Home / Romansa / Paman Untuk Ibuku / 4. Dia … anak Saya!

Share

4. Dia … anak Saya!

Author: Mee Author
last update Last Updated: 2025-09-05 22:01:30

Semua pasang mata langsung menoleh ketika pintu ruang kerja Sebastian terbuka. Suara langkah kecil terdengar jelas di lantai marmer, diikuti tawa riang seorang bocah. Sebastian menggenggam tangan mungil Leon erat-erat. Tatapan pegawai yang biasanya sibuk menunduk ke layar komputer kini terpaku ke arahnya, seolah kantor berhenti bernafas untuk menyaksikan pemandangan yang mustahil mereka bayangkan.

“Itu … itu anaknya Pak Sebastian, kan?” bisik seorang staf keuangan.

“Eh? Tapi kapan nikahnya? Kita nggak pernah dengar kabar sama sekali.”

“Anak dari mana coba? Gak mungkin lah, tiba-tiba nongol anak segede itu.”

“Kalau bukan, terus anak siapa dong?”

Bisikan-bisikan itu tak bisa dihentikan, mengalir cepat seperti arus listrik. Sebastian bisa merasakannya, tapi ia tak menoleh. Tangannya justru semakin erat menggenggam Leon, memastikan bocah itu merasa aman meski menjadi pusat perhatian. Leon sempat berhenti melangkah, matanya melebar menatap sekeliling, lalu bersembunyi di balik kaki Sebastian.

“Tenang,” bisiknya pelan, suaranya lembut, kontras dengan wajah dingin yang selalu ia tunjukkan di depan orang lain. “Ini kantor Om.”

Leon menoleh, tatapannya penuh percaya, lalu kembali berjalan kecil di sampingnya. Sebastian mengangkat dagu, melangkah mantap menuju meja resepsionis. Seketika, langkahnya terhenti.

Ia tahu, saat ini adalah momen yang akan menyulut api gosip di seluruh gedung. Tapi entah kenapa, justru di detik itu sebuah dorongan asing muncul di dadanya. Dorongan yang membuat suaranya terdengar lantang, jelas, tanpa ragu sedikit pun.

“Perkenalkan,” ucapnya, menatap lurus ke depan.“Ini anak saya.”

Seketika hening. Suara mesin printer berhenti terdengar, dering telepon pun seakan lenyap. Semua tatapan membeku, menatapnya dengan campuran kaget, bingung, tak percaya.

“Mirip Pak!”

Leon tersenyum kecil. Bocah itu melambaikan tangan ke arah beberapa orang. “Halo …” sapanya polos.

Sebagian orang buru-buru menunduk, pura-pura sibuk. Ada yang berdeham canggung, ada yang berusaha menahan senyum, tapi bisikan-bisikan kembali pecah, kali ini lebih ramai. Sebastian tidak peduli. Ia hanya menatap Leon, memastikan bocah itu tetap nyaman. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ada sesuatu yang terasa … hangat.

Ponsel di sakunya bergetar. Sebastian merogohnya dengan tangan kiri, masih menggenggam tangan Leon dengan tangan kanan. Nama “Alisha” muncul di layar. Ia menggeser tombol hijau.

“Halo.” Suaranya terdengar dalam, berat, menguasai, meski di sekelilingnya riuh bisikan para staf.

Dari seberang, suara Alisha terdengar gugup. “Itu … Leon nggak ganggu, kan?” tanyanya cepat, seakan takut kalau anaknya membuat masalah.

Sebastian menahan napas sejenak. Tawa kecil Leon tiba-tiba pecah di sisinya saat melihat aquarium hias di lobi. Suara itu masuk ke telepon, membuat dada Sebastian bergetar aneh.

“Ganggu?” ulangnya rendah. Ia menunduk, melihat Leon menempelkan wajah ke kaca aquarium, matanya berbinar. Senyum tipis muncul di bibirnya—senyum yang bahkan ia sendiri tak sadari.

“Justru … semua orang di sini bilang Leon mirip aku.”

Keheningan dari seberang membuat sudut bibirnya terangkat lebih tinggi. Ia bisa membayangkan ekspresi Alisha saat ini, terkejut, mungkin tak bisa berkata-kata, dan seolah untuk menegaskan. Dari belakang seorang staf resepsionis yang tak bisa menahan diri berbisik agak keras.

“Oh … jadi benar, anaknya Pak Sebastian?”

Suara itu jelas terdengar di speaker ponsel.

