Share

Bab 4

Mbak Murni tersenyum sumringah melihat kedatangan Davina di rumah tempatnya bekerja. Seolah ia sudah mengenal dan benar-benar menunggu gadis itu. Dan Davina hanya tersenyum cerah, membalas senyuman Mbak Murni yang dianggapnya sebagai sebuah tanda keramahan.

"Oh, Miss Davina ya? Ayo silahkan masuk, Miss. Miss pasti mau menjenguk Clay ya?" Ajak Mbak Murni dengan ramah sembari mempersilahkan Davina masuk.

Davina mengangguk sedikit.

"Iya, Bu. Saya kesini untuk menjenguk Clay. Kemarin saya mendapatkan surat sakitnya Clay. Makanya hari ini saya ingin menjenguk Clay, Bu." Ujar Davina sopan.

Davina lalu teringat dengan puding buah yang ia bawa untuk Clay. Ia langsung menyodorkan kantung berisi puding itu kepada Mbak Murni dengan senyum canggung.

"Saya tidak bisa bawa banyak, Bu. Tapi saya membawakan puding buah kesukaan Clay. Ini Bu." Ucap Davina lagi pelan.

Mbak Murni langsung menerimanya dengan tangan terbuka. Senyumnya cerah bak matahari pagi.

"Terimakasih ya, Miss Davina. Nanti akan saya potong untuk Clay." Balas Mbak Murni lagi.

Setelah berjalan melintasi rumah yang sangat besar itu, Mbak Murni menghentikan langkahnya di depan tangga. Davina yang mengekor dari belakang refleks berhenti mengikutinya.

"Biar saya antar ke kamar Clay ya, Miss. Ayo ikut saya." Ajak Mbak Murni menaikki tangga.

Davina dengan patuh mengekor dari belakang. Tak berapa lama, keduanya sampai di depan sebuah kamar dengan pintu berwarna biru muda. Davina menebak kamar itu pasti milik murid kesayangannya. Mbak Murni mengetuk kamar tersebut dan mengucap permisi sebelum memasukkinya.

"Permisi, Pak. Ada Miss Davina datang untuk menjenguk Clay." Ujar Mbak Murni dengan sopan.

Tak lama terdengar suara berat seorang pria menjawabnya dari dalam.

"Iya, silahkan masuk."

Davina berpikir itu pasti adalah suara Pak Edwin, ayah dari Clay. Sudah pasti ayahnya akan menunggu anaknya yang sedang sakit, bukan?

Mbak Murni meraih kenop pintu dan membuka pintu itu. Dalam sekejap, di depan mata Davina terpampang kamar yang begitu menggemaskan milik Clay. Dindingnya di cat berwarna biru muda dengan gambar paus dan hewan laut lainnya. Di sudut kamar terdapat berbagai mainan yang menurut Davina pasti berharga mahal. Tipikal kamar anak orang kaya yang seringkali ditampilkan di televisi.

"Silahkan masuk, Miss." Ujar Mbak Murni mempersilahkan.

Davina mengangguk pelan dan melangkah masuk ke dalam kamar itu. Di dalam kamar, ia melihat Clay yang sedang berguling di atas kasurnya namun tidak tertidur. Sementara di sisi ranjangnya, sang ayah tampak duduk menungguinya.

Pria itu mengangkat wajahnya dan menatap Davina dengan senyum ramah. Tak sampai sedetik kemudian, Clay yang menyadari kedatangan Davina langsung tersenyum lebar. Bocah itu dengan bersemangat bangkit dari tidurnya dan melambaikan tangannya yang gendut.

"Miss! Miss datang buat lihat aku ya?" Seru Clay semangat.

Davina tertawa renyah. Anak ini memang tergolong sangat cerewet untuk bocah seumurannya. Namun Davina tidak pernah merasakan hal itu mengganggu. Malah ia sangat senang mendengar celotehan Clay sepanjang hari.

"Iya, Miss rindu sama Clay karena Clay tidak masuk sekolah, nih." Ucap Davina sambil berjalan menghampiri Clay.

Edwin langsung berdiri dan mempersilahkan Davina untuk duduk di tempatnya tadi.

"Silahkan duduk, Miss." Pinta Edwin dengan sopan.

Davina mengangguk segan. Pria itu lalu berjalan sedikit menjauhi Davina dan Clay.

"Saya tinggal dulu ya, biar Clay bisa mengobrol dengan Miss Davina." Ucap Edwin.

