Edwin berjalan menuruni tangganya. Ia mengecek jam tangannya yang menunjukkan pukul 6 sore.
"Bi, jam berapa Miss Davina datang kesini?" Tanya Edwin sembari berjalan ke arah meja makan.Mbak Murni yang masih memasak, menjawab Edwin dari dapur dengan suara yang sedikit besar."Jam 7 atau 8 malam, Pak. Nanti biar saya yang menyambutnya kalau Bapak sibuk." Ujar Mbak Murni masih sibuk mempersiapkan makan malam.Edwin menarik salah satu kursi di ruang makannya. Tangannya lalu membuka tudung saji dan mendapati satu loyang puding buah yang ada di baliknya. Tanpa ragu, Edwin mengambil sepotong dan memindahkannya ke piring kecil. Pria itu mulai menyendok puding itu ke mulutnya dengan lahap."Wah, ini enak sekali. Beli dimana ya?" Gumam Edwin masih melahap puding tersebut.Setelah menghabiskan satu potong, Edwin kembali mengambil potongan lainnya. Begitu terus menerus hingga hanya tersisa satu potong puding di atas piring. Rasa puding itu begitu lezat sehingga Edwin tidak bisa menghentikan dirinya untuk memakannya lagi dan lagi.Beberapa saat kemudian, Mbak Murni berjalan ke arah meja makan sembari membawa mangkuk besar berisi sup ayam sayur. Wanita tua itu heran melihat bosnya makan begitu lahap. Seingatnya ia belum memasak apapun jadi apa yang dimakan bosnya itu sekarang?"Bapak makan apa, Pak?" Tanya Mbak Murni heran.Edwin menoleh dengan mulut yang masih mengunyah puding."Puding yang ada di meja, Bi. Astaga, ini enak sekali! Saya sampai menambah berkali-kali! Bibi beli dimana?" Tanya Edwin antusias.Mbak Murni membelalak kaget. Ia langsung berlari ke arah meja makan dan melihat puding yang hanya tersisa satu potong itu. Edwin memperhatikan wanita tua itu dengan wajah bertanya-tanya."Bapak menghabiskan puding yang ini?" Tanya Mbak Murni setengah tidak percaya.Edwin mengangguk mantap."Iya, Bi. Memangnya kenapa? Tidak boleh ya?" Balas Edwin bingung.Mbak Murni menghela nafas pelan. Ia memijat keningnya yang terasa berdenyut."Ini puding buatan Miss Davina untuk Clay, Pak. Tadi Clay minta saya buat simpenin pudingnya untuk Clay makan malam. Tapi malah Bapak habisin semuanya." Jelas Mbak Murni lesu.Kali ini Edwin yang membelalak. Ia benar-benar tidak tahu kalau puteranya sudah mewanti-wanti Mbak Murni untuk menyimpan puding itu khusus untuknya. Edwin mengusap wajahnya dengan kasar."Jadi bagaimana, Pak? Nanti kalau Clay bertanya soal pudingnya saya harus jawab apa?" Tanya Mbak Murni khawatir."Nanti saya belikan yang sama seperti ini ya, Bi. Bibi jangan cerita dulu sama Clay kalau pudingnya habis." Ucap Edwin ikut cemas.Namun rencana Edwin dan Mbak Murni untuk membohongi Clay tampaknya tidak akan berjalan sempurna. Tak berapa lama, bocah kecil itu terdengar berloncat riang menuruni tangga. Suara nyanyiannya melantun dari atas tangga hingga ke bawah.Edwin dan Mbak Murni bertatapan. Mereka berdua mati kutu. Pasti Clay akan segera mencari pudingnya yang baru dilahap habis oleh ayahnya ini."Waduh, bagaimana ini Bi?" Tanya Edwin cemas.Mbak Murni mengedikkan bahunya. Lalu suara Clay dengan antusias menyapa kedua orang yang ada di ruang makan saat itu. Dan tentu saja, bocah itu langsung mencari keberadaan pudingnya tanpa basa basi."Hai, Papa! Hai, Bi Murni!" Seru Clay ceria.Bocah itu berjalan dengan menggemaskan dan naik ke atas salah satu kursi dengan sedikit kesusahan. Tubuhnya yang gembul membuat Clay sedikit keberatan untuk bergerak."Mana puding buah Clay, Bi?" Tanya Clay bersemangat.Mbak Murni menatap Edwin seolah menuntut jawaban. Wanita tua itu bingung harus menjawab apa. Maka lebih baik jika tersangka utamanya yang menjelaskan.Edwin berdeham."Eh, Clay mau makan yang lain dulu? Atau mau Papa pesankan makanan kesukaan Clay?" Tawar Edwin basa basi.Clay menggeleng mantap."Tidak, Pa. Clay mau makan puding buatan Miss Davina yang enak sekali! Puding itu kesukaan Clay loh Pa!" Jawab Clay.Edwin terdiam. Ia lalu tertawa garing karena kehabisan alasan."Eh, tapi pudingnya sudah habis, Clay." Jawab Edwin pelan.Clay menjelit kepada ayahnya. Bibirnya mengerucut dan tampaknya bocah itu akan segera meletus dalam tangisnya."Hah?! Papa menghabiskan puding Clay?!"