bibir dalamnya sambil menata napas, lalu menunduk. Oh, Ellena sadar. Reon sudah punya tambatan hati lain dan Ellena sedang menjalankan peran untuk menarik perhatian perempuan itu. Tatapannya kini tertuju pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Ya, Ellena tidak boleh terbawa perasaan. Cincin itu hanya sekadar aksesoris untuk sandiwara mereka. Lalu, dari arah samping, Graciella muncul. Perempuan itu mendekat dengan langkah anggun yang pelan. "Saya tidak menyangka ternyata seorang Dareon Sankara Adinata
Reon telah menetapkan pilihan pada gaun satin berwarna dusty rose untuk Ellena kenakan. Dia menunggu sekretarisnya itu keluar dari balik tirai.Lelaki dengan setelan jas gelap itu duduk diam di sofa sambil menyilangkan kaki, punggungnya tegak, satu tangannya bertumpu santai di sandaran. Wajahnya tetap dingin—tatapan datar, rahang tegas dan aura mencekam yang membuat para staf di sekitar berdiri diam seperti patung.Begitu menyadari kemunculan Ellena di hadapannya, mata tajam Reon yang fokus pada layar ponsel teralihkan.Pandangannya naik.Untuk sepersekian detik, Reon lupa berkedip.Gaun yang dipakai Ellena jatuh sempurna di tubuh sekretarisnya itu. Kainnya membingkai siluet ramping yang sulit diabaikan.Iris Reon menyapu cepat, nyaris dingin seperti biasanya, tetapi sukar rasanya tidak berhenti pada lekuk bahu Ellena. Garis halus selangka itu dulu jadi salah satu persinggahan favorit bibir Reon saat memadu kasih dengan mantan kekasihnya.Dada Reon menegang sesaat, tapi tidak ada yang
"P–Pak Reon." Laura menunduk sekilas lalu mengangkat wajahnya, menatap pemilik bola mata hitam yang memantulkan sinar keemasan senja itu. Laura sudah jadi sekretaris Reon sekitar satu tahun, dulunya dia mengisi posisi sekretaris kedua seperti Ellena sekarang. Dan, sejak saat itu, dia langsung tertarik dengan Reon. Siapa yang tidak jatuh hati? Bukan hanya tampan, Reon punya kharisma yang membuat semua mata terpesona padanya. Selain itu, dia penerus Adinata Group yang memiliki kerajaan bisnis, baik di luar maupun luar negeri. Hanya saja, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda Reon jatuh hati pada Laura. Namun, wanita itu tidak akan menyerah begitu saja. Reon melangkah penuh dominasi dan berhenti tepat di depan meja kerja Ellena. Hawa dingin seakan menguar di udara sekitar Ellena dan Laura. Laura menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. "Em… itu Pak… maksudnya file tugas yang Pak Reon kasih."Di sisi lain, Ellena hanya berdiri diam dengan pose profesional. Sesekali d
Ellena mengerjapkan matanya pelan. "Tunangan pura-pura, Bapak?" Reon melipat tangan di dada sembari bersender tenang di kursinya. "Perlu saya ulangi omongan saya barusan?" Gadis itu menggeleng, "saya denger kok, Pak." "Good." Reon beranjak pelan dari kursinya. Bola mata Ellena mengikuti langkah bosnya itu sampai Reon berhadapan dengannya. Pria tinggi itu bersender di depan meja dengan kedua tangannya mencengkram tepi. "Saya mau mendekati putri menteri investasi dan penanaman modal, namanya Graciella. Dari informasi yang saya terima, dia tertarik dengan tunangan orang." "Jadi, kamu cukup jadi tunangan pura-pura saya, untuk menarik perhatian Graciella pada saya," sambung lelaki itu. Ellena terdiam sejenak. Entah kenapa seperti ada pisau yang menyayat hatinya mendengar Reon mengatakan semua itu. Tapi, apa yang Ellena harapkan? Dia yang mencampakkan Reon. Wajar mantan kekasihnya itu sudah punya tambatan hati yang baru. Sekarang, Ellena hanya perlu fokus pada pengobatan
Ellena kembali ke kantor saat hari menjelang sore. Dia merapikan penampilannya sebelum masuk ke dalam ruangan kerja. Matanya yang bengkak menangkap perhatian Vino–asisten Reon.Laki-laki itu menghampirinya saat kembali. "Kak dari mana?""Pak bos marah besar." Imbuhnya.Ellena menelan saliva. "Apa karena dokumen kemarin masih ada yang salah?""Pak bos marah karena dapat laporan kalau Kak Ellena keluyuran di jam kerja," bisik Vino. Ellena menautkan alis. Bukannya dia sudah memberitahu Laura kalau dia ke rumah sakit?Aduh, padahal dia mau meminta tolong pada mantan kekasihnya itu tapi Ellena malah bermasalah lagi.Ellena masuk ke ruangan Reon dengan hati-hati dan segera mengambil posisi berdiri di sebelah Laura.Di balik meja besar, tatapan Reon sangat menusuk. "Kamu dari mana aja?" tanyanya dingin. "Tadi ada meeting penting dan kamu malah keluyuran di jam kerja. Kamu niat kerja nggak sih!? Mau dipecat aja?"Ellena menggeleng. Dia sudah mengurungkan niat untuk resign. "Jangan pecat saya
Keputusan Ellena untuk mengundurkan diri sudah bulat. Gadis itu meluruskan punggung di balik meja kerja. Bola mata kecoklatan nya tertuju pada amplop putih di balik map. Sisa menunggu Reon datang dan dia akan menyerahkan surat resignnya.Suara klik halus dari pintu masuk spontan membuat Ellena menutup map rapat-rapat di meja. "Ellena, dokumen kemarin udah diapproved sama Pak Reon?" tanya Laura. Perempuan berlipstik merah terang itu melangkah melewati kursi Ellena dan meletakkan tas jingganya di meja.Ellena mengerjapkan mata pelan. Dia tidak tahu nasib dokumen tersebut. Ellena pergi begitu saja karena kelakuan brengsek Reon malam tadi."Sudah saya serahkan ke Pak Reon, Kak, tapi saya belum tahu udah diapproved atau enggak," jawab Ellena hati-hati."Duhhh, kamu gimana sih, Ellena, harusnya kamu pastiin dulu sebelum pulang. Saya kan butuh dokumen itu juga." Laura menghembuskan napas kasar. "Kita pasti kena omelan Pak Reon lagi kalau kayak gini.""Maaf, Kak," sahut Ellena pelan. Tidak m







