Malam harinya, kami berempat duduk mengelilingi meja bundar. Aku, Masaki, Kenji, dan Nari. Layaknya polisi, Nari menginterogasi kami bertiga.
“Jadi, Kenji dan Masaki sudah selesai bekerja di SMA Himawari karena guru olahraga yang sebenarnya sudah kembali bekerja?”
“Iya. Dan ini adalah gaji yang kami dapatkan setelah bekerja di sana selama sekitar dua minggu.”
Masaki dan Kenji menyodorkan amplop ke Nari. Nari pun mengecek isi dari kedua amplop di tangannya. Setelah menghitung isinya, Nari tersenyum puas.
“Jumlahnya lumayan. Memang SMA Himawari tidak perlu diragukan lagi. Mereka memberikan bayaran yang memuaskan,” ucap Nari.
Kini, Nari menjulurkan tangannya ke arahku. Aku berpura-pura tidak m
Aku baru saja hendak melaporkan tentang adanya handphone yang tertinggal ini pada manajer. Di saat yang sama, seseorang masuk ke restoran dengan langkah terburu-buru dan langsung menuju ke meja 46. Ia tampak mengacak-acak rambutnya saat mengetahui benda yang ia cari tidak ada di sana. Terlihat jelas bahwa wanita itu sangat frustasi karenanya.Perlahan, kulangkahkan kaki mendekati wanita yang kini berjongkok di samping meja 46 itu.“Apakah ini yang sedang kau cari?” tanyaku sambil menyodorkan handphone yang tadi kudapatkan.Wanita itu mendongakkan kepalanya. Matanya tampak berbinar-binar saat melihat handphone di tanganku. Secepat kilat diambilnya handphone itu dan memastikan bahwa benda itu benar-benar miliknya.“Terima kasih. Aku kira aku sudah menghil
Tidak usah tanya bagaimana reaksi Nari setelah tahu aku dipecat. Sepulang kerja, Nari sudah siaga di rumah. Ia duduk di depan meja bundar sambil melipat kedua tangannya di dada. Begitu mendengar derap langkahku, Nari langsung menyambutku dengan tatapan mata tajam. Rupanya, ia sudah mendengar dari temannya bahwa aku dipecat.“Aku menyesal karena telah merekomendasikanmu ke temanku. Gara-gara ulahmu, temanku juga dapat teguran dari manajer restoran itu. Bla bla bla…”Nari tampaknya sudah tidak mau lagi membantuku mencari pekerjaan. Pengalaman kali ini membuatnya jera. Apa boleh buat, aku harus mencari kerja sendiri.Dan, di sinilah aku sekarang. Berdiri di depan kantor Mizuki. MM atau Moon Magazine. Tidak jauh berbeda seperti kemarin, para karyawan di sini tidak sempat memperhatikan kehadiranku. Mer
Mizuki sangat berterima kasih lantaran aku bersedia membantunya untuk menjadi model pengganti. Sebagai balasannya, ia mengajakku untuk makan siang (?) bersama. Bila dikatakan makan siang, sepertinya kurang tepat, ya. Pasalnya, saat ini waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Perut kami sudah sangat keroncongan lantaran belum ada asupan makanan sejak tadi. Saking sibuknya shooting, kami berdua bahka belum makan siang sampai jam segini.Mizuki awalnya mengajakku untuk makan di Oishii Resto, namun dengan cepat aku menolak ajakannya itu. Aku masih merasa kesal karena diomeli panjang lebar oleh si manajer restoran. Aku lebih baik tidak ditraktir makan ketimbang harus makan di restoran itu. Nafsu makanku bisa lenyap begitu melihat wajah si manajer restoran.Setelah sempat bingung mau makan di mana, kami berdua kini berdiri di depan sebuah restoran yakiniku yang le
Hari demi hari berlalu. Akhirnya, MM edisi terbaru sudah terbit. Mizuki telah mengirimkan majalah tersebut ke rumah. Kini, aku sudah siap untuk menyombongkan diri di hadapan Nari. Pasalnya, beberapa hari terakhir ia terus saja menyindirku yang tak kunjung mendapat pekerjaan. Ia bahkan menuduhku telah berbohong tentang pemotretan untuk MM.“Majalahnya sudah terbit. Kalau kamu tidak percaya, cek saja foto-fotoku di majalah itu.”Nari membalik lembar demi lembar majalah tersebut. Ia tampak sangat serius membaca majalah tersebut.“Kenapa lama sekali? Kau sudah melihat foto-fotoku?”Bukannya melihat fotoku, orang yang ditanya rupanya malah asyik membaca artikel di majalah tersebut.“Kenapa kau jadi ba
