Davina membelalak mendengar permintaan ajaib Clay. Menghukum Papanya sendiri karena tidak bisa berbagi? Bagaimana mungkin Davina melakukannya? Terlebih lagi, pada ayah muridnya?
"Eh, tapi Papa kan sudah meminta maaf, Clay. Tidak apa-apa kalau Papa tidak dihukum, kan?" Bujuk Edwin sambil tertawa canggung.Clay mendelik dan bibirnya mengerucut. Membuatnya tampak seperti karakter Russel di Film UP."Tidak boleh, Pa. Anak nakal harus dihukum! Dan Papa kan anak nakal!" Seru Clay tidak terima.Edwin menghela nafas pelan. Ia menyerah. Pria itu tidak akan pernah bisa menang berdebat dengan puteranya yang cerewet itu. Edwin menyodorkan kedua tangannya dengan kepala yang tertunduk."Baiklah, Clay boleh hukum Papa sekarang." Ujar Edwin pelan.Clay menyeringai puas. Ia lalu menggandeng Davina mendekati ayahnya yang duduk di meja makan. Davina menatap Clay dengan bingung."Ayo, Miss harus menghukum Papa karena Papa menjadi anak nakal, Miss." Pinta Clay dengan sungguh-sungguh.Davina mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia melihat ke arah Edwin seolah bertanya haruskah ia menuruti permintaan anaknya? Edwin mengangguk pelan dan mengisyaratkan Davina untuk mengikuti permainan Clay tanpa banyak bertanya. Gadis itu mengangguk pelan dan berjalan mendekati Edwin yang tangannya sudah tersodor ke depan."Maafkan saya, Pak." Ucap Davina lirih.Edwin hanya mengibaskan tangannya, meminta Davina agar melakukannya secepatnya. Clay, bagaikan sipir penjara, mengawasi keduanya dengan perhatian penuh. Davina tersenyum kikuk, ia lalu memukul pelan kedua punggung tangan Edwin. Dan Edwin berpura-pura meringis kesakitan."Arghh!" Teriak Edwin berpura-pura.Melihat ayahnya yang dipukul, Clay tersenyum puas. Ia bertepuk tangan senang sementara Davina dan Edwin tertawa canggung. Clay lalu berkacak pinggang seolah akan memarahi ayahnya."Makanya Papa tidak boleh menjadi anak nakal! Papa harus bisa berbagi ya!" Seru Clay menasehati ayahnya.Ketiga orang dewasa yang ada disana sontak tertawa lepas. Tingkah Clay sangatlah menggemaskan dan sulit bagi mereka untuk tidak merasa lucu melihat bocah ini berulah.***"Miss, apakah tidak apa-apa kalau Miss tidur disini?"Clay bertanya pada Davina yang tidur disisinya sembari memeluknya. Sebelah tangan Davina mengelus kepala Clay dengan lembut sementara mulutnya bersenandung pelan menyanyikan ninabobo untuk Clay."Tidak apa-apa, Clay. Miss akan disini sampai Clay sembuh, ya." Ujar Davina lembut."Bagaimana kalau Mama Miss marah karena Miss tidak pulang?" Tanya Clay lagi sambil masih memainkan robotnya.Davina tertawa pelan."Mama Miss tidak tinggal bersama Miss, Clay Sayang. Jadi Mama Miss tidak akan marah soal ini." Jawab Davina lagi.Clay mengangguk-angguk sembari mulutnya membentuk huruf O."Berarti Miss seperti Clay ya? Clay juga tidak tinggal bersama Mama, Miss. Kata Papa, Mama sudah punya rumah baru dan harus pindah ke rumahnya sendiri. Jadi Clay tidak bisa tinggal sama Mama lagi." Tutur Clay dengan santai.Davina termenung. Ia memperhatikan bocah ini lamat-lamat. Davina baru mengetahui bahwa kedua orangtua Clay sudah berpisah. Karena Davina tidak terlalu peduli dengan urusan keluarga muridnya. Tapi mendengarkan bocah sekecil ini menceritakan tentang perceraian dengan begitu santai membuat hati Davina teriris. Bocah yang bahkan masih terlalu kecil untuk mengerti tentang perpisahan, sudah harus mengalaminya sendiri.Davina mencoba mengalihkan pembicaraan. Karena sepertinya Davina akan semakin menangis jika ia melihat Clay bercerita seperti ini lagi. Gadis itu merengkuh pelan tubuh Clay dan menepuk-nepuk pelan paha bocah laki-laki itu."Kita tidur ya, Clay. Sudah malam dan besok kita mau bermain lagi." Bisik Davina pelan.Clay menatap Davina dengan mata berbinar. Ia lalu mengangguk dengan penuh semangat. Bocah itu langsung memeluk Davina dan memejamkan matanya. Berusaha keras untuk tidur. Dan tidak perlu waktu lama, Clay benar-benar tertidur pulas dalam pelukan Davina."Miss janji akan selalu membuat Clay bahagia, Clay Sayang."