Share

Bab 6

Davina membelalak mendengar permintaan ajaib Clay. Menghukum Papanya sendiri karena tidak bisa berbagi? Bagaimana mungkin Davina melakukannya? Terlebih lagi, pada ayah muridnya?

"Eh, tapi Papa kan sudah meminta maaf, Clay. Tidak apa-apa kalau Papa tidak dihukum, kan?" Bujuk Edwin sambil tertawa canggung.

Clay mendelik dan bibirnya mengerucut. Membuatnya tampak seperti karakter Russel di Film UP.

"Tidak boleh, Pa. Anak nakal harus dihukum! Dan Papa kan anak nakal!" Seru Clay tidak terima.

Edwin menghela nafas pelan. Ia menyerah. Pria itu tidak akan pernah bisa menang berdebat dengan puteranya yang cerewet itu. Edwin menyodorkan kedua tangannya dengan kepala yang tertunduk.

"Baiklah, Clay boleh hukum Papa sekarang." Ujar Edwin pelan.

Clay menyeringai puas. Ia lalu menggandeng Davina mendekati ayahnya yang duduk di meja makan. Davina menatap Clay dengan bingung.

"Ayo, Miss harus menghukum Papa karena Papa menjadi anak nakal, Miss." Pinta Clay dengan sungguh-sungguh.

Davina mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia melihat ke arah Edwin seolah bertanya haruskah ia menuruti permintaan anaknya? Edwin mengangguk pelan dan mengisyaratkan Davina untuk mengikuti permainan Clay tanpa banyak bertanya. Gadis itu mengangguk pelan dan berjalan mendekati Edwin yang tangannya sudah tersodor ke depan.

"Maafkan saya, Pak." Ucap Davina lirih.

Edwin hanya mengibaskan tangannya, meminta Davina agar melakukannya secepatnya. Clay, bagaikan sipir penjara, mengawasi keduanya dengan perhatian penuh. Davina tersenyum kikuk, ia lalu memukul pelan kedua punggung tangan Edwin. Dan Edwin berpura-pura meringis kesakitan.

"Arghh!" Teriak Edwin berpura-pura.

Melihat ayahnya yang dipukul, Clay tersenyum puas. Ia bertepuk tangan senang sementara Davina dan Edwin tertawa canggung. Clay lalu berkacak pinggang seolah akan memarahi ayahnya.

"Makanya Papa tidak boleh menjadi anak nakal! Papa harus bisa berbagi ya!" Seru Clay menasehati ayahnya.

Ketiga orang dewasa yang ada disana sontak tertawa lepas. Tingkah Clay sangatlah menggemaskan dan sulit bagi mereka untuk tidak merasa lucu melihat bocah ini berulah.

***

"Miss, apakah tidak apa-apa kalau Miss tidur disini?"

Clay bertanya pada Davina yang tidur disisinya sembari memeluknya. Sebelah tangan Davina mengelus kepala Clay dengan lembut sementara mulutnya bersenandung pelan menyanyikan ninabobo untuk Clay.

"Tidak apa-apa, Clay. Miss akan disini sampai Clay sembuh, ya." Ujar Davina lembut.

"Bagaimana kalau Mama Miss marah karena Miss tidak pulang?" Tanya Clay lagi sambil masih memainkan robotnya.

Davina tertawa pelan.

"Mama Miss tidak tinggal bersama Miss, Clay Sayang. Jadi Mama Miss tidak akan marah soal ini." Jawab Davina lagi.

Clay mengangguk-angguk sembari mulutnya membentuk huruf O.

"Berarti Miss seperti Clay ya? Clay juga tidak tinggal bersama Mama, Miss. Kata Papa, Mama sudah punya rumah baru dan harus pindah ke rumahnya sendiri. Jadi Clay tidak bisa tinggal sama Mama lagi." Tutur Clay dengan santai.

Davina termenung. Ia memperhatikan bocah ini lamat-lamat. Davina baru mengetahui bahwa kedua orangtua Clay sudah berpisah. Karena Davina tidak terlalu peduli dengan urusan keluarga muridnya. Tapi mendengarkan bocah sekecil ini menceritakan tentang perceraian dengan begitu santai membuat hati Davina teriris. Bocah yang bahkan masih terlalu kecil untuk mengerti tentang perpisahan, sudah harus mengalaminya sendiri.

