 LOGIN
LOGINKetika permintaan aneh meluncur bebas dari bibir Jessica. Pupil mata Jason lantas terbelalak sempurna.
Sementara yang ditanya, enggan menjawab, melainkan memejamkan mata sambil memegang kepala. Suara rintihan pun kerap kali keluar dari bibir tipisnya. Lelaki berjas hitam itu masih terlihat kesakitan. "Jessica, apa kau sudah gila?!" kata Jason seraya melirik tajam Jessica. Jessica reflek memutar sedikit kepala ke samping, kemudian melipat tangan di depan dada. "Apa sih? Jessica tidak gila, Abang. Jessica mau Paman ini jadi Papa kita," ucap Jessica. Jason berdecak kesal sejenak lalu berkata,"Astaga Jessica! Paman ini orang asing dan kita baru saja bertemu beberapa menit yang lalu, jangan berpikiran pendek, kita tidak tahu niat terselubungnya." Mata Jessica sontak mengerling. Sekarang, sikap saudara kembarnya itu membuat dia muak. "Abang benar-benar jahat! Abang tidak tahu berterima kasih, tadi Paman ini sudah membantu kita, tapi Abang malah berpikir yang tidak-tidak," ujar Jessica dengan penuh penekanan. Mendengar penuturan Jessica. Jason terdiam selama beberapa detik kemudian membuang napas berat. Ya, dia sangat berterima kasih dengan kehadiran sosok di dekatnya ini tadi. Namun, tak dapat dipungkiri dia harus lebih berhati-hati terhadap orang asing. "Tapi Jess—" Jessica tiba-tiba menyela dengan mimik muka masam. "Sudahlah, kalau Abang tidak mau Paman ini jadi Papa kita, biarkan Paman ini hanya jadi Papa Jessica saja!" Kerutan di dahi Jason langsung tercipta. Dia makin heran dengan perkataan adiknya itu. Jason hendak mengeluarkan pendapat. Namun, respons Jessica sekarang, membuat Jason hanya bisa menahan kesal. Jessica menatap kembali pria tersebut, sejak tadi lelaki bermata hijau itu mengabaikan Jessica dan Jason. Sosok tersebut masih bergeming, dengan kepala tertunduk dalam tengah menahan rasa sakit yang perlahan mulai menghilang sekarang. "Paman kenapa? Nama Paman siapa?" Jessica maju beberapa langkah kala menyadari ada sesuatu yang salah pada pelindungnya itu. Sosok itu memegang kepalanya. Dia pun tidak tahu apa yang terjadi padanya dan mengapa pula bisa berada di sini saat ini. Saat hendak berusaha mengingat namanya. Bayangan aneh mulai menari-nari di benaknya sekarang. "Maafkan aku Tuan Michael, ini semua salahku!"seru seseorang dalam ingatannya. Dalam penglihatannya, dia berada di dalam kendaraan bersama seorang pria berambut blonde. Keadaan di luar tampak gelap gulita dan di sepanjang jalan hanya terlihat hutan belantara. Dia sesekali melontarkan timah panas ke belakang, di mana ada beberapa buah mobil menyerang ke arah mereka. Lelaki itu kembali meringis lalu memejamkan matanya kala rasa sakit di kepala semakin menyerangnya. Jessica tampak panik. Secepat kilat mendekat lalu mendongakkan kepala hendak berusaha melihat wajah sang pria. Bola mata mungil berwarna hijau lantas melebar saat melihat muka lelaki itu tampak sangat pucat. Kepanikannya bertambah berkali-kali lipat ketika baru sadar jika ada banyak bercak darah di jas hitam lelaki tersebut. "Apa yang terjadi sama Paman? Nama Paman siapa?" tanya Jessica, kemudian tanpa sengaja memegang punggung tangan kiri sosok tersebut. Jessica sangat penasaran dengan nama lelaki di hadapannya ini. Lelaki tersebut perlahan membuka mata dan menurunkan tangan kanannya dari kepala, kemudian mengalihkan pandangan kepada Jessica. Kini, rasa sakit di kepalanya pun berangsur-angsur menghilang. "Namaku Michael." Sosok itu menyakini bahwa namanya Michael. "Aku ...." Namun, lidahnya mendadak kaku kala ingin menjawab pertanyaan dari Jessica. Sebab dia juga bingung apa yang telah terjadi padanya. Ketika berusaha mengingat-ingat kembali malah rasa sakit yang dirasakannya. "Shft ...." Michael menyentuh lagi kepalanya sambil mengeluarkan erangan. "Paman, ayo ikut Jessica ke rumah, di rumah ada obat!" seru Jessica sembari menarik tangan Michael. Michael spontan beranjak masih dengan memegang kepalanya. "Jessica, apa-apaan