Pupil mata wanita itu sontak terbelalak. Dengan cepat dia menoleh ke arah pria bermata hijau tersebut. Sementara Jason bergegas membantu adiknya untuk berdiri, tangisan Jessica terdengar makin nyaring. Para pengunjung pasar hanya diam saja sejak tadi. Seolah-olah sudah terbiasa dengan kejadian di depan mata mereka saat ini.
"Apa?! Tentu saja aku mengusir mereka, gara-gara mereka daganganku jadi bau!" Wanita bertubuh pendek itu berseru dengan mata melotot keluar. Lelaki itu mendengus kasar. Sejak tadi, secara diam-diam dia memperhatikan perundungan yang dilakukan wanita tak di kenalnya ini, anehnya orang di sekitar tak berani melerai atau pun melindungi, hanya melihat saja dari kejauhan. Hati kecilnya pun lantas tergerak. Dalam keadaan kepala masih berdenyut kuat dia pun terpaksa menghampiri. "Mereka anak kecil, bisakah kau lebih sopan memperlakukan mereka! Kalau pun daganganmu ini kau rasa bau! Kau bisa mengusir mereka dengan sopan!" Lelaki bermata tajam itu memandang sosok di depannya dengan sangat dingin hingga membuat wanita itu mulai meneguk ludahnya berkali-kali. Karena tatapan pria tersebut terasa mengintimidasi. Kendati demikian, Erna masih memasang tampang menyebalkan. Wanita yang memiliki profesi sebagai penjual buah itu, malah menyeringai tipis, memandang lelaki itu dengan sorot mata penuh cela. "Siapa kau? Apa kau salah satu pria yang keluar masuk rumah si kembar? Tidak heran kau membela anak-anak haram ini, karena kau salah satu penyumbang di dalam darah mereka haha!" balasnya sambil tertawa terbahak-bahak. "Cukup Bibi Erna! Kami bukan anak-anak haram!" pekik Jason. Lelaki asing itu mengurungkan niatnya untuk menanggapi. Sebab Jason tiba-tiba menimpali. Jason sangat tidak terima dengan perkataan Erna. "Kau, berani melawanku!" Erna tiba-tiba mendekat hendak menjawil telinga Jason. Namun, pergerakkan Erna kalah cepat. Lelaki bertubuh kekar tadi sudah terlebih dahulu menarik tangan Jason dan menyembunyikan bocah itu di belakang badannya sekarang. Jessica yang melihat kejadian tersebut, malah semakin menangis. Gadis mungil berambut panjang itu pun bersembunyi di belakang Michael. "Dengar Nona, aku sama sekali tidak mengenalmu, tapi jika kau masih melakukan kekerasan pada anak-anak ini, jangan salahkan aku, nyawamu akan melayang sebentar lagi," balasnya sambil melayangkan tatapan dingin. Erna mati kutu. Tatapan pria di hadapannya ini membuat anggota tubuhnya mendadak lumpuh, bahkan lidahnya pun terasa sangat sulit digerakkan sekarang. "Bibi jahat! Kami bukan anak-anak haram!" celetuk Jessica dengan air mata tak berhenti mengalir dari bola matanya sedari tadi. Jari-jari mungil Jessica berusaha menghapus cairan bening tersebut. Namun, bukannya mereda. Air matanya keluar dengan sangat deras sekarang. "Kau ...." Erna tampak ingin menyahut, tapi tatapan tajam lelaki yang amat asing di matanya itu, membuat dirinya hanya mampu mengepalkan kedua tangan. "Apa kau tuli, Nona? Kau mendengarkan perkataanku tadi, 'kan?" Sosok itu membuka suara kembali dan kali ini nada bicaranya terdengar amat dingin sampai-sampai membuat Erna terdiam kembali. Meskipun begitu, Erna masih menatap sengit Jessica dan Jason secara bergantian. Jessica dan Jason tak merasa takut. Kehadiran pria asing ini, membuat mereka merasa aman sekarang. "Berjualanlah di sini." Lelaki berpenampilan aneh itu tiba-tiba membalikkan badan. "Jika wanita ini membuat ulah lagi, balas saja, kalian bisa menendang perutnya atau pun kakinya." Ucapan pria asing tersebut membuat Jason dan Jessica melongo dengan bibir terbuka sedikit. Bukannya memberi nasihat, lelaki berjas hitam itu malah menyuruh mereka untuk mencelakai Erna. Setelah berkata demikian, lelaki itu seketika melangkah cepat ke arah lain. Meninggalkan Erna tersenyum lebar karena sang pelindung si kembar sudah pergi. "Kemari kalian!" Erna seketika berlari kecil mendekati Jessica dan Jason. Namun, Jason tiba-tiba menarik tangan Jessica kemudian berlari dengan sangat kencang. Meninggalkan Erna berteriak-teriak memanggil nama mereka. "Jason, Jessica! Anak-anak sialan kalian! Awas saja kalian, tunggu pembalasanku!" pekik Erna