Mbak Murni tersenyum sumringah melihat kedatangan Davina di rumah tempatnya bekerja. Seolah ia sudah mengenal dan benar-benar menunggu gadis itu. Dan Davina hanya tersenyum cerah, membalas senyuman Mbak Murni yang dianggapnya sebagai sebuah tanda keramahan.
"Oh, Miss Davina ya? Ayo silahkan masuk, Miss. Miss pasti mau menjenguk Clay ya?" Ajak Mbak Murni dengan ramah sembari mempersilahkan Davina masuk.Davina mengangguk sedikit."Iya, Bu. Saya kesini untuk menjenguk Clay. Kemarin saya mendapatkan surat sakitnya Clay. Makanya hari ini saya ingin menjenguk Clay, Bu." Ujar Davina sopan.Davina lalu teringat dengan puding buah yang ia bawa untuk Clay. Ia langsung menyodorkan kantung berisi puding itu kepada Mbak Murni dengan senyum canggung."Saya tidak bisa bawa banyak, Bu. Tapi saya membawakan puding buah kesukaan Clay. Ini Bu." Ucap Davina lagi pelan.Mbak Murni langsung menerimanya dengan tangan terbuka. Senyumnya cerah bak matahari pagi."Terimakasih ya, Miss Davina. Nanti akan saya potong untuk Clay." Balas Mbak Murni lagi.Setelah berjalan melintasi rumah yang sangat besar itu, Mbak Murni menghentikan langkahnya di depan tangga. Davina yang mengekor dari belakang refleks berhenti mengikutinya."Biar saya antar ke kamar Clay ya, Miss. Ayo ikut saya." Ajak Mbak Murni menaikki tangga.Davina dengan patuh mengekor dari belakang. Tak berapa lama, keduanya sampai di depan sebuah kamar dengan pintu berwarna biru muda. Davina menebak kamar itu pasti milik murid kesayangannya. Mbak Murni mengetuk kamar tersebut dan mengucap permisi sebelum memasukkinya."Permisi, Pak. Ada Miss Davina datang untuk menjenguk Clay." Ujar Mbak Murni dengan sopan.Tak lama terdengar suara berat seorang pria menjawabnya dari dalam."Iya, silahkan masuk."Davina berpikir itu pasti adalah suara Pak Edwin, ayah dari Clay. Sudah pasti ayahnya akan menunggu anaknya yang sedang sakit, bukan?Mbak Murni meraih kenop pintu dan membuka pintu itu. Dalam sekejap, di depan mata Davina terpampang kamar yang begitu menggemaskan milik Clay. Dindingnya di cat berwarna biru muda dengan gambar paus dan hewan laut lainnya. Di sudut kamar terdapat berbagai mainan yang menurut Davina pasti berharga mahal. Tipikal kamar anak orang kaya yang seringkali ditampilkan di televisi."Silahkan masuk, Miss." Ujar Mbak Murni mempersilahkan.Davina mengangguk pelan dan melangkah masuk ke dalam kamar itu. Di dalam kamar, ia melihat Clay yang sedang berguling di atas kasurnya namun tidak tertidur. Sementara di sisi ranjangnya, sang ayah tampak duduk menungguinya.Pria itu mengangkat wajahnya dan menatap Davina dengan senyum ramah. Tak sampai sedetik kemudian, Clay yang menyadari kedatangan Davina langsung tersenyum lebar. Bocah itu dengan bersemangat bangkit dari tidurnya dan melambaikan tangannya yang gendut."Miss! Miss datang buat lihat aku ya?" Seru Clay semangat.Davina tertawa renyah. Anak ini memang tergolong sangat cerewet untuk bocah seumurannya. Namun Davina tidak pernah merasakan hal itu mengganggu. Malah ia sangat senang mendengar celotehan Clay sepanjang hari."Iya, Miss rindu sama Clay karena Clay tidak masuk sekolah, nih." Ucap Davina sambil berjalan menghampiri Clay.Edwin langsung berdiri dan mempersilahkan Davina untuk duduk di tempatnya tadi."Silahkan duduk, Miss." Pinta Edwin dengan sopan.Davina mengangguk segan. Pria itu lalu berjalan sedikit menjauhi Davina dan Clay."Saya tinggal dulu ya, biar Clay bisa mengobrol dengan Miss Davina." Ucap Edwin.Davina kembali mengangguk. Sepersekian detik kemudian, tubuh tinggi dan atletis Edwin sudah menghilang di balik pintu kamar Clay. Bocah itu pun langsung tampak bersemangat dan menarik tangan Davina. Senyumnya sumringah meskipun wajahnya masih terlihat kuyu karena sakit."Ayo kita bermain, Miss!"