Home / Romansa / Paman, Jadi Papaku Ya! / 1. Mencari Si Kembar

Share

Paman, Jadi Papaku Ya!
Paman, Jadi Papaku Ya!
Author: Ocean Na Vinli

1. Mencari Si Kembar

last update Last Updated: 2024-11-18 19:53:26

Pagi ini, langit terlihat sangat terang benderang. Padahal waktu masih menunjukkan pukul enam. Para penduduk desa Juana Diaz terlihat begitu antusias menjalankan aktivitasnya. Salah satu aktivitas yang kerap kali dilakukan penduduk setempat adalah kegiatan jual beli di pasar. Di mana para pedagang menjajakan dagangan dan berusaha menarik perhatian para pengunjung pasar untuk membeli barang dagangan.

"Permisi Madam Erna, apa kau melihat Jessica dan Jason ada di sekitar sini?" Seorang wanita berwajah pucat pasi membuat perhatian salah satu pedagang buah teralihkan seketika. Moon tampak begitu gelisah. Sebab sudah tiga puluh menit mengitari pasar. Namun, kedua anak kembarnya belum juga terlihat.

Mendengar namanya disebut, Erna sontak mengalihkan pandangan mata. Bukannya langsung menjawab. Wanita bertubuh tambun itu malah memindai Moon dari atas hingga bawah.

"Madam, apa kau melihat si kembar?" Untuk kedua kalinya Moon bertanya lagi. Dia tak sabaran dan takut bila kedua anaknya dalam keadaan bahaya sekarang. Sebab, untuk pertama kalinya si kembar berani keluar dari rumah tanpa sepengetahuannya.

Satu jam sebelumnya, setelah terbangun dari tidur. Moon membelalakkan mata kala mendapati rumah dalam keadaan kosong dan hanya terlihat secarik kertas tergeletak di tepi ranjang tadi. Isi kertas tersebut adalah pesan dari si kembar. Keduanya meminta izin menjual buah lemon, bermaksud membeli obat untuk dirinya.

Moon merasa bersalah karena batuknya dari semalam tak kunjung mereda. Akhir-akhir ini kondisi kesehatan Moon memang sedikit menurun. Mungkin, karena terlalu sering berkerja tanpa mengenal waktu membuat imunitas tubuhnya melemah.

Terlebih, dia hanya lah ibu tunggal yang tidak memiliki suami atau pun sanak saudara. Selama ini Moon berkerja serabutan dan kadang kala tidak diupah oleh atasannya. Sebenarnya dulu Moon tinggal di Amerika Serikat dan berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Akan tetapi, karena kekejian papa kandung, mama tiri dan adik-adik tirinya, Moon dijebak dan dijual oleh papa kandungnya sendiri. Setelah dikotori pria biadab. Moon berhasil melarikan diri ke desa terpencil ini.

Semalam, setelah pulang berkerja di kedai ujung desa. Badan Moon mendadak meriang, titiknya dia tidak bisa tidur karena batuk terus menerus hingga mengeluarkan darah. Ingin membeli obat. Namun, uangnya tidak cukup.

Tadi malam, Moon hanya bisa menahan sakit dan berharap penyakitnya akan menghilang besok. Benar, batuk Moon berangsur-angsur reda pada pukul tiga dini hari. Dia pun memutuskan tidur kembali hendak memulihkan tubuhnya.

"Madam, apa kau melihat si kembar?" tanya Moon lagi saat Erna hanya diam saja sejak tadi.

Tak ada jawaban, Erna masih memandang Moon dengan sorot mata yang sangat sulit diartikan.

Sekarang, Moon merasa sangat risih kala diperhatikan tetangga sebelah rumahnya itu dengan sangat intens. Terlebih, tatapan Erna terlihat penuh cela sekarang, seakan-akan dirinya begitu hina.

Moon tahu penampilannya jauh dari kata bersih, gaun putih yang dia kenakan warnanya memang kusam dan sedikit kotor di bagian bawah karena semalam hujan lebat dan dia tidak sengaja tergelincir di jalan ketika pulang ke rumah. Mau membersihkan diri, tapi dia sudah sangat lelah. Moon akhirnya memutuskan merebahkan diri di kasur. Tadi pun, Moon tidak sempat mandi, hanya menggosok gigi dan membasuh wajahnya.

