Lucian terdiam, tidak merespon atau membantah.Dua orang wanita lewat di depan mereka, melirik Lucian menganga. Tatapan mereka menatap tertuju pada tubuhnya dan tersipu.“Pria itu memiliki tubuh yang seksi. Aku yakin dia pasti besar ‘di bawah’ sana.” Mereka terkikik terus melanjutkan langkah mereka.Laura terdiam mendengar komentar mereka dan melirik ke bawah perut Lucian yang tertutup handuk. Dia samar-samar ingat ‘itu’ agak besar dan panjang.“Kenapa? Ingin melihat milikku?” Lucian berkomentar dengan nada menggoda sambil memegang simpul handuknya, tampak seolah dia akan melepaskannya.“Apa kamu gila? Siapa yang melihat barang milikmu.” Laura menampar dadanya. Bisa-bisanya pria itu tidak tahu malu setengah telenjang di depan pintu apartemennya dan menjadi tontonan.Suasana tegang di antara mereka karena Viola agak mencair.“Benar, kamu nggak tertarik karena kamu sudah tahu ukuranku, aku mengerti.” “Omong kosong apa yang kamu bicarakan, dasar gila! Dan kenakan pakaianmu! Apa kamu ngg
“Viola!” Lucian muncul dan melepaskan cengkraman Viola dari rambut Laura. “Lucian–” Viola tak menyelesaikan kalimatnya karena Lucian menampar wajahnya sangat keras. Suara tamparan itu sangat renyah bergema di koridor.Laura menutup mulut terkejut tapi tidak mengatakan apa-apa. Namun bibirnya cemberut karena Lucian keluar hanya dengan mengenakan handuk di pinggangnya. Tubuhnya yang berotot setengah basah seperti baru keluar dari kamar mandi.Viola merasakan pipinya sangat perih karena tamparan Lucian. Air matanya mengalir menatap pria itu. “Lucian, apa-apaan ini? Mengapa kamu menamparku?”“Apa yang kamu lakukan di sini dan menjambak Laura? Itu yang pantas kamu dapatkan.” Lucian berkata dengan dingin.“Lucian, aku calon istrimu! Beraninya kamu tinggal dengan wanita lain di sini!” “Kapan aku pernah mengumumkan kamu calon istriku? Tak pernah ada perjanjian pernikahan antara aku dan kamu. Semua itu hanya angan-anganmu dan keluargamu.”“Aku … aku adalah ibu Jayden! Kamu seharusnya bertan
Laura menutup mata Amel dan menendang perut Lucian, membuatnya terdorong jatuh dari tempat tidur. “Ugh ….” Pria itu terjatuh dari tempat tidur.“Papa!” Amel segera bangun mendengar suara erangan kesakitan papanya dan menarik turun tangan Laura yang menutup matanya. “Papa, papa kenapa? Kenapa Papa di lantai?” Dia bertanya penasaran dan cemas.“Papa hanya jatuh, sayang. Tempat tidur ini kecil, jadi papamu berguling dan terjatuh,” kata Laura lembut, mengabaikan Lucian yang terjatuh di lantai.“Ayo, sayang, mama akan memandikanmu. Kamu harus berangkat ke sekolah.” “Tapi Papa ….” Amel masih mencemaskan Lucian.“Papa nggak apa-apa. Dia pria besar dan nggak bakal nangis. Benarkan, Papa?” Laura melirik Lucian sambil tersenyum, tampak puas melihatnya kesakitan.Lucian agak terpana mendengar kalimat terakhirnya lalu tersenyum.“Mama besar, Amel. Papa cuma jatuh dari tempat tidur.” Saat dia mengatakan itu, dia mengedipkan mata ke arah Laura. Laura membuang muka dengan cemberut. Pipinya teras
Laura menggelengkan kepala dan asal-asalan mengambil salah satu kaos dan celana Lucian lalu keluar dari kamar itu.Saat dia tiba di kamar Amel, dia melemparkan pakaiannya itu wajahnya."Cepat kenakan bajumu dan keluar ....""Kamu akan menginap malam ini?""Nggak, aku akan menunggu sampai hujan reda."Lucian menatap Laura selama beberapa saat dan tersenyum. "Baiklah, kamu bisa menunggu sampai hujan reda. Tapi tampaknya hujannya nggak reda dalam waktu dekat ini. Palingan tengah malam atau pagi," ujarnya melirik jendela yang tertutup tirai tipis.Suara hujan dan guntur saling bersahutan masih terdengar keras.Laura tak menjawab dan duduk di tempat tidur Amel. Dia lelah berdebat dan berbaring memeluk putrinya.Lucian hanya meliriknya dan tak mengatakan apapun. Dia pergi ke kamar mandi untuk mengenakan pakaiannya. Saat dia kembali ke kamar, Laura sudah tertidur di samping Amel.Dia tersenyum tipis naik ke tempat tidur. Dia mengangkat tubuh kecil Amel ke sisi Laura di pinggir ranjang, semen
Kapan terakhir kali dia pernah menyentuh tubuh seorang pria? Terlebih lagi Lucian Wilson. Hubungan intim mereka terjadi lima tahun yang lalu sebelum kelahiran Amel, sebelum kekacauan dalam hubungan mereka.Perasaan aneh memenuhi Laura, dia mencoba menyingkirkan kenangan malam pertama mereka dan berusaha mendorong Lucian."Lucian, lepaskan ...." Desisnya pelan agar tak membangunkan Amel yang sedang tidur.Lucian tetap menahan tangan Laura di dadanya, sorot matanya tampak gelap dan intens."Bisakah kamu merasakannya?"Laura terdiam, tangannya mengepal di dada Lucian, merasakan degup jantung Lucian yang kencang seperti miliknya."Ini perasaanku yang sesungguhnya padamu," bisik Lucian di sisi kepala Laura dan menghembuskan nafasnya di leher wanita itu.Laura menggelengkan kepala dan mendorong Lucian.“Lalu apa gunanya itu? Sudah terlambat. Aku nggak mau kembali bersamamu,” ujarnya dengan dingin mengingat di kehidupan sebelumnya Lucian mengirim seorang pembunuh untuk membunuh dan menusuk p