***Kurang lebih dua jam Davina berada disana. Gadis itu melirik ke arah arloji di pergelangan tangannya. Sudah waktunya Davina untuk pulang karena hari sudah cukup sore. Davina tersenyum kecil pada Clay."Clay, Miss boleh pulang ya? Ini sudah sore dan Miss harus kembali ke rumah." Ucap Davina pelan.Clay yang mendengar permintaan Davina untuk pulang, langsung memasang wajah cemberut. Matanya memerah seolah ingin menangis karena ditinggal guru kesayangannya."Tidak boleh! Clay kan masih mau bermain dengan Miss." Gerutu Clay sambil memegang tangan Davina. Enggan melepaskannya.Davina tertawa canggung."Tapi Miss harus pulang, Clay Sayang. Miss kan tidak bisa lama-lama disini." Ujar Davina tidak enak.Clay masih bersikeras bahwa Davina harus tinggal lebih lama bersamanya."Kenapa tidak bisa? Kan Miss bisa menginap disini!" Pinta Clay tetap kekeuh.Davina tertawa canggung mendengar permintaan Clay. Bagaimana mungkin ia bisa menginap di rumah muridnya? Rasanya seperti tidak profesional bagi Davina untuk melakukan itu. Lagipula, Davina merasa tidak enak dengan ayah Clay yang pastinya akan keberatan."Tapi Miss tidak enak dengan Papa Clay. Clay kan belum minta izin dengan Papa." Elak Davina lagi.Belum sedetik kata-kata itu meluncur dari mulut Davina, pintu kamar Clay secara terbuka. Edwin muncul dari baliknya karena ingin melihat keadaan puteranya."Izin untuk apa?" Tanya Edwin bingung.Mendengar kedatangan ayahnya, Clay berjingkat senang."Aku akan meminta izin kepada Papa, Miss." Ucap Clay bersemangat.Davina tertawa canggung. Tidak bisa lagi menolak permintaan Clay.Bocah kecil itu menoleh kepada ayahnya dengan mata berbinar dan penuh harap."Papa, Miss Davina boleh kan menginap disini untuk beberapa hari?" Pinta Clay sungguh-sungguh.Edwin membelalak kaget. Ia lalu menoleh pada anaknya dan Davina bergantian. Sementara gadis itu tertawa tidak enak, Edwin tersenyum kecil."Boleh, tapi kalau Miss Davina tidak keberatan. Clay tidak boleh memaksa kalau Miss Davina tidak mau ya." Ujar Edwin santai.Mendengar izin yang diberikan ayahnya, Clay menoleh lagi kepada Davina. Senyum kemenangan terhias di bibirnya dan Davina sudah kalah telak dari bocah lima tahun ini. Ia tidak lagi bisa berkelit untuk menghindari permintaan Clay."Baiklah, Miss akan menginap disini bersama Clay."***Akhirnya, Davina menuruti permintaan Clay. Namun gadis itu meminta izin untuk pulang sejenak. Mengambil beberapa lembar baju ganti untuk dipakai. Clay mengangguk memberikan izin sambil melipat tangannya yang gembul di depan dadanya."Tapi jangan lama-lama ya, Miss. Aku kan mau bermain lagi dengan Miss." Ucap Clay dengan menggemaskan.Davina mengiyakan dengan senyumannya yang lembut. Ia lalu berjalan keluar kamar Clay sembari diantar oleh Edwin. Sejujurnya pria itu merasa tidak enak jika harus merepotkan gadis ini. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Sepertinya Clay memang sedang merindukan sosok seorang ibu karena itu ia tak ingin Davina meninggalkannya."Kalau begitu, saya pamit untuk mengambil pakaian dulu ya, Pak. Permisi." Pamit Davina dengan sopan.Edwin mengangguk dan mempersilahkan gadis itu pergi. Beberapa menit kemudian, sosoknya sudah hilang di balik tikungan jalan kompleksnya. Edwin hanya dapat bergumam pelan di dalam hati."Terimakasih."Mobil Edwin melesat bagaikan peluru. Membelah jalanan Jakarta yang lengang di pukul satu malam. Erangan Davina yang tergolek lemah di jok belakang membuat Edwin tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya pada jalan di hadapannya. Sesekali ia menengok ke belakang melalui kaca mobil dan mendapati wajah Davina yang tampak sangat menderita. Ia merintih kesakitan sementara tangannya memegangi perutnya yang sudah membulat. Mata Edwin pun tak bisa lepas dari cairan merah kental yang membasahi kaki istrinya sejak tadi.Perkataan Mbak Murni yang tiba-tiba menyambar Edwin bak petir di siang bolong.“Pak, Nyonya Davina pendarahan!”Dan secepat itu pula, tanpa berpikir dua kali Edwin memacu mobilnya. Membawa Davina ke rumah sakit dengan harapan besar untuk menyelamatkan keduanya. Istri yang paling ia cintai dan calon bayi yang sangat ia tunggu kehadirannya.“Kumohon bertahanlah, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai.” Ucap Edwin bagaikan mantra seolah berusaha meredakan sakit yang dialami Davina.Wani