Davina kembali mengangguk. Sepersekian detik kemudian, tubuh tinggi dan atletis Edwin sudah menghilang di balik pintu kamar Clay. Bocah itu pun langsung tampak bersemangat dan menarik tangan Davina. Senyumnya sumringah meskipun wajahnya masih terlihat kuyu karena sakit.

"Ayo kita bermain, Miss!"

***

Kurang lebih dua jam Davina berada disana. Gadis itu melirik ke arah arloji di pergelangan tangannya. Sudah waktunya Davina untuk pulang karena hari sudah cukup sore. Davina tersenyum kecil pada Clay.

"Clay, Miss boleh pulang ya? Ini sudah sore dan Miss harus kembali ke rumah." Ucap Davina pelan.

Clay yang mendengar permintaan Davina untuk pulang, langsung memasang wajah cemberut. Matanya memerah seolah ingin menangis karena ditinggal guru kesayangannya.

"Tidak boleh! Clay kan masih mau bermain dengan Miss." Gerutu Clay sambil memegang tangan Davina. Enggan melepaskannya.

Davina tertawa canggung.

"Tapi Miss harus pulang, Clay Sayang. Miss kan tidak bisa lama-lama disini." Ujar Davina tidak enak.

Clay masih bersikeras bahwa Davina harus tinggal lebih lama bersamanya.

"Kenapa tidak bisa? Kan Miss bisa menginap disini!" Pinta Clay tetap kekeuh.

Davina tertawa canggung mendengar permintaan Clay. Bagaimana mungkin ia bisa menginap di rumah muridnya? Rasanya seperti tidak profesional bagi Davina untuk melakukan itu. Lagipula, Davina merasa tidak enak dengan ayah Clay yang pastinya akan keberatan.

"Tapi Miss tidak enak dengan Papa Clay. Clay kan belum minta izin dengan Papa." Elak Davina lagi.

Belum sedetik kata-kata itu meluncur dari mulut Davina, pintu kamar Clay secara terbuka. Edwin muncul dari baliknya karena ingin melihat keadaan puteranya.

"Izin untuk apa?" Tanya Edwin bingung.

Mendengar kedatangan ayahnya, Clay berjingkat senang.

"Aku akan meminta izin kepada Papa, Miss." Ucap Clay bersemangat.

Davina tertawa canggung. Tidak bisa lagi menolak permintaan Clay.

Bocah kecil itu menoleh kepada ayahnya dengan mata berbinar dan penuh harap.

"Papa, Miss Davina boleh kan menginap disini untuk beberapa hari?" Pinta Clay sungguh-sungguh.

Edwin membelalak kaget. Ia lalu menoleh pada anaknya dan Davina bergantian. Sementara gadis itu tertawa tidak enak, Edwin tersenyum kecil.

"Boleh, tapi kalau Miss Davina tidak keberatan. Clay tidak boleh memaksa kalau Miss Davina tidak mau ya." Ujar Edwin santai.

Mendengar izin yang diberikan ayahnya, Clay menoleh lagi kepada Davina. Senyum kemenangan terhias di bibirnya dan Davina sudah kalah telak dari bocah lima tahun ini. Ia tidak lagi bisa berkelit untuk menghindari permintaan Clay.

"Baiklah, Miss akan menginap disini bersama Clay."

***

Akhirnya, Davina menuruti permintaan Clay. Namun gadis itu meminta izin untuk pulang sejenak. Mengambil beberapa lembar baju ganti untuk dipakai. Clay mengangguk memberikan izin sambil melipat tangannya yang gembul di depan dadanya.

"Tapi jangan lama-lama ya, Miss. Aku kan mau bermain lagi dengan Miss." Ucap Clay dengan menggemaskan.

Davina mengiyakan dengan senyumannya yang lembut. Ia lalu berjalan keluar kamar Clay sembari diantar oleh Edwin. Sejujurnya pria itu merasa tidak enak jika harus merepotkan gadis ini. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Sepertinya Clay memang sedang merindukan sosok seorang ibu karena itu ia tak ingin Davina meninggalkannya.

"Kalau begitu, saya pamit untuk mengambil pakaian dulu ya, Pak. Permisi." Pamit Davina dengan sopan.

Edwin mengangguk dan mempersilahkan gadis itu pergi. Beberapa menit kemudian, sosoknya sudah hilang di balik tikungan jalan kompleksnya. Edwin hanya dapat bergumam pelan di dalam hati.

"Terimakasih."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status