Hari-hari berikutnya, Ahmad tenggelam dalam kesedihan. Ia duduk termenung di kantor. Tatapannya kosong. Wajahnya pucat. Kantong matanya dalam.
Malam itu Ahmad pulang larut. Di jalan sepi, tia-tiba dua motor menghadangnya,
"Berhenti!"
Mereka preman kampung. Tanpa banyak bicara, mereka tarik Ahmad keluar. Tinju menghantam wajahnya. Tendangan mengenai perutnya. Ahmad roboh. Darah mengalir dari pelipisnya.
Tasnya dirampas. Laptop kantor hilang. Ponsel ikut raib. Para preman kabur.
Ahmad terbaring di aspal, setengah sadar. Pandangannya kabur. Hanya lampu jalan yang redup menemaninya.
Tak lama, sepasang warga menemukan Ahmad. Mereka memanggil ambulance. Ia dilarikan ke rumah sakit.
Kabar itu sampai ke telinga Sulaiha. Ia menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca.
"Ibu... aku harus menjenguk Mas Ahmad. Dia ayah Nadia."
Bu Aminah menghela napas berat. Ia akhirmya mengangguk pasrah.
"Baik. Tapi hati-hati."
Sulaiha dan orang tuanya pergi ke rumah sakit. Begitu melihat suaminya terbaring lemah, Sulaiha tak kuasa menahan air matanya.
"Mas... kenapa begini?"
Ahmad membuka mata. Sakit, pelan.
"Dinda... aku dirampok... semua barang hilang... aku tak berdaya."
Sulaiha menangis. Tapi ia meraih tangan Ahmad. Mengelus pelan.
"Mas, aku di sini. Aku temani. Aku tahu semua sudah terjadi. Tapi aku mohon, jujurlah padaku. Apa yang Mas inginkan sekarang?"
Ahmad menoleh pelan. Suaranya serak.
"Aku hanya ingin kau kembali... aku ingin Nadia memanggilku Abi lagi... aku menyesal, Dinda. Demi Allah aku menyesal."
Air mata Sulaiha menetes ke tangan Ahmad. Ia menunduk menahan isak.
"Aku juga ingin semua seperti dulu, Mas. Tapi kau sudah menikahi perempuan lain. Apa aku sanggup berbagi suami? Apa anak kita bisa menerimanya?"
Ahmad menutup matanya. Satu butir air mata jatuh ke pipinya.
"Aku tak tahu harus bagaimana, Dinda? Aku terjebak. Aku bodoh."
Sulaiha membelai rambut Ahmad yang kusut.
"Kau ayah Nadia. Kau suamiku. Aku tak mau melihatmu hancur begini. Aku tak mau mendendam. Tapi aku juga tak mau berdosa memelihara kebencian."
Ahmad menggenggam tangan Sulaiha lebih erat. Suaranya lirih.
"Maafkan aku... maafkan aku."
Sulaiha menunduk di samping ranjang. Menangis lama. Ruangan hanya dipenuhi isak.
Namun, Sulaiha saat itu sejenak terlintas wajah Nurlaela, hati nuraninya terketuk ingin berdamai.
***
Udara di rumah sakit malam itu, berhembus pelan, tapi seolah membawa harapan baru.
Sementara itu, Bu Aminah dan Pak Iskandar menunggu di lorong rumah sakit. Bu Aminah tampak gelisah. Pak Iskandar mondar mandir.
"Ibu... kau lihat Sulaiha itu. Terlalu lembek pada suaminya," keluh Pak Iskandar.
Bu Aminah menarik napas panjang.
"Dia itu wanita sholeha, Pak. Hatinya lembut. Dia juga ibu dari anak Ahmad. Bagaimana bisa dia membenci ayah dari darah dagingnya sendiri?"
Pak Iskandar menoleh. Dia menarik napas panjang. Wajahnya melunak. Suaranya pelan.
"Aku tak ingin dia disakiti lagi. Aku tak tela."
"Aku juga tak rela, Pak. Tapi biarkan Sulaiha memilih jalannya. Kita hanya bisa membimbing. Bukan memaksa."
Pak Iskandar menunduk. Napasnya berat. Tapi dia akhirnya mengangguk,
"Baiklah..."