Davina mencoba mengalihkan pembicaraan. Karena sepertinya Davina akan semakin menangis jika ia melihat Clay bercerita seperti ini lagi. Gadis itu merengkuh pelan tubuh Clay dan menepuk-nepuk pelan paha bocah laki-laki itu.

"Kita tidur ya, Clay. Sudah malam dan besok kita mau bermain lagi." Bisik Davina pelan.

Clay menatap Davina dengan mata berbinar. Ia lalu mengangguk dengan penuh semangat. Bocah itu langsung memeluk Davina dan memejamkan matanya. Berusaha keras untuk tidur. Dan tidak perlu waktu lama, Clay benar-benar tertidur pulas dalam pelukan Davina.

"Miss janji akan selalu membuat Clay bahagia, Clay Sayang."

***

Davina terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam yang menunjukkan pukul tiga pagi. Gadis itu melirik Clay yang sudah tertidur dengan pulas di sampingnya. Sepertinya kamar Clay terlalu dingin hingga Davina terbangun di tengah malam seperti ini.

"Kamar ini dingin sekali. Dimana remote ACnya ya?" Gumam Davina seraya berusaha bangun dari tidurnya.

Dengan hati-hati, ia memindahkan Clay yang tertidur dengan memeluknya. Davina lalu melangkah mencari remote AC agar bisa menaikkan suhu kamar itu yang terlalu dingin. Barulah Davina hendak kembali tidur, telinganya menangkap suara gemerisik dari luar kamar Clay. Tak berapa lama, ia mendengar suara pintu yang terbuka.

Jantung Davina berdetak keras. Pikirannya yang selalu berlebihan mengatakan bahwa mungkin ada penyusup yang sedang mengacau rumah itu. Davina berjalan mengendap-endap dan membuka pintu dengan hati-hati. Matanya melihat sosok tinggi yang berjalan dengan cepat menuruni tangga. Namun Davina gagal melihat wajah sosok tersebut. Dan hal ini membuat gadis itu makin merasa tidak karuan.

Davina dengan cekatan berjalan mengikuti sosok tersebut. Anehnya, sosok itu malah berjalan memasukki dapur.

"Aneh? Kenapa maling harus ke dapur?" Gumam Davina semakin memepercepat langkahnya karena sosok yang ia buntuti masuk ke dapur.

Davina melangkah masuk ke dapur dan betapa terkejutnya ia ketika melihat siapa sosok yang sebenarnya sedang ia ikuti. Sosok misterius yang tidak lain dan tidak bukan adalah Edwin. Pria itu berkeliaran dan tampak bingung di dapur.

"Bapak? Apa yang Bapak lakukan malam-malam begini?" Tanya Davina dengan heran.

Edwin sedikit terperanjat. Ia lalu mengangkat wajahnya dan melihat ke arag Davina. Pria itu tersenyum canggung seperti maling yang tertangkap basah.

"Saya kelaparan." Jawab Edwin.

Davina menghampiri Edwin yang masih sibuk mencari entah apa.

"Bapak mencari apa?" Tanya Davina lagi.

"Rencananya saya mau memasak mie, tapi saya tidak tahu dimana Bi Murni menyimpan barang-barangnya. Soalnta saya tidak pernah ke dapur." Ujar Edwin sambil tertawa canggung.

Davina ikut tertawa mendengar jawaban pria itu.

"Bapak mau saya buatkan mie? Semalam Bu Murni sudah menjelaskan ke saya dimana dia menyimpan barang-barang." Tawar Davina ramah.

Edwin menatap Davina dengan tatapan tak percaya. Mungkin ia merasa heran kenapa guru muridnya mau repot-repot seperti ini.

"Ah, apakah boleh? Saya mau sih kalau kamu tidak keberatan." Ujar Edwin sambil menggaruk kepalanya.

Davina melangkah melewati Edwin dan segera mengambil beberapa bahan makanan. Sebungkus mie, seikat sawi, sebutir telur, dan sepotong ayam goreng.

"Bapak tunggu di meja makan ya. Nanti akan saya antarkan kalau sudah siap." Ujar Davina.

Edwin mengangguk senang. Dengan patuh ia melangkah menuju ruang makan sementara Davina sudah kembali sibuk memasak. Langkah Edwin terhenti dan ia menoleh ke belakang lagi. Melihat ke arah Davina yang sudah mulai memasak. Tanpa ia sadari, senyumnya tersungging dan tawa pelan terlepas dari mulutnya. Suasana ini pasti akan terasa sangat lucu jika diceritakan kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status