Share

Bab 5

Edwin berjalan menuruni tangganya. Ia mengecek jam tangannya yang menunjukkan pukul 6 sore.

"Bi, jam berapa Miss Davina datang kesini?" Tanya Edwin sembari berjalan ke arah meja makan.

Mbak Murni yang masih memasak, menjawab Edwin dari dapur dengan suara yang sedikit besar.

"Jam 7 atau 8 malam, Pak. Nanti biar saya yang menyambutnya kalau Bapak sibuk." Ujar Mbak Murni masih sibuk mempersiapkan makan malam.

Edwin menarik salah satu kursi di ruang makannya. Tangannya lalu membuka tudung saji dan mendapati satu loyang puding buah yang ada di baliknya. Tanpa ragu, Edwin mengambil sepotong dan memindahkannya ke piring kecil. Pria itu mulai menyendok puding itu ke mulutnya dengan lahap.

"Wah, ini enak sekali. Beli dimana ya?" Gumam Edwin masih melahap puding tersebut.

Setelah menghabiskan satu potong, Edwin kembali mengambil potongan lainnya. Begitu terus menerus hingga hanya tersisa satu potong puding di atas piring. Rasa puding itu begitu lezat sehingga Edwin tidak bisa menghentikan dirinya untuk memakannya lagi dan lagi.

Beberapa saat kemudian, Mbak Murni berjalan ke arah meja makan sembari membawa mangkuk besar berisi sup ayam sayur. Wanita tua itu heran melihat bosnya makan begitu lahap. Seingatnya ia belum memasak apapun jadi apa yang dimakan bosnya itu sekarang?

"Bapak makan apa, Pak?" Tanya Mbak Murni heran.

Edwin menoleh dengan mulut yang masih mengunyah puding.

"Puding yang ada di meja, Bi. Astaga, ini enak sekali! Saya sampai menambah berkali-kali! Bibi beli dimana?" Tanya Edwin antusias.

Mbak Murni membelalak kaget. Ia langsung berlari ke arah meja makan dan melihat puding yang hanya tersisa satu potong itu. Edwin memperhatikan wanita tua itu dengan wajah bertanya-tanya.

"Bapak menghabiskan puding yang ini?" Tanya Mbak Murni setengah tidak percaya.

Edwin mengangguk mantap.

"Iya, Bi. Memangnya kenapa? Tidak boleh ya?" Balas Edwin bingung.

Mbak Murni menghela nafas pelan. Ia memijat keningnya yang terasa berdenyut.

"Ini puding buatan Miss Davina untuk Clay, Pak. Tadi Clay minta saya buat simpenin pudingnya untuk Clay makan malam. Tapi malah Bapak habisin semuanya." Jelas Mbak Murni lesu.

Kali ini Edwin yang membelalak. Ia benar-benar tidak tahu kalau puteranya sudah mewanti-wanti Mbak Murni untuk menyimpan puding itu khusus untuknya. Edwin mengusap wajahnya dengan kasar.

"Jadi bagaimana, Pak? Nanti kalau Clay bertanya soal pudingnya saya harus jawab apa?" Tanya Mbak Murni khawatir.

"Nanti saya belikan yang sama seperti ini ya, Bi. Bibi jangan cerita dulu sama Clay kalau pudingnya habis." Ucap Edwin ikut cemas.

Namun rencana Edwin dan Mbak Murni untuk membohongi Clay tampaknya tidak akan berjalan sempurna. Tak berapa lama, bocah kecil itu terdengar berloncat riang menuruni tangga. Suara nyanyiannya melantun dari atas tangga hingga ke bawah.

Edwin dan Mbak Murni bertatapan. Mereka berdua mati kutu. Pasti Clay akan segera mencari pudingnya yang baru dilahap habis oleh ayahnya ini.

"Waduh, bagaimana ini Bi?" Tanya Edwin cemas.

Mbak Murni mengedikkan bahunya. Lalu suara Clay dengan antusias menyapa kedua orang yang ada di ruang makan saat itu. Dan tentu saja, bocah itu langsung mencari keberadaan pudingnya tanpa basa basi.