Sebastian tidak menyangkal. Ia bahkan mengangkat suara sedikit, cukup agar semua yang berkumpul mendengar. “Ya. Dia anak saya.”

Beberapa pegawai yang semula hanya menatap kini saling berbisik dengan ekspresi tak percaya. Ada yang buru-buru mengetik di ponsel, mungkin menyebarkan kabar itu ke seluruh divisi. Suasana kantor yang biasanya penuh ketegangan kini berubah jadi ladang gosip yang meledak-ledak.

Sebastian tetap berdiri tegak di tengah badai itu. Tangannya masih erat menggenggam Leon, seakan menunjukkan bahwa siapapun boleh bicara, tapi bocah itu tetap berada di sisinya.

Di ujung telinga, ia mendengar suara napas Alisha tercekat.

“Sebastian … apa maksudmu?” suaranya lirih, hampir tak terdengar, namun jelas mengandung kegelisahan.

Sebastian menutup mata sejenak. Ia tahu, kata-katanya barusan bukan sekadar spontanitas. Ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang bahkan ia sendiri belum berani menyelami.

“Nanti aku jelaskan.”

Alisha refleks menggenggam sendok erat-erat, sampai sendok itu bergetar di tangannya. Kata-kata itu membuat tubuhnya dingin sekaligus panas dalam waktu bersamaan.

Dia bilang … Leon itu anaknya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Paman Untuk Ibuku   11. Mereka Kenapa?

    Kedua alisnya kian mengkerut dalam saat mendapati putranya pulang dengan wajah tertekuk masam. Ada apa? Kenapa putranya seperti sedih? Di belakangnya sosok Sebastian baru turun dari dalam mobil. Biasanya … ketika mereka berdua pulang dari kantor, Alisha selalu melihat putranya itu riang gembira, melepas tawa lalu bercerita bagaimana dirinya begitu senang berada di kantor. Namun kali ini … hm, seperti ada yang salah. Lihatlah, saat Leon sudah ada di depannya, bocah itu diam dan tidak semangat seperti biasa. Alisha berjongkok, menyamai tinggi putranya. Sembari mengelus surai legam yang mirip seperti suaminya. “Kenapa? Kok tumben Leon diem?” Alisha berusaha untuk bertanya. Pandangannya beralih tepat di mana Sebastian berada, saat Leon mencuri pandang, namun dengan wajah sedikit … ketakutan. Alisha mulai was-was. Ekspresi Leon saat ini menggambarkan bahwa bocah ini sepertinya telah melakukan kesalahan entah apa itu. Karena ketika Sebastian ingin menyerahkan tas milik Leon, pria itu malah

  • Paman Untuk Ibuku   10. Cemburu

    Ini tidak bisa di biarkan. Beberapa kali bibirnya bergumam kasar bahkan sampai mengumpat pelan karena Leon berada di ruangannya. Ia berusaha untuk tidak bersuara takut jika keponakannya akan terdengar lalu menirunya. Jika Leon mendengar lalu balik mengucapkan apa yang ia katakan, Mau di taruh mana wajah tampannya ini ketika berhadapan dengan Alisha nanti? Ia tidak mau di cap sebagai Paman yang tidak bisa di andalkan. Tidak mau! Berkas di depannya juga memang kurang ajar. Sedari tadi dirinya memilah namun tidak ada yang cocok dan kurang pas. Alhasil Sebastian memanggil Hendi dan menyuruh pria itu untuk memperbaiki ulang. Entah kenapa dirinya menjadi berubah lelet seperti ini. Apa karena beberapa jam yang lalu ia melihat Alisha bersama Reksa? Meskipun hanya kawan lama, tapi dirinya merasa tidak tahan dan tidak nyaman. Ada perasaan kesal dan aneh di hatinya saat ini. Apa yang sedang mereka bicarakan? “Gue gak bisa gini terus. Apa gue harus tanya langsung sama Alisha? Kalau tanya lan

