Kedua alisnya kian mengkerut dalam saat mendapati putranya pulang dengan wajah tertekuk masam. Ada apa? Kenapa putranya seperti sedih? Di belakangnya sosok Sebastian baru turun dari dalam mobil. Biasanya … ketika mereka berdua pulang dari kantor, Alisha selalu melihat putranya itu riang gembira, melepas tawa lalu bercerita bagaimana dirinya begitu senang berada di kantor. Namun kali ini … hm, seperti ada yang salah. Lihatlah, saat Leon sudah ada di depannya, bocah itu diam dan tidak semangat seperti biasa. Alisha berjongkok, menyamai tinggi putranya. Sembari mengelus surai legam yang mirip seperti suaminya. “Kenapa? Kok tumben Leon diem?” Alisha berusaha untuk bertanya. Pandangannya beralih tepat di mana Sebastian berada, saat Leon mencuri pandang, namun dengan wajah sedikit … ketakutan. Alisha mulai was-was. Ekspresi Leon saat ini menggambarkan bahwa bocah ini sepertinya telah melakukan kesalahan entah apa itu. Karena ketika Sebastian ingin menyerahkan tas milik Leon, pria itu malah
Ini tidak bisa di biarkan. Beberapa kali bibirnya bergumam kasar bahkan sampai mengumpat pelan karena Leon berada di ruangannya. Ia berusaha untuk tidak bersuara takut jika keponakannya akan terdengar lalu menirunya. Jika Leon mendengar lalu balik mengucapkan apa yang ia katakan, Mau di taruh mana wajah tampannya ini ketika berhadapan dengan Alisha nanti? Ia tidak mau di cap sebagai Paman yang tidak bisa di andalkan. Tidak mau! Berkas di depannya juga memang kurang ajar. Sedari tadi dirinya memilah namun tidak ada yang cocok dan kurang pas. Alhasil Sebastian memanggil Hendi dan menyuruh pria itu untuk memperbaiki ulang. Entah kenapa dirinya menjadi berubah lelet seperti ini. Apa karena beberapa jam yang lalu ia melihat Alisha bersama Reksa? Meskipun hanya kawan lama, tapi dirinya merasa tidak tahan dan tidak nyaman. Ada perasaan kesal dan aneh di hatinya saat ini. Apa yang sedang mereka bicarakan? “Gue gak bisa gini terus. Apa gue harus tanya langsung sama Alisha? Kalau tanya lan
Di sepanjang perjalanan, yakni di dalam mobil, bocah itu—Leon tak ada hentinya mengoceh tentang mainannya dan kebersamaannya dengan sang Bunda. Bagaimana dia menjahilinya, bahkan pura-pura menangis supaya Bundanya mau membelikannya es krim. Sebastian yakin jika Alisha sudah cukup kewalahan menghadapi putranya yang teramat nakal namun baik itu. Namun sekarang pembahasannya sedikit berbeda. Tiba-tiba saja Leon membahas tentang Sekolah. Keinginannya untuk segera bersekolah sudah mendarah daging sejak beberapa bulan yang lalu. Umurnya masih 3, mungkin satu tahun lagi Leon akan di sekolahkan oleh Alisha. “Om, nanti kalo Leon udah sekolah, berangkatnya bareng ya Om, Bas? Biar Bunda gak capek nganterin Leon.” Timpal Leon dengan suara lucunya. Sebastian bergumam sebagai tanggapan untuk bocah itu. Begitu senang sekali keponakannya ini? “Terus nanti yang jemput juga Om Bas boleh gak?” “Boleh kalo Om ada waktu. Kalo gak ada Om gak bisa jemput.” Memang itulah kenyataannya. Tapi sebisa mungki
Sebastian sedang berada di dalam kamarnya. Setelah acara makan malam bersama, pria itu memutuskan untuk kembali ke atas karena masih ada beberapa berkas yang belum terselesaikan. Kedua matanya bergerak liar seiring jemarinya menari di atas keyboard. Kacamata bening ya menjadi pelindung bagi retinanya ketika sinar cahaya dari laptop mengarah ke arahnya. Suara ketukan pintu terdengar pelan—seperti menyiratkan keraguan dari balik benda panjang berwarna cokelat itu. Kepala Sebastian enggan berpaling namun pendengarannya masih berguna untuk mendengar siapa pelaku dari ketukan itu. “Om, Bas … boleh Leon masuk?” Lah? Bocah itu?Gerakan ketikannya terhenti. Sebastian menutup separuh laptop itu setelah sosok kecil berdiri di ambang pintu dengan wajah polosnya. Nampak sebuah boneka berbentuk singa yang menjadi teman tidurnya pun tak lupa dia bawa. Kenapa keponakannya datang ke kamarnya? Leon berjalan pelan dan menutup pintu saat Sebastian menyuruhnya. Setelah berada di dekatnya, Leon bertany
Sudah 3 bulan Alisha berada di rumah sang mertua, kali ini dirinya sudah terbiasa dengan mereka—terkecuali pria itu, Sebastian. Setiap kali bertemu pandang, terkadang dirinya yang harus menyapanya terlebih dahulu. Jika tidak, Sebastian hanya menatap lalu melenggang pergi. Itupun kalau dia sadar diri dan langsung menyapanya balik.Namun Alisha tidak mengambil pusing hal itu. Bisa di terima di keluarga ini saja, sudah membuatnya bahagia dan merasa nyaman. Apalagi Ivana—mertuanya itu kerap kali mengajaknya berbincang seperti biasa. Kepribadiannya yang sangat ramah dan mudah bergaul, menunjukkan jika sifat Reygan memang menurun dari wanita itu. Seperti sekarang ini, Alisha tiba-tiba saja mengajaknya untuk belanja kebutuhan rumah. Karena Leon memaksa untuk ikut, mereka harus membeli mainan untuk bocah itu. Padahal sebelumnya, Ivana selalu menyuruh pembantu untuk pergi ke supermarket bersama sopir, tapi entah kenapa dia mengajaknya. Setelah di tanya alasannya kenapa, katanya ingin keluar
Sebastian tak ada hentinya tertawa ringan saat mengingat jawaban tak masuk akal di waktu mobil tadi.Apa tadi katanya? Leon sangat mirip seperti dirinya waktu kecil? Jawaban macam apa itu?Sangat lucu dan tidak … masuk akal. Jika Alisha tahu bagaimana dirinya dulu, mungkin perempuan itu akan berekspresi ragu dan memandang dirinya aneh. Sebastian merasa lucu, bukan karena jawabannya tadi, tapi karena sikapnya yang benar-benar tak ingin Alisha menganggapnya sebagai orang lain. Keinginan terbesar ini akan dijadikan sebuah hadiah jika perempuan itu menyadarinya. Tapi … sampai kapan? Sampai kapan Alisha akan tahu?Dari dulu … dirinya tak pernah berani.Dengan langkah pelan, Sebastian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Meringankan segala pikiran yang berkecamuk entah sampai kapan. Beberapa menit berlalu, Sebastian keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya. Rambut basahnya meneteskan air dari sisa pancuran itu. Sesaat, pikirannya melayang saat di mana dirinya ber