Waktu demi waktu berlalu. Ahmad sering keluar rumah tanpa alasan yang jelas. Ia terlihat gelisah. Bahkan saat menjawab telpon pun selalu sembunyi-sembunyi.
Dan pada suatu malam, seorang ART di rumah melihat Ahmad menerima telepon dengan sikap mencurigakan. Ia mengadu pada ART pria. Kabar itu kemudian sampai ke telinga Pak Iskandar dan Bu Aminah.
Sehingga kecurigaan berubah menjadi penyelidikan.
Sulaiha diam-diam meminta bantuan dua sahabatnya--Gita dan Sofiah. Mereka menggandeng Rudi dan Randi, dua sahabat Ahmad.
***
Hingga suatu siang, saat Ahmad menerima telepon dari Nurlaela yang panik karena bayinya demam tinggi, ia akan pergi ke rumah sakit.
Tapi Rudi dan Randi mengikuti dari belakang.
Ketika Ahmad hendak mengantar Nurlaela dan bayinya ke rumah sakit, Rudi dan Randi sudah berdiri di gerbang.
"Ahmad!"
BRAK!
Sebuah tinju mendarat di wajah Ahmad.
"Apa maksud semua ini?" bentak Rudi.
Ahmad berdarah. Tapi ia tetap tenang. Lelah.
Dan akhirnya, ia mengaku segalanya.
"Aku terjebak... Aku hanya ingin menolong. Tapi ia memaksa... mengancam ingin bunuh diri. Aku... menikahinya. Hanya nikah siri."
Rudi dan Randi menatapnya kecewa. Namun, mereka tetap mendorong Ahmad pulang.
"Ayo. Kau harus hadapi istrimu."
***
Ahmad kembali ke rumah. Wajahnya lebam. Bibirnya pecah.
"Mas! Ya Allah, kenapa ini?" tanya Sulaiha panik.
Ahmad hanya menunduk. Perlahan...
Ia mulai bercerita. Tentang kecelakaan. Tentang Nurlaela, Tentang pernikahan itu.
Sulaiha menangis. Tapi ia tetap merawat luka di wajah suaminya. Ia mencoba tegar.
Namun, tidak dengan Bu Aminah. Ia meledak.
"Kurang ajar! Aku harus menemui perempuan murahan itu!"
Hari berikutnya, diam-diam Bu Aminah mengajak Sulaiha mengikuti Ahmad. Merela melihat rumah Nurlaela.
Begitu Ahmad pergi, mereka menghampiri rumah itu.
PLAK!
Tamparan bertubi-tubi mendarat di pipi Nurlaela.
"Kau perempuan jalanan! Kenapa kau tega menikahi suami orang?"
Nurlarla menangis,
"Aku tidak punya pilihan... aku hanya ingin anakku punya ayah."
Sulaiha memeluk ibunya, menahan tangannya.
"Cukup, Bu... jangan pakai kekerasan."
Tapi hati mereka sudah koyak.
Dan rumah tangga yang indah itu, kini seperti rumah kaca yang mulai retak
Tinggal menunggu waktu untuk pecah
***
Suasana rumah terasa mencekam saat Ahmad melamgkah masuk. Di ruang tengah, Pak Iskandar sudah menunggunya. Matanya tajam, rahangnya mengeras. Tanpa sepatah kata pun, tangannya melayang.
PLAK!
Tamparan keras membuat kepala Ahmad menoleh. Pipinya memerah.
"Kurang ajar kau!" suara Pak Iskandar bergetar menahan amarah. "Kau hancurkan rumah tanggamu! Anak dan istrimu kau bikin menderita!"
Ahmad menunduk. Dadanya sesak. Tak lama, Sulaiha muncul bersama Bu Aminah. Wajah Sulaiha pucat. Matanya sembab. Tapi Bu Aminah tak menahan diri.
"Kau laki-laki tak tahu diri!" bentak Bu Aminah. "Kau sudah punya istri dan anak, masih menikah lagi. Perempuan yang sudah mengandung anak orang pula! Cepat ceraikan dia! Kau mau buat kami malu?"
Ahmad hanya menggigit bibir. Suaranya parau.
"Maafkan aku... semua ini di luar rencanaku. Aku hanya berniat menolong... dia mengancam akan bunuh diri... aku terjebak... aku tak bisa berbuat lain."