***
Beberapa jam kemudian, Sulaiha keluar dari ruang rawat. Wajahnya sembab.
Bu Aminah langsung menatapnya khawatir.
"Bagaimana Ahmad, Nak?"
Sulaiha menghela napas panjang.
"Ibu... Bapak... Izinkan aku mrncoba berdamai. Aku ingin bicara pada Nurlaela. Aku ingin meminta dia mau membesuk Ahmad. Apapun dia, dia istri Ahmad juga. Dia punya hak. Ahmad punya kewajiban pada anaknya."
Pak Iskandar menegang. Matanya melotot, giginya menggeretak.
"Apa? Kau mau undang dia ke sini?"
Sulaiha menatap ayahnya. Matanya tajam, tapi berair.
"Bapak... aku tak ingin hidup saling membenci. Dendam hanya bikin hati kita gelap. Aku ingin anakku, Nadia, tumbuh dengan hati bersih."
Pak Iskandar hanya mengatup bibir. Ia menahan amarah. Lalu menoleh ke istrinya. Bu Aminah hanya mengusap punggung suaminya.
"Biarkan dia, Pak. Biarkan dia selesaikan dengan caranya."
***
Keesokan harinya, Sulaiha mendatangi rumah Nurlaela. Ia mengetuk pelan.
"Assalamu'alaikum... "
Pintu terbuka perlahan. Nurlaela muncul. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Melihat Sulaiha, dia langsung gemetar.
"Kau... kenapa ke sini?"
Sulaiha hanya menatapnya. Tenang.
"Aku ingin kita bicara baik-baik. Boleh aku masuk?"
Nurlaela memandangnya ragu. Tapi akhirnya menggeser pintu.
"Silahkan... "
Mereka duduk berhadapan di kursi tamu. Ada hening sesaat. Nurlaela menunduk. Tangannya gemetar.
"Maafkan aku... aku tidak mau ini terjadi. Aku tidak mau merebut suamimu. Aku hanya ingin anakku diakui. Aku takut. Aku sendirian. Aku... aku tidak kuat."
Nurlaela terisak. Sulaiha menarik napas dalam.
"Aku tahu... kau juga perempuan. Kau juga ibu. Aku marah padamu. Sangat marah. Tapi aku juga tahu kau tidak minta dilahirkan jadi seperti ini," tutur Sulaiha lembut.
Nurlaela menangis semakin keras. Air matanya bercucuran membasahi pipinya. Bahunya tergoncang.
"Maafkan aku... aku mphon."
Sulaiha memegang tangan Nurlaela. Terasa hangat, menggigil.
"Aku tidak datang untuk menghukummu. Aku datang untuk mengajakmu menengok Ahmad di rumah sakit. Dia ayah anakmu juga. Dia butuh kita semua untuk bertahan."
Nurlaela terisak. Lalu ia mengangguk pelan.
"Boleh... aku mau. Aku mau lihat dia."
Sulaiha mengusap matanya. Menahan gemuruh di dadanya.
"Ayo. Bersiap. Bawa Akbar juga. Ahmad harus lihat anaknya."
Nurlaela bergegas ke kamar. Mengemasi Akbar, bayinya yang masih merah dan lemah. Mereka keluar bersama. Dua wanita, dua istri--sama-sama terluka, sama-sama berharap ada jalan damai.
***
Ketika mereka tiba di rumah sakit. Ahmad sedang terpejam lemah. Luka di wajahnya belum kering. Ia membuka mata perlahan saat mendengar langkah.
Di sana, Sulaiha betdiri dengan mata basah. Di sampingnya Nurlaela menggendong Akbar.
Ahmad terdiam. Matanya membelalak. Air matanya tumpah.
"Dinda... Nurlaela... Akbar."
Sulaiha mendekat ke ranjang. Mengelus tangan Ahmad.
"Mas... aku bawa mereka. Kita selesaikan ini baik-baik. Aku tak mau anak-anak kita tumbuh membenci. Akbar juga anakmu."
Ahmad menahan isak. Nurlaela mendekat perlahan, memegang tangan Ahmad yang lain. Akbar menguap dalam gendongan.
Ahmad menoleh je Nurlaela.