***Davina menekan bel rumah megah itu. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam dan sesuai janjinya, ia harus kembali ke rumah itu. Menginap selama beberapa hari hingga Clay sembuh. Sesuai dengan permintaan bocah itu.Tak butuh waktu lama, pintu depan terbuka dan wajah cemas Mbak Murni menyambutnya. Dan Davina tentu saja merasa heran. Apalagi ketika ia mendengar tangisan Clay di dalam rumah."Eh, Miss Davina. Untung Miss sudah datang!" Seru Mbak Murni lega.Davina menatap wanita tua itu bingung."Memangnya ada apa, Bu? Kenapa Clay menangis?" Tanya Davina heran.Mbak Murni tertawa canggung. Ia segera menggandeng tangan Davina dan menariknya masuk ke dalam rumah. Seketika, Clay yang menangkap sosok Davina langsung berlari menghampirinya sambil menangis. Bocah itu memeluk Davina erat dan terisak di dalam pelukan Davina."Ada apa, Clay Sayang?" Tanya Davina khawatir. Gadis itu langsung menggendong Clay."Papa menghabiskan puding buah Clay, Miss!" Ucap Clay mengadu kepada Davina.Davina melirik ke arah Edwin yang tersenyum kikuk. Wajahnya tampak merasa tidak enak karena Clay yang mengadu pada gurunya. Davina lalu menatap lembut ke dua mata jernih Clay yang berlinang air mata."Ya sudah, Clay jangan menangis lagi ya. Nanti Miss akan buatkan puding buah lagi untuk Clay. Kali ini Miss akan buatkan puding yang super enak dan super banyak! Bagaimana?" Bujuk Davina sambil tersenyum penuh kasih sayang.Clay mengucek kedua matanya dengan tangannya yang gembul. Dengan terisak, Clay menatap Davina penuh harap."Yang benar, Miss?" Pinta Clay sungguh-sungguh.Davina mengangguk mantap."Iya, Miss janji." Ucap Davina meyakinkan Clay.Clay lalu menyeringai puas. Ia melompat turun dari gendongan Davina. Namun langkahnya terhenti seolah masih ada yang ingin ia sampaikan pada Davina."Miss, kata Miss tidak bisa berbagi itu perbuatan nakal, kan?" Tanya Clay.Davina mengangguk dan menatap bocah itu bingung."Iya, benar Clay.""Dan kalau anak nakal harus dihukum kan, Miss?" Tambah Clay lagi."Iya, Clay Sayang." Jawab Davina sambil mencubit gemas pipi Clay.Clay lalu berkacak pinggang. Tangannya ia letakkan di kedua sisi pinggangnya yang gendut."Kalau begitu, Papa harus dihukum, Miss!"Mobil Edwin melesat bagaikan peluru. Membelah jalanan Jakarta yang lengang di pukul satu malam. Erangan Davina yang tergolek lemah di jok belakang membuat Edwin tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya pada jalan di hadapannya. Sesekali ia menengok ke belakang melalui kaca mobil dan mendapati wajah Davina yang tampak sangat menderita. Ia merintih kesakitan sementara tangannya memegangi perutnya yang sudah membulat. Mata Edwin pun tak bisa lepas dari cairan merah kental yang membasahi kaki istrinya sejak tadi.Perkataan Mbak Murni yang tiba-tiba menyambar Edwin bak petir di siang bolong.“Pak, Nyonya Davina pendarahan!”Dan secepat itu pula, tanpa berpikir dua kali Edwin memacu mobilnya. Membawa Davina ke rumah sakit dengan harapan besar untuk menyelamatkan keduanya. Istri yang paling ia cintai dan calon bayi yang sangat ia tunggu kehadirannya.“Kumohon bertahanlah, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai.” Ucap Edwin bagaikan mantra seolah berusaha meredakan sakit yang dialami Davina.Wani