Moon mulai menggerakkan lidahnya kembali. "Madam Erna, apa kau mel—"

"Aku tidak tahu! Kenapa kau tanya padaku!? Siapa tahu saja anak-anak harammu itu bersama suamimu yang tidak jelas itu!" potong Erna, sangat ketus, sembari memutar mata ke atas.

Langsung melebar pupil mata Moon ketika mendengar anak-anaknya disebut haram.

"Cukup Madam, anak-anakku bukan anak haram! Berhenti lah membuat gosip yang tidak-tidak!" seru Moon.

Erna malah tersenyum sinis. "Gosip apanya? Itu kan bukan gosip, tapi memang kenyataannya suamimu itu tidak jelas! Kau wanita perkerja malam, jadi kau pun pasti tidak tahu siapa ayah dari anak-anakmu itu! Cih, tidak usah marah-marah! Kau hanya lah wanita rendahan dan tidak pantas berbicara denganku!"

Muka Moon berubah merah padam, urat-urat di wajahnya pun seketika menegang. Kedua tangannya langsung terkepal erat, menahan amarah saat dikatakan sebagai wanita perkerja malam. Sampai saat ini, Moon keheranan dengan kabar burung yang menerpanya. Entah siapa yang menyebarkan gosip liar tersebut sehingga dirinya dan anak kembarnya dikucilkan oleh penduduk desa.

"Apa, kau tidak terima, ayo pukul lah aku!" Erna berkacak pinggang sambil mengangkat dagu dengan angkuh, menantang Moon untuk menyerangnya.

Alih-alih menyerang, Moon justru membuang napas pendek guna menetralisir dadanya terasa sangat panas saat ini. Lagi pula Moon tidak memiliki tenaga untuk berkelahi sebab kondisi tubuhnya belum sepenuhnya membaik.

"Kalau begitu aku permisi Madam, tidak ada gunanya kita berkelahi, maaf aku menganggu waktumu," kata Moon kemudian cepat-cepat memutar tumit ke belakang.

Moon mendongak, matanya langsung menyipit kala sinar matahari di atas sana semakin terik. Dia mengeluarkan rintihan pelan karena kepalanya terasa mulai pusing sekarang.

"Ke mana kalian, Nak?" gumam Moon lalu mulai menggerakkan kaki hendak mencari keberadaan Jessica dan Jason kembali.

Sementara Erna menatap tajam kepergian tetangga sebelahnya rumah itu. Detik selanjutnya perhatian Erna teralihkan lagi dengan kedatangan seorang pembeli. Erna pun mulai melayani pembeli.

Belum sampai sepuluh menit, yang dicari-cari Moon tiba-tiba berdiri di samping dagangan Erna. Di kerumunan manusia, Jessica dan Jason menaruh buah lemon satu persatu ke atas kardus, yang mereka bawa sejak tadi.

Rahang Erna seketika mengeras. Sangat terusik dengan keberadaan Jessica dan Jason. Secepat kilat Erna mendekati kedua anak berumur sekitar lima tahun itu.

"Siapa yang menyuruh kalian menjual lemon di sini hah?!" seru Erna berapi-api dengan mata melotot keluar.

Jessica dan Jason terperanjat kaget. Secepat kilat mendongakkan kepala.

"Bibi, Jessica minta maaf karena tidak kasi tahu kalau mau jualan di sini, Jessica mohon izinkan kami berjualan di dekat bibi ya?" kata Jessica sambil menampilkan mata memelas. Kendati demikian, kaki-kaki mungilnya sedikit bergetar, takut dengan tatapan intimidasi yang dilayangkan wanita di hadapannya sekarang.

"Iya Bi, kami tidak akan lama kok, kasihan Mama kami, tadi malam dia batuk-batuk terus dan obatnya sudah habis, kami belum makan juga." Jason, saudara kembar Jessica ikut menimpali. Dengan sekuat tenaga ia menunjukkan raut wajah sedih. Namun, wajah datarnya yang malah terlihat.

Urat-urat di wajah wanita itu semakin menegang. Sorotnya yang semula memang dingin menjadi lebih dingin, hingga membuat keringat di dahi Jessica mulai mengalir sekarang.

"Tidak boleh, aku tidak mau tahu, kalian harus pergi!" serunya kemudian menjambak rambut Jessica dengan cepat.