kau? Di rumah tidak ada obat untuk menyembuhkan lukanya. Lihatlah banyak bercak darah di tubuhnya!" Mendengar perkataan Jessica, Jason tentu saja langsung menolak. Sebagai seorang abang sekaligus pelindung. Dia tak mau membahayakan keselamatan Jessica dan mamanya. "Ish, Abang! Kasihan Paman ini, anggap saja kita balas budi!" Jessica langsung protes. "Tapi Jessica, ada banyak cara untuk membalas budi." Jason mencoba melunakan hati Jessica, memberi tanggapan dengan nada suara yang lembut. Dia tahu adiknya ini sangat keras kepala dan begitu sulit diberitahu. Namun, Jessica terlihat tetap bersikeras. Jessica menggeleng kemudian menyeret Michael dan berjalan dengan cepat. Michael hanya diam saat tangannya ditarik oleh sosok yang ditolongnya tadi. Sementara Jason, sorot matanya tajam dan urat-urat di wajahnya pun mulai muncul ke permukaan. Jason tengah menahan amarah yang membuncah di relung hatinya. Karena adiknya tidak mau mendengarkan perkataannya barusan. Jason hanya mampu memandang tajam sejenak punggung Jessica dan Michael dari kejauhan. Setelah itu Jason pun mulai bergerak, menyusul adik keras kepalanya itu. Tak lama kemudian, tibalah mereka di rumah Jessica dan Jason. Michael menghentikan langkah kaki tepat di halaman rumah, lalu mengamati sejenak rumah kecil beralaskan kayu tersebut. Meskipun kecil, tapi halaman depan tampak bersih dan menyegarkan mata bagi siapa pun yang memandang. Terdapat pohon-pohon mungil dan tanaman bunga di sekitar. "Ini rumah Jessica, ayo kita masuk ke kamar," sahut Jessica sambil menengadahkan wajah. Michael tampak ragu-ragu. Namun, ketika teringat bahwa dia membutuhkan obat untuk meredakan rasa sakit. Michael memantapkan diri untuk mengiyakan ajakan. "Apa ada gunting kecil untuk mengeluarkan peluru?" tanya Michael, setelah sadar ada peluru yang bersarang di beberapa bagian anggota tubuhnya tadi. "Tentu saja ada! Ayo masuk, Paman!" Dengan cepat Jessica menarik tangan Michael saat melihat di belakang Jason sana, memandangnya dengan sangat tajam, seolah-olah Jason akan menelan hidup-hidup dirinya saat ini. Sesampainya di dalam, Jessica menuntun Michael masuk ke kamar. Jessica membuang napas lega karena Moon, alias mamanya tidak ada di rumah saat ini. "Ayo, Paman duduk dulu di sini." Jessica menarik Michael untuk duduk di tepi ranjang. Michael menurut, lalu memperhatikan perempuan kecil yang pakaiannya tampak lusuh itu berlari kecil ke sudut ruangan. "Paman jangan sungkan ya anggap saja rumah sendiri, ini Jessica ada obat untuk Paman." Di kala Jessica sibuk membuka lemari. Michael justru mengamati kembali rumah Jessica. Meski di luar terlihat bersih tapi di dalam jauh dari kata bersih, ada jaring laba-laba di atas plafon serta rembesan air di dinding. Kemudian kasur berukuran sedang yang dia duduki terlihat usang dan lusuh. "Paman, luka Paman nyeri tidak?" Jessica tiba-tiba berbalik sambil memegang kotak kecil berisi obat-obatan. Michael dengan cepat menoleh ke arah Jessica. "Tidak, bawa lah ke sini kotaknya!" perintah Michael. Jessica pun bergegas menghampiri dan tak lupa membawa kotak tersebut. "Ini Paman,"kata Jessica lalu menyodorkan kotak kepada Michael. Dengan cepat Michael meraih kotak tersebut, membukanya lalu mengambil salah satu gunting kecil. Michael hendak mengeluarkan sendiri peluru dari tubuhnya. "Paman, kenapa bisa berdarah?" Sambil memperhatikan apa yang dilakukan Michael, Jessica pun duduk di tepi ranjang, bersebelahan dengan Michael. "Tidak usah banyak bertanya Jessica, bisa saja Paman itu seorang pembunuh, lihatlah banyak darah di tubuhnya." Seketika, di daun pintu kamar, Jason berdiri tegap masih dengan wajah terlihat merah padam. Kedua netra Jessica lantas membola sejenak dengan kedatangan Jason. Sedangkan Michael terlihat biasa saja. Namun, sudut bibirnya melengkung sedikit ke atas. Merasa perkataan Jason ada benarnya juga. "Ck, dasar penganggu! Pergi sana!" balas Jessica dengan sangat ketus lalu kembali menatap