Sulaiha akhirnya tak sanggup menahan air matanya. Bahunya tergkncang.
"Mas... aku kurang apa? Apa yang membuatmu tega menghancurkan semua ini? Pernikahan kita, kebahagiaan Nadia?"
Ahmad ingin mendekat, tapi Sulaiha menolak.
"Jangan sentuh aku!"
Pak Iskandar menunjuk tajam ke arah Ahmad.
"Kalau kau lelaki sejati--selesaikan! Ceraikan perempuan itu. Kalau tidak, anggap saja istri dan anakmu sudah tak ada untukmu!"
Tanpa menunggu jawaban. Pak Iskandar meraih lengan Sulaiha dan menggiringnya keluar. Bu Aminah ikut mendorong koper yang telah dikemas. Nadia menoleh, matanya bingung, menatap ayahnya yang berdiri lunglai.
"Abi..." gumam Nadia lirih.
Tapi pintu sudah tertutup.
Suara mobil Mercedes hitam meraung pelan di jalanan malam, membawa istri dan anak Ahmad menjauh darinya.
Ahmad terduduk di ruang tamu yang sunyi. Tangannya gemetar, menutup wajahnya.
Air matanya jatuh. Lalu bangkit, masuk kamar. Menghamparkan sajadah.
"Allahu Akbar..."
Suaranya lirih. Sajadahnya basah oleh air mata.
"Ya Allah... aku lemah. Aku bodoh. Aku hancurkan rumah tanggaku. Ampuni aku... tunjukkan jalanku."
Akan tetapi, doanya terganggu oleh suara telepon yang berdering nyaring. Berkali-kali.
"Kriiiiing... Kriiiiing..."
Di layar terpampang nama Nurlaela.
Ahmad menatap hampa. Enggan mengangkat. Tapi dering itu seperti suara hantu yang memaksa. Akhirnya ia menggeser tombol hijau.
"Mas! Tolong aku! Akbar sakit parah! Aku di rumah sakit sekarang!" suara Nurlaela panik.
Ahmad terdiam. Suaranya berat.
"Aku... aku tak bisa membantu. Aku sudah kehilangan istri dan anakku. Semuanya hancur."
"Mas! Kau tega? Katanya kau sayang Akbar! Tolong Mas... aku mohon."
Ahmad hanya menutup matanya. Menggertakkan gigi.
Tanpa berkata lagi, ia menekan tombol merah.
"Tuut...Tuut..." Telepon terputus.
Di seberang sana, Nurlaela berteriak marah dan.menangis, menghentakkan kakinya di lantai rumah sakit.
Ahmad meletakkan pknselnya di nakas. Lalu berjalan ke luar rumah. Angin malam menerpa wajahnya yang basah air mata. Langkahnya lunglai.
Bagaimana aku bisa memperbaiki semua ini?
Ia mencoba menelepon nomor Sulaiha. Tak aktif.
Nomor Bu Aminah, juga tak aktif.
Akhirnya ia menekan nomor rumah.
"Halo!" terdengar suara Pak Iskandar yang garang.
"Assalamu'alaikum, Pak. Aku mohon bicara Sulaiha."
"Untuk apa lagi kau menelepon, laki-laki brensek? Tak usah kau cari mereka! Kau sudah kehilangan mereka! Paham?"
"Tuut... Tuut... " Telepon terputus.
Ahmad memejamksn mata. Air matanya kembali tumpah. Ia tertunduk di teras rumah. Menangis dalam sunyi.
***
Keesokan harinya, Ahmad ditelepon oleh Rudi. Suaranya cemas.
"Ahmad, masalah besar! Pak Iskandar menarik sahamnya dari perusahaan. Kita semua kena imbasnya. Jabatanmu terancam. Aku dan Randi juga terancam."
Ahmad menunduk. Matanya basah.
"Maafkan aku... semua ini salahku."
"Kau harus bicara Pak Iskandar! Rayu dia! Jangan sampai semua hancur!"
Dengan berat hati, Ahmad menemui Pak Iskandar di kantornya. Ia berdiri gemetar di depan meja.
"Assalamu'alaikum, Pak."
Pak Iskandar menatalnya dingin.