Tanpa diketahui Erna, dari kejauhan ada sepasang mata berwarna hijau memperhatikan Erna dan si kembar saat ini. Lelaki berperawakan kekar dan tinggi tersebut terlihat basah kuyup. Dia memakai tuxedo berwarna hitam, pakaian yang jarang sekali penduduk desa kenakan. Tidak hanya itu terlihat pula ada bercak-bercak darah di sekitar tubuhnya.

"Argh, sakit Bi! Lepaskan Jessi!" Jessica mengaduh kesakitan saat rambut panjangnya ditarik dengan sangat kuat sekarang. Tanpa permisi pula air mata di pelupuk mata mulai mengalir keluar.

"Lepaskan adikku!" Muka Jason terlihat merah padam dan napasnya terdengar memburu. Dengan sekuat tenaga Jason berusaha merebut Jessica dari tetangga sebelah rumahnya. Namun, tenaganya tak sebanding dengan wanita itu.

"Diam, wanita jalang seperti Mamamu itu memang pantas mati! Dia adalah aib bagi desa ini! Pergi kalian dari sini! Kalian mengotori tempatku, anak-anak haram!" teriaknya lalu mendorong Jessica dan Jason secara bersamaan ke tanah.

Detik itu pula tangis Jessica langsung pecah.

"Hei, apa yang kau lakukan?! Lepaskan mereka!" Dengan sorot mata tajam, pria yang sejak tadi melihat Jessica dan Jason dikasari Erna lantas mendekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   61. Tak Mau Mengusik

    Melihat pemandangan di depan, dengan sigap Moon mengalihkan pandangan ke samping. Sampai saat ini Moon tidak bisa menghilangkan perasaannya terhadap Michael. Namun, dia tahu diri, lelaki yang dia cintai telah memiliki istri dan anak. Dia tak mau menjadi orang ketiga di hubungan Michael dan Clara. Masih berdiri di situ, melalui ekor matanya, Moon dapat melihat Michael mengendurkan pelukan. Pasangan suami istri itu saling bersitatap satu sama lain. Moon memutuskan perlahan-lahan memundurkan langkah kaki, hendak keluar dari ruangan. Berlama-lama di sini membuat dada Moon bergemuruh kuat. "Clara bukankah sudah kukatakan untuk menunggu di dalam mobil?" tanya Michael. Tak menyadari bila Moon telah berhasil keluar dari mansion, dia mengendap-endap di antara kepulan asap, melewati kumpulan manusia di sekitar yang sudah menjadi mayat. Kembali ke dalam, Clara tak langsung menjawab, perhatiannya malah tertuju pada luka tembakan di perut Michael. Terlihat darah masih mengalir pelan dari permu

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   60. Menolong

    Mata Moon langsung melebar kala melihat Michael tertembak. Dia pun segera melontarkan timah panas pada David dan Maximus secara bergantian, sambil berdiri di depan Michael saat ini. Julian tak tinggal diam. Dia yang semula terduduk lemas di lantai, berdiri dengan cepat sambil ikut menembak dan menghampiri Michael yang tengah memegang perutnya sekarang. "Moon, kenapa kau ada di sini? Kau bisa menembak?" tanya Michael tanpa mengalihkan pandangannya pada Moon. Kedatangan Moon, membuat Michael sangat terkejut tadi. Sebelum menjawab, Moon mendengus kasar sejenak. Dia tak berniat menghentikan tembakan ke sisi Maximus dan David yang sekarang tampak kewalahan karena diserang dari segala arah, bukan hanya dia yang menembak, Julian dan anak buah Michael ikut menembak ke arah mereka. "Aku ingin membantumu Michael. Ya, aku bisa menembak, dulu saat aku menjadi model, pernah mengikuti klub tembak, sudahlah jangan kau pikirkan, sebaiknya kau keluar sekarang, aku akan membunuh Maximus!"