Michael. "Jadi, apa yang terjadi sama Paman?" "Paman juga tidak tahu, Paman lupa, geserlah sedikit, Paman mau membuka pakaian." Begitu titah dikeluarkan, Jessica menggeser sedikit bokongnya sambil melirik sekilas Jason, yang masih berdiri di ambang pintu dengan urat-urat di wajah masih menegang. Jessica memutus kontak mata lalu menoleh ke samping. Melihat Michael tengah membuka jas serta kemeja putih. Pemandangan pertama yang Jessica lihat adalah otot-otot di perut Michael. Mata Jessica terbelalak kala melihat ada beberapa peluru hinggap di pundak Michael. "Astaga, banyak sekali pelurunya," komentar Jessica tiba-tiba, tanpa mengalihkan perhatiannya dari Michael. Michael tak membalas, memilih sibuk mengotak-atik tubuhnya sendiri. Darah mulai mengalir pelan di kulit Michael kala peluru satu-persatu telah berhasil dikeluarkan. Michael sesekali mengeluarkan erangan. Mendadak benak Michael dipenuhi tanda tanya besar sekarang. Michael merasa sebagian memorinya menghilang. Sebab dia tidak bisa mengingat apa yang terjadi padanya. "Abang, lihat kan luka di tubuh Paman!" Jessica menggerakkan bola mata ke arah Jason seketika. "Tidak mungkin Paman seorang pembunuh, mungkin saja dia yang mau dibunuh orang!" sahut Jessica berapi-api. Jason ingin membalas. Akan tetapi, perhatian bocah itu teralihkan dengan seseorang di luar kamar. Jason menoleh, melihat Moon ternyata telah sampai di rumah. Keringat lantas muncul di keningnya, ketakutan mulai menggerogoti tulang Jason sekarang. "Jason, kalian dari mana saja tadi? Mama mencari kalian dari tadi," ujar Moon dengan kening berkerut samar. Di dalam kamar, Jessica yang mendengar suara Moon langsung menegang. Melihat ekspresi Jason, Moon pun mndekat sambil berkata lagi," Ada apa Jason?" Saat tiba di depan pintu dan menengok ke dalam kamar. Wanita bermata hitam itu langsung membola dengan keberadaan sosok asing di dalam kamarnya. "Siapa kau?!"
Michael menatapnya amat dalam, pernyataan cinta yang terdengar barusan membuat anggota tubuh Moon mendadak lumpuh seketika. Moon dapat merasakan hembusan napas bermata hijau itu menerpa wajahnya sekarang. Kedua manusia tersebut beradu tatap, tanpa membuka suara sama sekali. Hening melanda, hingga rintik hujan di luar terdengar amat jelas di telinga Moon sekarang. Moon hendak menggerakkan lidah. Namun, Michael merengkuhnya tiba-tiba dan kembali membungkam bibirnya dengan sebuah kecupan. Kali ini kecupan terasa terasa agak kasar dan memaksa. Dalam keadaan sadar Moon berusaha mendorong dada Michael, tapi Michael semakin memperdalam kecupan. Dengan mata terpejam, Michael memberi lumatan-lumatan kasar di bibir ranum Moon. Tak hanya itu tangan lelaki itu pun tak diam sejak tadi, dia sesekali menyentuh bagian dada Moon. Michael tak memberikan Moon celah sama sekali. Moon hanya bisa pasrah dan ikut tenggelam pada permainan Michael. Keadaan di lorong kamar anak Moon terasa amat panas se
Mendengar perkataan Michael, Moon mendadak membeku. Apa benar Michael dan Clara sudah berpisah? Lalu apa penyebab keduanya berpisah. Tidak mungkin karena dirinya kan, itu tidak mungkin. Sekarang, pikiran Moon diliputi tanda tanya besar. Kendati demikian, ada rasa senang menjalar ke hatinya. 'Astaga Moon, apa yang kau pikirkan, seharusnya kau sedih ada seorang wanita yang menjadi janda!' Moon menjerit di dalam hati, dengan cepat mengusir pikiran gilanya itu. Cepat-cepat, Moon menoleh ke arah Michael. "Kalau pun kau sudah berpisah, hubungannya denganku apa, sudahlah Michael, pulang ke sana, kita tidak ada urusan lagi." "Tentu saja ada hubungannya denganmu," kata Michael, dengan suara rendah.Sewaktu itu, satu bulan setelah kepergian Moon dan si kembar, Michael menggugat cerai Clara. Clara sama sekali tak menolak. Justru wanita itu secara suka rela datang ke pengadilan. Clara sudah menyerah pada cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Namun, berdasarkan keputusan Michael, Michael tet