"Wa'alakkum salam. Cepat! Apa maumu?"
Ahmad menelan ludah.
"Pak, maafkan saya. Tolong kembalikan sahamnya. Jabatan saya terancam. Rudi dan Randi juga."
Pak Iskandar mendengus sinis.
"Jabatan? Saham? Hahaha... kau lucu! Kau khianati istrimu. Kau hancurkan hati anakmu. Lalu sekarang kau minta kebijakan?"
"Pak, saya terjebak. Saya menolong perempuan teraniaya. Demi Allah, saya tak berniat selingkuh."
Pak Iskandar menatap tajam.
"Kalau kau lelaki, ceraikan dia! Kau tak akan lihat anak dan istrimu lagi jika masih keras kepala. Pergi!"
Ahmad hanya menunduk. Mengusap air matanya.
"Assalamu'alaikum... " suaranya parau
Ia melangkah keluar dengan pundak lunglai.
***
Sepulang dari rumah sakit, suasana di dalam mobil, mereka merasa tegang, ada perasaan berat. Akan tetapi, hujan baru saja reda, membuat jalanan menjadi licin, udara lembab, dan awan kelabu yang belum benar-benar pergi.Ahmad duduk di kursi depan, masih lemah, menatap kaca jendela dengan mata sayu. Di kursi belakang, Sulaiha menopang Akbar yang tertidur, sementara Nurlaela menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun. Perasaannya gelisah.Tak ada yang bicara. Yang terdengar hanya bunyi mesin mobil dan tarikan napas berat yang sesekali pecah menjadi isak tertahan.Sulaiha meremas jari-jemari sendiri. Ia sudah menyiapkan diri untuk hujatan orang-orang sekitarnya. Namun, ia tak pernah membayangkan suasananya akan seberat itu.***Detik demi detik berlalu, sampailah mereka di rumah orang tua Sulaiha. Mobil berhenti perlahan. Penumpang turun satu per satu. Pak Iskandar sudah berdiri menunggu di teras. Tubuhnya tegap tapi wajahnya keras seperti batu. Bu Aminah pun di sampingnya, matany
Hari itu, pagi menjelang siang. Cuaca di luar rumah sakit mulai cerah. Angin bertiup agak kencang, turut menderitlan pintu. Akan tetapi, di dalam hati Sulaiha, langit belum sepenuhnya biru. Masih ada mendung-mendung tipis, menggantung seperti kenangan yang belum selesai diurai.Ahmad, kesehatannya mulai membaik. Wajahnya terlihat sedikit segar. Akan tetapi, masih ada luka di tubuhnya, bukan itu yang paling dalam. Namun, yang lebih pedih adalah luka di hatinya, dan luka yang ditinggalkan di hati orang-orang yang mencintainya.Sulaiha menyiapkan makanan bubur lembut dan menyuapi Ahmad dengan sabar. Kadang mereka saling berpandangan lama, seakan mencoba membaca kembali cinta yang dulu pernah kuat, lalu retak, lalu ingin dipungut lagi dari serpihannya."Dinda... " suara Ahmad pelan, nyaris tak terdengar.Sulaiha menoleh, pandangannya lembut, teduh, tapi tegas."Ya, Mas?""Apa kau benar-benar... masih ingin bersamaku?" Ahmad menunduk. Suaranya getir. "Setelah semua ini? Setelah pengkhianat
Malam itu, di rumah sakit terasa lebih sunyi daripada biasanya. Ahmad sudah tertidur, ia kelelahan oleh sakit dan air mata yang tak lagi bisa dibendung. Hanya suara alat monitor berdetak pelan, tanpa perhatian sang perawat.Saat itu, Sulaiha duduk di kursi samping ranjang, tempat Ahmad terbaring lemah. Matanya mulai redup menatap suaminya lekat-lekat. Namun, tangannya masih memegang jari-jari Ahmad yang hangat, tapi lemah. Sesaai ia menoleh ke samping.Terlihat olehnya di kursi lain, ada Nurlaela juga tertidur sambil memeluk Akbar. Bayi itu tampak tenang dalam dekapan ibunya.Sulaiha menarik napas panjang. Air matanya jatuh tanpa suara."Ya Allah... aku sudah berusaha... tapi kenapa hatiku masih sesak?"Ia menunduk lebih dalam. Hatinya berperang, tapi seolah ada seberkas cahaya harapan menantinya. Ia sudah mrngajak Nurlaela berdamai. Sudah membawanya ke sini. Tapi ia belum bisa mengusir semua amarah. Ia belum bisa sepenuhnya ikhlas. Entah, kenapa demikian?Sesaat bayangan Ahmad bersam