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   59. Penyerangan Balik

    Begitu mendengar suara yang tidak asing di atas, rahang Maximus langsung mengetat. Dia mengabaikan asap putih akibat ledakan tadi yang mulai masuk ke ruangan perlahan-lahan sekarang. Para anak buah Maximus lantas memandang satu sama lain, bersiap-siap untuk mendengarkan perintah dari Maximus. "Anak kurang ajar! Berani-beraninya dia!" umpat David mengepalkan tangan erat-erat. Maximus lantas mendengus kasar. "Kalian cepat berpencar, bunuh semua anak buah Michael, aku akan naik ke atas sekarang!" perintah Maximus sambil melirik David sekilas. Mereka pun berjalan ke salah satu sudut pintu rahasia ke sisi kanan. Diikuti Maximus dan David melangkah ke pintu rahasia yang lainnya. Sementara itu, di antara puing-puing rumah akibat ledakan bom tadi, Michael sedang berpencar ke seluruh ruangan, mencari keberadaan Maximus. Julian dan anak buah Michael yang lainnya pun melakukan hal yang sama. "Tetap waspada, aku yakin pria itu sedang bersembunyi,"kata Michael sambil menatap ke arah Julian.

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   58. Berita

    "Kau yakin di sana aman?" balas Michael mencoba mengikuti saran dari Clara. "Sangat aman, Michael. Kau tenang saja, di sana lebih aman, daripada di sini." Clara tiba-tiba mengalihkan mata ke arah Moon sekilas. "Rasanya sangat aneh bila ada seorang wanita tinggal bersamamu Michael."Michael enggan menanggapi, memilih memusatkan perhatian pada Moon. Berbeda dengan Moon, perkataan Clara terasa seperti sebuah sindirian halus baginya. Menurut Moon, itu hal yang wajar, yang dilakukan oleh Clara. Ia rasanya tak mau meminta pertolongan pada pasangan suami istri ini. Namun, posisinya sekarang tidak baik. Terlebih, nyawa kedua anaknya dalam bahaya besar. "Bagaimana Moon? Kau mau tinggal di sana bersama si kembar?" tanya Michael seketika. Moon tersenyum getir. "Boleh, yang penting Jessica dan Jason aman.""Baiklah keputusan sudah dibuat, Julian siapkan semua keperluan Moon dan si kembar, jangan sampai orang tahu keberadaan mereka," kata Michael kembali. Julian mengangguk. Tak berselang lama

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   57. Panas

    Moon mematung di tempat ketika tiba-tiba dari pintu lain muncul sosok yang amat dia kenali, Omar, adik tirinya. Dulu, ketika tinggal bersama Omar dikenal suka membuat ulah dan kerap kali menganggunya. Kini, pria berperawakan tinggi dan besar itu berjalan cepat ke arah si kembar sambil menodongkan pistol."Hai Moon, sudah lama tidak berjumpa, kau semakin cantik saja," kata Omar dengan seringai tajam membentang di wajah. Melihat hal itu, napas Moon mendadak tercekat. Kedua anak kembarnya dalam bahaya besar sekarang. "Lepaskan anak-anakku Omar! Apa maumu hah?!" teriak Moon, mencoba menggerakkan kaki. "Eits, jangan bergerak, jika kau maju selangkah lagi aku tidak akan segan-segan membunuh keponakanku yang lucu ini," ucap Omar. Setelah itu cepat-cepat menutup mulut Jessica dan Jason dengan lakban.Beberapa hari sebelumnya, Omar diperintahkan kedua orang tuanya untuk menculik Moon. Dia akan mendapatkan uang yang sangat banyak bila berhasil membawa Moon. Omar hampir saja putus asa karen

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   56. Merasa Bersalah

    Kedatangan Moon, membuat Michael dan Clara sontak terbelalak. Keduanya saling melirik ke arah pintu dengan ekspresi berbeda. Clara tampak keheranan sekaligus terkejut, mengapa ada wanita datang ke rumah suaminya saat ini. Sementara itu di luar pintu, Moon tertegun sambil menyentuh dadanya yang terasa perih akan pemandangan barusan. Moon tahu bila seseorang di dalam sana adalah istri Michael. Sebab beberapa hari yang lalu, Julian pernah menunjukkan foto pernikahan Michael."Siapa wanita itu?" tanya Clara seketika sambil menatap seksama wajah Michael. Ada percikan api cemburu terlihat di kedua bola matanya itu sekarang. "Namanya Moon, dia penolongku saat aku hilang ingatan, aku keluar sebentar ya, sepertinya Moon membutuhkan aku," jawab Michael singkat, tapi mampu membuat dada Clara terasa mulai panas. Namun, Clara berusaha untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan cemburunya di hadapan Michael. "Tunggu dulu Michael, jelaskan dulu padaku apa yang terjadi padamu selama ini?" tanya Clar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status