dengan napas memburu. "Ayo lebih cepat Jessica, nanti Bibi memukul kita lagi!" Sesekali Jason menoleh ke belakang, melihat Erna sekarang menghentak-hentakkan kaki ke tanah. "Iya Abang, apa dia masih mengejar kita sekarang? Aku capek!" Jessica bertanya tanpa menatap lawan bicara. Napasnya mulai terengah-engah sekarang. Jason menggeleng cepat, tanpa berniat menghentikan pergerakkan kaki. "Tidak, tapi kita harus mencari tempat yang aman!" Jessica enggan menyahut, mata mungilnya langsung berbinar-binar, melihat pria yang menolong mereka tadi berada di depan sana dan sekarang sedang berbelok ke gang kecil di pasar. "Abang, lihat ada Paman yang tadi, kita ikuti saja dia!" ujar Jessica kemudian. Jason tak langsung menyahut, tampak ragu-ragu. "Tapi—" "Sudahlah Abang, ayo Jessica tidak mau dipukul lagi seperti tadi!" Jessica mempercepat langkah kaki dan menarik kuat tangan Jason. Sesampainya di dalam gang, Jessica menghentikan langkah sambil melepas tangan Jason, tatkala melihat Michael sedang duduk di kursi kayu sambil tertunduk dalam. Pria itu seperti orang ling-lung. Dengan gesit Jessica pun mendekati pelindung mereka tadi. "Jessica!" Melihat pergerakkan Jessica, Jason membelalakan mata. Saat ini, dia masih sibuk mengatur napasnya yang tak beraturan. Kendati demikian, Jason ikut menyusul Jessica. "Hallo Paman, Jessica lupa ucapin terima kasih sama Paman, terima kasih ya karena tadi sudah bantuin kami,"kata Jessica kemudian melirik sekilas Jason yang saat ini baru saja berdiri di sampingnya. Pria yang wajahnya terlihat berantakan itu, mengangkat dagu seketika. Dengan kerutan tipis di kening kemudian menjawab,"Iya, tidak usah diperbesar, pergi lah dari sini." Mendengar tanggapan pria yang menyelamatkan mereka tadi, Jessica malah tersenyum lebar. Hal itu membuat Jason mengerutkan dahi dengan sangat kuat. Sebab balasan lelaki asing ini menandakan mereka telah diusir secara halus. Bukankah seharusnya Jessica marah, sama seperti dirinya, dadanya terasa sangat panas sekarang. Namun, mengapa reaksi Jessica tak sesuai dugaan. "Paman, jadi Papaku ya!" seru Jessica dengan mata berbinar-binar tiba-tiba.Melihat pemandangan di depan, dengan sigap Moon mengalihkan pandangan ke samping. Sampai saat ini Moon tidak bisa menghilangkan perasaannya terhadap Michael. Namun, dia tahu diri, lelaki yang dia cintai telah memiliki istri dan anak. Dia tak mau menjadi orang ketiga di hubungan Michael dan Clara. Masih berdiri di situ, melalui ekor matanya, Moon dapat melihat Michael mengendurkan pelukan. Pasangan suami istri itu saling bersitatap satu sama lain. Moon memutuskan perlahan-lahan memundurkan langkah kaki, hendak keluar dari ruangan. Berlama-lama di sini membuat dada Moon bergemuruh kuat. "Clara bukankah sudah kukatakan untuk menunggu di dalam mobil?" tanya Michael. Tak menyadari bila Moon telah berhasil keluar dari mansion, dia mengendap-endap di antara kepulan asap, melewati kumpulan manusia di sekitar yang sudah menjadi mayat. Kembali ke dalam, Clara tak langsung menjawab, perhatiannya malah tertuju pada luka tembakan di perut Michael. Terlihat darah masih mengalir pelan dari permu
Mata Moon langsung melebar kala melihat Michael tertembak. Dia pun segera melontarkan timah panas pada David dan Maximus secara bergantian, sambil berdiri di depan Michael saat ini. Julian tak tinggal diam. Dia yang semula terduduk lemas di lantai, berdiri dengan cepat sambil ikut menembak dan menghampiri Michael yang tengah memegang perutnya sekarang. "Moon, kenapa kau ada di sini? Kau bisa menembak?" tanya Michael tanpa mengalihkan pandangannya pada Moon. Kedatangan Moon, membuat Michael sangat terkejut tadi. Sebelum menjawab, Moon mendengus kasar sejenak. Dia tak berniat menghentikan tembakan ke sisi Maximus dan David yang sekarang tampak kewalahan karena diserang dari segala arah, bukan hanya dia yang menembak, Julian dan anak buah Michael ikut menembak ke arah mereka. "Aku ingin membantumu Michael. Ya, aku bisa menembak, dulu saat aku menjadi model, pernah mengikuti klub tembak, sudahlah jangan kau pikirkan, sebaiknya kau keluar sekarang, aku akan membunuh Maximus!"