Laura pergi ke apartemen yang disebutkan Lucian.“Mengapa dia tinggal di sini? Bukankah seharusnya dia tinggal di rumah yang dulu?” Gumamnya memandang gedung apartemen yang berada di kawasan mewah.Dia naik ke lantai 30, di mana Lucian tinggal.Dia berhenti di depan pintu apartemen dan menekan bel pintu.Setelah beberapa saat pintu terbuka, memperlihatkan sosok Lucian yang baru saja selesai mandi. Rambutnya basah. Dia hanya mengenakan handuk di bawah pinggangnya, memperlihat tubuhnya yang kekar dan perut six pack. Dia memiliki garis pinggang yang kokoh.Laura mengalihkan pandangan dari tubuh pria itu dan berdeham.“Di mana Amel?”“Dia sedang tidur. Pengasuhnya baru saja pulang setelah menidurkan Amel. Masuklah. Apa kamu sudah makan malam?” Tanya Lucian membuka pintu lebih lebar mempersilakan Laura masuk."Jangan repot-repot. Aku akan langsung mengambil Amel." Laura berjalan masuk acuh tak acuh ke dalam apartemen Lucian.Apartemen itu sangat luas dengan dekorasi elegan. Ada dua pintu r
Dia selalu melihat mamanya sangat sibuk dan akan pergi setiap kali melihat jam. Ketika Amel sakit, dia lebih banyak ditemani oleh neneknya sementara Laura kuliah. Dia sering melihat mamanya selalu kelelahan bolak-balik kuliah dan rumah sakit. Hal itu menyebabkan Amel mengembang rasa pengertian ketika berusia lima tahun itu. Jadi Amel tidak ingin mengganggu Laura hanya untuk menemaninya.Laura merasa bersalah melihat wajah sedih dan senyum dipaksakan putrinya. “Sayang, mama masih bisa membawa kamu ke kebun binatang ….”“Laura.” Lucian tiba-tiba muncul dan meraih tangannya. “Biar aku yang membawa Amel pergi. Aku sudah berjanji akan membawanya ke kebun binatang.”Laura menatapnya datar. “Sudah kubilang, nggak usah—” “Hanya aku dan Amel. Kamu tenang saja. Guru Karin nggak akan ikut,” sela Lucian. Apa maksudnya kalimatnya itu? Apa dia pikir aku akan cemburu dan melarangnya pergi karena Guru Karin ikut? Pikir Laura ingin tertawa marah.“Aku nggak peduli Guru Karin ikut atau tidak. Aku ha
Dia belum menegur guru karena sudah membuat Lucian membawa Amel pergi dari sekolah tempo hari dan guru itu semakin berani membiarkan Lucian mendekati Amel, bahkan ingin melaporkan setiap kegiatannya pada Lucian seperti mata-mata.“Bu Laura… maafkan aku, bukan maksud aku begitu… hanya saja Tuan Wilson adalah Papa kandung Amel dan sudah sepantasnya aku memberitahu tentang Amel… tolong maafkan aku, Bu Laura….”Meski dia meminta maaf, kata-katanya terdengar menyebalkan di telinga Laura, apalagi guru itu masih sempat melirik-lirik Lucian seolah-olah mengharapkan pria itu membantunya. Matanya begitu genit menatap Lucian.“Ini sudah kedua kali kamu melanggar perintahku, Bu Guru. Aku akan membicarakan ini dengan kepala sekolah,” kata Laura dingin.“Kamu tak perlu bersikap keras seperti itu, Laura. Jika kamu marah, salahkan aku karena ingin menghabiskan banyak waktu dengan Amel, ” kata Lucian.Laura menatap dingin wajah Guru Karin terlihat berseri-seri mendengar pembelaan Lucian. Dia menoleh m
“Direktur, ini laporan terakhir.” Anna menyerahkan sebuah berkas ke atas meja Laura.“Apa jadwalku siang ini?” tanya Laura memeriksa laporan yang diserahkan Anna.“Anda harus menghadiri rapat di Adams Group pukul tiga sore,” kata Anna. “Aku mengerti.” Laura menyerahkan kembali laporan yang sudah ditandatangani pada Anna dan merenggangkan badannya. Dia melirik ponselnya, melihat sudah pukul 12 siang. “Sudah waktunya makan siang. Aku akan makan siang bersama dengan putriku.”Laura berdiri dari kursinya dan mengambil tasnya. “Telepon aku jika terjadi sesuatu di kantor.” “Ya, Direktur.” Laura meninggalkan kantornya dan mengemudi menuju ke sekolah Amel. Dia memutar musik di mobilnya. Kemudian ponselnya berdering. Keningnya berkerut melihat nomor yang tak dikenal meneleponnya. Dia mengabaikannya sampai nomor itu meneleponnya ketiga kalinya. Laura memasang earpods dan akhirnya mengangkat telepon tersebut. “Halo. Siapa ini?”“Ini aku, ibumu. Bagaimana kabarmu Laura?” Ekspresi Laura ter