"Maafkan aku... semua ini salahku."
Nurlaela menangis sambil mengangguk.
"Aku juga minta maaf, Mas."
Sulaiha menahan sesak di dada. Air matanya jatuh. Tapi ia berkata pelan dan tulus.
"Kita mulai lagi, Mas. Demi anak-anak kita. Demi akhirat kita. Kita cari cara yang diridhoi Allah. Aku ikhlas. Semoga Allah memudahkan."
Ruangan itu penuh tangis, tapi bukan hanya duka--juga harapan. Tiga hati yang tersakiti, berusaha saling memaafkan.
Di balik jendela, mentari sore jatuh lembut. Menyinari mereka yang berusaha bangkit dari reruntuhan cinta--mrski dengan luka yang masih berdarah.
Mereka sadar, jalan ke depan takkan mudah. Tapi mereka telah memilih, mencoba.
Karena bagi orang-orang yang beriman, memaafkan bukan tanda kelemahan--jalan menuju surga.
***
Langkah Ahmad dan Nurlaela masih terhenti di depan café itu. Anak kecil yang berlari masuk sambil memanggil ibunya, kini berdiri manja di pelukan Indah. Senyum Indah mengembang, meski matanya sempat menatap tajam ke arah Ahmad. Ada sesuatu yang berat menggantung di udara—pertanyaan yang tak terucap, kebenaran yang seakan siap pecah kapan saja.Namun, sebelum Ahmad melontarkan pertanyaan, Indah menunduk, lalu meraih tangan mungil itu dan menggandengnya pergi. Tak ada penjelasan. Hanya meninggalkan bayang-bayang yang terus menghantui pikiran Ahmad dan Nurlaela.***Tak lama Ahmad dan Nurlaela akan pulang ke rumah. Ahmad meraih tangan Nurlaela,“Yuk, kita pulang.” Nurlaela pun menurut, tanpa kata-kata ia hanya mengikuti Ahmad melangkah ke mobilnya.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumahnya. Mereka disambut oleh gadis kecil, imut-imut dan mungil itu. Gadis mungil yang tumbuh seperti dongeng indah layaknya Cinderella. Akan tetapi, dunia yang dimilikinya jauh berbeda. Sejak Sulaiha—
Langit sore itu mendung. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Ahmad melangkah pelan menuju sebuah cafe kecil di sudut kota, tempat yang disebut Indah dalam pesannya. Ia melangkah berat, seolah kakinya terikat rantai masa lalu.Tak lama Ahmad tiba di depan café itu. Ia memarkir mobilnya lalu melangkah akan masuk. Saat pintu cafe terbuka, Ahmad berdiri sejenak di ambang pintu, pandangannya langsung tertuju pada sosok perempuan di pojok ruangan. Indah, ia duduk sendiri, kepalanya tertutup jilbab berwarna biru tua. Tatapannya tajam, tapi dalam, seakan menyimpan ribuan rahasia yang akan terbongkar.Saat Ahmad melihatnya, sepertinya tenggorokannya tercekat. Bibirnya nyaris tak mampu menyebutkan namanya.“Indah…”Perempuan itu seketika menoleh. Senyum tipis terukir, tapi justru membuat dada Ahmad semakin sesak.Indah membuka mulut,“Akhirnya kita bertemu lagi, Mas. Duduklah!”Ahmad duduk berhadapan dengannya. Perasaannya gelisah, berulang kali meremas ja
Malam itu, ketika seorang perempuan misterius datang. Ahmad membuka mulutnya, tapi hanya satu kata yang lolos, terdengar begitu berat, seolah menyingkap rahasia yang selama ini terkubur:“Indah…”Nama itu meluncur lirih. Namun, cukup untuk membuat Nurlaela terperanjat, tubuhnya hampir goyah.Nama itu yang keluar dari bibir Ahmad, mengguncang Nurlaela seperti petir di tengah malam. Sejak malam itu, hidup Ahmad seolah memasuki lorong panjang penuh teka-teki.***Setahun sudah ia menjalani hari-hari sunyi tanpa Sulaiha—bidadari yang telah kembali ke sisi Ilahi. Kekosongan itu masih terasa, meski di rumah ada Nurlaela. Statusnya sebagai istri kedua hanya sebatas nikah siri. Secara hukum negara, hubungan itu rapuh, tak tercatat, seolah bisa runtuh kapan saja, tapi punya pesona mengguncang hati Ahmad.Namun, bagi Ahmad, tak ada satu pun yang mampu menggantikan Sulaiha. Cintanya pada sang bidadari dunia terlalu dalam. Kenangan tentangnya abadi, sementara kehadiran Nurlaela lebih sering mengh