Dengan dada bergemuruh kuat, Michael lantas mendekat. Saat ini, wajahnya terlihat sangat merah padam, khayalan-khalayan liar pun mulai menari-nari dibenaknya. Dia berharap lelaki yang sedang bersama pujaannya bukanlah kekasih Moon. Ketiga manusia di depan sana tak menyadari ada sepasang mata menatap tajam ke arah mereka sejak tadi. Namun, tak hanya butuh waktu yang lama, Moon mulai merasa ada yang mengawasinya sekarang. Senyumnya langsung memudar, dia pun menoleh ke kanan dan ke kiri dengan kening berkerut kuat. Matanya langsung terbelalak kala pandangannya bertabrakan dengan netra Michael tiba-tiba. Moon terpaku di tempat. Michael tepat di dekatnya sekarang dan hanya berjarak satu meter saja. Jessica juga mulai menyadari keberadaan Michael, bedanya sorot matanya terlihat aberbinar-binar. Gadis kecil itu hendak membuka mulut. Namun, Michael terlebih dahulu membuka suara. "Moon siapa pria ini?" Michael bertanya sambil melayangkan tatapan tajam. Moon tampak gelagapan, dengan cepat
Balasan Julian membuat pupil mata Michael melebar sempurna. "Pergi ke mana maksudmu?" tanyanya dengan suara agak meninggi. Mendapat tatapan dari Michael, Julian meneguk air ludah berkali-kali, menahan takut karena tatapan yang dulu sering kali dia dapatkan akhirnya kembali. Sosok Michael ternyata benar-benar telah kembali. "Mungkin ini bisa menjawab pertanyaan, Tuan." Julian perlahan memberikan surat yang ditinggalkan Moon di rumah tadi. Kemarin, Julian sempat menghubungi Moon. Dia hendak menanyakan kabar wanita tersebut. Namun, panggilan tak kunjung diangkat. Julian pun memutuskan pergi ke tempat Moon dan si kembar. Sesampainya di sana, Julian dibuat terkejut mendapati rumah dalam keadaan kosong. Terlihat ponsel di atas meja dan mobil pemberian Michael masih terparkir rapi di halaman rumah. Julian juga menemukan sebuah surat. Secepat kilat Michael mengambil surat tersebut dari tangan Julian. Dia langsung membaca dengan seksama isi kertas tersebut. Betapa terkejutnya Michael
Clara lantas terpaku. "Apa maksudmu Michael?" Clara kembali membuka suara dengan suara yang bergetar. Michael tersenyum sinis sejenak."Ingatanku sudah kembali Clara, sudah jangan bersandiwara lagi, sekarang panggil Julian." Ketika membuka mata tadi, kepingan-kepingan memori Michael langsung muncul bak sebuah kaset. Mendengar balasan Michael, Clara kembali terkesiap. Namun, dalam sekejap riak muka Clara berubah jadi dingin. Benar, Kenny memang bukan anak kandung Michael, melainkan anak Maximus. Dulu, Clara pernah mabuk berat dan tak sengaja tidur dengan Maximus. Dia mengira lelaki itu adalah Michael, padahal bukan. Kala itu dia dan Maximus melakukan hubungan dalam keadaan sangat mabuk berat. Ketika matahari muncul ke permukaan langit, Clara pun bergegas keluar dari hotel sebelum Maximus sadarkan diri. Selama ini, cintanya bertepuk sebelah tangan. Lelaki bermata indah ini menolaknya mentah-mentah. Kendati demikian, Clara tak menyerah. Dia pun menjalankan siasat, memberi
Setelah berkata demikian, pupil Moon kian melebar. Dia baru sadar perkataannya tadi membuat air mata Jessica semakin tumpah. Saat ini, tangis Jessica terdengar pecah. Dia memukul-mukul badan mamanya. Moon pun berusaha menangis pukulan anaknya itu."Huuaa, Mama jahat! Itu Papa Jessica!" seru Jessica dengan air mata membasahi kedua pipinya. Melihat adiknya menangis, Jason hanya dapat terdiam. Memandangi adiknya dengan tatapan nanar. Tangisan Jessica membuat dadanya terasa sesak pula. Berbeda dengan Moon menarik napas berat dan berkata,"Jessica, mengertilah Nak, dia memang bukan Papamu, sekarang ayo kita pergi dan lupakan Uncle Michael ya.""Nggak mau! Itu Papa Jessica! Jessica kangen sama Papa!" seru Jessica, kemudian menoleh ke arah pintu. Bocah perempuan itu hendak kabur dan mencari Michael keluar. Namun, pergerakannya kalah cepat, Moon berhasil menangkap pergelangan tangannya.Dengan sekuat tenaga Jessica memberontak. Akan tetapi, berakhir sia-sia. Tenaganya tak sebanding dengan