  • Paman Untuk Ibuku   9. Dia … Reksa

    Di sepanjang perjalanan, yakni di dalam mobil, bocah itu—Leon tak ada hentinya mengoceh tentang mainannya dan kebersamaannya dengan sang Bunda. Bagaimana dia menjahilinya, bahkan pura-pura menangis supaya Bundanya mau membelikannya es krim. Sebastian yakin jika Alisha sudah cukup kewalahan menghadapi putranya yang teramat nakal namun baik itu. Namun sekarang pembahasannya sedikit berbeda. Tiba-tiba saja Leon membahas tentang Sekolah. Keinginannya untuk segera bersekolah sudah mendarah daging sejak beberapa bulan yang lalu. Umurnya masih 3, mungkin satu tahun lagi Leon akan di sekolahkan oleh Alisha. “Om, nanti kalo Leon udah sekolah, berangkatnya bareng ya Om, Bas? Biar Bunda gak capek nganterin Leon.” Timpal Leon dengan suara lucunya. Sebastian bergumam sebagai tanggapan untuk bocah itu. Begitu senang sekali keponakannya ini? “Terus nanti yang jemput juga Om Bas boleh gak?” “Boleh kalo Om ada waktu. Kalo gak ada Om gak bisa jemput.” Memang itulah kenyataannya. Tapi sebisa mungki

  • Paman Untuk Ibuku   8. Pria Lain

    Sebastian sedang berada di dalam kamarnya. Setelah acara makan malam bersama, pria itu memutuskan untuk kembali ke atas karena masih ada beberapa berkas yang belum terselesaikan. Kedua matanya bergerak liar seiring jemarinya menari di atas keyboard. Kacamata bening ya menjadi pelindung bagi retinanya ketika sinar cahaya dari laptop mengarah ke arahnya. Suara ketukan pintu terdengar pelan—seperti menyiratkan keraguan dari balik benda panjang berwarna cokelat itu. Kepala Sebastian enggan berpaling namun pendengarannya masih berguna untuk mendengar siapa pelaku dari ketukan itu. “Om, Bas … boleh Leon masuk?” Lah? Bocah itu?Gerakan ketikannya terhenti. Sebastian menutup separuh laptop itu setelah sosok kecil berdiri di ambang pintu dengan wajah polosnya. Nampak sebuah boneka berbentuk singa yang menjadi teman tidurnya pun tak lupa dia bawa. Kenapa keponakannya datang ke kamarnya? Leon berjalan pelan dan menutup pintu saat Sebastian menyuruhnya. Setelah berada di dekatnya, Leon bertany

  • Paman Untuk Ibuku   7. Bertemu Kawan Lama

    Sudah 3 bulan Alisha berada di rumah sang mertua, kali ini dirinya sudah terbiasa dengan mereka—terkecuali pria itu, Sebastian. Setiap kali bertemu pandang, terkadang dirinya yang harus menyapanya terlebih dahulu. Jika tidak, Sebastian hanya menatap lalu melenggang pergi. Itupun kalau dia sadar diri dan langsung menyapanya balik.Namun Alisha tidak mengambil pusing hal itu. Bisa di terima di keluarga ini saja, sudah membuatnya bahagia dan merasa nyaman. Apalagi Ivana—mertuanya itu kerap kali mengajaknya berbincang seperti biasa. Kepribadiannya yang sangat ramah dan mudah bergaul, menunjukkan jika sifat Reygan memang menurun dari wanita itu. Seperti sekarang ini, Alisha tiba-tiba saja mengajaknya untuk belanja kebutuhan rumah. Karena Leon memaksa untuk ikut, mereka harus membeli mainan untuk bocah itu. Padahal sebelumnya, Ivana selalu menyuruh pembantu untuk pergi ke supermarket bersama sopir, tapi entah kenapa dia mengajaknya. Setelah di tanya alasannya kenapa, katanya ingin keluar

  • Paman Untuk Ibuku   6. Merasa Kehilangan

    Sebastian tak ada hentinya tertawa ringan saat mengingat jawaban tak masuk akal di waktu mobil tadi.Apa tadi katanya? Leon sangat mirip seperti dirinya waktu kecil? Jawaban macam apa itu?Sangat lucu dan tidak … masuk akal. Jika Alisha tahu bagaimana dirinya dulu, mungkin perempuan itu akan berekspresi ragu dan memandang dirinya aneh. Sebastian merasa lucu, bukan karena jawabannya tadi, tapi karena sikapnya yang benar-benar tak ingin Alisha menganggapnya sebagai orang lain. Keinginan terbesar ini akan dijadikan sebuah hadiah jika perempuan itu menyadarinya. Tapi … sampai kapan? Sampai kapan Alisha akan tahu?Dari dulu … dirinya tak pernah berani.Dengan langkah pelan, Sebastian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Meringankan segala pikiran yang berkecamuk entah sampai kapan. Beberapa menit berlalu, Sebastian keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya. Rambut basahnya meneteskan air dari sisa pancuran itu. Sesaat, pikirannya melayang saat di mana dirinya ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status