“Clarissa?”Edwin tanpa sadar mencetuskan si empunya mobil saat sedan mewah itu berhenti tepat di depannya. Davina juga tahu benar siapa pemilik mobil itu karena bukan sekali atau dua kali Clarissa datang ke rumahnya. Dan wanita itu selalu datang dengan mobil yang sama, Mercedes Benz S-Class kebangaannya.Davina melepaskan genggaman tangan Edwin yang melingkar di pergelangan tangannya. Tanpa berpikir dua kali, Davina berlari menghampiri mobil itu. Menemui wanita yang duduk di balik kursi pengemudi.“Mbak Rissa!” seru Davina seraya menghampiri Clarissa yang melangkah keluar dari mobil.Wanita itu berdiri dengan begitu angkuh. Matanya menatap Davina dengan tatapan yang begitu meremehkan. Tatapan yang seolah mengatakan bahwa Davina tidak becus mengurus anaknya sendiri. “Aku kesini untuk mengantarkan Clay pulang.” Jawabnya datar.Ucapan Clarissa sudah cukup membuat Davina menghembuskan nafas lega. Bagaikan batu besar yang sejak tadi mengganjal hatinya telah terangkat, dan beban yang ia r
Entah kenapa, sejak tadi Davina merasa hatinya terus dipenuhi rasa gelisah. Jantungnya berdegup kencang seolah sebuah hal buruk akan terjadi. Davina merasakan sebuah firasat yang aneh dalam hatinya namun ia tidak bisa menebak itu apa.“Kamu sudah makan, Vin?” tanya Edwin saat ia pulang kerja dan menghampiri Davina yang tengah duduk dengan gelisah di ruang tamu.Suaminya itu menghampiri Davina dan mengecup bibir Davina lembut. Rutinitas yang selalu dilakukan Edwin sebelum dan sepulang kerja.Davina menggeleng. Rasa gelisah yang sejak siang tadi melandanya membuat Davina tidak bisa menelan bahkan sesuap nasi pun. Pikirannya terlalu sibuk berkutat dalam rasa khawatir tak berujung.“Kenapa belum? Aku suapi, ya?” Wanita itu kembali menggeleng, “Clay belum pulang, Mas. Kamu tidak menjemput Clay di sekolah, Mas?”Edwin menggeleng, “Bukannya Pak Teguh yang harusnya menjemput Clay hari ini? Aku sudah bilang kalau ada rapat sampai sore, kan?”Jantung Davina mencelos. Rasanya bak disambar petir
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tanpa terasa lima bulan telah berlalu dan usia kandungan Davina hampir mencapai tujuh bulan. Perutnya semakin membesar dan gejala mualnya sudah tidak separah di masa awal kehamilannya. Tapi tetap saja, tubuh Davina masih saja lemah dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.Selama hamil, Davina menghabiskan hampir seluruh waktunya di dalam rumah. Enam puluh persen berada di kamar dan empat puluh persen berada di area rumah lainnya. Rasanya bosan bukan kepalang terkungkung di rumah dengan tidak memiliki pekerjaan apapun. Ingin sekali Davina ikut mengunjungi sekolah Clay atau bahkan bermain dengannya. Namun membawa dirinya untuk berdiri lebih dari setengah jam pun Davina tidak mampu. Bagaimana mungkin ia bisa bermain dengan Clay?Edwin pun benar-benar menjaganya mati-matian. Sepulang kerja, suaminya akan terus bersamanya. Mengurusnya mulai dari hal terkecil seperti pergi ke kamar mandi, menyuapi Davina makan, hingga ke urusan paling be
Dokter Santi berkali-kali meyakinkan Davina bahwa operasi yang akan ia lalui hanyalah operasi kecil. Bedah dengan anastesi lokal yang paling lama hanya memakan waktu satu setengah jam. Namun Davina tidak merasa gentar sama sekali. Tidak terbersit sedikitpun ketakutan di kepalanya. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan janinnya. Satu kali insiden sudah cukup menjadi alarm baginya. Dan Davina tidak yakin apakah ia akan seberuntung itu di kesempatan lainnya.Di lain sisi, Edwin lah yang merasa begitu khawatir. Ia sangat takut sesuatu terjadi pada istrinya. Bagaimanapun juga, Davina akan menjalani operasi. Tidak peduli sekecil apapun itu, rasa sakitnya pasti akan tetap ada. Membayangkan wanita kesayangannya harus melalui semua itu membuat Edwin benar-benar tidak sanggup. Hatinya memang selalu lemah jika itu bersangkutan dengan seseorang yang ia cintai. Edwin selalu mencintai seorang waniita dengan sepenuh hatinya. Memberikan semuanya tanpa terkecuali.Karena i