“Clarissa?”Edwin tanpa sadar mencetuskan si empunya mobil saat sedan mewah itu berhenti tepat di depannya. Davina juga tahu benar siapa pemilik mobil itu karena bukan sekali atau dua kali Clarissa datang ke rumahnya. Dan wanita itu selalu datang dengan mobil yang sama, Mercedes Benz S-Class kebangaannya.Davina melepaskan genggaman tangan Edwin yang melingkar di pergelangan tangannya. Tanpa berpikir dua kali, Davina berlari menghampiri mobil itu. Menemui wanita yang duduk di balik kursi pengemudi.“Mbak Rissa!” seru Davina seraya menghampiri Clarissa yang melangkah keluar dari mobil.Wanita itu berdiri dengan begitu angkuh. Matanya menatap Davina dengan tatapan yang begitu meremehkan. Tatapan yang seolah mengatakan bahwa Davina tidak becus mengurus anaknya sendiri. “Aku kesini untuk mengantarkan Clay pulang.” Jawabnya datar.Ucapan Clarissa sudah cukup membuat Davina menghembuskan nafas lega. Bagaikan batu besar yang sejak tadi mengganjal hatinya telah terangkat, dan beban yang ia r
Entah kenapa, sejak tadi Davina merasa hatinya terus dipenuhi rasa gelisah. Jantungnya berdegup kencang seolah sebuah hal buruk akan terjadi. Davina merasakan sebuah firasat yang aneh dalam hatinya namun ia tidak bisa menebak itu apa.“Kamu sudah makan, Vin?” tanya Edwin saat ia pulang kerja dan menghampiri Davina yang tengah duduk dengan gelisah di ruang tamu.Suaminya itu menghampiri Davina dan mengecup bibir Davina lembut. Rutinitas yang selalu dilakukan Edwin sebelum dan sepulang kerja.Davina menggeleng. Rasa gelisah yang sejak siang tadi melandanya membuat Davina tidak bisa menelan bahkan sesuap nasi pun. Pikirannya terlalu sibuk berkutat dalam rasa khawatir tak berujung.“Kenapa belum? Aku suapi, ya?” Wanita itu kembali menggeleng, “Clay belum pulang, Mas. Kamu tidak menjemput Clay di sekolah, Mas?”Edwin menggeleng, “Bukannya Pak Teguh yang harusnya menjemput Clay hari ini? Aku sudah bilang kalau ada rapat sampai sore, kan?”Jantung Davina mencelos. Rasanya bak disambar petir
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tanpa terasa lima bulan telah berlalu dan usia kandungan Davina hampir mencapai tujuh bulan. Perutnya semakin membesar dan gejala mualnya sudah tidak separah di masa awal kehamilannya. Tapi tetap saja, tubuh Davina masih saja lemah dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.Selama hamil, Davina menghabiskan hampir seluruh waktunya di dalam rumah. Enam puluh persen berada di kamar dan empat puluh persen berada di area rumah lainnya. Rasanya bosan bukan kepalang terkungkung di rumah dengan tidak memiliki pekerjaan apapun. Ingin sekali Davina ikut mengunjungi sekolah Clay atau bahkan bermain dengannya. Namun membawa dirinya untuk berdiri lebih dari setengah jam pun Davina tidak mampu. Bagaimana mungkin ia bisa bermain dengan Clay?Edwin pun benar-benar menjaganya mati-matian. Sepulang kerja, suaminya akan terus bersamanya. Mengurusnya mulai dari hal terkecil seperti pergi ke kamar mandi, menyuapi Davina makan, hingga ke urusan paling be
Dokter Santi berkali-kali meyakinkan Davina bahwa operasi yang akan ia lalui hanyalah operasi kecil. Bedah dengan anastesi lokal yang paling lama hanya memakan waktu satu setengah jam. Namun Davina tidak merasa gentar sama sekali. Tidak terbersit sedikitpun ketakutan di kepalanya. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan janinnya. Satu kali insiden sudah cukup menjadi alarm baginya. Dan Davina tidak yakin apakah ia akan seberuntung itu di kesempatan lainnya.Di lain sisi, Edwin lah yang merasa begitu khawatir. Ia sangat takut sesuatu terjadi pada istrinya. Bagaimanapun juga, Davina akan menjalani operasi. Tidak peduli sekecil apapun itu, rasa sakitnya pasti akan tetap ada. Membayangkan wanita kesayangannya harus melalui semua itu membuat Edwin benar-benar tidak sanggup. Hatinya memang selalu lemah jika itu bersangkutan dengan seseorang yang ia cintai. Edwin selalu mencintai seorang waniita dengan sepenuh hatinya. Memberikan semuanya tanpa terkecuali.Karena i