Hari-hari berikutnya, Ahmad tenggelam dalam kesedihan. Ia duduk termenung di kantor. Tatapannya kosong. Wajahnya pucat. Kantong matanya dalam.Malam itu Ahmad pulang larut. Di jalan sepi, tia-tiba dua motor menghadangnya,"Berhenti!"Mereka preman kampung. Tanpa banyak bicara, mereka tarik Ahmad keluar. Tinju menghantam wajahnya. Tendangan mengenai perutnya. Ahmad roboh. Darah mengalir dari pelipisnya.Tasnya dirampas. Laptop kantor hilang. Ponsel ikut raib. Para preman kabur.Ahmad terbaring di aspal, setengah sadar. Pandangannya kabur. Hanya lampu jalan yang redup menemaninya.Tak lama, sepasang warga menemukan Ahmad. Mereka memanggil ambulance. Ia dilarikan ke rumah sakit.Kabar itu sampai ke telinga Sulaiha. Ia menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca."Ibu... aku harus menjenguk Mas Ahmad. Dia ayah Nadia."Bu Aminah menghela napas berat. Ia akhirmya mengangguk pasrah."Baik. Tapi hati-hati."Sulaiha dan orang tuanya pergi ke rumah sakit. Begitu melihat suaminya terbaring lemah, Sula
Waktu demi waktu berlalu. Ahmad sering keluar rumah tanpa alasan yang jelas. Ia terlihat gelisah. Bahkan saat menjawab telpon pun selalu sembunyi-sembunyi.Dan pada suatu malam, seorang ART di rumah melihat Ahmad menerima telepon dengan sikap mencurigakan. Ia mengadu pada ART pria. Kabar itu kemudian sampai ke telinga Pak Iskandar dan Bu Aminah.Sehingga kecurigaan berubah menjadi penyelidikan.Sulaiha diam-diam meminta bantuan dua sahabatnya--Gita dan Sofiah. Mereka menggandeng Rudi dan Randi, dua sahabat Ahmad.***Hingga suatu siang, saat Ahmad menerima telepon dari Nurlaela yang panik karena bayinya demam tinggi, ia akan pergi ke rumah sakit.Tapi Rudi dan Randi mengikuti dari belakang.Ketika Ahmad hendak mengantar Nurlaela dan bayinya ke rumah sakit, Rudi dan Randi sudah berdiri di gerbang."Ahmad!"BRAK!Sebuah tinju mendarat di wajah Ahmad."Apa maksud semua ini?" bentak Rudi.Ahmad berdarah. Tapi ia tetap tenang. Lelah.Dan akhirnya, ia mengaku segalanya."Aku terjebak... Aku
Hujan deras disertai petir seolah menggetarkan rumah Ahmad. Tangannta gemetar memegang surat itu. Nama yang seharusnya sudah terkubur dalam ingatan Ahmad bertahun-tahun yang lalu. Akan tetapi, nama iru muncul lagi, bak bom akan meledak. Dan akan menjadi ancaman dalam diri Ahmad.Sulaiha--istri Ahmad duduk terpaku di ujung sofa, sorot matanya tajam penuh tanya dan kecemasan."Ahmad... siapa Nurlaela itu?"Ahmad hanya menunduk. Dadanya terasa sesak. Namun, ia harus menjawab dengan jujur agar perasaan istrinya menjadi tenang."Nurlaela... adalah bagian dari masa laluku yang paling sulit," ucapnya lirih.Ahmad termenung sejenak, ingatannya berkelana mengenang masa lalunya yang kelam. Awal bertemunya Nurlaela.Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum Ahmad mengenal Sulaiha, sebelum hidupnya berubah lewat pendidikan dan kerja keras. Ada seorang gadis yang pernah hadir dalam hidup Ahmad: bernama Nurlaela.Ia adalah putri dari seorang saudagar kaya yang tinggal di kota sebelah. Saat itu, Ahmad