Brankar yang ditempati Davina didorong dengan begitu cepat oleh beberapa perawat. Dalam sekejap, lima orang itu melesat masuk ke dalam Instalasi Gawat Darurat. Edwin ikut di belakangnya sembari menggandeng Clay, namun langkahnya dihentikan oleh perawat yang bertugas untuk menjaga ruangan itu.“Bapak tunggu disini saja. Biarkan dokter memeriksa ibu Davina terlebih dahulu. Dan anak kecil tidak diperkenankan masuk ke dalam IGD, Pak.” Jelas gadis muda itu dengan sopan.Edwin mengangguk. Ia terkulai lemas di kursi tunggu sementara tangis puteranya juga tak kunjung reda. Kepalanya terasa mau pecah dengan semua hal yang terjadi berbarengan. Ia meraih ponselnya dan menghubungi supir pribadinya.“Tolong jemput Clay di rumah sakit Pondok Gede, Pak.” Titahnya singkat.Tak perlu waktu lama bagi orang kepercayaan Edwin untuk tiba disana. Dua puluh menit berselang, supir pribadinya tiba dan berlari begitu cepat menghampiri Edwin.“Ada apa, Pak? Dimana Ibu?” tanyanya bingung saat mendapati hanya ada
Sejak dua jam yang lalu, Clay masih saja terus asyik berlarian kesana kemari. Mengejar setiap perosotan seolah benda itu akan kabur ketika ia berkedip sedetik saja. Dan Davina mau tidak mau harus terus membersamai bocah itu. Mengikutinya kesana kemari. Mengekor ke setiap arena permainan tak peduli tubuhnya sudah terasa begitu letih.Mau bagaimana lagi? Davina khawatir. Davina begitu takut Clay mungkin terjatuh saat ia tidak bersamanya walau hanya sedetik. Atau mungkin Clay tersandung dan terguling dari atas papan loncat. Dan segala ketakutan irasional lainnya yang terkadang membuat Edwin merasa jengkel.Davina memang selalu egois. Tapi bukan untuk kepentingannya sendiri. Melainkan untuk Clay.Wanita itu bahkan tega mengesampingkan perasaannya. Mengubur lelahnya. Membuang jauh-jauh sakitnya. Hanya demi menemani Clay. Bermain bersama Clay yang sepertinya tidak pernah mengenal lelah.Awalnya Edwin terharu, bahkan merasa begitu berterimakasih pada Davina karenanya Clay tidak pernah merasa
“A-apa, Mas? Istirahat total?”Davina tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin ia bisa beristirahat total selama sembilan bulan? Ia kan harus mengurus Clay! Bocah itu pasti akan protes kalau Davina tidak mau bermain dengannya lagi. Dan Davina paling tidak sanggup jika harus melihat wajah masam Clay bahkan kalau itu hanya sedetik saja.“Benar. Kata Dokter, kondisi tubuhmu sangat lemah dan dokter belum tahu komplikasi apa yang kamu alami, Sayang. Jadi kalau kamu memang ingin tetap mempertahankan bayi kita, kamu harus menuruti permintaanku untuk beristirahat total.”“T-tapi bagaimana dengan Clay, Mas? Aku tidak bisa beristirahat total. Aku harus mengurus Clay! Aku ibunya, Mas.” Protes Davina langsung.“Ada Mbak Murni, Sayang. Mbak Murni yang akan mengurus Clay selama kamu hamil.”“Clay tidak akan mau, Mas. Dia hanya akan mau bermain dan diurus olehku.”Edwin menghela nafas. Ia menghampiri Davina dan mencium lembut puncak kepala isterinya. Dan mendaratkan ciuma
Rasa panik bergumul di hati Edwin. Menelannya bulat-bulat hingga yang Edwin rasakan hanyalah takut. Ia begitu takut sesuatu yang buruk terjadi pada Davina. Dan Edwin tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika hal buruk itu memang terjadi.Mata Edwin menangkap sosok paruh baya berjas putih yang berjalan mendekat ke arahnya. Tak perlu pengetahuan khusus untuk mengenali bahwa wanita itu adalah seorang dokter. Senyumnya ramah ke arah Edwin, padahal hati Edwin sendiri sudah terasa kacau sekali.“Selamat pagi, Pak.” Sapa dokter dengan ramah.Edwin mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis, “Pagi, Dok.”Wanita itu memasang stetoskop di telinganya dan mulai memeriksa Davina. Mendengar detak jantungnya, memeriksa laju nafasnya, dan menghitung denyut nadinya. Semuanya dilakukan dengan saksama dan teliti.Edwin begitu gugup melihat sang dokter memeriksa dan memperhatikan ekspresi wanita itu tanpa melewatkannya sedikit pun. Edwin berusaha mengenali jikalau dokter itu menunjukkan ekspresi ane