Brankar yang ditempati Davina didorong dengan begitu cepat oleh beberapa perawat. Dalam sekejap, lima orang itu melesat masuk ke dalam Instalasi Gawat Darurat. Edwin ikut di belakangnya sembari menggandeng Clay, namun langkahnya dihentikan oleh perawat yang bertugas untuk menjaga ruangan itu.“Bapak tunggu disini saja. Biarkan dokter memeriksa ibu Davina terlebih dahulu. Dan anak kecil tidak diperkenankan masuk ke dalam IGD, Pak.” Jelas gadis muda itu dengan sopan.Edwin mengangguk. Ia terkulai lemas di kursi tunggu sementara tangis puteranya juga tak kunjung reda. Kepalanya terasa mau pecah dengan semua hal yang terjadi berbarengan. Ia meraih ponselnya dan menghubungi supir pribadinya.“Tolong jemput Clay di rumah sakit Pondok Gede, Pak.” Titahnya singkat.Tak perlu waktu lama bagi orang kepercayaan Edwin untuk tiba disana. Dua puluh menit berselang, supir pribadinya tiba dan berlari begitu cepat menghampiri Edwin.“Ada apa, Pak? Dimana Ibu?” tanyanya bingung saat mendapati hanya ada
Sejak dua jam yang lalu, Clay masih saja terus asyik berlarian kesana kemari. Mengejar setiap perosotan seolah benda itu akan kabur ketika ia berkedip sedetik saja. Dan Davina mau tidak mau harus terus membersamai bocah itu. Mengikutinya kesana kemari. Mengekor ke setiap arena permainan tak peduli tubuhnya sudah terasa begitu letih.Mau bagaimana lagi? Davina khawatir. Davina begitu takut Clay mungkin terjatuh saat ia tidak bersamanya walau hanya sedetik. Atau mungkin Clay tersandung dan terguling dari atas papan loncat. Dan segala ketakutan irasional lainnya yang terkadang membuat Edwin merasa jengkel.Davina memang selalu egois. Tapi bukan untuk kepentingannya sendiri. Melainkan untuk Clay.Wanita itu bahkan tega mengesampingkan perasaannya. Mengubur lelahnya. Membuang jauh-jauh sakitnya. Hanya demi menemani Clay. Bermain bersama Clay yang sepertinya tidak pernah mengenal lelah.Awalnya Edwin terharu, bahkan merasa begitu berterimakasih pada Davina karenanya Clay tidak pernah merasa
“A-apa, Mas? Istirahat total?”Davina tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin ia bisa beristirahat total selama sembilan bulan? Ia kan harus mengurus Clay! Bocah itu pasti akan protes kalau Davina tidak mau bermain dengannya lagi. Dan Davina paling tidak sanggup jika harus melihat wajah masam Clay bahkan kalau itu hanya sedetik saja.“Benar. Kata Dokter, kondisi tubuhmu sangat lemah dan dokter belum tahu komplikasi apa yang kamu alami, Sayang. Jadi kalau kamu memang ingin tetap mempertahankan bayi kita, kamu harus menuruti permintaanku untuk beristirahat total.”“T-tapi bagaimana dengan Clay, Mas? Aku tidak bisa beristirahat total. Aku harus mengurus Clay! Aku ibunya, Mas.” Protes Davina langsung.“Ada Mbak Murni, Sayang. Mbak Murni yang akan mengurus Clay selama kamu hamil.”“Clay tidak akan mau, Mas. Dia hanya akan mau bermain dan diurus olehku.”Edwin menghela nafas. Ia menghampiri Davina dan mencium lembut puncak kepala isterinya. Dan mendaratkan ciuma
Rasa panik bergumul di hati Edwin. Menelannya bulat-bulat hingga yang Edwin rasakan hanyalah takut. Ia begitu takut sesuatu yang buruk terjadi pada Davina. Dan Edwin tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika hal buruk itu memang terjadi.Mata Edwin menangkap sosok paruh baya berjas putih yang berjalan mendekat ke arahnya. Tak perlu pengetahuan khusus untuk mengenali bahwa wanita itu adalah seorang dokter. Senyumnya ramah ke arah Edwin, padahal hati Edwin sendiri sudah terasa kacau sekali.“Selamat pagi, Pak.” Sapa dokter dengan ramah.Edwin mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis, “Pagi, Dok.”Wanita itu memasang stetoskop di telinganya dan mulai memeriksa Davina. Mendengar detak jantungnya, memeriksa laju nafasnya, dan menghitung denyut nadinya. Semuanya dilakukan dengan saksama dan teliti.Edwin begitu gugup melihat sang dokter memeriksa dan memperhatikan ekspresi wanita itu tanpa melewatkannya sedikit pun. Edwin berusaha mengenali jikalau dokter itu menunjukkan ekspresi ane