Aku kini sudah resmi ditetapkan sebagai model utama MM edisi 125. Wajahku akan ada di delapan halaman dari total 80 halaman majalah tersebut. Hari-hariku diisi dengan pemotretan untuk majalah tersebut. Alhasil, aku semakin sering ke kantor MM dan bertemu dengan Mizuki.Meski demikian, hubungan kami tidaklah lebih dari sebatas rekan kerja saja. Aku harus pemotretan sedangkan Mizuki sibuk menghubungi klien serta membuat artikel. Berada di gedung yang sama tidak serta merta membuat aku dapat menghabiskan banyak waktu bersama Mizuki. Aku hanya bisa sebatas menyapa saat kami berpapasan.Hari ini, aku selesai pemotretan lebih awal. Aku pun sengaja naik ke lantai lima untuk mencari Mizuki. Aku ingin mengajaknya makan malam bersama. Kali ini, aku tidak akan mengajaknya makan yakiniku lagi. Karena sudah mendapat bayaran, aku ingin mengajaknya makan malam di restoran mew
Setelah menjadi model utama MM edisi 125, bukan berarti karierku di dunia modeling berakhir begitu saja. Justru, ini merupakan batu loncatan bagiku. Ketua editor sangat menyukai pekerjaanku. Ia bahkan merekomendasikanku pada sebuah agensi yang menaungi para model dan artis.Saat ini, aku sudah berada di kantor agency StarHit. Kemarin, aku diminta untuk datang oleh Minami Kei, staf yang bertanggung jawab dalam hal perekrutan calon model dan artis baru.Aku masuk ke sebuah ruangan dan diwawancarai oleh Minami Kei. Pria tersebut menanyaiku tentang pengalamanku di dunia modeling.“Berapa lama kamu sudah terjun di dunia modeling?”“Sekitar dua bulan,” jawabku jujur.Pria tersebut langsung
Hoshie mengajakku makan malam bersama di sebuah restoran terdekat. Suasana restoran cukup ramai lantaran saat ini memang jam makan malam. Kami memilih duduk di kursi kosong yang terletak di pojok restoran tersebut.Aku merasa sedikit risih dengan tampilan Hoshie. Ia sejak tadi memakai topi dan kacamata hitam. Meskipun kami sudah sampai di restoran, topi dan kacamata hitamnya itu masih saja tidak ia lepaskan.Seorang pelayan mendatangi meja kami. Ia menanyakan makanan yang ingin kami pesan. Pelayan tersebut beberapa kali mencuri pandang ke arah Hoshie. Orang yang dilihati malah sibuk dengan hp di tangannya.“Kau mau pesan apa?” tanyaku pada Hoshie.“Aku pesan menu yang sama denganmu,” jawabnya masih sibuk berkutat dengan hp-nya.
Aku masuk ke salah satu kamar hotel. Setelah membaringkan Hoshie di ranjang, aku pun segera bergegas ke kamar mandi. Kubuka pakaian lalu mengguyur seluruh badan dengan air yang memancar dari shower. Aku gosok badanku dengan sabun yang tersedia di sana. Saat sampai di bagian yang terkena muntahan, aku menggosokkan sabun dengan lebih keras selama berulang kali. Aku masih merasa jijik jika teringat bahwa punggung ini telah terkena muntahan.Setelah selesai membersihkan dan mengeringkan badan, aku lantas mengambil bajuku. Dengan satu tangan memegang hidung dan sebelah tangan lagi memegang pakaian, aku membiarkan air mengguyur bajuku. Aku biarkan keadaan itu selama cukup lama. Memastikan agar tidak ada bekas yang masih tersangkut di baju tersebut. Kuperas kuat baju itu lalu meletakkannya di bawah AC. Berharap baju itu bisa segera kering. Aku tidak membawa pakaian ganti. Tidak mungkin aku memakai baju basah itu