***Davina terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam yang menunjukkan pukul tiga pagi. Gadis itu melirik Clay yang sudah tertidur dengan pulas di sampingnya. Sepertinya kamar Clay terlalu dingin hingga Davina terbangun di tengah malam seperti ini."Kamar ini dingin sekali. Dimana remote ACnya ya?" Gumam Davina seraya berusaha bangun dari tidurnya.Dengan hati-hati, ia memindahkan Clay yang tertidur dengan memeluknya. Davina lalu melangkah mencari remote AC agar bisa menaikkan suhu kamar itu yang terlalu dingin. Barulah Davina hendak kembali tidur, telinganya menangkap suara gemerisik dari luar kamar Clay. Tak berapa lama, ia mendengar suara pintu yang terbuka.Jantung Davina berdetak keras. Pikirannya yang selalu berlebihan mengatakan bahwa mungkin ada penyusup yang sedang mengacau rumah itu. Davina berjalan mengendap-endap dan membuka pintu dengan hati-hati. Matanya melihat sosok tinggi yang berjalan dengan cepat menuruni tangga. Namun Davina gagal melihat wajah sosok tersebut. Dan hal ini membuat gadis itu makin merasa tidak karuan.Davina dengan cekatan berjalan mengikuti sosok tersebut. Anehnya, sosok itu malah berjalan memasukki dapur."Aneh? Kenapa maling harus ke dapur?" Gumam Davina semakin memepercepat langkahnya karena sosok yang ia buntuti masuk ke dapur.Davina melangkah masuk ke dapur dan betapa terkejutnya ia ketika melihat siapa sosok yang sebenarnya sedang ia ikuti. Sosok misterius yang tidak lain dan tidak bukan adalah Edwin. Pria itu berkeliaran dan tampak bingung di dapur."Bapak? Apa yang Bapak lakukan malam-malam begini?" Tanya Davina dengan heran.Edwin sedikit terperanjat. Ia lalu mengangkat wajahnya dan melihat ke arag Davina. Pria itu tersenyum canggung seperti maling yang tertangkap basah."Saya kelaparan." Jawab Edwin.Davina menghampiri Edwin yang masih sibuk mencari entah apa."Bapak mencari apa?" Tanya Davina lagi."Rencananya saya mau memasak mie, tapi saya tidak tahu dimana Bi Murni menyimpan barang-barangnya. Soalnta saya tidak pernah ke dapur." Ujar Edwin sambil tertawa canggung.Davina ikut tertawa mendengar jawaban pria itu."Bapak mau saya buatkan mie? Semalam Bu Murni sudah menjelaskan ke saya dimana dia menyimpan barang-barang." Tawar Davina ramah.Edwin menatap Davina dengan tatapan tak percaya. Mungkin ia merasa heran kenapa guru muridnya mau repot-repot seperti ini."Ah, apakah boleh? Saya mau sih kalau kamu tidak keberatan." Ujar Edwin sambil menggaruk kepalanya.Davina melangkah melewati Edwin dan segera mengambil beberapa bahan makanan. Sebungkus mie, seikat sawi, sebutir telur, dan sepotong ayam goreng."Bapak tunggu di meja makan ya. Nanti akan saya antarkan kalau sudah siap." Ujar Davina.Edwin mengangguk senang. Dengan patuh ia melangkah menuju ruang makan sementara Davina sudah kembali sibuk memasak. Langkah Edwin terhenti dan ia menoleh ke belakang lagi. Melihat ke arah Davina yang sudah mulai memasak. Tanpa ia sadari, senyumnya tersungging dan tawa pelan terlepas dari mulutnya. Suasana ini pasti akan terasa sangat lucu jika diceritakan kembali.Aroma masakan yang dibuat larut malam memang terasa berbeda. Mungkin karena suasananya atau mungkin memang karena perut yang saat itu sedang menjerit lapar, mie rebus sederhana buatan Davina tercium sangat lezat dari dapur. Hidung Edwin menangkap aromanya dan seketika perutnya semakin keroncongan.Tak berapa lama, gadis itu berjalan keluar dari dapur dengan membawa semangkuk mie rebus di kedua tangannya. Ia lalu meletakkan mie rebus itu di meja."Kenapa banyak sekali?" Tanya Edwin terkejut melihat porsi mie yang begitu banyak.Davina menatap Edwin sambil berdecak."Kan katanya Bapak lapar." Balas Davina tidak mau kalah.Edwin menghela nafas. Tangannya meraih sebuah mangkuk kecil untuk ia gunakan."Iya, saya lapar tapi bukan berarti saya tidak makan tiga hari. Kalau kamu menyuruh saya makan sebanyak ini, bisa-bisa perut saya meledak, Davina." Ujar Edwin sambil geleng-geleng kepala.Edwin lalu mengambil sebuah mangkuk lagi dan menyodorkannya pada Davina."Ini, kamu juga harus ikut makan