"Hai, Papa! Hai, Bi Murni!" Seru Clay ceria.

Bocah itu berjalan dengan menggemaskan dan naik ke atas salah satu kursi dengan sedikit kesusahan. Tubuhnya yang gembul membuat Clay sedikit keberatan untuk bergerak.

"Mana puding buah Clay, Bi?" Tanya Clay bersemangat.

Mbak Murni menatap Edwin seolah menuntut jawaban. Wanita tua itu bingung harus menjawab apa. Maka lebih baik jika tersangka utamanya yang menjelaskan.

Edwin berdeham.

"Eh, Clay mau makan yang lain dulu? Atau mau Papa pesankan makanan kesukaan Clay?" Tawar Edwin basa basi.

Clay menggeleng mantap.

"Tidak, Pa. Clay mau makan puding buatan Miss Davina yang enak sekali! Puding itu kesukaan Clay loh Pa!" Jawab Clay.

Edwin terdiam. Ia lalu tertawa garing karena kehabisan alasan.

"Eh, tapi pudingnya sudah habis, Clay." Jawab Edwin pelan.

Clay menjelit kepada ayahnya. Bibirnya mengerucut dan tampaknya bocah itu akan segera meletus dalam tangisnya.

"Hah?! Papa menghabiskan puding Clay?!"

***

Davina menekan bel rumah megah itu. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam dan sesuai janjinya, ia harus kembali ke rumah itu. Menginap selama beberapa hari hingga Clay sembuh. Sesuai dengan permintaan bocah itu.

Tak butuh waktu lama, pintu depan terbuka dan wajah cemas Mbak Murni menyambutnya. Dan Davina tentu saja merasa heran. Apalagi ketika ia mendengar tangisan Clay di dalam rumah.

"Eh, Miss Davina. Untung Miss sudah datang!" Seru Mbak Murni lega.

Davina menatap wanita tua itu bingung.

"Memangnya ada apa, Bu? Kenapa Clay menangis?" Tanya Davina heran.

Mbak Murni tertawa canggung. Ia segera menggandeng tangan Davina dan menariknya masuk ke dalam rumah. Seketika, Clay yang menangkap sosok Davina langsung berlari menghampirinya sambil menangis. Bocah itu memeluk Davina erat dan terisak di dalam pelukan Davina.

"Ada apa, Clay Sayang?" Tanya Davina khawatir. Gadis itu langsung menggendong Clay.

"Papa menghabiskan puding buah Clay, Miss!" Ucap Clay mengadu kepada Davina.

Davina melirik ke arah Edwin yang tersenyum kikuk. Wajahnya tampak merasa tidak enak karena Clay yang mengadu pada gurunya. Davina lalu menatap lembut ke dua mata jernih Clay yang berlinang air mata.

"Ya sudah, Clay jangan menangis lagi ya. Nanti Miss akan buatkan puding buah lagi untuk Clay. Kali ini Miss akan buatkan puding yang super enak dan super banyak! Bagaimana?" Bujuk Davina sambil tersenyum penuh kasih sayang.

Clay mengucek kedua matanya dengan tangannya yang gembul. Dengan terisak, Clay menatap Davina penuh harap.

"Yang benar, Miss?" Pinta Clay sungguh-sungguh.

Davina mengangguk mantap.

"Iya, Miss janji." Ucap Davina meyakinkan Clay.

Clay lalu menyeringai puas. Ia melompat turun dari gendongan Davina. Namun langkahnya terhenti seolah masih ada yang ingin ia sampaikan pada Davina.

"Miss, kata Miss tidak bisa berbagi itu perbuatan nakal, kan?" Tanya Clay.

Davina mengangguk dan menatap bocah itu bingung.

"Iya, benar Clay."

"Dan kalau anak nakal harus dihukum kan, Miss?" Tambah Clay lagi.

"Iya, Clay Sayang." Jawab Davina sambil mencubit gemas pipi Clay.

Clay lalu berkacak pinggang. Tangannya ia letakkan di kedua sisi pinggangnya yang gendut.

"Kalau begitu, Papa harus dihukum, Miss!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status