Begitu mendengar suara yang tidak asing di atas, rahang Maximus langsung mengetat. Dia mengabaikan asap putih akibat ledakan tadi yang mulai masuk ke ruangan perlahan-lahan sekarang. Para anak buah Maximus lantas memandang satu sama lain, bersiap-siap untuk mendengarkan perintah dari Maximus. "Anak kurang ajar! Berani-beraninya dia!" umpat David mengepalkan tangan erat-erat. Maximus lantas mendengus kasar. "Kalian cepat berpencar, bunuh semua anak buah Michael, aku akan naik ke atas sekarang!" perintah Maximus sambil melirik David sekilas. Mereka pun berjalan ke salah satu sudut pintu rahasia ke sisi kanan. Diikuti Maximus dan David melangkah ke pintu rahasia yang lainnya. Sementara itu, di antara puing-puing rumah akibat ledakan bom tadi, Michael sedang berpencar ke seluruh ruangan, mencari keberadaan Maximus. Julian dan anak buah Michael yang lainnya pun melakukan hal yang sama. "Tetap waspada, aku yakin pria itu sedang bersembunyi,"kata Michael sambil menatap ke arah Julian.
"Kau yakin di sana aman?" balas Michael mencoba mengikuti saran dari Clara. "Sangat aman, Michael. Kau tenang saja, di sana lebih aman, daripada di sini." Clara tiba-tiba mengalihkan mata ke arah Moon sekilas. "Rasanya sangat aneh bila ada seorang wanita tinggal bersamamu Michael."Michael enggan menanggapi, memilih memusatkan perhatian pada Moon. Berbeda dengan Moon, perkataan Clara terasa seperti sebuah sindirian halus baginya. Menurut Moon, itu hal yang wajar, yang dilakukan oleh Clara. Ia rasanya tak mau meminta pertolongan pada pasangan suami istri ini. Namun, posisinya sekarang tidak baik. Terlebih, nyawa kedua anaknya dalam bahaya besar. "Bagaimana Moon? Kau mau tinggal di sana bersama si kembar?" tanya Michael seketika. Moon tersenyum getir. "Boleh, yang penting Jessica dan Jason aman.""Baiklah keputusan sudah dibuat, Julian siapkan semua keperluan Moon dan si kembar, jangan sampai orang tahu keberadaan mereka," kata Michael kembali. Julian mengangguk. Tak berselang lama
Moon mematung di tempat ketika tiba-tiba dari pintu lain muncul sosok yang amat dia kenali, Omar, adik tirinya. Dulu, ketika tinggal bersama Omar dikenal suka membuat ulah dan kerap kali menganggunya. Kini, pria berperawakan tinggi dan besar itu berjalan cepat ke arah si kembar sambil menodongkan pistol."Hai Moon, sudah lama tidak berjumpa, kau semakin cantik saja," kata Omar dengan seringai tajam membentang di wajah. Melihat hal itu, napas Moon mendadak tercekat. Kedua anak kembarnya dalam bahaya besar sekarang. "Lepaskan anak-anakku Omar! Apa maumu hah?!" teriak Moon, mencoba menggerakkan kaki. "Eits, jangan bergerak, jika kau maju selangkah lagi aku tidak akan segan-segan membunuh keponakanku yang lucu ini," ucap Omar. Setelah itu cepat-cepat menutup mulut Jessica dan Jason dengan lakban.Beberapa hari sebelumnya, Omar diperintahkan kedua orang tuanya untuk menculik Moon. Dia akan mendapatkan uang yang sangat banyak bila berhasil membawa Moon. Omar hampir saja putus asa karen
Kedatangan Moon, membuat Michael dan Clara sontak terbelalak. Keduanya saling melirik ke arah pintu dengan ekspresi berbeda. Clara tampak keheranan sekaligus terkejut, mengapa ada wanita datang ke rumah suaminya saat ini. Sementara itu di luar pintu, Moon tertegun sambil menyentuh dadanya yang terasa perih akan pemandangan barusan. Moon tahu bila seseorang di dalam sana adalah istri Michael. Sebab beberapa hari yang lalu, Julian pernah menunjukkan foto pernikahan Michael."Siapa wanita itu?" tanya Clara seketika sambil menatap seksama wajah Michael. Ada percikan api cemburu terlihat di kedua bola matanya itu sekarang. "Namanya Moon, dia penolongku saat aku hilang ingatan, aku keluar sebentar ya, sepertinya Moon membutuhkan aku," jawab Michael singkat, tapi mampu membuat dada Clara terasa mulai panas. Namun, Clara berusaha untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan cemburunya di hadapan Michael. "Tunggu dulu Michael, jelaskan dulu padaku apa yang terjadi padamu selama ini?" tanya Clar