"Selamat pagi, anak-anak kesayangan Miss Davina!"Davina dengan penuh semangat menyapa kelasnya. Sudah tiga hari ia absen mengajar karena memutuskan untuk cuti demi mengurus Clay. Dan hari ini, Davina sudah kembali bekerja. Ia sangat merindukan murid-muridnya yang pintar dan menggemaskan ini.Gadis itu menebar pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Seluruh muridnya hadir hari itu. Bahkan Clay yang sempat sakit pun hari ini sudah duduk manis di kursinya. Wajahnya segar dan merona seperti apel yang baru dipetik. Davina tersenyum bahagia karena hari ini kelasnya sudah kembali seperti biasa."Baik, Class! Apa yang akan kita lakukan hari ini ya?" Tanya Davina pada murid-muridnya.Gerombolan anak kecil itu bersuara saling tumpang tindih meneriakkan usulan mereka. Ada yang ingin belajar menyanyi, menari, dan bahkan menonton film. Davina tertawa geli melihat tingkah muridnya. Untuk meredakan kerusuhan itu, Davina segera meminta muridnya untuk melakukan pemungutan suara.Beberapa menit berlalu
Dengan penuh semangat, Clay menggandeng Davina memasukki salah satu mall terbesar di Jakarta. Wajahnya sumringah seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia memilikki guru sehebat Davina. Sementara Davina, tersenyum gemas melihat tingkah yang menggemaskan dari bocah laki-laki itu. Bersama keduanya, Edwin berjalan beriringan. Senyum bahagia tak berhenti terpasang di wajahnya karena ia melihat puteranya yang tampak begitu ceria."Papa, kita akan makan di tempat biasanya kan?" Tanya Clay bersemangat.Edwin mengangguk."Iya, Clay. Kita akan makan cheeseburger kesukaanmu!" Ucap Edwin antusias.Clay mendongak dan melihat ke arah Davina."Miss! Kita akan makan di tempat kesukaanku! Makanannnya enak sekali! Aku jamin Miss juga pasti suka!" Seru Clay lagi.Davina tertawa. Ia lalu berjongkok agar sejajar dengan Clay. Tangannya mencubit gemas pipi Clay."Benarkah? Clay sekarang sudah seperti orang-orang di televisi loh! Orang-orang yang suka memberitahu makanan enak itu. Clay tahu kan?" Balas D
"Siapa wanita itu? Pacar barumu?" Clarissa menatap Edwin dengan tatapan mengejek. Seolah mantan suaminya itu tidak lebih baik daripada dirinya yang berselingkuh dengan belasan pria."Bukan urusanmu." Jawab Edwin dingin.Clarissa terkekeh."Tentu saja itu urusanku. Karena siapapun yang akan menikah denganmu lagi akan menjadi ibu dari Clay." Balas Clarissa.Edwin mendengus."Sejak kapan kamu peduli dengan anakmu? Bahkan kamu tidak tahu berapa sendok takaran susunya, Clarissa. Jangan berpura-pura menjadi Ibu yang baik sekarang." Ucap Edwin tajam."Entah seburuk apapun kamu mengatakannya, aku tetap Ibu dari Clay, Sayang. Tidak ada yang lebih berhak atas Clay dibandingkan aku." Ujar Clarissa dengan pongah.Edwin menghela nafas. Ia memijat keningnya. Wanita ini benar-benar seperti virus. Barulah ia muncul sejenak, tubuh Edwin langsung terasa tidak enak."Apa yang kamu inginkan?" Ucap Edwin langsung ke intinya.Clarissa tertawa lepas. Tangannya menepuk lengan kekasih mudanya yang kekar."As