Malam itu Ahmad masih sulit memejamkan mata. Pertemuan tak terduga dengan sosok dari masa lalu seakan membuka kembali pintu kenangan yang telah ia kunci rapat-rapat. Di kamarnya yang sepi, lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Pandangannya berkelana dari sudut ke sudut, hingga akhirnya tertambat pada sebuah foto berbingkai indah di dinding.Di dalam foto itu, Ahmad tidak sendiri. Ada seorang gadis di sampingnya, dengan senyum canggung dan tatapan yang seolah enggan diabadikan kamera. Namun, bagi Ahmad, justru itulah pesona yang membuatnya jatuh cinta.Hatinya bergetar. Luka lama kembali berdarah.“Seandainya kau tahu, betapa aku mencintaimu…” bisiknya lirih, jemarinya menyentuh dinginnya kaca bingkai.Kenangan itu menyeretnya jauh ke masa lalu. Saat awal pertemuan yang sederhana, sekadar sapaan singkat di sebuah kantor. Gadis berkacamata tebal itu menunduk malu ketika Ahmad memujinya. “Ternyata di gedung ini ada makhluk cantik,” katanya waktu itu, tulus, tanpa basa-basi.Reaks
Sejak kepergian Sulaiha, rumah itu tak lagi ramai. Sunyi terasa menekan, dinding-dinding seolah ikut meratap, dan setiap sudut masih menyimpan jejak kenangan yang membuat dada Ahmad sesak. Namun, di tengah kabut duka yang menyelimuti, ada satu jiwa mungil yang kini rapuh—dan sekaligus menjadi alasan Ahmad untuk tetap berdiri: Nadia, putri kecilnya.Gadis itu berusaha tegar, meski hatinya hancur. Tangannya sering gemetar, keringat dingin membasahi telapak, dan matanya sembab karena air mata yang tak pernah benar-benar kering. Ada haru, takut, dan kehilangan yang bercampur aduk dalam dirinya. Nadia kini berada di ambang masa depan—sebentar lagi ia akan tamat SMP. Namun, justru di titik inilah ia kehilangan sosok penyemangat hidupnya, sang bunda yang selama ini menjadi cahaya dalam kegelapan.Sejak ibunya tiada, Nadia kerap termenung sendirian. Nafsu makannya hilang, semangat belajarnya redup, bahkan sudah sepekan ia tak menginjakkan kaki ke sekolah. Kamar yang dulu riuh dengan tawa kec
“Dunia Ahmad Runtuh! Kehilangan Bidadari yang Dicintainya…”Lelaki itu bagaikan kaca rapuh, sewaktu-waktu bisa pecah berkeping-keping ketika terbentur musibah. Itulah Ahmad—seorang suami yang kini hatinya hancur setelah ditinggal pergi oleh belahan jiwanya.Sejak kepergian Sulaiha—sang bidadari dunianya, Ahmad hidup bagai jasad tanpa ruh. Duduk termenung sendiri, tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat, dan sorot matanya kosong. Nafsu makan hilang, gairah hidup lenyap. Sulaiha—cahaya yang selalu menyinari langkahnya. Kini benar-benar pergi, tak akan pernah kembali lagi.Di depan jasad istrinya, Ahmad berusaha tegar. Namun, tangis yang berusaha ia tahan akhirnya pecah juga. Air matanya tumpah, membasahi wajah yang biasanya gagah. Berlembar-lembar tisu habis, hanya untuk menyeka derasnya duka saat itu.Ketika ibunya dulu meninggal tertabrak truk, ia hanya termangu tanpa setetes air mata. Tapi kali ini… Ahmad tak mampu lagi berpura-pura kuat. Kepergian Sulaiha benar-benar merobek seluruh