Motor Davina memasukki halaman sekolahnya. Seperti biasa, ia harus mengajar lagi hari ini. Dan itu berarti Davina akan bertemu dengan murid-murid menggemaskan kesayangannya lagi.Gadis itu melangkah dengan semangat menuju kantornya. Senyum merekah di bibirnya. Namun barulah Davina menginjakkan kaki di dalam ruangan itu, seluruh guru menatapnya dengan senyuman penuh makna. Senyuman yang menggoda seolah Davina baru saja melakukan sesuatu yang lucu."Kenapa? Kok semuanya senyum-senyum seperti ini?" Tanya Davina sambil tertawa lucu.Maya, salah seorang rekan kerjanya, menghampirinya dengan senyum yang sama menggodanya. Gadis itu mencubit pinggang Davina pelan. Membuat Davina menggeliat geli."Ih, kenapa sih, Maya?" Seru Davina bingung."Kamu sudah punya pacar ya?" Goda Maya dengan mata jahilnya.Davina menatap Maya bingung."Pacar apa? Kamu tahu sendiri kan aku ini single seperti pringle?" Balas Davina heran.Maya tertawa. Tangannya memukul lengan Davina pelan."Halah! Bohong ya! Davina s
Malam itu, Edwin benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan Davina. Kejadian yang hanya terjadi beberapa detik namun ia menatap kedua mata lembut itu dengan begitu dalam. Mata yang indah dan cantik, secantik pemiliknya. Dan mata itu memancarkan kehangatan yang sudah lama tidak Edwin temukan dari seorang wanita.Edwin meletakkan tangannya di depan dadanya. Tanpa ia sadari, jantungnya berdebar begitu cepat karena memikirkan Davina. Hal lain yang tidak Edwin sadari adalah, wajahnya menjadi bersemu merah saat ia memikirkan gadis itu beberapa detij yang lalu."Ah, sialan! Ada apa denganku? Sadar, Edwin! Davina itu guru anakmu! Kamu tidak seharusnya berpikiran seperti ini kepadanya!" Umpat Edwin pada dirinya sendiri.Namun Edwin tidak bisa mengendalikan pikiran dan hatinya. Hingga ia terlelap tidur, di kepalanya masih ada Davina yang menari-nari disana. Dan Edwin tidak bisa memungkiri fakta bahwa mungkin ia sudah jatuh cinta pada gadis bernama Davina itu.***Davina barulah hendak masuk ke
Jantung Davina berdebar begitu kencang. Kakinya melangkah cepat menyusuri salah satu mall terbesar di Jakarta. Hari ini semestinya ia akan bertemu dengan pengirim paket misteriusnya. Kalau memang orang itu setuju untuk menemuinya.Davina menekan lift dan masuk. Kotak besi itu segera melesat ke lantai tiga tempat Davina akan bertemu dengan orang tersebut. Davina berjalan dengan cepat sembari pandangannya menyebar ke seluruh penjuru mall. Beberapa menit melangkah, Davina akhirnya menemukan kafe Pulang. Tempat ia akan bertemu dengan si pengirim paket.Namun langkah Davina tiba-tiba terhenti. Ia terperanjat melihat sosok yang ada di tempat itu. Sosok yang tampaknya sedang menunggu seseorang disana. Seorang pria yang Davina tidak pernah menyangka akan ditemuinya disana."Pak Edwin?"Davina mengerjapkan matanya beberapa kali. Berusaha memastikan apakah sosok yang dilihatnya benar-benar ayah dari muridnya. Edwin Pramudya. Davina dengan cepat berusaha menepiskan kemungkinan itu."Ah, mungkin
Davina mengamati dengan saksama ekspresi wajah Edwin. Pria itu tampak benar-benar terperanjat. Davina yakin benar bahwa Edwin bukan pelaku di balik semua ini. Namun semuanya jadi semakin membingungkan bagi mereka berdua. Kalau bukan Edwin, lalu siapa yang berani mencatut nama Edwin?Edwin berpikir keras. Kenapa nomor ponselnya bisa ada dalam identitas pengirim paket Davina? Edwin yakin siapapun yang melakukannya pasti berhubungan dekat dengannya dan Davina. Edwin mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Davina dengan serius."Apa saja paket yang kamu terima?" Tanya Edwin penasaran.Davina tampak mengingat-ingat."Awalnya hanya sebatas buket mawar dan cokelat, Pak. Tapi belakangan hadiahnya menjadi semakin mahal. Terakhir saya menerima anting-anting yang sepertinya berharga jutaan rupiah." Jawab Davina.Edwin membelalak. Otaknya seolah menghubungkan setiap potongan-potongan puzzle itu. Mencoba mencari penjelasan yang paling masuk akal terhadap kejadian itu. Dan tiba-tiba ia seolah menem